Anda di halaman 1dari 5

PEMBERANTASAN KORUPSI PADA AWAL ORDE BARU

1967-1970: STUDI KASUS MAKALAH DAN ANALISA NOVEL


Muhamad Rizky Ekaputra dan Gian Raka Wijaya Program Studi Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Abstrak: Korupsi dapat dilihat sebagai fungsi dari kerangka sosial dan paradoks sifat manusia
yang membangun pembenaran logis atas tindakan korupsi. Di sebagian besar negara dengan
parah masalah korupsi, menyuap pejabat pengadaan publik, misalnya, menjadi norma dan
merupakan bagian dari interaksi sosial. Masa Orde Baru telah meninggalkan jejaknya di
Indonesia saat ini. Dalam kasus ini, kontradiksi utama dari demokratisasi Indonesia bahkan
sudah diketahui oleh pengamat biasa: kombinasi transformasi demokratis dramatis dari
sistem politik formal, dengan kelanjutan dari banyak koruptor, pemangsa dan terkadang
praktik represif yang mencirikan pemerintahan otoriter.
Namun, dipemerintah melakukan Praktik kekuasaan yang mengarah korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), korupsi di Indonesia sama meluasnya atau bahkan lebih buruk daripada di
bawah Suharto. Faktanya, era Suharto adalah kemungkinan di mana insentif pemerintah
untuk korupsi sangat tinggi, nilai korupsi sangat besar, dan bahkan dapat mempengaruhi
sampai kegiatan politik, dan ekonomi. Didalam artikel ini, akan menganalisa karakteristik
rezim Soeharto dan menyoroti beberapa karakteristik rezim yang menyebabkan perilaku
masif transformasi khususnya di sektor publik Indonesia pada awal orde baru
Kata Kunci: Korupsi, Orde Baru, Soeharto.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 21 Mei 1998, salah satu Dingin yang paling efektif dan bertahan lama Perang
rezim otoriter berbasis militer berakhir. Pada pagi itu, Presiden Indonesia Soeharto
membacakan pernyataan sederhana yang mengumumkan pengunduran diri dan penyerahan
kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie. Dia melakukannya dengan latar belakang yang
dramatis: krisis keuangan Asia telah membawa bencana, pengunjuk rasa mahasiswa
menduduki parlemen nasional, asap masih membubung dari bagian kaki langit Jakarta setelah
berhari-hari kerusuhan seminggu sebelumnya, sebelumnya malam empat belas menteri
kabinetnya telah memberi tahu Soeharto bahwa mereka tidak lagi bersedia melayani di
bawahnya.Hal ini semua tidaklah semata terjadi karena korupsi soeharto dan kroninya pada
akhir masa orde baru melainakan efek domino dari korupsi yang terjadi sejak awal beridiri
nya orde baru.
Diawali Oleh Tuntutan Mahasiswa
Presiden Soeharto telah berjanji untuk memberantas korupsi. Dia berjanji Pemerintahannya
tidak akan menyerahkan korupsi kepada generasi muda. Jika ternyata pemerintahnya salah
dalam memberantas korupsi, dia siap menanggung derita. "Biarkan orang menggantung
saya," kata Presiden Suharto pada 14 Agustus Agustus 1970. “Pernyataan itu dikemukakan
oleh presiden ketika menerima delegasi bersama Steering Committee panel diskusi DIVI-UI
(Dewan Mahasiswa), KAK (Komite Anti Korupsi), BB(Bandung Bergerak), dan FAK (Front
Anti Korupsi) dari Yogyakarta," catat mingguanMahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970.
KAK, BB dan FAK adalah gerakan mahasiswa dan pemuda melawan korupsi, sedangkan
DM-UI adalah lembagai kampus. Mereka memiliki minat yang sama dalam kasus ini kasus
korupsi di Indonesia. Mereka bilang korupsi merajalela pemerintah harus lebih serius. Suara
antikorupsi sudah muncul sejak Soeharto berhasil menguasai keadaan tahun 1967. Gerakan
pemuda dan mahasiswa anti-Sukarho dimulai mendesak pemberantasan korupsi. Jajak
pendapat ini kemudian diikuti oleh pers. Mereka menaruh Indonesia berharap tidak ada lagi
korupsi di pemerintahan baru yang dibentuk Suharto.
Kerja TPK
bekerja Suharto telah menangkap suara mahasiswa, pemuda dan pers. Dalam pidato
sebelumnya anggota DPR pada 16 Agustus 1967, Suharto mengatakan bahwa pemerintahan
Sukarno telah gagal menyelesaikan akar penyebab korupsi. Dia mencoba menarik garis
antara pemerintah kemarin dengan pemerintah hari ini berkomitmen untuk membasmi
korupsi.
Enam bulan setelah pidatonya di depan anggota DPR, Soeharto mengeluarkan
keputusanPresiden (Kepres) No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK). Tim ini memiliki dua fungsi: pencegahan dan penindakan korupsi di
lingkungan sipil dan militer. Jaksa Agung Sugih Arto memimpin TPK. Dia mengawasi
beberapa struktur pendukung. Ini termasuk sekretaris, anggota dan kelompok kerja.Dalam
struktur perwakilan kelompok masyarakat yang mengakar. Diantara yang lain militer, pers,
ekonomi dan keuangan, dan organisasi massa. TPK telah menghadapi delapan kasus korupsi
besar dan ratusan kasus korupsi kecil dalam dua tahun terakhir tahun pertama pelayanan.
Contoh: korupsi di Bulog, Pertamina, PN Telekomunikasi, Jasa Grafis dan Pers, Koperasi dan
Ciba, CV Haruman, CV Waringin dan Gedung Perkantoran Indonesia. Cakupan kasus
korupsi besar puluhan hingga ratusan juta rupiah
TPK gagal menuntaskan delapan kasus korupsi besar. Kasus-kasus ini terkait pejabat negara.
Beberapa pihak menganggap TPK tidak lain adalah cakar dalam berbisnis korupsi kecil-
kecilan selama dua tahun masa jabatannya. Tapi TPK tidak punya cakar dalam hal kasus
korupsi oleh pejabat tinggi dan orang-orang yang dekat dengan pemerintah.
”TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan korupsi, jadi bila TPK
ingin berhasil, harus berani.]ika tidak, maka nasibnya akan sama dengan tim—tim anti
korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde Lama," kata seorang anggota MPRS
dalam Indonesia Raya, 29 November 1968.
Kritik senada juga datang dari Hoegeng Iman Santoso, Panglima Angkatan Kepolisian
sekarang jabatan ini disebut Kapolri. Dia mengatakan orang-orang di TPK harusnya memiliki
keberanian kuat, idealisme, dan ketegasan. Kenyataannya, TPK tidak memiliki semua
kapasitas itu. Demikian pesan Hoegeng dalam Indonesia Raya, 24 Februari 1969.
Sementara itu, Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, mengatakan:
kekhawatiran munculnya praktik korupsi di Indonesia. TPK hadir tidak cukup kuat untuk
memberantas epidemi. Dalam editorial Mochtar Lubis pada Harian Indonesia Raya Seri 2,
Mochtar mengatakan itu bahwa koruptor benar-benar tak kenal takut dan puas. "Perilaku
Korupsi tidak lagi dilakukan oleh individu untuk dirinya sendiri tetapi sekarang dilakukan
dalam kelompok demi kelompok yang cukup besar untuk saling berinteraksi menutupi
korupsi mereka untuk waktu yang lama,” tulis Mochtar. Sugih Arto menanggapi kritik
terhadap kinerja TPK. Ia merasa TPK telah bekerja keras. Di Indonesia Raya, pada tanggal 5
Maret 1969, Sugih Arto menjelaskan bahwa TPK berhasil Hingga akhir tahun 1969, 172
kasus korupsi telah diselesaikan di tingkat pusat dan daerah.
Pembelaan TPK
Sugih Arto mengakui ada celah di TPK. Dia mengatakan pekerjaan TPK terhambat oleh UU
Korupsi. Menurutnya, kerja TPK berdasarkan undang-undang korupsi. kedaluwarsa.
Maksudnya Perpu No 24 Tahun 1960 tentangPenuntutan dan penyidikan tindak pidana
korupsi. Sugih Arto menegaskan keterbatasan waktu untuk mengusut dan mengadili
tersangka Korupsi. Pasal 3 ayat 1 dan 2 Perpu No. 24 Tahun 1960 menyebutkan batas
maksimal penahanan dugaan korupsi hanya enam bulan. Jika lebih dari enam bulan, kasusnya
akan dihentikan. Namun, penanganan kasus korupsi tidak bisa dilakukan secepat itu. Ketika
orang memuji kinerja TPK, Suharto membentuk TaskForce Ui pada tahun 1968. Kelompok
itu terdiri dari profesor dan mahasiswa dari Universitas Indonesia. “Satgas ini bertanggung
jawab untuk melakukan penelitian terhadap berbagai pejabat pemerintah, dan Setelah
menyelesaikan misinya, dia membuat petisi kepada pemerintah untuk mendapatkan dana dan
sumber daya negara”, tulis Sjahrir dalam “Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal
Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi” yang termuat dalam Prisma, no 3, 1986.
Pembentukan Task force UI lebih ditujukan untuk mencegah korupsi.Task Force membuat
beberapa rekomendasi dan laporan tentang mengamankan dana dan sumber daya negara
pejabat korup atau pejabat yang berwenang. Tapi rekomendasi dan laporan hanya masuk ke
laci kantor-kantor pemerintah. Tidak ada tindakan pemerintah terhadap rekomendasi dan
laporan satgas UI. “Satuan Tugas telah gagal, seperti halnya Tim Pemberantasan Korupsi,
melatih Menteri Kehakiman (di antaranya sejumlah cendekiawan dan jurnalis anggota)
mengalami kekalahan total, karena kedua tim tidak memiliki kekuatan praktis yang
diperlukan, yang hanya ada di tangan sang jenderal Suharto,” kata Sjahrir dalam Ekonomi
Politik Kebutuhan Pokok.
Menutupi laporan Komite Empat
Melihat pemerintah tidak serius memberantas korupsi, sekelompok mahasiswa asal Jakarta
berangkat pada Januari 1970. Waktu pergerakan mereka bertepatan dengan kenaikan harga
BBM. Mereka menolak kenaikan harga bensin dan memperingatkan Pemerintah semakin
berani menindak para pelaku korupsi. Kelompok mahasiswa ini disebut Perjuangan
Mahasiswa (MM) mereka menempel poster di jalan raya, mobil, dan bus. ”Ternyata dampak
gerakan ini kuat sekali. Kegiatannya di-cover oleh hampir semua surat kabar Ibukota...
Presiden Soeharto menanggapi langsung tuntutan mahasiswa untuk memberantas korupsi
dengan membentuk Komisi Empat,” tulis Sjahrir.MM setelahnya membekukan kegiatannya
sendiri di bawah Konstitusi Komite Empat. Komite Empat dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 12 Tahun 1970.
Keputusan Presiden berdasarkan dua pertimbangan untuk pembentukan Empat Komite
tersebut. "Ini semua usaha pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien dan
Perlu membentuk Komisi yang dianggap tepat. " Komite Empat hanya memiliki empat
anggota, seperti namanya. mereka Wilopo S.H.J. Kasimo, Pr. Ir. Johannes dan Anwar
Tjokroaminoto. Dua orang lainnya membantu Komite Empat sebagai penasehat dan
sekretaris yaitu Mohammad Hatta dan Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Komite Empat
memiliki dua mandat. Pertama, mengkaji kebijakan antikorupsi. Kedua, memberikan
rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Hilangkan korupsi. Harapan masyarakat
dihidupkan kembali dengan adanya Komite Empat.
Mereka percaya pada integritas anggota Komisi empat. Setelah enam bulan bekerja, Komisi
empat menyampaikan laporan kerjanya kepada presiden. Tapi presiden tidak berterus terang
mempublikasikan laporannya kepada publik. Presiden berjanji akan mengumumkannya 16
Agustus 1970.
Perintah Eksekutif Presiden telah mengecewakan lebih dari satu orang. "Kami mencintai
Presiden Soeharto sudah lama menunda publikasi isi laporan Komisi IV,” tulisn Mochtar.
Tak mau menunggu terlalu lama, harian Sinar Harapan terbitan 18-24 Juli 1970 pun bocor
Komite Empat melapor ke publik. Laporan tersebut menunjukkan bahwa korupsi telah
Mencakup pertambangan Pertamina, Bulog dan Perhutani. Komite Empat menasihati
pemerintah pemberantasan korupsi di BUMN. Masa kerja Panitia Empat berakhir setelah
penyampaian laporan kerjanya kepada Presiden pada pertengahan Juli 1970. Sementara
presiden tidak pernah menepati janjinya menerbitkan laporan Komite Empat. Komunitas
mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Beberapa dari mereka
mulai memberikan tekanan lebih pada pemerintah. Mereka mendirikan gerakan komite
antikorupsi seperti KPK di Jakarta, Bandung Bergerak di Bandung, dan front Pemberantasan
Korupsi di Yogyakarta. Kelak tindakan mereka kemudian mendapat penolakan dari
pemerintah.
Kesimpulan
Diawali Oleh Tuntutan Mahasiswa Presiden Soeharto telah berjanji untuk memberantas
korupsi. “Pernyataan itu dikemukakan oleh presiden ketika menerima delegasi bersama
Steering Committee panel diskusi DIVI-UI (Dewan Mahasiswa), KAK (Komite Anti
Korupsi), BB(Bandung Bergerak), dan FAK (Front Anti Korupsi) dari Yogyakarta," catat
mingguanMahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970. Mereka memiliki minat yang sama dalam
kasus ini kasus korupsi di Indonesia. Mereka menaruh Indonesia berharap tidak ada lagi
korupsi di pemerintahan baru yang dibentuk Suharto.
Kerja TPK bekerja Suharto telah menangkap suara mahasiswa, pemuda dan pers. Dalam
pidato sebelumnya anggota DPR pada 16 Agustus 1967, Suharto mengatakan bahwa
pemerintahan Sukarno telah gagal menyelesaikan akar penyebab korupsi. Enam bulan
setelah pidatonya di depan anggota DPR, Soeharto mengeluarkan keputusanPresiden
(Kepres) No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).
Ini termasuk sekretaris, anggota dan kelompok kerja. Dalam struktur perwakilan kelompok
masyarakat yang mengakar. TPK telah menghadapi delapan kasus korupsi besar dan ratusan
kasus korupsi kecil dalam dua tahun terakhir tahun pertama pelayanan. Beberapa pihak
menganggap TPK tidak lain adalah cakar dalam berbisnis korupsi kecil-kecilan selama dua
tahun masa jabatannya.
Tapi TPK tidak punya cakar dalam hal kasus korupsi oleh pejabat tinggi dan orang-orang
yang dekat dengan pemerintah. ”TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait
dengan korupsi, jadi bila TPK ingin berhasil, harus berani. ]ika tidak, maka nasibnya akan
sama dengan tim—tim anti korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde Lama,"
kata seorang anggota MPRS dalam Indonesia Raya, 29 November 1968. Dia mengatakan
orang-orang di TPK harusnya memiliki keberanian kuat, idealisme, dan ketegasan.
Dalam editorial Mochtar Lubis pada Harian Indonesia Raya Seri 2, Mochtar mengatakan itu
bahwa koruptor benar-benar tak kenal takut dan puas. "Perilaku Korupsi tidak lagi dilakukan
oleh individu untuk dirinya sendiri tetapi sekarang dilakukan dalam kelompok demi
kelompok yang cukup besar untuk saling berinteraksi menutupi korupsi mereka untuk waktu
yang lama,” tulis Mochtar. Di Indonesia Raya, pada tanggal 5 Maret 1969, Sugih Arto
menjelaskan bahwa TPK berhasil Hingga akhir tahun 1969, 172 kasus korupsi telah
diselesaikan di tingkat pusat dan daerah. Dia mengatakan pekerjaan TPK terhambat oleh UU
Korupsi.
Tidak ada tindakan pemerintah terhadap rekomendasi dan laporan satgas UI. “Satuan Tugas
telah gagal, seperti halnya Tim Pemberantasan Korupsi, melatih Menteri Kehakiman (di
antaranya sejumlah cendekiawan dan jurnalis anggota) mengalami kekalahan total, karena
kedua tim tidak memiliki kekuatan praktis yang diperlukan, yang hanya ada di tangan sang
jenderal Suharto,” kata Sjahrir dalam Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok. Menutupi laporan
Komite Empat Melihat pemerintah tidak serius memberantas korupsi, sekelompok
mahasiswa asal Jakarta berangkat pada Januari 1970. Presiden Soeharto menanggapi
langsung tuntutan mahasiswa untuk memberantas korupsi dengan membentuk Komisi
Empat,” tulis Sjahrir. MM setelahnya membekukan kegiatannya sendiri di bawah Konstitusi
Komite Empat. Komite Empat dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun
1970. Keputusan Presiden berdasarkan dua pertimbangan untuk pembentukan Empat
Komite tersebut.
Komite Empat menasihati pemerintah pemberantasan korupsi di BUMN. Masa kerja Panitia
Empat berakhir setelah penyampaian laporan kerjanya kepada Presiden pada pertengahan Juli
1970. Sementara presiden tidak pernah menepati janjinya menerbitkan laporan Komite
Empat. Beberapa dari mereka mulai memberikan tekanan lebih pada pemerintah. Mereka
mendirikan gerakan komite antikorupsi seperti KPK di Jakarta, Bandung Bergerak di
Bandung, dan front Pemberantasan Korupsi di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai