Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan tekhnologi, perkembangan di
dunia farmasi pun tak ketinggalan. Semakin   hari semakin banyak jenis dan ragam
penyakit yang muncul. Perkembangan pengobatan pun terus di kembangkan. Berbagai
macam bentuk sediaan obat, baik itu liquid, solid dan semisolid telah dikembangkan oleh
ahli farmasi dan industri. Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang sesuai untuk di
konsumsi oleh masyarakat.
Selain itu, sediaan semisolid digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep,
gel, pasta dan suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan
semisolid ini yaitu praktis, mudah dibawa, mudah dipakai, mudah pada
pengabsorbsiannya. Juga untuk memberikan perlindungan pengobatan terhadap kulit.
Berbagai macam bentuk sediaan semisolid memiliki kekurangan, salah satu diantaranya
yaitu mudah di tumbuhi mikroba. Untuk meminimalisir kekurangan tersebut, para ahli
farmasis harus bisa memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat.
Dengan demikian, farmasis harus mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk
meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan. Dengan cara melakukan, menentukan
formulasi dengan benar dan memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang
digunakan dan dikombinasikan dengan baik dan benar.
Krim merupakan salah satu sediaan setengah padat yang dimaksudkan untuk
pemakaian luar yang pemakaiannya dengan cara dioleskan pada bagian kulit yang sakit.
Selain krim ada sediaan setengah padat lain yang beredar di pasaran yang dimaksudkan
untuk pengobatan seperti pasta, salep dan gel, tetapi dari sediaan-sediaan tersebut krim
paling sering digunakan sebagai basis. Hal ini dikarenakan krim mempunyai beberapa
keuntungan yaitu tidak lengket dan mudah dicuci dengan air.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu agar dapat mengetahui lebih jauh basis,
formulasi, dan cara pembuatan sediaan krim.
BAB II
ISI
A. Definisi Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batas
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
disperse mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.
Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal. (FI V hal.46)
Krim adalah sediaan semi solid kental, umumnya berupa emulsi M/A (krim berair)
atau emulsi A/M (krim berminyak). (The Pharmaceutical Codex 1994, hal.134)
B. Penggolongan Krim
1. Berdasarkan Pemakaian
a. Untuk kosmetik. Contoh: Cold cream.
b. Untuk pengobatan. Contoh: Krim neomisin.
2. Berdasarkan Tipe
a. Tipe M/A atau O/W
Krim M/A (Vanishing krim) yang digunakan melalui kulit akan hilang tanpa
bekas. Pembuatan krim M/A sering menggunakan zat pengemulsi campuran dari
surfaktan (jenis lemak yang ampifil) yang umumnya merupakan rantai panjang
alkohol walaupun untuk beberapa sediaan kosmetik pemekaian asam lemak lebih
popular.
b. Tipe A/M atau W/O
Krim berminyk mengandung zat pengemulsi A/M yang spesifik seperti adeps
lanae, wool alkohol atau ester asam lemak dengan atau garam dari asam lemak
dengan logam bervalensi 2, missal Ca. Krim M/A memerlukan emulgator yang
berbeda-beda. Jika emulgator tidak tepat, dapat terjadi pembalikan fasa.
C. Keuntungan Sediaan Krim
1. Mudah dicuci dan dihilangkan dari kulit dan pakaian.
2. Tidak berminyak.
3. Basis krim mengandung air dalam jumlah banyak sehingga mempercepat pelepasan
obat dan tegangan permukaan kulit akan diturunkan oleh emulgator dan bahan
pembantu lain yang terdapat dalam basis krim sehingga absorbsi lebih cepat.
4. Krim mudah dipakai, memberikan disperse obat yang baik pada permukaan kulit dan
mudah dicuci dengan air.
D. Hal-hal Penting Dalam Merancang Suatu Sediaan Krim
Untuk membuat sediaan krim yang berkhasiat dan aman, diperlukan data-data sebagai
berikut:
1. Monografi zat aktif untuk keperluan pemeriksaan bahan baku yang digunakan. Bahan
baku harus memenuhi persyaratan farmakope agar dapat digunakan untuk sediaan
farmasi.
2. Monografi sediaan krim zat X untuk mengetahui persyaratan yang harus di penuhi
oleh sediaan krim yang meliputi:
a. Identifikasi dan penetapan kadar zat aktif dalam sediaan zat dan cara
penetapannya.
b. Persyaratan-persyaratan yang dipenuhi oleh sediaan krim zat X.
3. Data farmakologi untuk menentukan dosis zat aktif dalam sediaan, indikasi, kontra
indikasi, efek samping, interaksi dan peringatan pasien.
4. Data preformulasi dan bahan baku pembantu untuk menyusun formula sediaan krim.
Data monografi zat aktif, monografi sediaan, data farmakologi dan data preformulasi
disesuaikan dengan zat aktif yang akan digunakan.
Untuk membuat sediaan krim, dibutuhkan beberapa bahan pembantu. Pemilihan bahan
pembantu didasarkan pada kesesuain dan bentuk fisik jenis campuran serbuk yang
dibutuhkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang sediaan krim adalah:
1. Pemilihan zat aktif untuk sediaan krim harus dalam bentuk aktifnya.
2. Pemilihan basis krim harus disesuaikan dengan sifat atau kestabilan zat aktif yang
digunakan.
a. Bila zat aktif larut lemak, maka sebaiknya tipe emulsi A/M dan demikian pula
sebaliknya.
b. pH stabilitas zat aktif harus diperhatikan.
c. OTT zat aktif dengan bahan tambahan maupun basis dalam sediaan harus
diperhatikan.
d. Sifat termolabil zat aktif mempengaruhi proses pencampuran zat aktif ke dalam
basis.
3. Pada pembuatan krim perlu ditambahkan pengawet karena:
a. Krim mengandung banyak air yang merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme.
b. Dapat terjadi kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari bahan baku, alat
maupun selama penggunaan sediaan.
4. Karena krim mengandung minyak, maka perlu ditambahkan antioksidan untuk
mencegah terjadinya ketengikan.
5. Penggunaan emulgator harus disesuaikan dengan jenis krim yang dikehendaki dan
tersatukan dengan zat aktif.
