Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

RHINOSINUSITIS KRONIK

Oleh:
Sri Wahyuningsih 1102011265
Aminatuz Zahrah 1102014019

Pembimbing:
dr. Erlina Julianti, Sp. THT-KL, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
30 NOVEMBER- 20 DESEMBER 2020
BAB I
STATUS PASIEN

I. STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Ny. I
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cibarusah, Bekasi
Agama : Islam
Status Marital : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar SMA
Tanggal Pemriksaan : 1 Desember 2020
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 1
Desember 2020 pukul 11:00 WIB
Keluhan Utama : Hidung tersumbat kanan dan kiri sejak 3 bulan lalu.
Keluhan Tambahan : Hidung gatal dan berlendir, sedikit bau, bersin-bersin
dan nyeri pada daerah pipi.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien ke Poli THT RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan hidung
tersumbat hilang timbul kanan dan kiri terus menerus setiap hari sejak 3 bulan
lalu dan semakin memberat. Keluhan lain berupa lendir kental dan dirasa pasien
semakin banyak di tenggorokan yang berwarna kekuningan, nyeri pada daerah
pipi bagian depan yang pasien tidak mengingat kapan pertama kali ia rasakan,
semula nyeri tidak dirasakan pasien setiap hari, dan menjadi setiap hari dalam 1
bulan terakhir terutama bila posisi kepala menunduk. Keluhan lain sudah
dirasakan pasien yang hilang timbul dan tidak setiap hari atau hanya pada
kondisi tertentu sejak pasien berusia kurang lebih 10 tahun yaitu bersin-bersin,
hidung

1
terasa gatal dan berair yang semula encer, jernih dan saat ini berwarna kuning,
kental dan sedikit berbau, keluhan tersebut terutama dirasa setiap kali di
tempat- tempat berdebu dan sedang membersihkan lingkungan tempat pasien
tinggal yang diakui pasien ia tidak menggunakan masker setiap kali
membersihkan. Keluhan pasien dalam skala VAS didapatkan 4/10. Keluhan
yang dirasa sejak berusia 10 tahun diakui pasien semakin memberat dan
mengganggu pasien sehingga dilakukan operasi pada pipi kiri pasien bagian
depan di tahun 2018. Namun memberat kembali hingga hidung terasa tersumbat
seperti saat yang dirasa pasien saat ini pada awal tahun 2020 dan dilakukan
operasi di kedua pipi pasien bagian depan di akhir agustus tahun 2020.
Pasien menyangkal adanya gigi berlubang dan infeksi pada gigi pasien,
yang telah ia konfirmasi dengan ke dokter gigi pada 2018 dan sebelum
melakukan operasi pada agustus 2020. Keluhan lain yang juga disangkal yaitu
batuk, mual, muntah, demam, sakit kepala, penurunan indra penciuman, keluar
darah dari hidung, suara sengau, kejang, nyeri di daerah sekitar mata,
penurunan indra penglihatan , pandangan ganda dan gangguan pergerakan
mata.
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat Operasi sinus maksilaris sinistra pada 2018 , dan operasi sinus
maksilaris dextra dan sinistra pada agustus 2020
o Riwayat Alergi debu dan dingin (+) sejak usia 10 tahun
o Riwayat alergi makanan dan obat (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat sakit gigi (-)
o Riwayat lain : Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-) dan penyakit jantung (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa dengan pasien.
Riwayat Pengobatan
o Pasien menggunakan Nasacort yang diresepkan dokter untuk mengurangi
gejala bersin dan hidung berair.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
o Tekanan darah : 110/70
o Nadi : 80 x / menit
o Respirasi : 20x / menit
o Suhu : 36.6 0C
Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-), massa (-/-), pergerakan bola mata dbn,
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,
RCL/RCTL (+/+).
Leher : Trakea ditengah, tidak teraba massa, pembesaran KGB
(-) Thorax :
o Pulmo : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri, suara nafas
vesikuler simetris kanan kiri, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
o Jantung : Bunyi jantung 1 & 2 normal reguler, murmur (-), gallop
(-) Abdomen : Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral Hangat , edema (-)
Neurologis : tidak dilakukan
IV. STATUS LOKALIS
A. Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
Preaurikula  Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

3
Aurikula  Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Retroaurikula  Edema Tidak ada Tidak ada
 Hiperemis Tidak ada Tidak ada
 Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
 Sikatrik Tidak ada Tidak ada
 Fistula Tidak ada Tidak ada
 Fluktuasi Tidak ada Tidak ada
Canalis  Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Akustikus  Kulit Tidak ada Tidak ada
Eksternus  Sekret Tidak ada Tidak ada
 Serumen Tidak ada Tidak ada
 Edema Minimal Minimal
 Jaringan Granulasi Tidak ada Tidak ada
 Massa Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
 Kolestetoma
Membran  Bentuk  Normal  Normal
Timpani  Warna  Putih mutiara  Putih mutiara
 Intak  Intak  Intak
 Cahaya  Terlihat cone  Terlihat cone
of light di of light di arah
arah jam 7
jam 5
Kesan : Normal
Tes Pendengaran :
Pemeriksaan Auris
Dextra Sinistra
Tes Bisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Positif Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Swabach Sama dengan pemeriksa
Kesan : Normal
B. Hidung

Dextra Nasal Sinistra


Bagian Kelainan

4
Keadaan  Bentuk
Luar Normal Normal
 Ukuran
Rhinoskopi a) Mukosa CN a) Hiperemis (+) a) Hiperemis (+)
Anterior b) Sekret b) Ada, mukopurulen b) Ada, mukopurulen
c) Krusta c) Tidak ada c) Tidak ada
d) Concha Inferior d) Hiperemis (+), udem(+) d) Hiperemis (+), udem(+)
e) Meatus media e) Sekret (+), tertutup e) Sekret (+), tertutup
f) Septum f) Septum tidak deviasi f) Septum tidak deviasi
g) Polip/Tumor g) Tidak tampak massa g) Tidak tampak massa
 Pasase Udara

Normal Berkurang.
Rhinoskopi Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Posterior Koana Cukup lapang Cukup lapang
Sekret Secret (+) Secret (+)
Torus tubarius Udem (-), terbuka Udem (-), terbuka
Fossa Rossenmuller Massa (-) Massa (-)
Adenoid Dalam batas Normal Dalam batas Normal
C. Sinus Paranasal
Inspeksi :Edema & hiperemis pada pipi,kelopak mata atas dan bawah (-)
Palpasi :
 Nyeri tekan maksilla dextra & sinistra (+)
 Nyeri tekan pada medial atap orbita : (-)
 Nyeri tekan pada daerah kantus medius (-)
 Transluminasi : Tidak dilakukan
D. Mulut dan Orofaring
Bagian Kelainan Keteramgan
Mulut  Mukosa mulut  Hiperemis (-)
 Lidah  Tidak deviasi
 Palatum Mole  DBN

5
 Gigi Geligi  Berlubang (-), Karies (-)

 Uvula  Simetris, tidak deviasi


 Halitosis  (-)
Tonsil  Mukosa  Hiperemis (-)
 Besar  T1-T1
 Kripta  Tidak melebar
 Detritus  Tidak ada
 Perlengketan  Tidak ada

Faring  Mukosa  Hiperemis (-)


 Granulasi  Tidak terdapat granulasi
 Post Nasal Drip  Ada (+)

Laring  Epiglotis
 Kartilago Aritenoid
 Plica Ariepiglotika Tidak dilakukan.
 Plica Vestibularis
 Plica Vokalis
 Rima Glotis
 Trakea
E. Maxillofacial
Bagian Keterangan
Maxillofacial
 Bentuk  Simetris
 Parese N. Cranialis  Tidak ditemukan kelainan
F. Leher
Bagian Keterangan

6
Leher Bentuknormal,trakea berada di tengah
Bentuk
 Massa(-), pembesaran
Massa KGB (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nasoendoscopy:

Gambar 1-2 Kavum Nasi Dextra Gambar 3-4 Kavum Nasi Sinistra
 Mukosa hiperemis  Mukosa hiperemis
 Sekret (+) di kavum nasi  Sekret (+) di kavum nasi
 Chonca inferior hipertrofi (+)  Chonca inferior hipertrofi (+)
 Chonca media hipertrofi (+)  Chonca media eutrofi (+)
 Meatus media tertutup  Meatus media tertutup
 Polip / massa (-)  Polip / massa (-)
 Nasofaring DBN  Sekret mukopurulent (+) di Nasofaring
VI. RESUME
Nn. I, 18 tahun keluhan hidung tersumbat hilang timbul kanan dan kiri
terus menerus setiap hari sejak 3 bulan lalu dan semakin memberat. Keluhan lain
yaitu sekret mukopurulen di tenggorokan, nyeri pada daerah maksilla dextra dan
sinistra yang muncul lebih dulu dari keluhan hidung tersumbat, dan dirasa pasien
hilang- timbul. Serta terdapat keluhan yang sudah dirasa sejak usia 10 tahun yaitu
bersin- bersin, hidung terasa gatal, keluar secret mukopurulen , sedikit berbau
yang dirasa pasien terutama bila di lingkungan berdebu dan di cuaca dingin
seperti pada pagi

7
dan atau malam hari. Keluhan pasien dalam skala VAS didapatkan 4/10.
Memiliki riwayat operasi sinus maksillaris dextra pada 2018 dan sinus
maksillaris dextra dan sinistra pada akhir agustus 2020. Pasien juga memiliki
riwayat rhinits alergi sejak berusia 10 tahun. Pada pemeriksaan tanda vital dan
status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis, ditemukan :
Hidung
Rhinoskopi anterior cavum nasi dextra dan sinistra:
Mukosa hiperemis (+/+), secret mukopurulen cavum nasi (+/+), edema konka
inferior (+/+), edema konka media (+/-), meatus media tertutup (+/+) dan secret
mukopurulen (-/+), deviasi septum (-).
Rhinoskopi Posterior:
Sekret mucopurulent (+)
Pemeriksaan sinus paranasal
Nyeri tekan pada maxilla dextra dan sinistra (+)
Mulut dan Orofaring
Gigi geligi berlubang (-), karies (-)
Post nasal drip (+)
Pemeriksaan Nasoendoscopy ditemukan :
Mukosa hiperemis (+/+)
Sekret mukopurulen di cavum nasi (+/+)
Chonca inferior hipertrofi (+/+)
Chonca media eutrofi (+/+)
Meatus media : tertutup (+/+), secret (-/+)
Nasofaring : secret mukopurulen (-/+)
VII. DIAGNOSIS BANDING
o Rinosinusitis kronik
o Recurrent Acute Rhinosinusitis (RARS)
VIII. DIAGNOSIS KERJA
o Rinosinusitis Kronik

8
o Rhinitis alergi
IX. USULAN PEMERIKSAAN
 CT Scan Sinus Paranasal
 Kultur Bakteri dan Tes Sensitifitas Antibiotik
X. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
o Menjelaskan kepada pasien mengenai, penyakit, tatalaksana, komplikasi
dan prognosis penyakit.
o Menjelaskan manfaat dan prosedur cuci hidung di rumah.
o Menghindari hal-hal yang dapat mencetuskan gejala bersin berulang,
hidung gatal dan berair dengan hindari paparan debu dan cuaca dingin.
o Pasien dianjurkan tidak makan dan minuman dingin, pedas, dan
berminyak. Menghindari hal-hal yang dapat mencetuskan pilek dan batuk
serta segera berobat jika mengalami batuk dan pilek.
o Anjuran terapi operatif apabila tidak ada perbaikan dengan
medikamentosa.
Medikamentosa
o Irigasi hidung : NaCl 0,9% 2 x sehari (hidung kanan dan kiri)
o Antibiotik : Amoxicillin 3 x 500 mg (selama 10 hari)
o Kortikosteroid Intranasal :
Fluticasone propionate 2 x 2 spray (hidung kanan dan kiri)
o Antihistamin : Cetirizine 2x10 mg
XI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : ad Bonam
Quo Ad Functionam : ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara di tulang tengkorak tertentu. Mereka ada
empat di setiap sisi. Secara klinis, sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok:1
1. Kelompok anterior. Ini termasuk ethmoidal maksila, frontal, dan anterior.
Mereka semua terbuka di mukosa tengah dan ostia mereka terletak di anterior
lamella basal turbinat tengah.
2. Kelompok posterior. Ini termasuk sinus ethmoidalis posterior yang terbuka di
meatus superior dan sinus sphenoidal yang terbuka pada resesi sphenoethmoidal.

Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal2


2.1.1 Sinus Maxillaris1
Ini adalah sinus paranasal terbesar dan menempati rahang atas. Bentuknya
piramidal dengan basis ke arah dinding lateral hidung dan apeks diarahkan ke
lateral ke dalam proses zygomatik maksila dan kadang-kadang di tulang
zygomatik itu sendiri (Gambar 2.2). Rata-rata, sinus maksilaris memiliki
kapasitas 15 mL pada orang dewasa. Tingginya 33 mm, dalam 35 mm, dan lebar
25 mm.

10
Gambar 2.2 Penampang koronal menunjukkan hubungan sinus maksilaris dan ethmoidal dengan orbit
dan rongga hidung. Dasar sinus maksilaris berada sekitar 1 cm di bawah dasar hidung. 1

Sinus Maksilaris terbentuk dari :


• Dinding anterior : dibentuk oleh permukaan wajah rahang atas dan
berhubungan dengan jaringan lunak pipi.
• Dinding posterior: berhubungan dengan fosa infratemporal dan
pterigogalatine.
• Dinding medial : berhubungan dengan saluran tengah dan inferior.
• Dasarnya : dibentuk oleh prosesus alveolar dan palatina pada rahang atas
dan terletak sekitar 1 cm di bawah permukaan dasar hidung. Berhubungan
dengan akar gigi premolar kedua dan gigi molar satu. Bergantung pada usia
orang dan pneumatisasi sinus, akar dari semua molar, terkadang gigi
premolar dan taring berhubungan dekat dengan dasar sinus maksilaris yang
terpisahkan dengan lamina tulang yang tipis atau bahkan tidak ada tulang
sama sekali. Fistula oranatal dapat terjadi akibat pencabutan salah satu gigi
ini. Infeksi gigi juga merupakan penyebab penting dari sinusitis maksilaris.
• Atap sinus maksilaris dibentuk oleh dasar orbit. Ini dilalui oleh saraf dan
pembuluh darah infraorbital.
2.1.2 Sinus Frontalis1
Setiap sinus frontal terletak di antara bagian dalam dan luar tulang frontal,
dibagian atas dan jauh ke dalam bagian margin supraorbital. Bentuk dan

11
ukurannya bervariasi dan sering dilokalisasi oleh incomplete septa. Dimensi
rata- rata adalah: tinggi 32 mm, lebar 24 mm dan kedalaman 16 mm (ingat kode
8, yaitu 8 × 4, 8 × 3 dan 8 × 2).
Dinding anterior berhubungan dengan kulit di atas dahi; dinding inferior,
untuk orbit dan isinya; dan dinding posterior ke meninges dan lobus frontal
otak. Drainase dari sinus frontal melalui ostiumnya menuju reses frontal. Reses
frontal terletak di bagian anterior meatus medial dan dibatasi oleh turbinate
medial (medial), lamina papyracea (lateral), sel agger nasi (anterior) dan bulla
ethmoidalis (posterior). Reses frontal mengalir ke infundibulum atau medial,
tergantung pada perlekatan superior dari proses uncinate.
2.1.3 Sinus Ethmoidalis 1

Merupakan rongga udara berdinding tipis pada massa lateral tulang


ethmoid. Jumlahnya bervariasi dari 3 sampai 18. Mereka menempati ruang
antara sepertiga atas dinding lateral hidung dan dinding medial orbit. Secara
klinis, sel- sel ethmoidal dibagi oleh lamina basal menjadi kelompok ethmoid
anterior yang membuka ke dalam kelompok tengah dan kelompok etmoid
posterior yang membuka ke dalam meatus superior dan menjadi supreme
meatus, jika ada.
Atap ethmoid dibentuk oleh ekstensi medial dari lempeng orbital dari
tulang frontal, yang menunjukkan depresi pada permukaan bawahnya, yang
disebut fovea ethmoidalis. Dinding lateral dibentuk oleh lempengan tulang tipis
yang disebut lamina papyracea.
Saat lahir ethmoids anterior berukuran 5 × 2 × 2 mm dan ethmoids
posterior berukuran 5 × 4 × 2 mm. Mereka mencapai ukuran dewasa pada tahun
ke-12.
2.1.4 Sinus Sphenoidalis1
Sinus kanan dan kiri, jarang simetris dan dipisahkan oleh septum tulang
tipis (Gambar 2.3 dan 2.4). Ostium sinus sphenoid terletak tinggi di dinding
anterior dan membuka ke dalam reses sphenoethmoidal, medial ke turbinat
superior atau tertinggi. Bisa berbentuk seperti celah, oval atau bulat dan dapat
12
dilihat secara endoskopi. Pada orang dewasa, letaknya sekitar 1,5 cm dari batas
atas choana. Jarak rata-rata dari tulang belakang hidung anterior ke ostium
adalah sekitar 7 cm.

Gambar 2.3. Bagian koronal sinus sphenoid. Perhatikan relief yang dibuat oleh berbagai struktur
di rongga sinus sphenoid. Saraf optik membentuk punggungan superolateral 1

Sinus sphenoid dewasa tingginya sekitar 2 cm, dalam 2 cm dan lebar 2


cm, tetapi pneumatisasinya bervariasi. Dalam beberapa kasus, pneumatisasi
dapat meluas ke sayap sphenoid, pterigoid, atau clivus yang lebih besar atau
lebih kecil, yaitu bagian basilar dari tulang oksipital.
Hubungan dari sinus sphenoid seperti pada dinding lateral sphenoid
berhubungan dengan saraf optik dan arteri karotis. Reses opticocarotid dapat
dilihat di antara keduanya. Ini dapat meluas ke lateral ketika proses klinoid
anterior juga pneumatisasi. Saraf rahang atas mungkin berhubungan dengan
bagian bawah dinding lateral sphenoid. Saraf optik dan arteri karotis interna
biasanya ditutupi oleh tulang tipis, tetapi kadang-kadang lapisan tulang ini
dapat pecah, dan kemudian struktur ini terbuka, hanya ditutupi oleh mukosa.
Dasar sinus berhubungan dengan saraf Vidian. Relasi atap dapat dibagi
menjadi dua bagian. Bagian anterior dari atap berhubungan dengan saluran
penciuman, chisia optik dan lobus frontal, sedangkan bagian posterior
berhubungan dengan kelenjar pituitari di sella turcica dan lateral ke sinus

13
kavernosus. Dinding posterior sphenoid membentuk clivus.Hubungan sinus
sphenoid penting dalam operasi dasar tengkorak endoskopi.

Gambar 2.4. Hubungan sinus sphenoid 1


2.1.5 Membran Mucous dari sinus Paranasal

Sinus paranasal dilapisi oleh selaput lendir yang bersambung dengan


rongga hidung melalui ostia sinus. Ini lebih tipis dan lebih sedikit vaskular
dibandingkan dengan rongga hidung. Secara histologis, epitel kolumnar bersilia
dengan sel goblet yang mengeluarkan lendir. Silia lebih menonjol di dekat ostia
sinus dan membantu drainase lendir ke dalam rongga hidung.
2.1.6 Drainase Limfatik

Limfatik sinus maksilaris, ethmoid, frontal, dan sphenoid membentuk


jaringan kapiler di mukosa lapisannya dan berkumpul bersama limfatik rongga
hidung. Kemudian mereka mengalir ke kelenjar getah bening retropharyngeal
lateral dan / atau jugulodi
2.2 Fisiologi Sinus Paranasal1

2.2.1 Ventilasi Sinus


Ventilasi sinus paranasal terjadi melalui ostia mereka. Selama inspirasi,
aliran udara menyebabkan tekanan negatif di hidung. Ini bervariasi dari −6 mm
hingga −200 mm H2O, bergantung pada gaya inspirasi. Selama eksperasi,
tekanan positif dibuat di hidung dan ini membentuk pusaran yang berventilasi
pada sinus. Jadi, ventilasi sinus bersifat paradoks; mereka dikosongkan dari udara
selama inspirasi dan diisi dengan udara selama ekspirasi. Ini hanyalah kebalikan
dari apa

14
yang terjadi di paru-paru yang mengisi selama inspirasi dan kosong selama
ekspirasi.
2.2.2 Pembersihan mukosiliar dari sinus paranasal

a) Sinus Maksilaris
Lendir dari semua dinding sinus maksilaris anterior, medial, posterior,
lateral dan atap diangkut oleh silia ke ostium alam dan kemudian
melaluinya ke meatus tengah (Gambar 2.5 A). Lendir selalu mengalir dari
ostium alami, meskipun ostia aksesori ada di fontanel. Juga diamati bahwa
antrostomi meatal inferior yang dibuat dalam operasi Caldwell-Luc
memberikan ventilasi ke sinus, tetapi tidak membantu pembersihan
mukosiliar yang masih terjadi melalui ostium alami.
b) Sinus Frontal
Bersihan mukosiliar dari sinus frontal adalah unik (lihat Gambar 2.5 B).
Lendir bergerak ke atas di sepanjang septum interfrontal, di sepanjang atap
dinding lateral, sepanjang lantai dan kemudian keluar melalui ostium
alami. Pada dua titik, satu tepat di atas ostium dan satu lagi di reses frontal,
bagian dari lendir mendaur ulang melalui sinus dan ini dapat membawa
infeksi pada ceruk frontal dan sinus mengalir ke dalamnya, menuju sinus
frontal. Sirkulasi berlawanan arah jarum jam di kanan dan searah jarum
jam di sinus frontal kiri
c) Sinus Sphenoid
Bersihan mukosiliar menuju ostiumnya ke dalam reses sphenoethmoidal
d) Sinus Ethmoid
Lendir dari kelompok anterior sinus ethmoid bergabung dengan sinus
frontal dan maksila dan bergerak menuju tuba eustachius, melewati torus
tubarius ke dalam nasofaring. Lendir dari ethmoids posterior mengalir ke
meatus superior atau supreme dan kemudian bergabung dengan lendir dari
sinus sphenoidal di ceruk sphenoethmoidal, melewati atas dan di belakang
torus

15
tubarius ke nasofaring (Gambar 2.5 C). Tercatat bahwa cairan yang
terinfeksi dari kelompok sinus anterior, melewati pilar posterior dan
menyebabkan hipertrofi pita faring lateral. Debit dari kelompok sinus
posterior menyebar ke dinding faring posterior.

Gambar 2.5 Pembersihan mukosiliar dari sinus paranasal. (A) Sinus Maksilaris. (B) Sinus
Frontalis. (C) Kelompok sinus anterior dan posterior.1
2.2.3 Fungsi Sinus Paranasal
Fungsi yang mungkin adalah:
1. Pengkondisian udara yang terinspirasi dengan menyediakan area
permukaan yang luas di mana udara dilembabkan dan dihangatkan.
2. Untuk memberikan resonansi pada suara.
3. Bertindak sebagai isolator termal untuk melindungi benda halus
a) struktur di orbit dan tengkorak dari variasi
b) suhu intranasal.
4. Untuk memberikan permukaan yang diperluas untuk penciuman; mukosa
olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung dan juga meluas ke atas
ethmoid.
5. Untuk memberikan pertahanan imunologi lokal terhadap mikroba.

16
6. Bertindak sebagai penyangga terhadap trauma dan dengan demikian
melindungi otak dari cedera, misalnya sinus frontal, ethmoid dan sphenoid.
2.3 Rhinosinusitis Kronik
2.3.1 Definisi
Menurut PERHATI (2010), Rinosinusitis adalah penyakit peradangan
mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis.3 Sedangkan menurut
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS, 2012),
Rhinosinusitis adalah peradangan yang mengenai hidung dan paranasal. 4 Definisi
rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EPOS, 2020 yaitu
inflamasi pada mukosa nasal dan sinus paranasal dengan dua atau lebih gejala
dimana salah satunya harus dengan hidung tersumbat (nasal blockage /
obstruction / congestion) dan atau nasal discharged (anterior / posterior nasal
drip), disertai nyeri pada wajah, dan penurunan penciuman, dan berlangsung
lebih dari sama dengan 12 minggu tanpa adanya periode penyembuhan. 5
2.3.2 Faktor predisposisi5
Beberapa diantara nya yaitu :
1. Alergi
2. Asma dan penyakit saluran nafas bawah
3. Penyakit pernafasan karena eksaserbasi NSAID
4. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
5. Defisiensi sistem imun
6. Variasi anatomi hidung
7. Mikrobiologi
8. Cilliary Impairment
9. Merokok
10. Polusi
11. Obstruksi Sleep Apnea (OSA)
12. Metabolik sindrom dan obesitas
13. Alkohol.

17
2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi Rinosinusitis menurut the American Academy of Otolaryngic Allergy


(AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS):
1. Rinosinusitis akut (RSA)
Bila gejala Rinosinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul
mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu.
Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala Rinosinusitis Akut viral
yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari
menunjukkan adanya infeksi kuman (Rinosinusitis Akut bakterial).
2. Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis).
Gejala dan tanda sesuai dengan Rinosinusitis Akut,tetapi memburuk
setelah 5 hari atau menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk
Rinosinusitis Akut berulang identik dengan kriteria untuk Rinosinusitis Akut.
Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode
berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara masing-masing
episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi antibiotik.
3. Rinosinusitis sub akut (RSSA)
Rinosinusitis dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu.
Kondisi ini merupakan kelanjutan perkembangan Rinosinusitis Akut yang
tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari Rinosinusitis
Akut. Penderita Rinosinusitis Sub Akut mungkin sebelumnya sudah
mendapat terapi Rinosinusitis Akut tetapi mengalami kegagalan atau
terapinya tidak adekuat.
4. Rinosinusitis kronis (RSK)
Bila gejala Rinosinusitis berlangsung lebih dari 12 minggu.
Rinosinusitis kronis diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
 Rinosinusitis kronis dengan polip nasal, ciri :
 Berkaitan dengan penyakit rhinitis alergi atau asma

18
 Gejala khas yaitu hiposmia
 Rinosinusitis kronis tanpa polip nasal, ciri:
 Tidak berkaitan dengan penyakit rhinitis alergi atau asma
 Gejala khas yaitu nyeri wajah
2.3.4 Patogenesis

Meskipun prevalensi dan dampak kesehatan yang signifikan, etiologi


rinosinusitis kronis (CRS) masih belum sepenuhnya dipahami. Tidak seperti
sinusitis bakterial akut, yang patofisiologinya didefinisikan dengan baik, CRS
adalah kondisi heterogen yang ditandai secara luas oleh peradangan mukosa
sinonasal yang persisten. Dipercaya bahwa penyebab inflamasi pada CRS beragam
dan multifaktorial, berkaitan dengan pemicu host dan lingkungan yang tumpang
tindih. Gangguan fungsi epitel normal setelah peradangan yang berasal dari
manapun dapat menyebabkan mukostasis dan kolonisasi mikroba. Infeksi,
merangsang peradangan lebih lanjut dan memperburuk proses penyakit kronis.
Kemungkinan ada beberapa jalur patofisiologis yang dapat menyebabkan titik
akhir umum peradangan mukosa sinonasal, seperti pada gambar berikut: 13

19
HIPOTESIS JAMUR CRS7
Alternaria dan kemungkinan jamur lain memiliki kemungkinan menjalankan
peran ganda: pertama, protein jamur yang dihirup dan diproses disajikan ke sel T
yang peka dan memicu respons sitokin yang mengaktifkan dan menarik eosinofil
ke

20
permukaan mukosa. Kedua, eosinofil ini kemudian menargetkan jamur sebagai
respons pertahanan tubuh yang menyimpang, dengan degranulasi dan kerusakan
jaringan kolateral yang memediasi gejala CRS. Namun, meskipun minat awal yang
luas dalam teori ini melibatkan Alternaria sebagai agen etiologi utama di CRS,
hipotesis jamur seperti yang awalnya diusulkan sebagian besar telah ditinggalkan
karena berbagai alasan. Pertama, eosinofil umumnya tidak dianggap jenis sel
penting dalam pertahanan melawan jamur, dan video eosinofil yang menyerang
jamur dirasa mencerminkan "aktivasi" non-spesifik eosinofil yang bertentangan
dengan spesifisitas imunologi untuk jamur in vivo. Kedua, dua upaya terpisah
untuk mereplikasi sensitisasi PBMC ke antigen jamur pada pasien CRS gagal,
menunjukkan bahwa temuan asli jelas tidak universal. Ketiga dan yang paling
penting, uji coba double-blind, terkontrol plasebo yang melibatkan agen antijamur
gagal menunjukkan bukti kemanjuran dalam memodifikasi proses penyakit CRS.
Saat ini, sebagian besar peneliti menduga bahwa jamur kemungkinan memainkan
peran penting dalam subpopulasi pasien CRS.
HIPOTESIS CRS BERBASIS BAKTERI7
Selain jamur, bakteri juga menempati saluran sinonasal baik pasien CRS
maupun sehat. Data historis, bagaimanapun, menggunakan sebagian besar teknik
berbasis kultur, telah lama menunjukkan pentingnya bakteri, yang paling menonjol
adalah Staphylococcus aureus, dalam CRS. Selain kolonisasi permukaan,
Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag pasien CRS.
Dalam keadaan normal, bakteri, termasuk Staphylococcus, menimbulkan respons
pertahanan host inflamasi Th17, dan salah satu masalah paling bermasalah yang
mengacaukan hipotesis bakteri untuk etiologi CRS adalah kesulitan dalam
menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien yang paling bandel.
Namun demikian, tiga hipotesis berbasis bakteri telah diajukan sebagai berikut: (1)
hipotesis superantigen, (2) hipotesis biofilm, dan (3) hipotesis mikrobioma.

21
Hipotesis Superantigen
Hipotesis superantigen mengusulkan bahwa eksotoksin superantigenik
(SAGs) yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus memperkuat respons
eosinofilik lokal melalui berbagai mekanisme, sehingga mendorong pembentukan
polip. Racun ini bekerja dengan memicu respon imunologi yang besar dan tidak
terkontrol yang mengaktifkan sebanyak 30% dari populasi sel T pada individu
yang terkena, dibandingkan dengan 0,001% yang diaktifkan dalam respon imun
spesifik antigen yang normal. Mereka mengikat reseptor sel T di luar alur
pengikatan antigen, serta kompleks histokompatibilitas antigen leukosit manusia
(HLA) kelas II dari sel penyaji antigen. Dengan mekanisme ini, superantigen
melewati langkah normal pengenalan antigen dan mendorong proliferasi limfosit T
poliklonal dan pelepasan sitokin masif, yang dalam kasus polip hidung tipikal,
memiliki komponen Th2 yang kuat. Banyak jenis sel lain yang terpengaruh,
termasuk sel B, menghasilkan respons IgE poliklonal lokal di polip hidung.
Lebih lanjut, bagian yang signifikan dari kontrol, pasien CRSsNP, dan
pasien CF dikolonisasi dengan Staphylococcus, tetapi tidak ada jaringan dari
kelompok ini yang menunjukkan efek SAG. Akibatnya, tidak jelas apakah SAGs
merupakan penyebabnya sendiri, tetapi mungkin hanya menimbulkan respons
inflamasi yang sudah ada di jaringan. Pada polip eosinofilik, efek SAG oleh
karena itu akan sangat meningkatkan intensitas respon Th2 yang telah ditetapkan,
menciptakan fenotipe yang lebih parah secara klinis. Akibatnya, Staphylococcus
superantigens umumnya dilihat sebagai pengubah penyakit untuk perkembangan
poliposis hidung, daripada agen etiologi diskrit.
Hipotesis Biofilm7
Biofilm bakteri telah terlibat sebagai fitur penting dari bakteri sinonasal
endogen di CRSsNP dan CRSwNP dengan tingkat deteksi 42-75% pada pasien
yang menjalani operasi sinus. Bakteri di dalam biofilm ini, bagaimanapun,
mempertahankan kapasitas untuk melepaskan bakteri planktonik dan mungkin
eksotoksin, yang mungkin bertanggung jawab untuk merangsang respon inflamasi

22
pada CRS. Beberapa spesies bakteri, termasuk S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, Streptoccoccus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella
catarrhalis, diketahui menghasilkan biofilm, tetapi biofilm S. aureus paling sering
dikaitkan dengan CRS bandel. Selain itu, tidak seperti bakteri lain, S. aureus
memiliki kemampuan teoretis melalui pelepasan SAG atau mungkin cara lain
untuk meningkatkan respons imun adaptif Th2 yang kuat yang terlihat pada
kebanyakan kasus CRS parah.
HIPOTESIS TERKAIT HOST CRS7
Sistem kekebalan mukosa memiliki kemampuan yang melekat untuk
melindungi inang dari cedera yang disebabkan oleh agen lingkungan, dan
kerusakan pada sistem ini secara teoritis dapat menjelaskan karakteristik inflamasi
kronis CRS. Dalam keadaan normal, beberapa komponen terintegrasi bertindak
secara terkoordinasi untuk memberikan pertahanan kekebalan yang efektif
terhadap bahan asing, termasuk agen mikroba, pada antarmuka mukosa. Kontak
pertama dengan dunia luar adalah penghalang fisik atau mekanis, yang terdiri dari
lendir saluran napas, eskalator mukosiliar, dan kompleks sambungan yang erat
antara sel-sel epitel, semuanya bertindak untuk membatasi rangsangan sistem
kekebalan oleh bahan asing. Yang mendukung penghalang mekanis ini adalah
sistem kekebalan bawaan, yang sebagian terdiri dari antimikroba endogen yang
disekresikan baik secara konstitutif maupun secara induktif oleh berbagai jenis sel
inang ke dalam mukus hidung. Namun demikian, jika stimulus patogen asing
cukup kuat, respons imun adaptif dengan proliferasi T dan B yang sangat spesifik
akan dimulai. Secara umum, sifat, kekuatan, dan durasi respon imun akan
disesuaikan dengan stimulus eksogen. Pada CRS, respon inflamasi menjadi kronis,
menunjukkan rangsangan yang berkelanjutan dari sistem kekebalan atau respon
yang berlebihan dan tidak tepat. Sejauh ini, dua hipotesis terkait host yang luas
telah dikemukakan: hipotesis eicosanoid dan hipotesis penghalang imun.

23
HIPOTESIS IMMUNE BARRIER4,7
Hipotesis immune barrier mengusulkan bahwa kerusakan pada penghalang
fisik dan respon imun bawaan mempengaruhi perkembangan CRS ketika ditantang
oleh agen mikroba yang relatif umum. Sistem kekebalan bawaan berfungsi sebagai
tingkat pertahanan berikutnya setelah penghalang mekanis. Salah satu komponen
utama terdiri dari antimikroba bawaan yang disekresikan oleh sel epitel, kelenjar,
dan sel efektor bawaan.
Distribusi protein ini bervariasi pada subsitus anatomi yang berbeda, dan
terdapat variasi regional yang cukup besar dalam ekspresi di dalam hidung dan
sinus. Diduga, variasi regional dalam molekul pertahanan inang ini merupakan
cerminan dari perbedaan regional pada mikrobioma hidung atau sebaliknya.
Dalam CRS, ekspresi beberapa antimikroba meningkat, dan ini mungkin
merupakan respon yang tepat untuk stimulasi eksogen. Secara keseluruhan, adanya
dugaan defek imun pada CRS mendukung hipotesis bahwa kelainan primer pada
molekul pertahanan tubuh berkontribusi pada mikrobioma abnormal, peningkatan
akses patogen, dan dorongan respon adaptif kompensasi yang berkelanjutan.
Hipotesis immune barrier adalah hipotesis terluas dan paling inklusif untuk
etiologi dan patogenesis CRS yang sejauh ini diajukan, karena hipotesis ini dapat
menjelaskan, daripada bertentangan dengan, data paling menonjol yang
mendukung teori-teori lain. Masih belum jelas apakah cacat penghalang
disebabkan oleh variasi genetik primer pada inang, perubahan epigenetik yang
disebabkan oleh gangguan lingkungan, atau keduanya. Perlu diingat,
bagaimanapun, bahwa studi epidemiologi menunjukkan, untuk sebagian besar,
bahwa pasien CRS menunjukkan peradangan kronis di hidung, sinus, dan
seringkali saluran pernapasan bagian bawah. Hal ini membuat lebih mungkin
bahwa gen inang yang memediasi patogenesis CRS terutama akan menjadi gen
yang mengatur imunobiologi mukosa pernapasan, sebagai lawan dari respon imun
sistemik.

24
2.3.5 Diagnosis

Anamnesis

Rinosinusitis kronis didiagnosis secara klinis dengan pemeriksaan fisik dan


riwayat sinonasal, termasuk penyakit penyerta dan predisposisi terkait rinosinusitis
kronis dan riwayat keluarga yang bersangkutan. American Academy of
Otolaryngology – Bedah Kepala dan Leher mendefinisikan rinosinusitis kronis
seperti pada tabel berikut: 8

Menurut EPOS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar


rinosinusitis kronik adalah:
 Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya.
 Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip.
 Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.

25
 Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan


untuk menentukan berat ringannya keluhan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada rhinosinusitis kronik yaitu:


 Rinoskopi anterior
Rhinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan
kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya)9 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.7
 Rinoskopi posterior
Rinoskopi posteror bertujuan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.9
Gejala unilateral atau temuan pemeriksaan fisik, termasuk drainase hidung,
massa hidung polipoid, atau nyeri wajah, harus segera dipertimbangkan
etiologi selain rinosinusitis kronis, seperti neoplasma. Rujukan awal ke
dokter spesialis THT untuk evaluasi endoskopi bermanfaat untuk pasien ini.
Penglihatan ganda dan penurunan penglihatan, periorbitaledema / selulitis,
ophthalmoplegia, dan meningismus menunjukkan komplikasi orbital atau
intrakranial sinusitis dan harus segera dilakukan pemeriksaan, evaluasi, dan
pengobatan.

Pemeriksaan Penunjang

 Transiluminasi

26
Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.9
 Endoskopi nasal
o Tujuan :
Menilai kondisi rongga hidung seperti adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.10
o Indikasi :
Evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.7 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas
sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.9
 Radiologi
Radiologi merupakan pemeriksaan tambahan yang umum
dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-
scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan
anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon.9,10 Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.9,10

Gambar 1. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik


akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.9

27
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:9,10
 Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
 Tes alergi
 Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar
mikroskop elektron dan nitrit oksida
 Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
 Tes fungsi olfaktori: threshold testing
 Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
2.3.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk obstruksi hidung sangat luas (Tabel 2.1). Penyebab
obstruksi hidung dibedakan menjadi gangguan mukosa: rinitis (alergi dan non
alergi), rinosinusitis (akut dan kronis, dengan banyak subtipe), dan gangguan
struktural seperti deviasi septum hidung atau mukosil. Hidung tersumbat juga bisa
disebabkan oleh efek obat-obatan. 11
Tabel 2.1 Diagnosis banding obstruksi nasal11

28
CRS dapat dikaitkan dengan sejumlah komplikasi. Temuan pemeriksaan fisik
yang menunjukkan kemungkinan komplikasi termasuk sakit kepala berat,
pembengkakan wajah, edema periorbital yang signifikan, perubahan visual, proptosis,
gerakan ekstraokuler abnormal, ophthalmoplegia, dan tanda meningeal. Dalam kasus
ini, evaluasi diindikasikan untuk mencegah gangguan penglihatan atau perkembangan
infeksius menjadi meningitis, trombosis sinus kavernosa, atau abses otak. CRS
dengan massa pada orbital yang luas memiliki beberapa diagnosis banding (Tabel
2.2):
Tabel 2.3 Diagnosis banding rinosinusitis kronis dengan massa orbital 11

Tabel 2.3 Diagnosis banding CRS Rhinitis Alergi dan Rhinitis Non- Alergi 5

2.3.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pada pasien dengan rinosinusitis kronis adalah untuk


mengelola gejala dan meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup.
Perawatan diarahkan untuk meningkatkan pembersihan mukosiliar, meningkatkan

29
drainase / aliran keluar sinus, memberantas infeksi dan peradangan lokal, dan
meningkatkan akses untuk obat topikal. Perawatan terdiri dari manajemen medis,
dan operasi sinus endoskopi jika manajemen medis yang tepat tidak berhasil.
untuk rinosinusitis kronis. Infeksi odontogenik juga dapat berkontribusi untuk
rinosinusitis kronis. Oleh karena itu, pasien yang tidak menanggapi terapi medis
lini pertama harus dirujuk ke ahli THT, dan pasien dengan riwayat (atau sugestif)
komorbiditas ini juga dapat mengambil manfaat dari rujukan ke ahli alergi atau
ahli paru. 8

Gambar 2.6 Rekomendasi pengobatan untuk orang dewasa dengan rinosinusitis kronis.5

30
IRIGASI SALINE NASAL

Meskipun irigasi saline isotonik dan hipertonik terbukti sama efektifnya dalam uji
coba terkontrol secara acak (RCT), setidaknya terdapat penelitian menunjukkan
bahwa irigasi saline hipertonik menyebabkan rasa terbakar yang lebih besar atau
ketidaknyamanan pasien. Saat ini, irigasi saline isotonik direkomendasikan sebagai
komponen terapi medis standar untuk rinosinusitis kronis. irigasi saline idealnya
digunakan dalam kombinasi dengan semprotan kortikosteroid intranasal,
berdasarkan penelitian kecil dan profil efek samping saline yang rendah, serta
pendapat ahli tentang mekanisme kerja komplementer dominan untuk saline dan
kortikosteoid (dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar vs. efek anti-inflamasi,
masing-masing). 8
KORTIKOSTEROID INTRANASAL8
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa semprotan kortikosteroid intra nasal
memperbaiki gejala sinonasal dan temuan endoskopi pada rinosinusitis kronis.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa semprotan apa pun lebih unggul atau
bahwa peningkatan dosis memberikan efektivitas yang lebih besar. Semprotan
kortikosteroid intranasal harus digunakan dengan menekuk kepala ke depan untuk
melihat ke lantai dan menyemprotkannya secara lateral (menjauhi septum hidung).
Pasien tidak boleh mengendus terlalu keras setelah penyemprotan. Semprotan
kortikosteroid intranasal tetap menjadi terapi lini pertama dalam pengelolaan
medis rinosinusitis kronis, biasanya dalam hubungannya dengan irigasi saline
nasal isotonic.
ANTIBIOTIK 8
Terapi antibiotik untuk rinosinusitis kronis dapat bersifat jangka pendek (sampai
tiga minggu) dan jangka panjang. Pada pasien dengan rhinosinusitis kronis dan
bukti adanya infeksi (misalnya, drainase mukopurulen pada endoskopi), pendapat
ahli menyarankan terapi antibiotik jangka pendek yang dipandu oleh kultur cairan
endoskopi yang diperoleh melalui endoskopi hidung.

31
KORTIKOSTEROID ORAL8
Beberapa RCT menunjukkan bahwa kursus singkat (hingga tiga minggu)
kortikosteroid oral, sendiri atau sebagai tambahan untuk terapi perawatan standar,
memperbaiki gejala sinonasal dan temuan endoskopi untuk pasien dengan polip.
MANAJEMEN BEDAH 8
Operasi sinus endoskopi adalah pengobatan rinosinusitis kronis yang efektif jika
terapi medis yang tepat tidak efektif. Tujuan dari operasi sinus endoskopi dalam
pengobatan rinosinusitis kronis adalah untuk memberikan ventilasi dan drainase
dari sinus paranasal dan untuk memperbesar sinus paranasal untuk menciptakan
akses yang lebih besar untuk pengobatan topikal.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun operasi sinus endoskopi memperbaiki


gejala dan kualitas hidup, namun tidak menyembuhkan kondisi tersebut, dan
pasien akan memerlukan terapi medis pasca operasi untuk mempertahankan
perbaikan ini.

2.3.8 Komplikasi 12

Infeksi sinus dapat menyebar melalui jalur berikut:


A. Melalui dinding tulang sinus
 Osteomielitis pada tulang kompak
 Melalui garis fraktur dari sinus yang terinfeksi setelah trauma
 Melalui dehiscences tulang alami (misalnya saraf infraorbital dari sinus
maksilaris ke orbit)
B. Penyebaran vena
 Trombosis vena septik
 Trombosis pada vena-vena kecil di mukosa sinus
 Septikemia dan pyaemia
C. Penyebaran limfatik melalui limfatik perivaskuler melalui foramina vaskuler
D. Penyebaran melalui ruang perineural (saraf penciuman ke ruang subaraknoid)

32
E. Menyebar melalui foramina arteri ethmoidalis dari sinus ethmoidalis ke orbit
dan otakKomplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.12

Klasifikasi : 12
1 Orbital (klasifikasi Chandler) [Tabel 2.4]
2 Intrakranial (komplikasi meningitis, ekstradural dan intradural)
Semua sinus paranasal berbagi batas dengan orbit. Oleh karena itu, mata sering
terkena sinusitis yang rumit dan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap penyakit sinus
harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami selulitis orbital akut,
kemosis atau proptosis. Chandler mengklasifikasikan komplikasi orbital (Chandler I-
V) menurut perkembangan infeksi :

33
Sedangkan bila terjadi infeksi dari sinus frontal, ethmoid dan sphenoid dapat
menyebabkan meningitis dan komplikasi intrakranial lainnya, seperti pada tabel
berikut: 12

34
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Nn. I 18 Tahun, datang ke Poli dengan keluhan hidung tersumbat kanan dan kiri
yang hilang timbul sejak 3 bulan lalu. Keluhan disertai lendir kental di tenggorokan
pasien berwarna kekuningan, keluhan lain juga berupa bersin-bersin, hidung berair
yang kental mulanya jernih berwarna putih lalu saat ini berwarna kuning dan sedikit
berbau, terdapat juga nyeri pada daerah pipi dan sakit kepala, yang mana semakin
memberat dalam 1 bulan terakhir dengan skala VAS 4/10. Pasien mengatakan bahwa
keluhannya muncul setiap hari terutama di pagi dan atau malam hari, kondisi
berdebu, saat pasien membersihkan lingkungan asrama dengan tidak menggunakan
masker, dan juga ditempat yang dingin. Keluhan tersebut diakui pasien telah muncul
sejak pasien berusia 10 tahun dan semakin memberat sehingga dilakukan operasi
pada pipi kiri pasien bagian depan di tahun 2018. Namun memberat kembali pada
awal tahun 2020 dan dilakukan operasi di kedua pipi pasien bagian depan di akhir
agustus tahun 2020. Memiliki riwayat rhinits alergi yang didiagnosis sejak usia 10
tahun.
Pada pemeriksaan tanda vital dan status generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal. Pada hidung ditemukan
Mukosa hiperemis bilateral, secret mukopurulen cavum nasi bilateral, edema konka
inferior bilateral, meatus media tertutup bilateral dan secret mukopurulen pada
meatus media sinistra. Rhinoskopi posterior tampak secret mukopurulen.
Pemeriksaan sinus paranasal terdapat nyeri tekan maxilla anterior bilateral. Status
lokalis mulut dan orofaring terdapat post nasal drip. Di pemeriksaan penunjang
ditemukan pada nasal dextra dan sinistra yaitu mukosa hiperemis, secret mukopurulen
pada cavum, chonca inferior hipertrofi dan media eutrofi, lalu meatus media tertutup
dan secret pada meatus media sinistra, pada nasofaring sinistra tampak secret
mukopurulen.

Rinosinusitis kronik adalah inflamasi pada mukosa nasal dan sinus paranasal
dengan dua atau lebih gejala dimana salah satunya harus dengan hidung tersumbat

35
(nasal blockage / obstruction / congestion) dan atau nasal discharged (anterior /

36
posterior nasal drip), disertai nyeri pada wajah, dan penurunan penciuman, dan
berlangsung lebih dari sama dengan 12 minggu tanpa adanya periode penyembuhan.
(epos 2020). Rhinosinusitis kronik dibagi menjadi dua jenis, yaitu rhinosinusitis
dengan polip nasi dan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi. (epos 2012). Dimana
faktor predisposisi rhinosinusitis kronik beberapa diantaranya yaitu alergi, sma dan
penyakit saluran nafas bawah, penyakit pernafasan karena eksaserbasi NSAID ,
variasi anatomi hidung, dan lain-lain.
Penanganan awal yang dapat diberikan pada kronik rhinosinusitis difus/ bilateral
menurut epos 2020 yaitu steroid nasal (drops/spray/rinse), bilas hidung dengan cairan
saline, dapat juga diberikan kortikosteroid oral bila perlu. Pemberian antibiotic dapat
diberikan dalam jangka pendek dan jangka Panjang dengan pertimbangan apabila
ditemukan tanda infeksi seperti drainase mukopurulen pada endoskopi atau bila telah
dilakukan kultur. Manajemen bedah dilakukan apabila penanganan medikamentosa
tidak menunjukkan adanya perbaikan atau tidak terkontrol dengan baik.

37
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra PL, S. Dhingra. 2018. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery 7th Ed. ELSEVIER. India. Pg. 209-12
2. Munir N, Clark R, Ear nose and throat. 2013.Edisi 1. Hal 46-48. Penerbit UK
3. PIT, PERHATI. 2010. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di
Palembang, Available from: http://www.yanmedik-
depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2012/Functional%20Endoscopic%20Sinus
%20Surgery%20di%20Indonesia.doc
4. Fokkens WJ, Lund V, Mullol J, et al. EPOS 2012: European position paper on
rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology; 2012;50(1): 1-12.
5. Fokkens WJ., VJ. Lund, C. Hopkins, PW. Helling, et al. 2020. EPOS 2020:
Europiean Position Paper on Rhinosinusitis and nasal ppolyps. Rhinology; 2020’ 58
(29): 1-26.
6. Rosenfeld, RM, Piccirilo, JF, Chandrasekhar, SS, et al. Clinical Practice Guideline
(Update): Adult Sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015. Vol. 152
(25) S1-S39
7. Lam, K, R. Schleimer, R.C Kern. 2015. The Etiology and pathogenesis of Chronic
Rhinosinusitis: a review oCurrent Hypothesis. HHS, USA: 15(7): 1-10
8. Sedaghat, AR. 2017. Chronic Rhinosinusitis. American Academy of Family
Physician: 96(8): 500-05
9. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis
dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23
10. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. EPOS 2007: European position paper on
rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology; 45(suppl 20): 1-139
11. Ocampo, C. J., L.C Grammer. 2013. Chronic Rhinosinusitis. American Academy of
Allergy; 1(3); 205-211.
12. Searyoh, K. D. Lubbe. 2018. Complications of Rhinosinusitis. South African Family
Practice: 60 (5); 17-20.
13. Lee, S. A.P. Lane. 2011. Chronic Rhinosinusitis as a Multifactorial Inflammatory
Disorder. Springer. (2011) 13:159-168.

38

Anda mungkin juga menyukai