Anda di halaman 1dari 2

Penginderaan jauh sistem fotogrametri adalah sistem perekaman objek yang

didasarkan pantulan. Semakin besar pantulan tenaga dari objek maka rona yang
tergambar akan cerah, dan sebaliknya semakin kecil pantulan objek rona yang terbentuk
akan gelap. Karena itu objek yang tegak lurus dengan sumbu kamera berpantulan tinggi,
rona yang tergambar akan cerah dibandingkan dengan objek yang jauh dari sumbu
kamera.
Sehubungan dengan sumbu kamera yang tegak lurus, maka ukuran objek yang lebih
sesuai dan akurat adalah objek yang tegak lurus. Artinya semakin jauh dari sumbu tegak
lurus dengan kamera, maka kesalahan ukuran makin besar. Oleh karena itu semakin jauh
dari titik tembus suatu kamera (titik prinsipal) skala semakin kecil dan kesalahan
(distorsi) pada foto udara bersifat radial.
Kedudukan sumbu kamera mempengaruhi skala, karena bila sumbu kamera tidak
tegak lurus, maka jarak medan yang sama akan mempunyai perbedaan jarak pada foto
udara. Panjang fokus merupakan perbandingan antara ketinggian objek dengan wahana.
Sumbu kamera berkaitan dengan sumbu liputan, semakin panjang fokus kamera,
maka sudut liputan semakin kecil. Artinya lahan yang terliput semakin sempit dan
sebaliknya. Sudut liputan mempengaruhi skala dan kerincian objek yang direkam, karena
semakin kecil sudutnya liputan lahan semakin kecil, tetapi kemampuan mendeteksi objek
semakin besar.
Ilmu yang berhubungan dengan Fotogrametri disini adalah Penginderaan Jauh.
Penginderaan Jauh adalah ilmu, teknologi, dan seni dalam memperoleh informasi
mengenai objek atau fenomena di permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan objek
atau fenomena yang dikaji, melainkan melalui media perekam objek atau fenomena yang
memanfaatkan energi yang berasal dari gelombang elektromagnetik dan mewujudkan
hasil perekaman tersebut dalam bentuk citra. Fotogrametri adalah salah satu (dari dua)
teknik Penginderaan Jauh.
Hubungan antara Geografi dan Fotogrametri tidak berehenti sampai situ saja.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Geografi mencakup analisis tentang gejala alam dan
manusia. Untunk menganalisis, sebelumnya diperlukan informasi yang banyak mengenai
daerah atau objek yang akan dikaji (dianalisis). Untuk mendapatkan informasi-informasi
itu, geograf membutuhkan gambaran mengenai objek tersebut yang didapatkan dari hasil
Penginderaan Jauh, baik berupa citra satelit maupun citra foto, hasil dari Fotogrametri.
Dalam segi informasi, citra foto dari hasil Fotogrametri memiliki keunggulan yaitu
dapat melihat kenampakan suatu objek secara tiga dimensi dengan fotostereo, dengan
syarat daerah yang akan dikaji saling bertampalan searah jalur terbang (overlap) dan antar
jalur terbang (sidelap). Hal ini memudahkan para geograf untuk menganalisis suatu
daerah dan dapat mengumpulkan informasi dari hasil citra foto tersebut.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Geografi sebagai induk dari ilmu
Fotogrametri. Salah satu dasar dari ilmu Fotogrametri adalah Ilmu Geografi, yang
membuat kedua ilmu tersebut berkaitan erat. Kemudian, dapat dikatakan juga bahwa
Geografi bergantung pada Fotogrametri dalam hal pengumpulan informasi suatu
fenomena atau objek. Fotogrametri menghasilkan produk yang oleh para geograf dapat
diolah dan dikaji, dan nantinya akan menghasilkan informasi yang bisa saja lebih
memperkaya dan memperluas ilmu Geografi itu sendiri.
Menurut paine (1993) stereoskopi adalah ilmu pengetahuan tentang stereoskop yang
menguraikan penggunaan penglihatan binocular untuk mendapatkan efek 3 dimensi (3D).
penglihatan stereoskopi memungkinkan kita untuk melihat suatu obyek secara simultan
dari dua perspektif yang berbeda, seperti dua foto udara yang diambil dari kedudukan
kamera yang berbeda, untuk memperoleh kesan mental suatu model tiga dimensi.
Perwujudan penglihatan stereoskopis meliputi azas-azas mekanis maupun fisiologis.
Pandangan mata normal manusia sebenarnya secara alamiah dapat merekam obyek secara
stereoskopik. Hanya saja sering kali kita tidak memperhatikan kemampuan tersebut. Juga
tidak semua manusia dapat melakukannya, terutama bagi mereka yang kemampuan
matanya tidak seimbang.
Kesan kedalaman (depth perception) dalam stereoskopi terjadi karena titik titik yang
terletak pada elevasi – elevasi yang berbeda telah mengalami pergeseran secara topografis
dengan besaran dan arah yang berbeda pada foto-foto yang berurutan. Selisih didalam
pergeseran disebut paralaks mutlak. Menurut Paine (1993) paralaks mutlak dalah selisih
aljabar, diukur sejajar garis terbang (sumbu x) dan sumbu-sumbu y yang berkaitan untuk
dua gambar dari suatu titik pada sepasang foto udara yang stereoskopis.
Untuk mengetahui besarnya paralaks mutlak dapat dilakukan dengan meletakkan jalur
terbang pada foto. Sumbu x dari suatu titik adalah sejajar dengan arah jalur terbang.
Setiap jalur terbang menjadi titik tengah dari foto-foto yang dihasilkan. Karena tampalan
depan foto udara minimal 50%, maka setiap titik tengah foto udara akan terganbar pada
foto berikutnya sebagai titi pindahan. Dengan menarik suatu garis dari titik tengah foto ke
titik tengah pindahan berarti jalur terbang telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai