Anda di halaman 1dari 13

PERCOBAAN V

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIABETES


( METODE TOLERANSI GLUKOSA )

I. Tujuan Percobaan
 Memiliki kemampuan dalam melakukan pengujian aktivitas suatu obat
antidiabetes dengan metode toleransi glukosa oral
 Mengetahui hubungan antara pengaruh asupan glukosa terhadap sekresi
insulin
 Mengetahui pengaruh sediaan obat uji terhadap penurunan kadar glukosa
darah
II. Teori Dasar
Kondisi hiperglikemia pada hewan pertama kali dilakukan secara
sederhana dengan cara pengambilan organ pankreas secara menyeluruh atau
sebagian, cara ini kemudian dikenal dengan nama “pankreatektomi“
(Marraffino, 1950). Pada penelitian berikutnya, metode tersebut sudah jarang
digunakan karena secara menyeluruh kondisi patologi yang dihasilkan tidak
secara kuat mencerminkan kondisi patologi pada manusia.
Sebagai pengganti dari metode tersebut, para peneliti menggunakan
metode tanpa pembedahan (non-surgical methods) dalam menghasilkan
hewan percobaan hiperglikemia. Metode tanpa pembedahan pertama kali
dikenalkan adalah pemberian diabetogenik.
Diabetes adalah penyakit yang di akibatkan oleh salah satu
ketidakmampuan tubuh untuk membuat insulin atau oleh tubuh tidak
menanggapi terhadap efek insulin. Insulin adalah salah satu hormon utama
yang mengatur kadar gula darah dan memungkinkan tubuh untuk
menggunakan gula (glukosa) untuk energi.
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan
sekresi insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang dihasilkan oleh kelenjar
pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah.
Kadar glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120 mg/dl,
dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi gangguan pada
kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut
akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik (hiperglikemia)
(Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya
insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik
absolut maupun relatif (Herman, 1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008). 
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans
dalam pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula
penyimpanan dalam sel β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah
peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia). Insulin terikat pada reseptor
spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi, termasuk
peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose. Insulin
adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam
dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu prekursor,
yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk
membentuk insulin dan peptida C residual. (Katzung, 2002)
Gejala  penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita
lainnya tidak selalu sama. Ada pula penderita diabetes melitus yang tidak
menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro, 1998).
1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)
b. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)
c. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada
keadaan ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam
darah (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala
yang disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum
b. Banyak kencing
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu
2-4 minggu)
d. Mudah lelah
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa
darah melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak
sadarkan diri) dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat
kadar glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam
praktik,  gejala dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi
keluhan utama penderita untuk berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Dari segi etiopatogenesis dan klinik biasanya dibedakan antara :
1. Diabetes jenis I (diabetes bergantung pada insulin), pada diabetes jenis I
kekurangan insulin menurun sangat cepat sampai akhirnya tidak ada
insulin lagi yang disekresi. Karena itu substitusi insulin tidak dapat
dielakkan (Ernst Mutschler). Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI
atau IDDM) digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang
tidak dapat bertahan hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang
paling umum adalah terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari
pulau-pulau Langerhans (Katzung, 2002). IDDM dapat juga disebabkan
adanya interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan kecenderungan
sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus. Hal ini menunjukkan bahwa
IDDM dapat timbul karena adanya hubungan dengan gen-gen pasien dan
dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada, termasuk bermacam-
macam virus (Jones and Gill, 1998; Tunbridge and Home, 1991).
2. Diabetes jenis II (dahulu diabetes remaja dan diabetes dewasa) pada
diabetes jenis II yang terjadi sekitar 9 kali lebih sering daripada diabetes
jeins I, perkembangan lebih lambat, juga kebanyakan hanya terjadi suatu
kekurangan insulin relatif ( yang disebut diabetes yang tidak bergantung
pada insulin)