6. Bila sediaan terutama ditujukan untuk penggunaan pada luka terbuka yang besar atau
kulit yang parah, maka krim harus steril. (BP’93 hal.759)
7. Pengetiketan:
a. Pada etiket harus tertera “Obat Luar” dan untuk antibiotika harus tercantum
kadaluarsa. (FI III)
b. Pada etiket tercantum: (BP’88 hal. 650)
 Bila perlu, bahwa krim tersebut steril.
 Tanggal kadaluarsa, dimana krim tidak boleh digunakan lagi.
 Kondisi penyimpanan.
c. Pada label tercantum nama dan konsentrasi antimikroba sebai pengawet yang
ditambahkan.
8. Penyimpanan:
Krim sebaiknya disimpan pada suhu tidak lebih dari 25oC. Kecuali dinyatakan lain
oleh produsen. Krim tidak boleh didinginkan. (BP 2002, hal. 1905)
9. Wadah:
Wadah tertutup rapat, sehingga mencegah penguapan dan kontaminasi sari isinya.
Bahan dan kontruksinya harus tahan terhadap sorpi atau difusi isinya.
E. Sediaan Krim yang Ideal
1. Dapat menjamin stabilitas system dispersi, tetapi juga cukup lunak sehingga mudah
dioleskan.
2. Bebas dari partikel kasar atau partikel yang tidak larut.
3. Bioavalabilitas maksimum.
F. Formulasi
1. Basis Krim
Pemilihan basis krim tergantung sifat obat, OTT, absorbsi: sifat kulit, dan aliran darah.
Pertimbangan utamanya adalah sifat zat berkhasiat yang digunakan.
a. Persyaratan basis (RPS 18th hal.1603) antara lain:
 Non-iritasi
 Mudah dibersihkan
 Tidak tertinggal dikulit.
 Stabil
 Tidak tergantung pada pH.
 Tersatukan dengan berbagai obat.
b. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan basis adalah:
 Kualitas dan kuantitas bahan.
 Cara pencampuran, kecepatan dan tipe pencampurannya.
 Suhu pembuatan.
 Jenis emulgator.
 Dengan konsentrasi tang kecil suhu dapat membentuk emulsi yang stabil dengan
tipe emulsi yang dikehendaki (M/A atau A/M).
c. Basis krim terdiri atas basis emulsi tipe A/M dan tipe M/A (RPS 18th hal.1603)
 Basis emulsi tipe A/M. Contoh: Lanolin, cold cream.
Sifat : Emolin, oklusif, mengandung air, beberapa mengabsorbsi air yang
ditambahkan, dan berminyak.
 Basis emulsi tipe M/A. Contoh: hydrophilic ointment.
Sifat : Mudah dicuci dengan air, tidak berminyak, dapat diencerkan dengan air,
dan tidak oklusif.
Formulasi yang lebih baik adalahkrim yang dapat mendeposit lemak dan senyawa
lembab lain sehingga membantu hidrasi kulit.
Basis emulsi dari 3 komponen, yaitu fasa minyak, pengemulsi, dan fasa air. Fasa minyak
biasa disebut fasa internal, biasanya terbentuk dari petrolatum atau liquid petrolatum dengan
satu atau lebih alkohol berbobot molekul tinggi seperti setil atau stearil alkohol. Stearil
alkohol dan petrolatum membentuk fasa minyak yang mempunyai kegunaan menghaluskan
dan membuat nyaman kulit. Fasa air mengandung pengawet, pengemulsi atau bagian dari
pengemulsi dan humektan. Humektan biasanya berupa gliserin, propilenglikol, atau
polietilenglikol. Fasa air juga bisa mengandung komponen larut air dari sistem emulsi,
bersama dengan zat tambahan lain seperti penstabil, antioksidan, dapar dan lain-lain.
Setelah pemilihan komponen yang tepat, basis emulsi dibuat melalui proses pemanasan
dan pengadukan. Fasa minyak dilelehkan dan dipanaskan dalam kontainer yang dilengkapi
dengan agitator (pengaduk) dengan berbagai kecepatan pengadukan. Fasa air yang
mengandung fasa pengemulsi dimasukan ke dalam kontainer kedua, kemudian dilarutkan
dan dipanaskan sampai suhu 75oC. Fasa air kemudian ditambahkan perlahan-lahan sambil
terus diaduk ke fasa minyak. Penambahan pertama harus dilakukan perlahan-lahan tapi
terus-menerus dan diaduk dangan hati-hati, artinya pengemulsi tidak boleh diaduk dengan
laju pengadukan yang menyebabkan terlalu banyak gelembung udara yang terperangkap.
Aduk terus perlahan-lahan selama penambahan fasa air dan sampai suhu mencapai 30 oC.
Zat aktif biasanya ditambahkan setelah emulsi terbentuk dan telah banyak fasa air yang
ditambahkan. Senyawa obat yang ditambahkan secara berkala sebagai konsentrat terdispersi
dalam air. Demikian pewarna dan dye. (RPS 18th, hal. 1603-1605)
2. Contoh Basis Krim
a. Formula standar untuk krim basis M/A (Van Duin hal.119)
R/ Emulgid 15%
Ol. Sesami 15%
Aquadest ad 100%

R/ Emulgid 15%
Ol. Arach 15%
Aquadest ad 100%

Karena ol. Sesami mudah tengik biasanya diganti dengan paraffin liquidum:
R/ Emulgid 15%
Ol. Sesami 15%
Aquadest ad 100%

R/ Emulgid 15%
Ol. Arach 15%
Aquadest ad 100%
Formula standar di atas digunakan untuk zat-zat yang tahan terhadap basa. Bila zat
aktif tidak tahan basa, maka basis emulgid dinetralkan dengan NaH2PO4 sebanyak 2% dari
jumlah emulgid dan diambil emulgator surfaktan.
Contoh lain:
Krim TEA (Martindale ed.28 Hal.45)
R/ TEA 1,2 g
Asam Stearat 24 g
Gliserol 13,5 g
Aquadest 61,3 g
Van Duin hal.121
R/ Asam Stearat 25%
Adeps Lanae 5%
TEA 1,5%
Gliserin 7%
Aquadest ad 100%
3. Zat Tambahan dalam Krim
a. Pengawet ( pharmaceutical codex” 12nd ed., hal.151, RPS 18th, hal. 1607)
Kriteria pengawet yang ideal adalah sebagai berikut:
 Tidak toksik.
 Lebih mempunyai daya bakterisid dari pada bakteriostatik.
 Efektif pada konsentrasi yang relative rendah untuk spectrum luas.
 Stabil pada kondisi penyimpanan.
 Tidak berbau dan tidak berasa.
 Tidak mempengaruhi/dapat bercampur dengan bahan lain dalam formula dan
bahan pengemas.
 Larut dalam konsentrasi yang digunakan.
 Tidak mahal.
Contoh pengawet dan keterbatasan pemakaiannya :
 Senyawa ammonium kuartener. Senyawa ini dapat di in-aktivasi oleh senyawa ionic,
non-ionik dan protein.
 Senyawa organic merkuri. Senyawa ini cendrung toksik dan mensensitisasi kulit.
Pemakaian dibatasi dalam formulasi untuk digunakan dekat atau dalam mata.
 Formaldehid. Bersifat mudah menguap dan berbau, mengiritasi kulit dan reaktivitas
tinggi.
 Fenol terhalogenasi. Senyawa ini berbau,dapat diinaktivasi oleh non-ionik, anionik
dan protein.
Aktivasi terbatas untuk bakteri Gram Negatif. Contoh: Hexachlorophene-o-
chloro-m-cresol (HPCMC), p-chloro-m-xylenol (PCMX), dichloro-m-xylenol
(DCMX).
 Asam sorbat. Contoh: Kalium sorbat untuk formula dengan pH 6,5 -7, pada
konsentrasi tinggi dapat teroksidasi oleh cahaya matahari dan menyebabkan
penghilangan warna sediaan, terbatas hanya untuk antibakteri.
 Asam benzoate. Contoh: Natrium benzoat, untuk formula dengan pH 5.5 atau kurang,
tidak banyak digunakan lagi karena hanya terbatas untuk antibakteri. (Sumber: RPS
18th ed., hlm. 1607)
 Metilparaben atau propilparaben. Senyawa ini umum digunakan. Menurut Fornas edisi
II., hlm.313 untuk metilparaben sejumlah 0,12%-0,18%, sedangkan untuk propil
paraben sejumlah 0,02%-0,05%. Tetapi penggunaan Tween 80 dan Tween 20 dapat
mengikat metil paraben dan propil paraben sehingga pengawet tidak aktif. Metil
paraben & propilparaben dapat terikat pada Tween 80 sebanyak 57% dan 90%
sehingga agar keduannya tetap efektif sebagai antimikroba, maka konsentrasinya
harus ditingkatkan. (Lachman, Teori & Praktek Ind.Far., 1066).
 Pengawet yang lain adalah klorkresol yang mempunyai aktivitas sebagai antifungi dan
antibakteri. Konsentrasi klorkresol yang dipakai 0,1%.
 Na Benzoat sebagai pengawet antimikroba. Potensinya akan turun dengan adanya
makromolekul, tetapi masih lebih baik dibandingkan turunan paraben. Oleh karena itu,
penggunaan Na Benzoat biasanya dalam Konsentrasi tinggi, bisa mencapai 0,5%.
Penandaan pengawet “Pharmaceutics Codex” 12nd ed., hlm. 155)
 Bila pada krim ditambahkan pengawet maka nama dan konsentrasi pengawet
tersebut harus ditulis/tertera pada label.
b. Pendapar
Pertimbangan penggunaan pendapar adalah untuk menstabilkan zat aktif. Untuk
meningkatkan bioavailabilitas yang maksimum. Dalam memilih pendapar harus
diperhatikan pengaruh pendapar tersebut terhadap stabilitas krim dan zat aktif.
c. Humektan atau pembasah
Humektan digunakan untuk meminimalkan hilangnya air dari sediaan mencegah
kekeringan dan meningkatkan penerimaan terhadap produk dengan meningkatkan
kualitas usapan dan konsentrasi secara umum.
Pemilihan Humektan didasarkan pada sifatnya untuk menahan air dan efeknya
terhadap viskositas dan konsentrasi produk akhir. Bahan-bahan yang biasa
digunakan sebagai humektan pada krim dan gel adalah: gliserol, propilenglikol,
sorbitol, dan makrogol dengan BM rendah. (“Pharmaceutical Codex” 12nd ed., hlm.
150)
Poliol, Gliserin, propilenglikol, sorbitol dan PEG dengan BM yang lebih
rendah digunakan sebagai pelembab (humektan) dalam krim. Bahan-bahan ini
mencegah krim menjadi kering, mencegah pembentukan kerak bila krim dikemas
dalam botol, memperbaiki konsentrasi dan mutu terhapusnya suatu krim jika
dipergunakan pada kulit sehingga memungkinkan krim dapat menyebar tanpa
digosok. Penambahan kandungan pelembab menyebabkan sediaan lebih pekat:
Sorbitol 70% lebih higroskopis dari pada gliserin dan digunakan pada konsentrasi
yang lebih rendah daripada gliserin dan digunakan pada konsentrasi yang lebih
rendah, umumnya 3% sorbitol 70% sebanding dengan 10% gliserin. Propilenglikol
dan PEG kadang-kadang dikombinasi dengan gliserin karenakemampuan menyerap
lembab keduanya lebih rendah daripada gliserin. Selain itu, penambahan
propilenglikol dalam pembuatan krim sebagai humektan diberikan dengan
konsentrasi 15% (Lachman, Teori Praktek Farmasi Industri II, hlm. 1110).
Pembasah diperlukan karena mayoritas obat disuspensi adalah hidrofob.
Surfaktan berguna untuk menurunkan tegangan permukaan dan meningkatkan
kontak antara zat padat dengan cairan. Pembasah ditambahkan ke serbuk sebelum
masuk ke cairan lainnya.
Surfaktan yang berfungsi sebagai wetting agent memiliki pH 7-10 dengan
konsentrasi 0,05-0,5%. Surfaktan kurang dari 0,05% akan memberikan pembasahan
yang belum sempurna dan apabila surfaktan lebih dari 0,5% maka akan terjadi
penggabungan partikel yang sangat halus, distribusi ukuran partikel berubah, dan
pertumbuhan Kristal. HLB tinggi menyebabkan adanya busa.
