Anda di halaman 1dari 13

c 




   

Buah terolah minimal adalah buah siap saji yaitu buah yang sudah mengalami

pengupasan, pemotongan dan atau pengirisan. Prefensi permintaan masyarakat terhadap buah-

buahan meningkat dalam hal kuantitas, kualitas, rasa, keamanan, serta penampilan seiring

semakin terbatasnya waktu yang tersedia diluar urusan kerja akibat kesibukan dalam mengejar

prestasi dan pendapatan. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi dipasarkannya Buah Terolah

Minimal (BTM) baik di toko swalayan maupun di pedagang eceran.

Masalah dalam pengembangan industri buah terolah minimal adalah buah sangat mudah

rusak (@ @  @


). Kerusakan utama adalah kehilangan air yang dapat mempengaruhi

kualitas, kesegaran dan meningkatnya pertumbuhan mikroba.

Buah setelah dipanen secara metabolit masih aktif (masih melakukan proses respirasi).

Laju respirasi semakin tinggi bila buah mengalami pelukaan. Pada buah utuh, buah masih

ditutupi kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap serangan serangga dan patogen dan

mencegah kehilangan air. Jika epidermis atau periderm dirusak atau dibuang cairan yang kaya

nutrisi akan keluar dari intraselluler sel yang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba. Selain

itu, menurut Artes dkk diacu  Zavola, dkk (2007), selama pengolahan dan penyimpanan

BTM terjadi peningkatan jumlah senyawa yang dapat menyebabkan penyimpangan aroma,

kehilangan kesegaran, meningkatnya laju respirasi, terjadi penurunan umur simpan dan buah

menjadi   

Untuk memperpanjang umur simpan BTM diperlukan penanganan pasca proses yang

tepat dan optimum. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat menekan laju penurunan mutu
BTM dan memperpanjang umur simpan adalah dengan melapisinya dengan suatu film yang

dapat dimakan (
  ) dan menyimpannya pada suhu rendah.


   dapat dibuat dari lemak, protein, turunan sellulosa, pati dan polisakarida

lainnya. 
    yang bersifat hidrofilik berpengaruh terhadap sifat fisiologi buah dan

dapat memperpanjang umur simpan (Garzia dkk, 2000). Namun penggunaannya sering dibatasi

oleh sifat barrier terhadap uap air yang rendah. Kehilangan air dari buah akan menurunkan harga

dan berat dari produk. Teknik coating yang paling tua dan banyak dikenal adalah pelilinan dan

pencelupan buah ke dalam lemak. Tujuannya adalah untuk mengurangi dehidrasi, abrasi dan

memperbaiki penampakan dan menambah daya kilap buah. Penggunaan lilin atau lemak ini

menghasilkan 
    yang mempunyai sifat mekanis yang rendah dan penampakan

produk menjadi berminyak.

Pencampuran bahan yang bersifat hidrofilik (senyawa hidrokoloid) dengan bahan yang

bersifat hidropobik (lemak) dapat memperbaiki sifat film yang dihasilkan (Baldwin dkk, 1997).

Komponen lipid dalam formulasi membentuk barrier yang baik terhadap uap air. Sementara

komponen hidrokoloid berfungsi sebagai matrik pembentuk body yang bersifat selektif terhadap

gas O2 dan CO2.

Pati adalah senyawa hidrokoloid bahan pembentuk gel berharga murah yang dapat

digunakan sebagai alternatif untuk pembuatan film. Maltodekstrin adalah turunan dari pati yang

mempunyai sifat mudah larut dalam air dengan viskositas yang rendah sehingga mempermudah

penggunaannya dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Sifat gel dari maltodekstrin yang jernih

tidak mempengaruhi penampakan buah, selain itu maltodekstrin mudah didapat dan harganya

yang murah.
Maltodekstrin sudah digunakan sebagai bahan penyalut lapis tipis (f     ) pada

tablet. Penelitian Anwar (2002) menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat digunakan sebagai

bahan penyalut lapis tipis pada konsentrasi 10-25%. Berdasarkan keterangan diatas penulis

tertarik menggunakan maltodekstrin sebagai bahan dasar pembuatan 


    untuk

pengawetan buah terolah minimal.

Menurut Garzia dkk (2000), sifat fungsional, organoleptik, nutrisi dan sifat mekanis dari

edibel dapat dimodifikasi dengan penambahan senyawa kimia dalam jumlah sedikit. Gliserol,

sorbitol, atau polietilen glikol sering ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanis dari film

karena dapat meningkatkan fleksibilitas dari film (Donhowe dan Fennema, 1994).

Untuk memperbaiki sifat mekanis edible dilakukan penambahan gliserol. Penambahan

gliserol sebagai plasticizer bertujuan agar film yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih halus.

Gliserol yang ditambahkan akan menyebabkan kecepatan transmisi uap air dan akhirnya

memudahkan difusi air dan gas (Gontard   1993).

Dalam penelitian ini akan dipelajari pembuat edible untuk buah terolah minimal dari

bahan dasar maltodekstrin. Untuk memperbaiki sifat permeabilitas dimodifikasi dengan

penambahan
 . Buah yang akan digunakan sebagai model dalam penelitian ini adalah

buah nenas.

   

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendapatkan formula 


    yang dapat diaplikasikan pada buah terolah

minimal untuk memperpanjang umur simpan.

2. Menentukan karakteristik 


   yang dihasilkan.
3. Mengkaji pengaruh aplikasi 
   terhadap karakteristik fisik dari buah selama

penyimpanan.

   

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengawetkan buah terolah

minimal.

 

1. Maltodekstrin dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan 


  

2. Modifikasi 
    dari maltodekstrin dengan penambahan gliserol dan
 

dapat memperbaiki sifat edibel.

3. Terdapat formulasi yang tepat dari 


    yang dapat memperpanjang umur

simpan buah terolah minimal.

cc c 


 !  !"# $"%
Buah terolah minimal (BTM) adalah buah yang telah mengalami perlakuan pengupasan,

pemotongan bagian yang tidak dapat dimakan, pencucian, sortasi, dan pengirisan menjadi

bagian-bagian yang lebih kecil dengan bentuk yang spesifik sesuai dengan komoditasnya.

Dengan perlakuan ini buah dapat disajikan dalam waktu singkat, sehingga buah terolah minimal

terkesan praktis.

Namun, selain praktis buah terolah minimal mempunyai kelemahan, yaitu buah lebih

cepat rusak bila dibandingkan dengan buah utuh yang masih berkulit, baik selama penanganan

maupun penyimpanan. Pemotongan buah dapat menimbulkan kerusakan pada permukaan sel dan

  pada buah. Hal ini disebabkan oleh hilangnya kulit buah sebagai pelindung alami

dan hilangnya keutuhan sel akibat perlakuan pengupasan dan pemotongan, sehingga terjadi

perubahan fungsi fisiologis sel yang mengakibatkan meningkatnya transpirasi, respirasi dan

aktivitas enzim (Burn, 1995).

Pengolahan minimal (   ) buah-buahan dalam konteks penelitian ini

adalah proses penanganan buah yang meliputi kegiatan pembersihan, sortasi, pemisahan bagian-

bagian yang tidak diinginkan, pengupasan, pemotongan dan pengirisan menjadi bentuk yang

lebih kecil sesuai dengan komoditasnya.

Susut berat merupakan faktor kritis yang juga mempengaruhi kualitas dan umur simpan

buah terolah minimal. Hal ini berhubungan dengan kesegaran produk yang menjadi daya tarik

produk terolah minimal. Reaksi enzimatis menimbulkan perubahan kenampakan buah terolah

minimal yang lebih dikenal dengan pencoklatan.

 Edible Coating


  adalah lapisan tipis yang dapat dikonsumsi yang digunakan pada makanan

dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan, atau penyemprotan untuk memberikan


penahan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta perlindungan

terhadap kerusakan mekanis. Edible coating digunakan untuk membungkus bahan pangan

sehingga aman dan saniter. Edible coating mempunyai potensi besar dalam berbagai macam

penggunaan, dapat melapisi permukaan makanan, memisahkan komponen-komponen yang

berbeda, atau berperan kantong atau pembungkus. Meskipun edible coating tidak dapat

mengganti secara total fungsi dari pengemas sintetik, namun edible coating memiliki potensi

untuk mengurangi bahan pengemas sintetik. Edible coating secara umum dapat didefinisikan

sebagai lapisan tipis yang dibuat dari bahan-bahan yang layak untuk dimakan, yang dilapiskan

pada permukaan bahan pangan, buah, ataupun sayuran.


    dapat terbuat dari hidrokoloid, lemak, dan campuran/ kombinasi

keduanya. 
    golongan hidrokoloid dapat dibuat dari polisakarida (selulosa,

modifikasi selulosa, tapioka, agar, alginat, pektin, dekstrin), protein (kolagen, gelatin, putih

telur), termasuk dalam golongan lipid yaitu 


    yang dibuat dari lilin, gliserol dan

asam lemak.

Salah satu sifat pembentuk edible coating yang baik adalah adanya hidrokoloid, dimana proteksi

bahan coating ini terhadap rembesan gas dan flavor juga cukup baik.

Polisakarida yang digunakan untuk edible coating adalah selulosa, pati dan turunannya,

pektin dan turunannnya, ekstrak rumput laut, eksudat gum, gum fermentasi, dan kitosan.

Polisakarida sangat hidrofilik sehingga kurang baik dalam menahan uap air dan udara. Namun,

jenis pelapis ini dapat menjadi agen yang dapat mengurangi kehilangan kelembaban dari bahan

pangan. Contoh    tersebut dapat diperoleh dari campuran pektin (LMP), kalsium klorida,

   , serta asam organik. Umumnya coating dengan polisakarida (termasuk pektin) tidak

cukup baik untuk menahan migrasi uap air, bahkan transmisi uap airnya bisa mencapai 7±20 kali
dibandingkan coating dengan lilin dan minyak (misalnya dengan parafin).    ini mampu

menghambat gas CO2 dan oksigen sehingga mampu menghambat pematangan pada komoditas

klimaterik yang pada akhirnya mampu memperpanjang umur simpan tanpa menimbulkan kondisi

anaerob.

Senyawa lipid yang banyak digunakan adalah monogliseril, wax alami, dan surfaktan.

Materi yang paling efektif adalah parafin dan beeswax. Fungsi primer film lipid adalah

menghalangi transpor uap air karena sifat polarnya yang rendah. Lapisan lipid bersifat

hidrofobik. Permeabilitas uap air akan menurun ketika konsentrasi fase hidrofobik meningkat.

Lipid-based film sering digunakan pada struktur matrik polimer untuk memberikan kekuatan

mekanik. Film yang dibuat dari lipid akan memiliki sifat tebal tetapi mudah rapuh, mampu

mencegah kehilangan air, mengurangi tergerusnya permukaan selama penanganan bahan serta

mengendalikan pencoklatan pada kulit buah apel. Pada pisang, memberikan kesan mengkilap

pada buah serta menurunkan timbulnya bintik pelayuan yang terkait dengan penurunan aktivitas

enzim polifenol oksidase. Pada buah tomat,    tersebut ternyata juga dapat

mempertahankan kandungan asam askorbat.

Menurut Gennadios dan Weller (1990)   Setiasih (1999), menyatakan bahwa

pelapis edible sebagai lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan yang digunakan pada

makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan agar terjadi

tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air dan memberikan perlindungan terhadap

kerusakan mekanik. Selain itu fungsi lainnya adalah membantu mempertahankan integritas

struktural dan mencegah hilangnya senyawa-senyawa volatil penyebab aroma khas pada bahan

pangan tertentu (Nisperoscarriedo  1990   Indriyani dan Tafzi, 2006).
Menurut Kroctha   (1994)   Santoso  ., (2005), komponen utama

untuk pembuatan 
    dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu protein,

polisakarida dan lemak. Protein yang sering digunakan adalah protein jagung, kolagen, gelatin,

wheat gluten, isolate protein, kasein, albumin telur, dan whey protein. Polisakarida yang sering

digunakan adalah turunan selulosa, turunan pati, alginat, pektin, khitosan, karagenan dan gum.

Sedangkan kelompok lemak umumnya dari lilin alam (


    ff   ), asam lemak

(asam oleat dan asam laurat) dan emulsifier (   dan   ).

Secara teoritis, bahan 


    harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan

kelembaban produk, (2) memiliki permeabilitas selektif terhadap gas-gas tertentu, (3)

mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan

nilai gizi serta (4) menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah

aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan (Wong, Camirand dan Pavlath, 1994  

Indriyani  2006).

Penggunaan 
  pada berbagai macam produk pangan kian terasa manfaatnya.

Ini terbukti telah banyak dicobanya pelapisan dengan bahan 


   pada permukaan buah

dan sayur yang masih segar seperti apel dan tomat ataupun produk olahan seperti lempok durian

yang dapat mempertahankan umur simpan selama 45 hari (Santoso  2005).

   &   !  # Edible Coating

Dekstrin adalah karbohidrat yang dibentuk selama hidrolisis pati menjadi gula oleh

panas, asam, dan enzim. Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis pati berwarna

putih hingga kuning (SII, 1985), Proses ini juga melibatkan alkali dan oksidator. Pati akan

mengalami proses pemutusan rantai oleh enzim atau asam selama pemanasan menjadi molekul-
molekul yang lebih kecil. Pengurangan panjang rantai tersebut akan menyebabkan perubahan

sifat dimana pati yang tidak mudah larut dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut.

Ada beberapa tingkatan dalam reaksi hidrolisis tersebut, yaitu molekul pati mula-mula pecah

menjadi unit rantai glukosa yang lebih pendek (6 ± 10 molekul) yang disebut dekstrin. Dekstrin

kemudian pecah menjadi maltosa yang selanjutnya dipecah lagi menjadi unit terkecil glukosa

(Somaatmadja, 1970).

Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif

rendah. Sifat tersebut akan mempermudah penggunaan dekstrin bila dipakai dalam konsentrasi

yang cukup tinggi (Lineback dan Inlett,1982).

Dekstrin dan pati memiliki rumus umum yang sama, yang mana unit glukosa bersatu

dengan lainnya membentuk rantai (polisakarida) tetapi dekstrin memiliki ukuran lebih kecil dan

kurang kompleks dibandingkan pati. Dekstrin larut dalam air tetapi dapat diendapkan dengan

alcohol. Beberapa dekstrin bereaksi dengan iodine memberikan warna biru dan larut dalam

alcohol 25 % (disebut amilodekstrin) sedang yang lainnya berwarna coklat kemerahan dan larut

dalam alcohol 55 % (disebut eritrodekstrin) dan yang lainnya tidak membentuk warna dengan

iodine serta larut dalam alcohol 70 % (disebut akhrodekstrin) yang juga diidentifikasi sebagai

dekstrosa ekuivalen (DE). DE yang tinggi menunjukkan adanya depolimerisasi pati yang besar

(Anonim, 2008).

Dekstrin putih dihasilkan dengan pemanasan suhu sedang (79-121oC), menggunakan

katalis asam seperti HCl atau asam asetat dengan karakteristik produk berwarna putih hingga

krem. Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan suhu tinggi (149-190oC) menggunakan

katalis asam dengan karakteristik produk berwarna krem hingga kuning kecoklatan. Pemanasan

kering (tanpa air) seperti penyangraian dan pemanggangan akan menyebabkan dekstrin
terpolimerasi membentuk senyawa coklat yang disebut pirodekstrin (Gaman dan Sherington,

1981).

Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung unit Į-D-

glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20.

Sedangkan siklodekstrin adalah senyawa oligosakarida siklis yang sekurang-kurangnya

mengandung 6 unit D-(+)-glukopiranosa berikatan pada ikatan glikosida Į-1,4 dan mempunyai

bentuk  , dengan bagian dalam bersifat hidrofobik dan bagian luar bersifat hidrofilik.

Siklodekstrin dikenal sebagai Į,  dan -siklodekstrin yang masing-masing terdiri dari enam,

tujuh dan delapan glukosa dengan dimensi rongga dan kelarutan dalam air yang berbeda.

   !  #& ! 

 
' 

Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu

molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan nama kimia 1,2,3-

propanatriol dengan berat molekul 92,10 dan massa jenisnya sebesar 1,23 g/cm3, serta titik didihnya

204°C. sifat fisik gliserol yaitu mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, sedangkan

sifat kimia yaitu dapat mengikat air (Winarno, 2002).

Gliserol berfungsi sebagai plastizier yang akan mengurangi kerapatan dan gaya antar molekul

pati-gliserol, sehingga edible yang dihasilkan lebih halus dan fleksibel. Tetapi penambahan gliserol

yang berlebihan pada pembuatan 


f  menyebabkan kelengketan sehingga sukar diangkat dari

cetakan dan lunak. Hal ini disebabkan karena gliserol bersifat mengikat air dan melunakkan

permukaan. Sebaliknya, kekurangan gliserol akan menyebabkan edible kasar dan rapuh (diacu 

Imas Siti Setiasih,1999).


Penggunaan gliserol dalam proses pembuatan 
   dapat meningkatkan aw. Hal

ini disebabkan karena gliserol mengikat air, sehingga aw coating meningkat. Selain itu, gliserol

juga dapat meningkatkan kejernihan coating yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena

penambahan gliserol akan menjernihkan gel yang terbentuk, sehingga derajat kejernihan coating

meningkat.

 ( ) $"  # & !*  & !%

Dalam proses pembentukannya malam disekresikan oleh kelenjar lilin (wax grands) yang

terdapat pada bagian bawah dari perut lebah pekerja. Penggunaan malam tidak hanya terbatas

pada bidang industri lilin saja, tetapi telah meluas pada industri-industri lainnya seperti industri

kosmetika dan industri farmasi. Selain itu malam lebah yang sudah diproses juga dibutuhkan

sebagai bahan untuk batik tradisional-modern.

Fungsi beeswax adalah dapat menahan laju transmisi uap air. Hal ini disebabkan karena

pada waktu pengeringan beeswax membentuk jaringan kristal sehingga dapat berfungsi sebagai

penghalang terhadap uap air. Menurut Deberaufort   (1993), laju transmisi uap air akan

menurun dengan meningkatnya sifat hidropobik. Kamper dan Fennema (1984) juga menyatakan

bahwa lipid merupakan komponen yang paling efektif sebagai barrier terhadap uap air, oleh

karena itu perlu penambahan komponen lipid.

Dalam proses pembuatan 


   , beeswax sangat mempengaruhi karakteristik

edible yang dihasilkan. Beberapa keunggulan


  yaitu dapat menurunkan aw karena


  bersifat hidropobik sehingga mampu menurunkan konsentrasi uap air dalam coating,

dapat meningkatkan ketebalan coating karena beeswax dapat membentuk jaringan kristal
sehingga laju transmisi uap air juga akan menurun. Disamping itu, penggunaan beeswax dalam

pembuatan 
  juga dikarenakan harga bahan murah dan mudah didapat.

Namun, disamping memiliki keunggulan,


  juga mempunyai kelemahan.

Diantaranya dapat menurunkan tingkat kejernihan coating. Hal ini disebabkan karena
 

akan memperkeruh gel yang terbentuk.

ccc "+ cc


# , -  

 Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi pada bulan September -

Oktober 2010.

  ! , 

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah nenas. Nenas yang dipakai pada

penelitian adalah nenas dengan tingkat kematangan 80% yang diperoleh dari petani Desa Tangkit

Kabupaten Muaro Jambi. Untuk pembuatan 


    bahan yang digunakan adalah

maltodekstrin yang diperoleh dari CV. Tristar Chemical Surabaya, aquadest. Sedangkan bahan

kimia yang digunakan adalah gliserol, malam lebah (


 ).

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan analitik, homogenizer, penangas

air/ @ , batang pengaduk, gelas piala, sendok atau spatula, gelas ukur, jangka micrometer,

@  baskom, pisau stainless, f , oven, dan plastik film.

 #& Edible Coating


Pembuatan 
  direncanakan berdasarkan metode Harris (1996) termodifikasi.

Pembuatan dilakukan beberapa tahap yaitu: tahap persiapan bahan, gelatinisasi pati, penambahan

gliserol, penambahan
 , penghilangan gas terlarut, pendinginan dan coating, seperti yang

terlihat pada gambar 1.

Maltodekstrin dilarutkan dalam aquadest dengan konsentrasi sesuai perlakuan untuk

penelitian tahap pertama, ke-II, dan ke-III. Kemudian diaduk, disaring untuk membuang kotoran

dan pati/ dekstrin yang tidak terlarut. Selanjutnya dilakukan pemanasan sambil diaduk untuk

menggelatinisasi pati selama 20 menit pada suhu 60°C sampai pati tergelatinisasi.

Pati yang telah tergelatinisasi ditambahkan gliserol sesuai perlakuan untuk penelitian

tahap II dan tahap III sambil terus diaduk. Setelah gliserol tercampur merata ditambahkan

 untuk penelitian tahap III. Setelah penambahan


 pengadukan dilakukan dengan

homogenizer dengan kecepatan putaran 12000 rpm selama 5 menit (dihentikan setelah campuran

emulsi menjadi stabil dengan ciri-ciri larutan telah homogen).

Setelah emulsi stabil dilakukan penyaringan untuk membuang bahan yang menggumpal

karena tidak ikut teraduk. Agar film yang dihasilkan halus, selanjutnya dilakukan penghilangan

gas dengan cara   . Penghilangan gas dilakukan secara manual dengan cara membuang

buih yang terbentuk pada permukaan larutan. Kemudian dilakukan pendinginan pada suhu 60°C,

setelah itu siap dilakukan analisa/ pelapisan pada buah.

Anda mungkin juga menyukai