Obat Antidiabetes
Insulin merupakan hormon yang penting dalam kehidupan. Hormon ini
mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein
dan lemak.
Insulin sebagai polipeptida hanya dapat diberikan secara parenteral.
Karena itu, penyuntikan insulin dibutuhkan tiap hari sangat membebani para
penderita diabetes. Sehubung dengan itu, kemajuan yang berarti diperoleh
pada saat turunan sulfonilurea dan tururnan buguanida yang dapat dipakai
secara oral telah digunakan untuk mengobati diabetes melitus. Walaupun
demikian, berdasarkan pengalaman sampai saat ini, dan sebagian karena efek
samping yang serius maka seharusnya pemakaian antidiabetika oral pada
pokoknya lebih dikurangi dari pada sebelumnya. Obat-obat ini hanya
diindikasikan jika :
 Tidak terdapat diabetes tipe I
 Tindakan diet tidak cukup
 Tidak perlu diberikan insulin sebagai pengganti antidiabetika oral, seperti
pada suatu ketoasidosis
Golongan obat antidiabetes
a. Turunan sulfonilurea dan analog sulfonamida
Anitidiabetika oral tipe sulfonamida bekerja secara kualitatif sama: obat ini
membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari sel B baik tanggapan
terhadap rangsangan glukosa fisologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya
berkhasiat jika produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih
bertahan, atau dengan kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada
produksi insulin. Selain itu, pada dosis tinggi obat ini menghambat
metabolisme indsulin dan menurunkan ikatan insulin dapa protein plasma,
walaupun efek ini kurang berarti secara terapeutik. Mekanisme kerja
pembebasan insulin pada tingkat molekul masih sedikit diketahui
Obat antidiabetika oral kelompok sulfonamida:
Karbutamid (Invenol, Nadisan), tolbutamid ( Artosin, Restinon),
klorpropamid ( Chloronase, Diabetoral, Diabenese), glimidin ( Redul) ,
glibornurid ( Globurid, Glutril) , glibenklamid ( Euglucon 5, Semi-
Euglucon, Gliben-Puren, Glimid-Stada, Gluconorm, Gluco-Tablinen,
Praeciglucon) , glipizid (Glibenese), glikuidon ( Glurenorm) , glisoksepid
(Pro-Diaban)
b. Turunan biguanidin
Turunan biguanidin telah digunakan sebagai antidiabetika oral, dari
senyawa ini hanya metformin (glucophage® retard) yang masih tersedia.
Senyawa-senyawa lain dari deret ini harus ditarik dari perdagangan karena
sering menimbulkan laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian
setelah pemberian sediaan-sediaan ini. Metformin pun masih boleh ditulis
hanya dengan tindakan yang sangat hati-hati.
Obat antidiabetika kelompok biguanidin :
Metformin (Glucophago, Glumin, Glukotika)
c. Meglitinid
Obat ini memodulasi pelepasan insulin oleh sel beta pankreas dengan
meregulasi efluks kalium melalui kanal kalium seperti yang dibincangkan di
atas. Jadi, ada tumpang tindih dengan sulfonilurea dalam menempati tempat
kerja dari obat- obat tersebut karena megtilinid mempunyai dua tempat
berikatan yaitu sama seperti sulfonilurea dan tempat berikatan yang unik.
d. Derivat D-Fenilalanin
Nateglinid yang merupakan derivat D-Fenilalanin memstimulasi sel beta
melalui penutupan kanal kalium yang sensitive terhadap ATP dengan cepat
dan transien. Ia juga menyebabkan pelepasan insulin sebagai respons inisial
terhadap tes glukosa toleransi intravena. Ini merupakan kelebihan utamanya
karena diabetes tipe 2 ini tiada respons insulin inisial. Pelepasan insulin
yang melebihi normal ini akan mensuppresi pelepasan glukagon pada awal
waktu saat makan dan menyebabkan berkurangnya produksi glukosa dari
hepar. Nateglinid sangat efektif apabila diberikan sebagai monoterapi atau
dikominasikan dengan agen lain seperti metformin. Obat ini meningkatkan
pelepasan insulin hanya apabila tingginya kadar insulin namun tidak pada
normoglikemi. Jadi insidensi hipoglikemi sangat rendah berbanding dengan
insulin sekretagogue lain.
e. Thiazolidinedion
Thiazolidinedion bekerja dengan menurunkan resistensi insulin. Kerja primer
obat ini adalah meregulasi gen yang terlibat dalam metabolism glukosa dan
lipid serta diferensiasi adiposa. Ia merupakan ligan pada ‘peroxisome
proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-γ)’. PPAR-γ dijumpai pada otot,
lemak dan hepar dan bertindak metabolisme glukosa dan lemak, transduksi
signal insulin dan diferensiasi adiposa. Obat ini meningkatkan pengambilan dan
utilisasi glukosa serta memodulasi sintesa hormone lipid atau sitokin.
f. Inhibitor alpha-glukosidase
Kanji kompleks, oligosakarida dan disakarida harus di pecahkan menjadi
monosakarida untuk diabsorpsi di duodenum dan jejunum. Proses ini
difasilitasi oleh enzim enterik termasuklah α-amilase dan α-glukosidase yang
berlengketan dengan sel intestinal. Akarbose dan miglitol merupakan
kompetitif inhibitor pada α-glukosidase dan menurunkan absorpsi post
prandial. Ini akan menurunkan kadar glukosa darah post prandial.

III. Alat dan bahan


No Alat Bahan
1 Jarum Sediaan uji
2 Jarum suntik oral Zat pembanding acarbose
3 Glukotest Metformin atau glibenklamid
4 Tabung sentrifus mikro Air suling
5 Alat sentrifus Larutan glukosa standar
6 CCA/ spektrofotometer Bahan pensuspensi
7 Alat suntik

IV. Prosedur
Mencit yang akan digunakan ditimbang lalu dikelompokkan dan diberi
tanda pada ekor. Sebelum pemberian obat dilakukan pengambilan darah
terlebih dahulu pada bagian ekor mencit. Pemberian sediaan obat diberikan
secara per oral dengan larutan pensuspensi CMC Na/tragakan 2 %, setelah
satu jam  mencit diberi sediaan glukosa 50% dengan dosis 1g/kg bobot-badan
kecuali kelompok mencit kontrol negatif.
Kemudian dilakukan pengambilan darah kembali di menit ke-90, 120,
150, dan 180 setelah pemberian oral, kadar glukosa diukur dengan
menggunakan alat glukotest. Pengambilan darah dan kadar gula darah
dibandingkan secara kurva, yaitu kurva respon kadar glukosa darah, dimana
sumbu x adalah respon kadar glukosa darah sedangkan t adalah pengambilan
darah dan y adalah kadar gula darah .
Kemudian hasil yang diperoleh dengan hasil kelompok kontrol positif
dibandingkan untuk dapat mengetahui penurunan kadar glukosa darah . 
Evaluasi data secara statistik digunakan secara ANOVA dan uji T.
 
V. Data Pengamatan

  Berat  
Kelompok Badan Waktu
Perlakuan t -30 t 30 t 60 T
90
Kel. - 32g 118mg/DL 116mg/DL 130mg/DL -
Kontrol
+ 28g 170mg/DL 259 mg/DL - -

Kel. + 26g 170mg/DL - - -


Uji 1 18g 106mg/DL 305mg/DL 236mg/DL -

2 26g 164mg/DL 324mg/DL 185mg/DL -

3 24g 137mg/DL 323mg/DL - -


G 124mg/DL - - -

VI. Pembahasan
 Kontrol Negatif
Kelompok uji negatif hewan percobaan (mencit) mula-mula
ditimbang berat badan lalu di uji kadar glukosa dengan alat glukotes ( T -
30) diperoleh kadar glukosa T -30 adalah 118mg/dl. Pada kelompok uji
negatif mencit tidak diberi induksi berupa obat antidiabetes, atau pun
glukosa yang dapat meningkatkan kadar glukosa itu sendiri. Kelompok uji
negatif tidak diberi apa-apa sekalipun aquadest. Yang diamati berupa
kadar glukosa normal tanpa induksi mulai dari T -30, T 30 dan T 60.
Diperoleh kadar glukosa T 30 adalah 116mg/dl. Penurunan kadar glukosa
pada mencit dapat disebabkan karena berkurangnya kerja pankreas sebagai
organ pengatur insulin, sehingga pengeluaran insulin dapat di atur oleh
organ-organ pengatur insulin dimana untuk mempertahankan kondisi
tubuh atau yang disebut homeostatis. Kadar glukosa T 60 adalah
130mg/dl, terjadi peningkataan kadar glukosa pada T 60, peningkatan ini
terjadi karena usaha untuk meningkatkan metabolisme glukosa secara
normal. Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan
pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau
tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan
dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar
dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa
melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut
berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar
glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa
secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara
normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala
jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari
hepar.

 Kontrol positif
Pada kontrol positif dilakukan oleh dua kelompok, mula- mula
hewan uji (mencit) di ukur kadar glukosa dengan alat glukotes. Pada T -30
kadar glukosa kelompok 4 adalah 170 mg/dl dan pada kelompok 6 T-30
sama, 170 mg/dl. 30 menit kemudian mencit di induksi dengan pemberian
glukosa 50 %. Namun pada dua kelompok mencit yang digunakan mati,
sehingga pengamatan kontrol uji positif untuk T 30 dan T 60 tidak dapat
diamati. Kadar glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120
mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi
gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas,
keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah
cenderung naik (hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro,
1998). Artinya pada T -30 mencit sudah mengalami hiperglikemia

 Kelompok uji I,
Kelompok uji I mencit diberi acarbose, pada T-30 kadar glukosa pada
mencit dengan berat 18 gr adalah 106 mg/dl. Lalu diberi sediaan obat
(akarbose) dalam larutan pensuspensi CMC Na atau tragakan 2 % secara
oral. 30 menit kemudian diukur kadar glukosa darah (T 30) dan diberi
larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/kg bb, setelah 30 menit kemudian
diukur kadar gulukosa darah (T 60). Pada T 30 kadar glukosa darah adalah
305 mg/dl sedangkan pada T 60 kadar glukosa darah adalah 236 mg/dl.
Mencit mengalami kenaikan kadar glukosa darah atau diabetes setelah
diberikan larutan glukosa 50%, namun setelah menit ke 60 kadar glukosa
darah kembali menurun sedikit demi sedikit karena akarbose ini bekerja
sebagai penghambat a-Glukosidase dengan mekanisme kerja menghambat
kerja enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) secara
kompetitif dalam usus halus sehingga menunda pemecahan sukrosa dan
kompleks karbohidrat. Efeknya adalah mengurangi kadar glukosa darah 2
jam sesudah makan. Mekanisme aksi dari a-Glukosidase inhibitor hanya
terbatas dalam saluran cerna beberapa metabolit acarbose diabsorpsi
secara sistemik dan diekskresikan melalui renal. Sedangkan sebagian besar
miglitol tidak mengalami metabolisme
 Kelompok uji II
Pada uji kelompok II mencit dengan berat 36 gram diberi obat antidiabetes
metformin, pada T-30 kadar glukosa mencit adalah 164 mg/dl. Lalu diberi
sediaan obat (akarbose) dalam larutan pensuspensi CMC Na atau tragakan
2 % secara oral. 30 menit kemudian diukur kadar glukosa darah (T 30)
diperoleh kadar glukosa T 30 adalah 324 mg/dl dan diberi larutan glukosa
50% dengan dosis 1 g/kg bb, setelah 30 menit kemudian diukur kadar
gulukosa darah (T 60) dengan kadar glukosa darah 185 mg/dl. Pada T 30
mencit mengalami kenaikan kadar glukosa namun setelah dites kembali
kadar glukosa pada menit ke 60 kadar glukosa menurun dengan kadar 185
mg/dl. Metformin secara oral menurunkan kadar glukosa darah sesuai
dengan dosis, pembebasan insulin dari sel B tidak terjadi, bekerja dengan
jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati dengan cara menghambat
glukoneogenesis (Harvey dkk.,2001).
 Kelompok uji III
Pada uji kelompok III terdapat 2 mencit dengan berat 33 gram(a) dan 24
gram(b) diberi obat antidiabetes glibenklamid, pada T-30 kadar glukosa
mencit a adalah 124 mg/dl, pada T 30 kadar glukosa 122 mg/dl dan T 60
kadar glukosa menjadi 139 mg/dl. Sedangkan pada mencit b kadar glukosa
pada T-30 adalah 137 mg/dl, pada T 30 kadar glukosa 323 mg/dl dan pada
T 60 kadar glukosa 230 mg/dl. Semakin lama waktu maka kadar glukosa
dalam darah semakin turun karena obat glibenklamid sebagai golongan
sulfonilurea bekerja setelah pemberian oral semua senyawa sulfonilurea
diabsorpsi dengan cepat dan baik, dalam plasma terikat dalam jumlah
besar pada protein. Glibenklamid diekresikan sampai sekitar 75%,
kebanyakan tidak berubah, kedalam feses dan sampai sekitar 25%, setelah
hidroksilasi pada sisa sikloheksil ke dalam urin. Waktu paruh plasma
glibenklamida 2,5 jam. Glibenklamia bekerja dengan merangsang sekresi
insulin dari pankreas. Dan dengan penggunaan per oral glibenklamida
diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstrasel,
sebagian besar terikat dengan protein plasma.