Surfaktan ionic lebih efektif tapi lebih sensitive terhadap pH dan ekspien lain.
Umumnya surfaktan beras pahit kecuali poloxamers.
Sorbat 80 (Tween 80) paling banyak digunakan karena toksisitas lebih rendah
dari pada yang lain dan kompatibel dengan banyak bahan lain. Tween 80 merupakan
surfaktan nonionik yang kompatibel dengan eksipien kation dan anion, konsentrasi
yang digunakan ≤0,1%.
Nonoxynois dan poloxamers efektif di bawah nilai KMKnya. Kalium klorida
menurunkan KMK, menurunkan tegangan permukaan dan meningkatkan
pembahasan. Alkohol 0,008%, 0,1%, 0,26% digunakan sebagai pembasah, dipilih
tergantung kemampuan membasahi permukaan obat hidrofob. (Disperse system, vol
I,hlm. 285-366;vol II, hlm.99,147,478,504).
Suspensi neocolamin, zinc oxide, magnesia magma dengan metil selulosa
ditambah dengan 0,1 mL polysorbate 80 (Tween 80) untuk 60 mL sediaan suspense,
penampilannya baik walaupun viskositasnya turun. Untuk mengkoreksi busa yang
muncul, ditambah sorbitan monooleat (Span 60) dalam jumlah yang sama (AOC,
hal.306). Na-lauril sulfat: bersifat anionik dan OTT dengan obat kationik (Disperse
System). Biasa digunakan untuk eksternal (AOC, hal.323)
Tipe Surfaktan
HLB Keterangan
Anionik Nonionik
Clocusate
Pahit, busa
Sodium
Na-lauril
Pahit, busa
Sulfat
Polysorlate 65 10,5 Pahit
Octoxynoi 9 12,2 Pahit
Nonoxynol 60 13,2 Pahit
Polysorbate 60 14,9 Pahit
Polysorbate 80 15 Biasa digunakan, pahit

Polysorbate 40 15,6 Toksisitas rendah, pahit

Polysorbate 20 16,7 Pahit

Poloxamer 235 10 Toksisitas rendah, rasa baik


Poloxamer 180 19 Busa, pahit
d. Antioksidan
Faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan antioksidan: warna, bau,
potensi, sifat iritan, toksisitas, stabilitas, kompatibilitas. (“Pharmaceutical Cordex”
12nd ed., hlm. 151)
Antioksidan yang dapat ditambahkan (“Teknologi Likuida dan Semisolida”,
Goeswin A., hlm. 124), antara lain:
 Antioksidan sejati: tokoferol, alkil galat, BHA, BHT.
 Antioksidan sebagai agen pereduksi: garam Na dan K dan asam sulfit.
 Antioksidan sinergis : asam edetat dan asam-asam organic seperti sitrat, maleat,
tartat atau fosfat khelat terhadap sesepora logam.
e. Pengompleks
Pengompleks diperlukan untuk mengomplekskan logam yang ada dalam sediaan
yang dapat mengoksidasi.
4. Zat Pengemulsi / Emulgator
a. Asam Lemak dan Alkohol (Lachman Teori dan Praktek Farmasi Industri II,
hlm.1104)
Asam stearate digunakan dalam krim yang basisnya dapat dicuci dengan air,
sebagai zat pengemulsi untuk memperoleh konsistensi krim tertentu serta untuk
memperoleh efek yang tidak menyilaukan pada kulit. Jika sabun stearat digunakan
sebagai pengemulsi, maka umumnya kalium hidroksida atau trietanolamin
ditambahkan secukupnya agar bereaksi dengan 8-20% asam stearat. Asam lemak
yang tidak bereaksi meningkatkan konsistensi krim. Krim ini bersifat lunak dan
menjadi mengkilap karena adanya pembentukan kristal-kristal asam stearat. Krim
yang dibuat dengan natrium stearat mempunyai konsistensi yang jauh lebih keras.
Dalam jumlah yang cukup, steril alkohol menghasilkan krim keras yang dapat
diperlunak dengan steril alkohol.
b. Zat Pengemulsi
 Penambahan zat-zat polar yang bersifat lemak, seperti setil alkohol cendrung
menstabilkan emulsi M/A sediaan seimi padat. Ion-ion polivalen, seperti Mg, Ca,
dan Al cendrung menstabilkan emulsi A/M dengan membentuk ikatan silang
dengan gugus-gugus polar bahan lemak. Tanah liat, magnesium aluminium silikat.
Juga membantu menstabilkan emulsi A/M jika digunakan dengan pengemulsi yang
cocok, mungkin dengan efek pengentalannya pada fase internal sehingga bahan
tersebut mencegah penggabungan. Magnesium aluminium silikat dapat berpindah
ke daerah antarmuka. Membentuk suatu lapisan tipis yang lebih kuat. Jenis emulsi
sabun dapat menjadi tidak stabil dengan adanya zat-zat yang bereaksi asam.
Pengemulsi kationik atau nonionik dipilih untuk obat-obat yang memerlukan pH
asam. Senyawa ammonium kuartener setil trimetil ammonium klorida dapat
membantu menstabilkan emulsi ini bila dikombinasikan dengan alkohol berlemak
seperti setil alkohol. Zat pengemulsi nonionik digunakan untuk emulsi M/A
ataupun A/M. karena zat ini dapat bercampur dengan sebagian besar bahan-bahan
obat. Pengemulsi nonionik dapat digunakan dengan garam-garam asam kuat atau
dengan elektrolit kuat.
Krim yang dibuat dari emulgator anionik seperti sabun dan emulsifying wax BP
dapat mengalami (Lachman, Teori dan Praktek Farmasi industry II, hlm.1105):
 Pemisahan bila dalamkrim tersebut terdapat emulgator kationik seperti
catrimide emulsifying wax.
 Menurunkan aktivitas antimikroba dari pengawet yang bersifat kation.
 Alkil sulfat dan fosfat seperti Na-lauril sulfat dan Na-setostearil sulfat bila
digunakan sendiri menghasilkan tipe M/A dengan stabilitas yang rendah tetapi
ketika dikombinasi dengan lemak alkohol maka memberikan stabilitas yang baik.
(Aulton, Pharmaceutical Practice,hlm.42).
 Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan anion,
kation atau nonionik. Jenis emulgator yang digunakan ada 3: Surfaktan, emulgator
alam dan serbuk padat halus. Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan
jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe M/A digunakan zat
pengemulsi seperti trietanolaminil stearate (TEA-stearat) dan golongan sorbitan,
polisorbat poliglikol, sabun. Untuk membuat krim tipe A/M digunakan zat
pengemulsi seperti lemak bulu domba, setil, alkohol, stearil alkohol, setaseum dan
emulgida.
Emulgator yang ideal untuk farmaseutika (Pharmacceutical Codex, 12 ed., hlm.84):
a. Stabil.
b. Inert.
c. Bebas dari bahan yang toksik dan iritan.
d. Sebaiknya tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
e. Menghasilkan emulsi yang stabil pada tipe yang diinginkan.
 Zat pengemulsi terdiri dari pengemulsi anionic (misalnya ion lauril sulfat, TEA
stearat), kationik (garam ammonium kuartener) dan pengemulsi nonionik
(polioksietilenlauril alkohol dsb).
Campuran pengemulsi yang banyak digunakan adalah:
1. Emulsifying wax BP
Campuran dari Na-lauril sulfat 10% dengan Cetostearyl Alkohol 90% (Aulton.
Pharmaceutical Practise, Hal 110).
2. Lannex wax
Campuran etil dan steril alkohol yang disulfonasi.
3. Cetrimide emulsifying wax
Campuran dari Cetrimide 10% dengan Cetostearyl alkohol 90% (Aulton,
Pharmaceutical Practise, Hal 110).
4. Cetomacrogol emulsifying wax
Sistem campuran pengemulsi ini selain sebagai pengemulsi juga berfungsi
sebagai pengatur konsistensi. Golongan ampifil biasanya adalah lemak alkohol
tinggi (C14-C18) dan asam lemak seperti palmitat dan steart, dimana keduanya
merupakan zat pengemulsi M/A dengan lemak.
 Faktor pemilihan emulgator (Cooper & Guns, hlm 127-135)
1. Berdasarkan
harga HLB butuh, umumnya kombinasi
2. Sifat ionic
emulgator
a. Emulgator kationik. Efektif pada pH 3-7, digunakan dalam emulsi yang
mengandung bahan obat kationik, konsentrasi elektrolit yang tinggi, keasaman
yang tinggi. Sifat-sifat emulgator kationik daya pengemulsi lemah dan
merupakan eksipien yang dapat mempertinggi konsistensi. Contohnya:
senyawa ammonium kuartener seperti cetrimide, benzalkonium klorida dan
domiphen bromide.
b. Emulgator anionk. Efektif pada pH 7-8 digunakan dalam emulsi yang
mengandung bahan obat anionik. Contohnya: TEA, Na-lauril sulfat.
c. Emulgator nonionik. Efektif pada pH 3-10, tidak dipengaruhi oleh elektrolit.
Yang menggunakan emulgator ini biasanya memberikan efek iritasi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan emulsi yang menggunakan emulgator ionic. Salah
satu kelemahan dari emulgator nonionik adalah kecendrungannya untuk
mengikat atau menginaktivasi pengawet golongan asam karboksilat dan
fenolat. Contohnya: gliseril monostearat, sorbitan monolaurat, sorbitan
monoleat, sorbitan monopalmitat, polioksi 8 stearat dll.
3. Tipe kimia emulgator. Perbedaan tingkat kejauhan komponen lipofilik dari
emulgator mempengaruhi stabilitas emulsi.
4. Tujuan pemakaian, apakah untuk oral atau topikal.
5. Yang harus diperhatikan dari emulgator :
Perbandingan gugus hidrofil dan lipofil. HLB adalah ukuran keseimbangan
keadaan lipofil dan hidrofil yang merupakan karakteristik emulgator golongan
surfaktan.
a. Cara substitusi
4,3x + 150(1-x) = 12,1
-10,7x = -2,9
x = 0,27
Ariacel 80 yang diperlukan = 0,27 X 7 g = 1,89 g
Tween 80 yang diperlukan = (1-0,27) X 7 g = 5,11 g
b. Cara aligasi
Ariacal 80 HLB 4,3 2,9
12,1
Tween 80 HLB 15,0 7,8
10,7
Ariacel 80 yang diperlukan = 2,9/10,7 X 7 g = 1,89 g
Tween 80 yang diperlukan = 7,8/10,7 X 7 g = 5,11 g
(Keterangan system HLB : Pharmaceutical Codex, hal. 86)
Emulgator yang sering digunakan:
a. Golongan Alam: gom arab, tragakan, PGS.
b. Semi Sintetik: TEA-stearat, TEA-lauril sulfat, Na-stearat,
Span/Tween 20,40,60,80,85, macrogol-300, 4000, 1540, setil
alkohol, GMS, emulgid.
c. Zat terbagi halus: veegum, bentonit.
Contoh emulgator (RPP 12nd ed.):
1. M/A
- Emulgator campuran dan surfaktan
- Emulsifying wax.
- Lanetewax.
- Cetrimide emulsifying wax.
- Cetomacrogol.
- Alkali metal & ammonium soaps
- Glikol & gliserol ester mengandung soap
- Macrogol ester
- Macgrogol eter missal cetomacrogol 1000
2. A/M
- Adeps lanae
- Wool alkohol
- Ester asam lemak dengan sorbitan
- Garam dari asam lemak dengan logam bervalensi 2 misal Ca
- Higher fatty alkohol missal sertil alkohol. Stearil alkohol
- Setaseum
- Emulgid
- Soal of di & trivalent metal
- Glikol & gliserol ester missal GMS
Contoh emulgator:
1. Stearil alkohol (Martindale hlm.1385, USP 26 hlm. 2844, Handbook of
Pharmaceutical Excipients 4th ed.hlm. 515. RPS 18 hl. 1312)
 Kelarutan: tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter, aseton, benzene,
kloroform, minyak tumbuhan.
 Kegunaan: Pengemulsi, peningkat kemampuan untuk menahan air, pengental
pada krim.
 Stabilitas: stabil terhadap asam dan basa, Stabil terhadap ketengikan.
 Keamanan: non toksik, non iritan, dapat menyebabkan hipersensitivitas.
2. Asam stearate (Martindale hlm.1632, USP 26 hlm.2844, Handbook of Pharmaceutical
Exipients 4th ed. hlm.515. RPS 18 hlm.1312)
 Kelarutan : tidak dalam air, larut dalam 1:20 alkohol, 1:2 kloroform, 1:3 eter,
1:25 aseton, 1:6 karbon tetraklorida; sangat larut dalam karbon disulfida; larut
dalam amil asetat, benzen, toluene.
 OTT: dengan asam membentuk garam dan ester; dengan tembaga membentuk
garam kompleksl dengan garam-garam logam berat menyebabkan hilangknya
warna dan pengendapan.
3. Trietonolamin (Troalamin,TEA) (Martindale 32 hlm.1639, p 26 hlm.2852, Handbook
of Pharmaceutical Excipients 4th ed.hlm663, RPS 18 hlm.1317)
 Titik leleh : 20-21 ℃
 Pemerian : sangat higroskopis.
 Kelarutan : tidak bercampur dengan air atau alkohol; larut dalam kloroform;
sukar larut dalam eter, benzene.
 OTT : dengan asam membentuk garam dan ester; dengan tembaga membentuk
gram kompleks; dengan garam-garam loga berat menyebabkan hilangnya
warna dan pengendapan.
 Kegunaan : dikombinasi dengan asam lemak bebas membentuk sabun untuk
digunakan sebagai emulgator. pH netral 8. Dalam bentuk sabun tidak
menyebabkan hilangknya warna dan pengendapan.
 Kestabilan : sediaan yang menggunakan sabun TEA cendrung menjadi gelap
selama penyimpanan: untuk menghindari hilangnya warna maka harus
dihindari cahaya dan kontak langsung dengan logam.
 Keasaman : menyebabkan iritasi pada kulit dam membrane mukosa.
4. Setil alkohol (Martindale 32 hlm. 1383, USP 26 hlm. 2716, Handbook of
Pharmaceutical Excipients 4th ed. hlm.130, RPS 18 hlm.132)
 Titik leleh : 45-50 ℃
 Kelarutan : titik larut dalam air; larut baik dalam alkohol, kloroform, aseton,
benzen; tidak bercampur bila dilelehkan bersama lemak, paraffin liquid, dan
paraffin solid.
 Kegunaan : emollient, mempunyai kemampuan mengabsorpsi air pada emulsi
tipe A/M, merupakan emulgator lemah untuk mengemulsi tipe A/M, dapat
meningkatkan konsistensi (viskositas krim) atau dapat digunakan vaselin
album sebanyak 25%, kombinasi dengan emulgator yang larut air akan
menstabilkan emulsi M/A.
 Kestabilan : stabil dengan adanya asam dan basa, cahaya dan udara, dan tidak
tengik.
 Keamanan : non toksik, non instan.
 Penggunaan : sebagai emulgator dan emollient konsentrasinya 2-5%
5. Polysorbetes (Tween) (Handbook of Pharmaceutical Excipients 4th ed.hlm.479, RPS
18 hlm.1314)
 Kelarutan :
- Tween 20 : larut dalam air, alkohol, tidak larut dalam minyak mineral;
- Tween 40 : larut dalam air, alkohol, tidak larut dalam minyak mineral;
- Tween 60 : larut dalam air, alkohol, tidak larut dalam minyak mineral;
- Tween 80 : larut dalam air, alkohol, tidak larut dalam minyak mineral.
 Kegunaan : merupakan surfaktan nonionik, pembasah dan emulgator,
pengsolubilisasi asam dan basa kuat terjadi penyabunan bertahap. Ester asam
oleat dari polisorbat sensitif terhadap oksidasi.
 OTT : terjadi penghilangan warna dan atau pengendapan dengan bahan-bahan
seperti fenol. Tannin, Tween 80 dan Tween 20 dapat mengikat pengawet
seperti metil paraben, propil paraben, benzalkonium klorida, asam dehidrasi
dan asam sorbat sehingga pengawet menjadi tidak aktif.
 Keamanan : praktis tidak mengiritasi, toksiksitas rendah.
6. Sorbitan esters (Span)
 Kelarutan : (RPS 18 hlm.1308)
- Span 20 (Sorbitan monolaurat): larut dalam methanol, alkohol, terdispersi
dalam aquadest.
- Span 80 (Sorbitan monooleat): larut dalam kebanyakkan minyak mineral dan
minyak tumbuhan, sukar larut dalam eter, terdispersi dalam aquadest, tidak
larut dalam aseton.
- Span 40 (Sorbitan monopalmitat): terdispersi dalam aquadest 50 ℃, larut
dalam etil asetat tidak larut dalam aquadest dingin.
- Span 60 (Sorbitan monostearat): larut (di atas titik leleh) dalam minyak
mineral dan minyak tumbuhan, tidak larut dalam air, alkohol dan
propilenglikol. (Handbook of Pharmaceutical Excipients 4thed.hlm.591)
Secara umum larut / terdispersi dalam minyak dan juga dalam sebagian besar
pelarut organik. Dalam air umumnya mereka tidak larut tetapi terdispersi.
 Kestabilan : stabil dalam asam atau basa lemah, dan terbentuk sabun secara
bertahap dengan adanya asam atau basa kuat.
 Kegunaan : i) emulgator: tunggal dalam emulsi A/M dengan konsentrasi 1-
15%; ii) pengsolubilisasi: kombinasi dengan emulgator hidrofobik dalam
emulsi M/A konsentrasinya 1-10%; iii) pembasah dengan konsentrasi 0,1-3%.
 Keamanan : dapat digunakan per oral, tingkat toksisitas rendah, praktis tidak
mengiritasi untuk penggunaan topikal.
7. Na-lauril sulfat (Martindale 32 hlm.1468, Handbook of Pharmaceutical Excipients
4thed. hlm.568, RPS 18 hlm. 1307)
 pH Larutan 0,1% : 7-9,5
 kelarutan: 1:10 dalam air membentuk larutan yang keruh, larut sebagian dalam
alkolol, praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan light petroleum.
 Kestabilan: stabil pada pH7. Hidrolisis terjadi pada larutan dengan pH di
bawah 4 dan kecepatan hidrolisis meningkat pada larutan dengan pH di bawah
2,5.
 OTT: dengan surfaktan kationik dapat menyebabkan hilangknua aktifitas,
walaupun dengan konsentrasi sangat kecil yang dapat menyebabkan
pengendapan; asam-asam dengan pH kurang dari 2,5; garam-garam alkaloid,
garam kalium dan Pb. Tidak OTT dengan asam encer, ion Cad an Mg.
 Kegunaan : Emulgator anionik yang membentuk basis teremulsi sendiri engan
alkohol berlemak, konsentrasinya 0,5-2,5%; deterjen dan pembasah.
 Keamanan : menyebabkan iritasi kulit bila digunakan dengan konsentrasi
tinggi, tetapi tidak menyebabkan hipersensitivitas.
8. Cetomacrogol 1000 (Polyoxyethylene alkyi ethers) (Handbook of Pharmaceutical
Excipients 14th ed.hlm 469)
 Kestabilan : stabil dalam asam dan basa kuat, adanya elektrolit kuat akan
mendorong pemisahan dari cetomacrogol. Dapat terjadi otooksidasi selama
penyimpanan menyebabkan terbentuknya peroksida dan peningkatan
keasaman terus-menerus.
 OTT: dengan sulfonamida, salisilat, senyawa fenolat, iodide, garam merkuri,
tannin, benzokain dan senyawa obay yang teroksidasi dakan terjadi
penghilangan warna dan pengendapan: dapat menginaktivasi pengawet
golongan fenolat dengan terjadinya ikatan hydrogen pada atom oksigen dari
gugus esternya.
 Kegunaan : sebagai surfaktan nonionik digunakan sebagai emulgator untuk
emulsi A/M dan M/A. pengsolubilisasi minyak atsiri, vitamin berbentuk
minyak dan senyawa obat yang kelarutannya dalam air rendah.
9. Emulgid (TA Hairil Sambas: A451 hlm.4)
 Emulgid terdiri dari 30% GMS. 10 asam lemak bebas, 7% sabun.
 OTT : zat-zat yang bereaksi asam, larutan garam-garam dalam air dengan
konsentrasi tinggi, seng oksida, oksida logam berat. Zat-zat yang tidak tahan
terhadap suasana basa. (Catatan: emulgid yang digunakan untuk krim yang
mempunyai komponen bersifat asam harus dinetralkan dahulu dengan
NaH2PO2 sebanyak 2% dari emulgid).
Contoh:
R/ Prometazin HCL 2%
Emulgid 15%
Parafin liq. 55%
m.f.cream 100%

Maka untuk 100 gram krim:


R/ Prometazin HCL 2g
Basis krim 98 g
Emulgid 14,7 g
NaH2PO4 2% x 14,7 g = 0,294 g
Hal ini menyebabkan gugus hidroksi emulgid tidak aktif lagi sehingga perlu
ditambahkan surfaktan hidrofil sebagai emulgator (misalnya Tween 80) dan dihitung
jumlah GMS dan Tween 80 berdasar HLB masing-masing agar memenuhi HLB butuh
paraffin liquidum.
HLB butuh paraffin liquidum:
HLB butuh paraffin liquidum = 10,5
HLB GMS = 3,3
HLB Tween 80 = 15
Atau dengan mengganti emulgator sehingga formula resep tersebut menjadi:
R/ Promazetin HCL 2
Na-lauril sulfat 15
Parafin liq. 15
GMS 30
m.f cream 100
PERHATIAN
Dalam sediaan topikal untuk penggunaan local, zat berkhasiat harus dalam bentuk
aktifnya misalnya Hidrokortison bentuk aktifnya adalah Hidrokortison asetat. Pada label
dicantumkan tanggal kadaluarsa dan kondisi penyimpanan krim tersebut.
(“Pharmaceutical Codex” 12nd ed., hlm.152-155; BP 2001. Hlm.860,.861)

TAMBAHAN :
1. Untuk fase minyak, dapat digunakan minyak nabati. Tetapi, karena minyak nabati
mudah tengik maka digunakan minyak mineral yang stabil terhadap oksidasi,
sehingga tidak diperlukan anti oksidan. Minyak mineral yang dapat digunakan
antara lain paraffin liquidum (paraffin cair), yang dapat memberikan sifat
emollient. Konsentrasi paraffin cair untuk sediaan topikal adalah 0,1-95%.
2. Cetomacrogol 1000 dengan Cetostearyl alkohol merupakan “self emulsifying
wax” dengan perbandingan Cetomacrogol 1000: Cetostearyl alkohol = 1:4.
G. Prosedur Pembuatan
1. RPS 18 hal. 1606-1607
a. Bahan-bahan larut minyak dan lemak dilelehkan dalan suatu wadah hingga suhu
75oC.
b. Air dipanskan bersama komponen-komponen larut air (biasanya termasuk
emulgator) dalam wadah lain dengan suhu diatas 75oC.
c. Keduanya dicampurkan pada suhu yang sama (75oC) dan dicampur sampai suhu
mendekati 35oC.
d. Pengadukan dilakukan hingga krim halus terbentuk.
2. Teknologi Likuida dan Semisolida hal.123
a. Metode pelelehan
Zat pembawa + zat aktif, dilelehkan dan diaduk hingga membentuk fasa homogen.
Perhatikan stabilitas zat yang berkhasiat terhadap suhu pada saat pelelehan.
b. Triturasi
Zat yang tidak larut didistribusikan dengansedikit basis atau dengan salah satu zat
pembantu, tambahkan sisa basis. Dapat juga digunakan pelarut organik untuk
melarutkan terlebih dahulu zat aktif kemudian dicampurkan dengan basis yang
akan digunakan.
H. Permasalahan Hasil Dalam Sediaan
Permaslahan yang terjadi berupa kerusakan krim sebagai akibat dari ketidakstabilan
sediaan. Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan rusaknya sediaan krim:
1. Cracking, yaitu koalesen dari globul yang terdispersi dan pemisahan fase terdispersi
membentuk lapisan yang terpisah. Penyebab cracking adalah :
a. Penambahan emulgator dengan tipe berlawanan
Contoh :
 Sabun-sabun dari logam monovalen (Soaps of monovalen metals) yang
menghasilkan emulsi M/A detambahkan ke dalam soaps of divalenmetals
yang menghasilkan emulsi A/M dan begitu pula sebeliknya.
 Penggunaan emulgator anionik dan kationik yang tidak kompitabel.
b. Penambahan larutan dimana fase terdispersi dan pendispersinya dalam bentuk
terlarut pada sistem satu fasa yang merusak emulsi. Contoh: Penggunaan castor oil,
soft soaps dan air yang larut atau tercampur dalam alkohol sehingga penggunaan
alkohol dalam emulsi ini menyebabkan larutan jernih.
c. Aksi mikroba (jamur dan bakteri) oleh karena itu emulsi sebaiknya menggunakan
pengawet.
2. Creaming, terjadi emulsi yang terkonsentrasi sehingga membentuk krim pada
permukaan emulsi. Creaming merupakan pergerakan keatas droplet yang terdispersi
dalam fase pendispersi. Sedangkan sedimentasi adalah pergerakan partikel-partikel ke
bawah.
Creaming dapat diminimalkan dengan :
a. Mengurangi ukuran partikel terdispersi dan distribusi ukuran globul.
b. Meningkatkan viskositas fase pendispersi untuk mempertahankan pergerakan
globul.
c. Disimpan ditempat sejuk.
3. Flokulasi (Agregasi)
Flokulasi terjadi sebelum, saat, atau setelah creaming. Flokulasi merupakan yang
reversibel dari droplet fase dalam berbentuk cluster 3 dimensi.
Penyebeb flokulasi : Kurang emulgator.
I. Evaluasi Sediaan
1. Evaluasi Fisik
a. Penampilan
Dilihat dengan adanya pemisahan fasa atau pecahnya emulsi, bau tengik, perubahan
warna.
b. Homogenitas
Dengan cara meletakkan sedikit krim diantara 2 kaca objek dan diperhatikan
adanya partikel-partikel kasar atau ketidakhomogenan.
c. Stabilitas Krim
Dilakukan uji percepatan dengan :
 Agitasi atau sentrifugasi (mekanik)
 Manipulasi suhu (termik)
d. Penerapan pH (FI IV hal. 1039)
e. Uji Kebocoran Tube (FI ed IV hal.1086)
2. Evaluasi Kimia
a. Identifikasi (tergantung monografi)
b. Uji penetapan kadar (tergantung monografi)
3. Evalusi Biologi
Pebetapan potensi antibiotik (FI IV hal.891-899)
J. Krim Steril
Apabila sediaan terutama ditujukan untuk penggunaan pada luka terbuka yang besar
atau pada kulit yang terluka parah, maka krim harus steril. Sediaan harus memenuhi uji
sterilitas. (BP’93 hal.756)
1. Hal yang harus diperhatikan untuk sediaan krim steril antara lain adalah:
a. Metode / prosedur pembuatan (Van Duin)
Pembuatan basis krim steril:
 Semua bahan yang larut air ditempatkan dalam pot dan disterilkan pada 115-116 oC
selama 30 menit.
 Semua bahan larut minyak ditempatkan pada pot dan disterilkan pada suhu 150oC
selama 1 jam dalam oven.
 Campuran fasa minyak dan air dalam mortar, gerus hingga terbentuk basis krim
yang homogen.
b. Sterilitas : bila krim berlabel steril maka harus memenuhi uji sterilitas. (BP’93 hal.756,
lihat lampiran XVIA)
c. Penandaan : bila perlu krim tersebut steril.
2. Merencanakan pelaksanaan persoalan :
a. Formula
b. Jumlah krim yang akan dibuat, ditambah 20 gram untuk evaluasi.
c. Penimbangan untuk zat aktif, basis dan zat ditambahkan.
d. Cara kerja, perhatikan untuk krim steril dan non-steril. Lihat cara pembuatan krim.
e. Evaluasi krim
3. Krim steril dibuat dengan cara aseptic dalam Laminar Air Flow (LAF). Sterilisasi akhir
dengan pemanasan tidak dilakukan untuk menghindari rusaknya sediaan.
4. (Pharmaceutical Handbook, 18th ed, London, The pharmaceutical press) ; Beberapa hal
yang harus diperhatikan pada proses aseptic, yaitu antara lain udara, operator, perabotan
perlengkapan, dan peralatan.
5. Uji mutu sediaan akhir krim steril:
Pada uji fisik dan uji kimia sama dengan pengujian pada krim non-steril. Yang berbeda
adalah pada uji biologi. Uji biologi pada krim steril.
a. Uji efektivitas pengawet mikroba (FI IV hal. 854-855)
Pengujian dimaksudkan untuk menunjukan efektivitas pengawet antimikroba yang
ditambahkan pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar atau bahan
pembawa berair. Pengujian dan persyaratan hanya berlaku pada produk di dalam
wadah asli belum dibuka yang didistribusikan oleh produsen.
b. Penetapan potensi antibiotic (FI IV hal.891-899)
c. Uji sterilitas (FI IV hal.855-862)
Prosedur ini digunakan untuk menetapkan apakah bahan farmakope apa yang harus
memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-
masing monografi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. (FI V hal. 46)
Penggolongan krim ada 2 macam, yaitu berdasarkan pemakaian dan berdasarkan
tipe. Berdasarkan pemakaian terbagi menjadi 2 yaitu untuk kosmetik dan untuk
pengobatan. Sedangkan bersarkan tipenya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe M/A dan tipe
A/M.
Formula sediaan krim yaitu: zat berkhasiat, zat pembawa, zat pengemulsi, dan zat
tambahan. Keuntungan dari sediaan krim adalah mudah dicuci dan dihilangkan dari kulit
dan pakaian, tidak berminyak, dan mudah dipakai serta mudah diabsorbsi.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dirjen POM. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Tim Analisis. 2015. Teknologi Sediaan Liquida dan Semisolida. Jakarta: Uhamka Press.
Rowe, dkk. 2003. Handbook of Pharmaceutical Excipients 4th edition. London: The
Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai