Oleh :
FATMAYATI, ST
NUR ASMA DELI, ST
1
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perkebunan sawit yang pada tahun 79/80’an baru seluas 257
ribu ha dan hanya diusahakan dalam bentuk sebagai usaha perkebunan besar, yang
kemudian pada tahun 2004 telah menjadi sekitar 5.448 ribu ha, yang didalamnya
termasuk yang diusahakan dalam bentuk sebagai perkebunan rakyat, bukan
merupakan satu kebetulan melainkan merupakan upaya terencana disertai
berbagai fasilitas pendukung dan kesiapan berbagai pihak terkait. Berbagai upaya
yang ditempuh secara garis besar seperti disampaikan pada uraian berikut ini:
1. Sesuai ciri usaha budidaya perkebunan sawit yang merupakan investasi jangka
panjang, maka upaya pengembangannya yang diarahkan dengan titik berat
sebagai usaha perkebunan rakyat disediakan dukungan fasilitas pendanaan
berupa kredit lunak jangka panjang;
2. Mempertimbangkan berbagai keterbatasan kemampuan pelayanan, utamanya
pada wilayah bukaan baru dan ciri usaha perkebunan kelapa sawit yang harus
terkait dengan unit pengolahan, maka untuk mengantarkan kesiapan petani
menjadi petani perkebunan sawit maka ditempuh pendekatan pengembangan
perkebunan rakyat melalui pola PIR;
3. Sesuai dengan fungsi BUMN perkebunan pada waktu itu yaitu sebagai
unitusaha dan agen pembangunan, yang kondisinya pada waktu itu telah
memiliki berbagai kelebihan dibanding kelompok usaha perkebunan lainnya,
maka pada tahap awal pengembangan perkebunan rakyat melalui pola PIR
yang mendapat tugas sebagai Perusahaan Inti adalah BUMN Perkebunan/PTP;
4. Dengan maksud mempercepat dan meningkatkan jangkauan perkebunan
rakyat melalui pola PIR, dengan pertimbangan jumlah BUMN perkebunan
terbatas, maka mulai tahun 1986 diundang kesediaan sektor dunia usaha kuat
untuk turut serta bertindak sebagai Perusahaan Inti pengembangan perkebunan
sawit rakyat melalui pola PIR – TRANS;
5. Berlangsungnya kesiapan dukungan paket teknologi dan pendampingan
penerapan pelaksanaannya secara pro-aktif oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) serta dukungan ketersediaan benih sawit;
2
6. Sesuai ciri investasi pengembangan perkebunan sawit yang bersifat lintas
fungsi/lintas sektor, melalui upaya penumbuhan saling membantu dan
mendukung, maka terselenggara kesiapan pelayanan oleh berbagai unit
fungsional terkait
7. Berkembangnya kemampuan pelayanan berbagai unit fungsional terkait serta
dukungan berbagai kemudahan, termasuk penyediaan insentif permodalan
untuk pengembangan Perkebunan Besar, baik sebagai perusahaan inti maupun
sebagai kebun sendiri. Insentif permodalan bersumber dari bantuan luar negeri
untuk BUMN Perkebunan dan perbankan dalam negeri untuk PBSN.
3
II. MANFAAT DAN PROSPEK
4
Persaingan dalam perdagangan minyak sawit (CPO) sebenarnya hanya
terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Nigeria sebagai produsen nomor tiga lebih
banyak mengalokasikan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Malaysia yang merupakan produsen dan eksportir terbesar akhir-akhir ini
berusaha secara konsisten mengolah minyak sawitnya sehingga volume ekspornya
dalam bentuk minyak sawit (CPO) diperkirakan akan mulai menurun.
Keterbatasan lahan yang sesuai serta tingginya upah, juga akan menahan
perluasan areal di Malaysia sehingga akan memperlambat laju ekspor. Di sisi lain,
Indonesia yang sampai saat ini sebagai negara produsen dan eksportir terbesar ke
dua mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspornya. Indonesia dikenal
sebagai negara paling efisien dalam memproduksi minyak sawit sehingga CPO
Indonesia sangat kompetitif di pasar internasional. Dengan ketersediaan lahannya
yang relatif luas, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan produksi sehingga
memacu pertumbuhan ekspor.
Dari gambaran tersebut dapat disampaikan bahwa prospek sawit masih
sangat luas, tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan minyak makan, tetapi juga
untuk kebutuhan produk-produk turunannya. Untuk lebih meningkatkan daya
saing produk sawit dan turunannya agar lebih mempunyai daya saing, keterpaduan
penanganan sejak dari kegiatan perencanaan, kegiatan on-farm, offfarm, dukungan
sarana dan prasarana serta jasa-jasa penunjangnya sangat diperlukan.
5
pengembangan perkebunan sawit yang sudah dan sedang berjalan, secara umum
menunjukkan:
a. Layak secara ekonomi; pengembangan perkebunan sawit dari berbagai
indikator yang ada menunjukkan secara ekonomi layak, seperti antara lain:
petani memperoleh sumber pendapatan, karyawan memperoleh upah sesuai
ketentuan yang berlaku, perusahaan mendapatkan keuntungan yang terbukti
dari menguatnya minat investasi, Bank mau membiayai karena dinilai layak,
Pemerintah memperoleh devisa, penyedia bahan baku industri pangan dan
oleochemical.
b. Layak secara sosial; sesuai dengan ciri usaha perkebunan sawit yang
merupakan investasi jangka panjang, bersifat padat modal dan padat karya,
yang harus dimulai dengan penanaman, diikuti pemeliharaan dan pemanenan
sampai satu siklus umur teknis tanaman, maka akan melekat kelayakan sosial
untuk dapat mendukung kelangsungan usaha. Persyaratan pokok kelayakan
msosial antara lain adalah terciptanya kesempatan kerja, terbuka menjadi
petani peserta, berkembangnya fasilitas kesehatan, pendidikan, sosial dan
fasilitas umum serta berbagai fasilitas kemudahan lainnya.
c. Ramah lingkungan; pada usaha perkebunan sawit, sepanjang mengikuti tertib
paket ketentuan yang telah digariskan, maka pengusahaannya akan dilakukan
pada lahan yang telah memperoleh persetujuan peruntukkannya dan
pengelolaannya memenuhi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan hidup. Disamping itu, agar mampu mempersembahkan
produksi dan produktivitas sesuai potensinya, pada dasarnya telah melekat
penerapan kaidah-kaidah konservasi pada pengelolaan usahanya.
d. Dari sisi pelestarian lingkungan hidup, tanaman sawit yang merupakan
tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan dalam
penyerapan efek gas rumah kaca seperti (CO2) dan mampu menghasilkan O2.
6
2.2 Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping
Produk samping dan limbah antara lain: (1) tandan kosong sawit untuk pulp
dan kertas, kompos, karbon, rayon; (2) cangkang untuk bahan bakar dan karbon;
(3) serat untuk medium density atau fibre board dan bahan bakar; pelepah dan
batang sawit untuk furniture, pulp dan kertas, pakan ternak; (4) bungkil inti sawit
untuk pakan ternak; (5) sludge untuk pakan ternak.
7
III. PERMASALAHAN
8
IV. ROAD MAP PENGEMBANGAN SAWIT
TAHUN 2025
PROSES
PROFIL SUBYEK OBYEK METODE PROFIL
KOMODITAS Petani KOMODITAS
Struktur Peremajaan
Swasta /
SAWIT Agribisnis Rehabilitasi SAWIT
BUMN sawit Intensifikas
SAAT INI Pemerintah UNGGULAN
i
LSM
Perluasan
9
ALUR PIKIR ROAD MAP PENGEMBANGAN SAWIT
TAHUN 2025
PERBAIKA PERCEPATAN
N BAHAN REPLANTING
TANAH
ON - PERBAIKA DIVERSIFIKASI / PENINGKATA
FARM N INTERCROPPING N EFISIENSI
TEKNOLOG G
I
10
e. Alokasi untuk konsumsi dalam negeri mencapai 8,2 juta ton CPO (asumsi
biodisel 15% = 1,2 juta ton CPO, minyak makan + oleochemical 25 kg/kapita
jumlah penduduk 277,2 juta jiwa asumsi tumbuh 1,3%/th = 7 juta ton CPO).
f. Ekspor minyak sawit tersedia 16,6 juta ton CPO.
g. Pendapatan Petani Pekebun mencapai US$ 3.000 - 4.000/KK/Tahun (asumsi
kepemilikan kebun seluas 2-4 ha/KK). Pendapatan ini terkait dengan harga
yang diterima petani yaitu minimal 75% dari harga FOB dan petani
mempunyai saham di unit pengolahan.
h. Penyerapan tenaga kerja di on farm 4,5 juta tenaga kerja (asumsi rasio 0,5
TK/ha termasuk sektor pendukung), belum termasuk tenaga kerja yang
terserap pada off farm dan jasa lainnya.
i. Kebutuhan benih untuk peremajaan sekitar 50 juta kecambah (asumsi areal
peremajaan seluas 250 ribu ha penanaman tahun 2000).
j. Potensi pemanfaatan batang sawit hasil peremajaan 41 juta m3 (asumsi 250
ribu ha potensi kebun yang diremajakan, 75% dari populasi 128 pohon/ha,
rendemen 1,72 m3/batang).
k. Terwujudnya harmonisasi antara luas kebun sawit dengan jumlah/ kapasitas
olah PKS di suatu kawasan.
11
V. ARAH DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SAWIT
12
c. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan; yang intinya adalah
pembangunan yang layak secara ekonomi, layak secara social dan ramah
lingkungan.
2) Melakukan fasilitasi dan advokasi agar pengembangan perkebunan rakyat
sawit dapat tetap berlanjut sebagai bagian integral dari kelanjutan
pengembangan sawit, baik pada kegiatan peremajaan maupun perluasan.
3) Mengembangkan dan mensinkronkan mekanisme kemitraan kegiatan usaha
antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat sawit dalam mekanisme
prinsip-prinsip saling membutuhkan dan menguntungkan
13
kondisi drainase yang buruk, kesuburan tanah yang rendah, topografi yang
curam, maupun kondisi iklim yang kurang sesuai bagi tanaman sawit. Dengan
demikian maka perlu ada kebijakan perbaikkan kondisi lahan marginal
tersebut sehingga tanaman sawit dapat tumbuh dan berproduksi sesuai dengan
standar tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
c. Peningkatan penerapan Good Agricultural Practices (GAP)
Meningkatnya biaya produksi seperti pupuk dan tenaga kerja, sementara harga
produk sawit relatif stabil memerlukan peningkatan penerapan GAP.
Perkebunan sawit yang mampu meningkatkan efektivitas aplikasi faktor-faktor
produksi tersebut, dapat menekan biaya produksi dan sekaligus meningkatkan
produktivitas tanaman yang berwawasan lingkungan.
d. Pengembangan Produktivitas Usaha
Peningkatan produktivitas usahatani melalui pengembangan berbagai cabang
usahatani yang terintegrasi dengan sawit antara lain dengan ternak, tanaman
pangan.
e. Pengembangan diversifikasi produk sawit
Diversifikasi diarahkan kepada pembuatan produk-produk olahan yang
berdaya saing tinggi dengan memanfaatkan kelebihan dan sifat alami dari
minyak sawit. Penggunaan minyak sawit untuk keperluan oleo pangan, oleo
kimia dan biofuel akan semakin meningkat, baik untuk kebutuhan dalam
negeri maupun pasar internasional. Di samping persaingan antar minyak
nabati yang ketat, produksi minyak sawit Indonesia diharapkan dapat
memenuhi konsumsi dalam dan luar negeri. Guna mengantisipasi hal tersebut,
diperlukan adanya program ke arah diversifikasi produk, agar orientasi ekspor
produk sawit Indonesia tidak hanya berupa minyak sawit mentah (CPO)
semata.
f. Pengembangan industri hilir
Pengembangan sawit juga diupayakan bagi industri kecil, agar petani dapat
menikmati nilai tambahnya. Untuk tujuan tersebut, perlu ada prioritas program
untuk rancang bangun proses dan peralatan pengolahan untuk industri terpadu
meliputi pabrik minyak goreng, pabrik sabun, margarin dan biofuel dalam
berbagai skala usaha bagi produk minyak sawit yang dihasilkan.
14
5.1.3. Arah Pengembangan Produksi
Hasil produksi usaha perkebunan sawit, selain sebagai bahan baku industri
minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pangan pokok, juga
merupakan bahan baku industri oleochemical yang cukup kompetitif dan luas.
Oleh sebab itu, arah pengembangan produksi perkebunan sawit selama ini adalah
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan ekspor. Seiring pesatnya
perkembangan industri berbahan baku hasil produksi sawit (CPO dan PKO),
antara lain untuk biodiesel, maka arah pengembangan produksi adalah pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri dan ekspor, sedangkan untuk kebutuhan
biodiesel perlu dipersiapakan pengembangan baru yang tidak mengganggu
kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
15
5. Pengembangan sistim pertanian berbasis sawit
Kebijakan ini untuk mengkaji terapan kelayakan teknis dan ekonomis
pengembangan tanaman tumpangsari pangan intensif berkelanjutan sebagai
pengganti fungsi covercrop pada kegiatan peremajaan perkebunan rakyat
sawit, serta integrasi usaha perkebunan sawit dengan ternak.
6. Penyediaan data dan informasi
Kebijakan ini untuk penyediaan data dan informasi tentang sawit yang
mencakup akses untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang
lengkap dan terkini mengenai peluang usaha sawit.
7. Peningkatan pelayanan dalam rangka mendukung penerapan GAP
Kebijakan ini untuk meningkatkan efektifitas aplikasi faktor-faktor produksi
sehingga dapat menekan biaya produksi dan sekaligus meningkatkan
produktivitas tanaman yang berwawasan lingkungan.
8. Pengembangan sistem perencanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Kegiatan perencanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pembangunan
kebun sawit bertujuan untuk mengontrol seluruh tahapan kegiatan
pembangunan kebun sawit, agar setiap kegiatan kultur teknis sawit dapat
dilakukan sesuai dengan standar, sehingga pertumbuhan dan produktivitas
tanaman sawit sesuai dengan potensi lahan dan bahan tanaman yang
digunakan.
9. Pemberdayaan petani dan organisasi petani.
Pemberdayaan petani dan organisasi petani sangat diperlukan untuk
pengembangan kemampuan petani dan organisasi petani agar dapat
memperoleh akses dalam memenuhi kebutuhan (modal, teknologi, agro-input,
benih/bibit) dan pengembangan kemitraan antara petani dan pengusaha dalam
berbagai kegiatan di hulu hingga hilir.
10. Harmonisasi luas areal sawit dan PKS.
Penetapan total luasan kebun kelapa sawit dan jumlah/kapasitas olah TBS
PKS yang ideal secara sosial, ekonomi dan lingkungan di suatu kawasan
industri sawit.
16
11. Peningkatkan Kerjasama antar Produsen Sawit
Bertujuan untuk menggalang kerjasama disegala bidang baik untuk
menghadapi kampanye negatif dari negara kompetitor, stabilitasi harga,
maupun untuk memantapkan peran strategis komoditas sawit.
17
VI. PROGRAM PENGEMBANGAN SAWIT
18
11) Pengembangan layanan penunjang agribisnis sawit, seperti sarana produksi,
alsintan, teknologi dan permodalan.
12) Memfasilitasi investor untuk mempercepat pembangunan perkebunan sawit
rakyat di daerah-daerah pengembangan terutama di Indonesia Timur
(Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian), wilayah perbatasan dan wilayah
khusus lainnya.
13) Memfasilitasi terbangunnya infrastruktur untuk mendukung pengemangan
sawit di daerah tertinggal, wilayah khusus lainnya.
14) Pendidikan, pelatihan dan magang petani maupun petugas.
15) Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan
16) Penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha.
17) Pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis sawit.
19
6.2. Proyeksi Produksi
20
6.4. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Minyak Sawit Indonesia
21