Kurva respon kadar glukosa darah

Chart Title
350
300
250
200
150
100
50
0
t -30 t 30 t 60

kontrol - kontrol + kontrol +


uji 1 uji 2 uji 3
uji 3

VII. Kesimpulan
 Penyerapan glukosa menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan
meningkatkan sekresi insulin. Sekresi insulin yang tidak mencukupi dan
resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe II menyebabkan
terhambatnya proses penggunaan glukosa oleh jaringan sehingga terjadi
peningkatan glukosa didalam darah .
 Metformin merupakan zat antihiperglikemik oral golongan biguanid.
Mekanisme kerja Metformin menurunkan kadar gula darah dan tidak
meningkatkan sekresi insulin.
 Metode toleransi glukosa oral dengan cara mencit atau tikus yang telah
dipuasakan 18-24 jam sebelumnya, diberikan larutan glukosa per oral
setengah jam setelah pemberian sediaan obat yang diuji. Pada awal
percobaan sebelum pemberian obat, dilakukan pengambilan cuplikan
darah dari ekor mencit sebagai kadar glukosa darah awal yang diukur
dengan menggunakan alat glukotest atau CCA untuk tikus. Pengambilan
cuplikan darah vena diulangi setelah perlakuan pada waktu-waktu
tertentu.
 Akarbose bekerja sebagai penghambat a-Glukosidase dengan mekanisme
kerja menghambat kerja enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan
glukoamilase) secara kompetitif dalam usus halus sehingga menunda
pemecahan sukrosa dan kompleks karbohidrat. Efeknya adalah
mengurangi kadar glukosa darah 2 jam sesudah makan.
 Metformin secara oral menurunkan kadar glukosa darah sesuai dengan
dosis, pembebasan insulin dari sel B tidak terjadi, bekerja dengan jalan
mengurangi pengeluaran glukosa hati dengan cara menghambat
glukoneogenesis (Harvey dkk.,2001).
 Glibenklamid sebagai golongan sulfonilurea bekerja setelah pemberian
oral semua senyawa sulfonilurea diabsorpsi dengan cepat dan baik,
dalam plasma terikat dalam jumlah besar pada protein.
VIII. Daftar pustaka
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical
Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Jakarta.
 Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2.
Penerbit Salemba Medika. Jakarta
 Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi.
Edisi Kelima. Penerbit ITB. Bandung
 Nielsen MF, Nyholm B, Caumo A, Chandramouli V, Schumann WC,
Cobelli C, et al, 2000. Prandial glucose effectiveness and fasting
gluconeogenesis in insulin-resistant first-degree relatives of patients
with type 2 diabetes. Diabetes 49: 2135-41
 Sukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai