Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pergeseran pola konsumsi pada masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan
jumlah dan jenis makanan. Masyarakat dengan kesibukan bekerja atau berkegiatan
yang dilakukan setiap hari meyebabkan mereka tidak memiliki banyak waktu untuk
memasak makanan sendiri. Hal tersebut menyebabkan masyarakat banyak yang
beralih mengkonsumsi makanan cepat saji. Makanan cepat saji menjadi pilihan
karena menurut sebagian masyarakat dengan harga yang cukup terjangkau serta
pengolahan yang praktis mereka sudah dapat menikmati makanan yang lezat
rasanya.
Junk food yang dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan berbagai
gangguan kesehatan, seperti obesitas (kegemukan), diabetes (kencing manis),
hipertensi (tekanan darah tinggi), aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah),
penyakit jantung koroner, usus buntu (appendisitis) stroke, kanker dan lain-lain
(Ariska &Ali, 2019).
Appendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka
kejadian appendisitis tinggi di setiap negara. Resiko perkembangan appendisitis bisa
seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun insiden laki-laki lebih tinggi (Sjamsuhidajat & de jong, 2010).
Keluhan appendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau
periumbilikus yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan dengan
pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal.
Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi
nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul.
Appendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi.
Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Perforasi terjadi
24 jam setelah timbul nyeri. Gejalanya mencakup demam dengan suhu 37,7°C atau
lebih tinggi, dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan Pendahuluan ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep medis tentang “Appendisitis”.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan
“Appendisitis”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Medis Appendisitis
1. Definisi
Apendiktomi adalah peradangan dari apendiks vermiformis, apendisitis akut
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang diakibatkan oleh
fekalit/apendikdolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, neoplasma, atau
striktur karena fibrosis akibat perdangan sebelumnya. Apendiks memiliki
panjang bervariasi sekitar 6 hingga 9 cm. Obstruksi lumen yang terjadi
mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan
distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang
meningkat akan menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilical (Hidayat 2020).
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
menyerang semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun dan merupakan penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer & Bare, 2013).
Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
2. Anatomi dan Fisiologi Appendicitis
a. Anatomi Appendicitis
Appendiks vermiformis atau yang sering disebut sebagai apendiks
adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai otot dan banyak
mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari
3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada 9 permukaan aspek
posteromedial caecum, 2,5 cm dibawah junctura iliocaecal dengan lainnya
bebas. Lumennya melebar di bagian distal dan menyempit di bagian
proksimal (S. H. Sibuea, 2014).

Gambar 1. Anatomi Appendiks


Sumber :(Hidayat 2020)
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di
region iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior
abdomen pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca
anterior superior dan umbilicus yang disebut titik McBurney. Hampir
seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks
(mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan
kontinue disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks.
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di
ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri
apendikular, derivate cabang inferior dari arteri ileocoli yang merupakan
trunkus mesentrik superior. Selain arteri 10 apendikular yang
memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri
asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic
berjalan ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal
(Eylin, 2009 dalam Hidayat 2020).
b. Fisiologi Appendisitis
Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari.
Lendir normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan
ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks berperan pada
patogenesis apendiks. Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh
GALT (Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran pencerna termasuk apendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut
sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Arifin, 2014).

3. Etiologi
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis 11 adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Jong, 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut
(Jong, 2010).
4. Patofisiologi Appendicitis
Appendicitis terjadi karena penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus
tersumbat makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan piningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
appendicitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi
mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di darah kanan bawah. Keadaan ini disebut
appendicitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah, akan
terjadi appendicitis perforasi (Hidayat 2020).
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, Arif, 2000 dalam (Setyaningrum 2013).

5. Klasifikasi Appendisitis
Klasifikasi Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis
akut dan appendisitis kronik (Sjamsuhidajat & de jong, 2010):
a. Appendisitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala appendisitis akut
talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
b. Appendisitis kronik
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden appendisitis kronik
antara 1-5%.
6. Pathway/PKDM

Luka insisi

Gangguan Integritas kulit

Jalan masuk kuman Nyeri

Rx Infeksi
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Menurut Brunner & Suddarth (2000) dalam Hidayat
(2020) penatalaksanaan Appendicitis adalah sebagai berikut :
a. Pembedahan diidikasikan jika terdiagnosa appendicitis; lakukan
apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi resiko perforasi. Metode
insisi abdominal bawah di bawah anestesi umum atau spinal; laparoskopi.
b. Berikan antibiotic dan cairan IV sampai pembedahan dilakukan.
c. Analgetik dapat diberikan setelah diagnose di tegakkan.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Pierce A Grace & Neil R Borley (2006) dalam Hidayat (2020)
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
a. Ultrasonografi untuk massa apendiks
b. Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium
sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda
c. Diagnosis berdasarkan klinis, namun sek darah putih (hampir selalu
leukositosis)
d. CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih
mungkin.
9. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis
kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer et al, 2000 dalam Setyaningrum 2013).
10. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Appendicitis
Asuhan keperawatan adalah suatu proses dalam praktik keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada klien untuk memenuhi kebutuhan objektif klien,
sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya, dan asuhan
keperawatan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu keperawatan. Konsep
asuhan keperawatan terdiri dari :
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan
penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi, observasi,
pemeriksaan fisik.
a. Identitas klien
b. Riwayat keperawatan
c. Keluhan utama
d. Riwayat kesehatan / penyakit sekarang
e. Riwayat kesehatan / penyakit dahulu
f. Riwayat kesehatan / penyakit keluarga
g. Riwayat tumbuh kembang (usia 2 tahun)
h. Pemeriksaan fisik
i. Pemeriksaan tumbuh kembang
j. Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI (2016) Diagnosa keperawatan yang bisa diangkat pada pasien
dengan pre dan post oprasi appendicitis yaitu sebagai berikut :
a. Diagnosa Pre-Oprasi
1) Ansietas berhubungan dengan proses operasi (D0080)
2) Nyeri akut berhubungan dengan spasme dinding apendik (D0077)

b. Diagnosa Post-Operasi
1) Nyeri Akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (D0077)
2) Gangguan integritas jaringan kulit berhubungan dengan luka insisi (D0129)
3) Risiko infeksi berhubungan dengan pintu masuk kuman (D0142)
3. Intervensi Keperawatan
Menurut SLKI (2018) dan SIKI (2018) :
a. Pre- Operasi
1) Ansietas berhubungan dengan proses operasi
Tujuan : Tingkat ansietas berkurang
Kriteria hasil :
 TTV dalam batas normal
 Pasien tampak rileks tidak gelisah & tegang
 Pasien tidak tampak pucat
 Pasien tidak anoreksia

Intervensi : Redukasi Ansietas (I.09314)

Observasi

a) Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu, stressor)


b) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
c) Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)

Terapeutik

a) Ciptakan suasana  terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan


b) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika memungkinkan
c) Pahami situasi yang membuat anxietas
d) Dengarkan dengan penuh perhatian
e) Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
f) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
g) Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan datang

Edukasi

a) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami


b) Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
c) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
d) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
e) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
f) Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
g) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
h) Latih teknik relaksasi
h) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu

2) Nyeri akut berhubungan dengan spasme dinding apendik


Tujuan : Tingkat nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
 TTV dalam batas normal
 Keluhan nyeri berkurang
 Pasien tampak rileks
 Pasien mampu menuntaskan aktivitas
Intervensi : Manajemen Nyeri
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingkan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c) Fasilitas istirahat dan tidur
d) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitorkan nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakn menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Post operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan
Tujuan : Tingkat nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
 TTV dalam batas normal
 Keluhan nyeri berkurang
 Pasien tampak rileks
 Pasien mampu menuntaskan aktivitas
Intervensi : Manajemen Nyeri (I. 08238)
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingkan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c) Fasilitas istirahat dan tidur
d) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitorkan nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakn menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan luka insisi
Tujuan : Integritas kulit dan jaringan dapat teratasi
Kriteria Hasil :
 Elastisitas kulit dipertahankan
 Hidrasi baik
 Perfusi jaringan baik
 Tidak ada kerusakan jaringan dan lapisan kulit
Intervensi : Perawatan integritas kulit (I.11353)
Observasi
a) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan
sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)

Terapeutik

a) Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring


b) Lakukan pemijitan pada area penonjolan tulang, jika perlu
c) Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
d) Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
e) Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit
sensitif
f) Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering

Edukasi

a) Anjurkan menggunakan pelembab


b) Anjurkan minum air yang cukup
c) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
d) Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
e) Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
f) Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada di luar
rumah
g) Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

3) Risiko infeksi berhubungan dengan pintu masuk kuman


Tujuan : Tingkat infeksi berkurang
Kriteria Hasil :
 Menjaga kebersihan tangan
 Menjaga kebersihan badan
 Meningkatnya nafsu makan
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka (mis. Demam, kemerahan
pada luka, nyeri, bengkak)

Intervensi : Pencegahan Infeksi (I.14539)

Observasi

a) Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi


b) Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi
c) Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan Kesehatan

Terapeutik

a) Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral


b) Dokumentasikan informasi vaksinasi
c) Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat

Edukasi

a) Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek samping
b) Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah
c) Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun saat
ini tidak diwajibkan pemerintah
d) Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus
e) Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi Kembali
f) Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan fase ketika perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk
melaksanakan intervensi. Penatalaksanaan nyeri adalah pengurangan nyeri sampai
pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien. Penatalaksaan tersebut terdiri
dari dua tipe dasar tindakan keperawatan yaitu farmakologi dan nonfarmakologi.
Tindakan- tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik,
edukasi, dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Implementasi ini akan mengacu pada SIKI yang telah dibuat pada rencana
keperawatan. 5 Evaluasi keperawatan Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan,
berkelanjutan, dan terarah, ketika pasien dan professional kesehatan menentukan
kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan
keperawatan (Kozier et al., 2010).
5. Evaluasi
Asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif,
objektif, assesment, planning). Adapun komponen SOAP yaitu S (subjektif) adalah
informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien setelah tindakan diberikan, O
(objektif) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan, A (assesment)
adalah membandingkan antara informasi subjektif dan objektif, P (planing) adalah
rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa
(Dermawan, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, D. S. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Post Operatif Apendiktomy
et cause Appendisitis Acute.

Ariska, D. W., & Ali, M. S. (2019). “Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Junk Food Terhadap
Kejadiaan Obesitas Remaja.” Jurnal Kesehatan Surya Mitra Husada, 1–7.

Bare BG., Smeltzer SC. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Hal : 45-47.
Hidayat, Erwin. 2020. Jurnal Ilmiah Kesehatan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Appendicitis Yang Di Rawat Di Rumah Sakit.
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066.

Jong, S. & de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Setyaningrum, Wahyuni Adi. 2013. “Asuhan Keperawatan Pada Sdr. Y Dengan Post
Operasi Appendektomi Hari Ke-1 Di Ruang Dahlia RSUD Banyudono.” Naskah
Publikasi: 16.

Sibuea, S. H. (2014). Perbedaan Antara Jumlah Leukosit darah Pada Klien Appendisitis
Akut dengan Appendisitis Perforasi di RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC


Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), “Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), “Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)”,
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), “Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)”,
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai