Muhamad Rizky Ekaputra dan Gian Raka Wijaya Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta Abstrak: Korupsi dapat dilihat sebagai fungsi dari kerangka sosial dan paradoks sifat manusia yang membangun pembenaran logis atas tindakan korupsi. Di sebagian besar negara dengan parah masalah korupsi, menyuap pejabat pengadaan publik, misalnya, menjadi norma dan merupakan bagian dari interaksi sosial. Masa Orde Baru telah meninggalkan jejaknya di Indonesia saat ini. Dalam kasus ini, kontradiksi utama dari demokratisasi Indonesia bahkan sudah diketahui oleh pengamat biasa: kombinasi transformasi demokratis dramatis dari sistem politik formal, dengan kelanjutan dari banyak koruptor, pemangsa dan terkadang praktik represif yang mencirikan pemerintahan otoriter. Namun, dipemerintah melakukan Praktik kekuasaan yang mengarah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), korupsi di Indonesia sama meluasnya atau bahkan lebih buruk daripada di bawah Suharto. Faktanya, era Suharto adalah kemungkinan di mana insentif pemerintah untuk korupsi sangat tinggi, nilai korupsi sangat besar, dan bahkan dapat mempengaruhi sampai kegiatan politik, dan ekonomi. Didalam artikel ini, akan menganalisa karakteristik rezim Soeharto dan menyoroti beberapa karakteristik rezim yang menyebabkan perilaku masif transformasi khususnya di sektor publik Indonesia pada awal orde baru Kata Kunci: Korupsi, Orde Baru, Soeharto. PENDAHULUAN Pada tanggal 21 Mei 1998, salah satu Dingin yang paling efektif dan bertahan lama Perang rezim otoriter berbasis militer berakhir. Pada pagi itu, Presiden Indonesia Soeharto membacakan pernyataan sederhana yang mengumumkan pengunduran diri dan penyerahan kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie. Dia melakukannya dengan latar belakang yang dramatis: krisis keuangan Asia telah membawa bencana, pengunjuk rasa mahasiswa menduduki parlemen nasional, asap masih membubung dari bagian kaki langit Jakarta setelah berhari-hari kerusuhan seminggu sebelumnya, sebelumnya malam empat belas menteri kabinetnya telah memberi tahu Soeharto bahwa mereka tidak lagi bersedia melayani di bawahnya.Hal ini semua tidaklah semata terjadi karena korupsi soeharto dan kroninya pada akhir masa orde baru melainakan efek domino dari korupsi yang terjadi sejak awal beridiri nya orde baru. Diawali Oleh Tuntutan Mahasiswa Presiden Soeharto telah berjanji untuk memberantas korupsi. Dia berjanji Pemerintahannya tidak akan menyerahkan korupsi kepada generasi muda. Jika ternyata pemerintahnya salah dalam memberantas korupsi, dia siap menanggung derita. "Biarkan orang menggantung saya," kata Presiden Suharto pada 14 Agustus Agustus 1970. “Pernyataan itu dikemukakan oleh presiden ketika menerima delegasi bersama Steering Committee panel diskusi DIVI-UI (Dewan Mahasiswa), KAK (Komite Anti Korupsi), BB(Bandung Bergerak), dan FAK (Front Anti Korupsi) dari Yogyakarta," catat mingguanMahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970. KAK, BB dan FAK adalah gerakan mahasiswa dan pemuda melawan korupsi, sedangkan DM-UI adalah lembagai kampus. Mereka memiliki minat yang sama dalam kasus ini kasus korupsi di Indonesia. Mereka bilang korupsi merajalela pemerintah harus lebih serius. Suara antikorupsi sudah muncul sejak Soeharto berhasil menguasai keadaan tahun 1967. Gerakan pemuda dan mahasiswa anti-Sukarho dimulai mendesak pemberantasan korupsi. Jajak pendapat ini kemudian diikuti oleh pers. Mereka menaruh Indonesia berharap tidak ada lagi korupsi di pemerintahan baru yang dibentuk Suharto. Kerja TPK bekerja Suharto telah menangkap suara mahasiswa, pemuda dan pers. Dalam pidato sebelumnya anggota DPR pada 16 Agustus 1967, Suharto mengatakan bahwa pemerintahan Sukarno telah gagal menyelesaikan akar penyebab korupsi. Dia mencoba menarik garis antara pemerintah kemarin dengan pemerintah hari ini berkomitmen untuk membasmi korupsi. Enam bulan setelah pidatonya di depan anggota DPR, Soeharto mengeluarkan keputusanPresiden (Kepres) No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini memiliki dua fungsi: pencegahan dan penindakan korupsi di lingkungan sipil dan militer. Jaksa Agung Sugih Arto memimpin TPK. Dia mengawasi beberapa struktur pendukung. Ini termasuk sekretaris, anggota dan kelompok kerja.Dalam struktur perwakilan kelompok masyarakat yang mengakar. Diantara yang lain militer, pers, ekonomi dan keuangan, dan organisasi massa. TPK telah menghadapi delapan kasus korupsi besar dan ratusan kasus korupsi kecil dalam dua tahun terakhir tahun pertama pelayanan. Contoh: korupsi di Bulog, Pertamina, PN Telekomunikasi, Jasa Grafis dan Pers, Koperasi dan Ciba, CV Haruman, CV Waringin dan Gedung Perkantoran Indonesia. Cakupan kasus korupsi besar puluhan hingga ratusan juta rupiah TPK gagal menuntaskan delapan kasus korupsi besar. Kasus-kasus ini terkait pejabat negara. Beberapa pihak menganggap TPK tidak lain adalah cakar dalam berbisnis korupsi kecil- kecilan selama dua tahun masa jabatannya. Tapi TPK tidak punya cakar dalam hal kasus korupsi oleh pejabat tinggi dan orang-orang yang dekat dengan pemerintah. ”TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan korupsi, jadi bila TPK ingin berhasil, harus berani.]ika tidak, maka nasibnya akan sama dengan tim—tim anti korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde Lama," kata seorang anggota MPRS dalam Indonesia Raya, 29 November 1968. Kritik senada juga datang dari Hoegeng Iman Santoso, Panglima Angkatan Kepolisian sekarang jabatan ini disebut Kapolri. Dia mengatakan orang-orang di TPK harusnya memiliki keberanian kuat, idealisme, dan ketegasan. Kenyataannya, TPK tidak memiliki semua kapasitas itu. Demikian pesan Hoegeng dalam Indonesia Raya, 24 Februari 1969. Sementara itu, Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, mengatakan: kekhawatiran munculnya praktik korupsi di Indonesia. TPK hadir tidak cukup kuat untuk memberantas epidemi. Dalam editorial Mochtar Lubis pada Harian Indonesia Raya Seri 2, Mochtar mengatakan itu bahwa koruptor benar-benar tak kenal takut dan puas. "Perilaku Korupsi tidak lagi dilakukan oleh individu untuk dirinya sendiri tetapi sekarang dilakukan dalam kelompok demi kelompok yang cukup besar untuk saling berinteraksi menutupi korupsi mereka untuk waktu yang lama,” tulis Mochtar. Sugih Arto menanggapi kritik terhadap kinerja TPK. Ia merasa TPK telah bekerja keras. Di Indonesia Raya, pada tanggal 5 Maret 1969, Sugih Arto menjelaskan bahwa TPK berhasil Hingga akhir tahun 1969, 172 kasus korupsi telah diselesaikan di tingkat pusat dan daerah. Pembelaan TPK Sugih Arto mengakui ada celah di TPK. Dia mengatakan pekerjaan TPK terhambat oleh UU Korupsi. Menurutnya, kerja TPK berdasarkan undang-undang korupsi. kedaluwarsa. Maksudnya Perpu No 24 Tahun 1960 tentangPenuntutan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Sugih Arto menegaskan keterbatasan waktu untuk mengusut dan mengadili tersangka Korupsi. Pasal 3 ayat 1 dan 2 Perpu No. 24 Tahun 1960 menyebutkan batas maksimal penahanan dugaan korupsi hanya enam bulan. Jika lebih dari enam bulan, kasusnya akan dihentikan. Namun, penanganan kasus korupsi tidak bisa dilakukan secepat itu. Ketika orang memuji kinerja TPK, Suharto membentuk TaskForce Ui pada tahun 1968. Kelompok itu terdiri dari profesor dan mahasiswa dari Universitas Indonesia. “Satgas ini bertanggung jawab untuk melakukan penelitian terhadap berbagai pejabat pemerintah, dan Setelah menyelesaikan misinya, dia membuat petisi kepada pemerintah untuk mendapatkan dana dan sumber daya negara”, tulis Sjahrir dalam “Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi” yang termuat dalam Prisma, no 3, 1986. Pembentukan Task force UI lebih ditujukan untuk mencegah korupsi.Task Force membuat beberapa rekomendasi dan laporan tentang mengamankan dana dan sumber daya negara pejabat korup atau pejabat yang berwenang. Tapi rekomendasi dan laporan hanya masuk ke laci kantor-kantor pemerintah. Tidak ada tindakan pemerintah terhadap rekomendasi dan laporan satgas UI. “Satuan Tugas telah gagal, seperti halnya Tim Pemberantasan Korupsi, melatih Menteri Kehakiman (di antaranya sejumlah cendekiawan dan jurnalis anggota) mengalami kekalahan total, karena kedua tim tidak memiliki kekuatan praktis yang diperlukan, yang hanya ada di tangan sang jenderal Suharto,” kata Sjahrir dalam Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok. Menutupi laporan Komite Empat Melihat pemerintah tidak serius memberantas korupsi, sekelompok mahasiswa asal Jakarta berangkat pada Januari 1970. Waktu pergerakan mereka bertepatan dengan kenaikan harga BBM. Mereka menolak kenaikan harga bensin dan memperingatkan Pemerintah semakin berani menindak para pelaku korupsi. Kelompok mahasiswa ini disebut Perjuangan Mahasiswa (MM) mereka menempel poster di jalan raya, mobil, dan bus. ”Ternyata dampak gerakan ini kuat sekali. Kegiatannya di-cover oleh hampir semua surat kabar Ibukota... Presiden Soeharto menanggapi langsung tuntutan mahasiswa untuk memberantas korupsi dengan membentuk Komisi Empat,” tulis Sjahrir.MM setelahnya membekukan kegiatannya sendiri di bawah Konstitusi Komite Empat. Komite Empat dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970. Keputusan Presiden berdasarkan dua pertimbangan untuk pembentukan Empat Komite tersebut. "Ini semua usaha pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien dan Perlu membentuk Komisi yang dianggap tepat. " Komite Empat hanya memiliki empat anggota, seperti namanya. mereka Wilopo S.H.J. Kasimo, Pr. Ir. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto. Dua orang lainnya membantu Komite Empat sebagai penasehat dan sekretaris yaitu Mohammad Hatta dan Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Komite Empat memiliki dua mandat. Pertama, mengkaji kebijakan antikorupsi. Kedua, memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Hilangkan korupsi. Harapan masyarakat dihidupkan kembali dengan adanya Komite Empat. Mereka percaya pada integritas anggota Komisi empat. Setelah enam bulan bekerja, Komisi empat menyampaikan laporan kerjanya kepada presiden. Tapi presiden tidak berterus terang mempublikasikan laporannya kepada publik. Presiden berjanji akan mengumumkannya 16 Agustus 1970. Perintah Eksekutif Presiden telah mengecewakan lebih dari satu orang. "Kami mencintai Presiden Soeharto sudah lama menunda publikasi isi laporan Komisi IV,” tulisn Mochtar. Tak mau menunggu terlalu lama, harian Sinar Harapan terbitan 18-24 Juli 1970 pun bocor Komite Empat melapor ke publik. Laporan tersebut menunjukkan bahwa korupsi telah Mencakup pertambangan Pertamina, Bulog dan Perhutani. Komite Empat menasihati pemerintah pemberantasan korupsi di BUMN. Masa kerja Panitia Empat berakhir setelah penyampaian laporan kerjanya kepada Presiden pada pertengahan Juli 1970. Sementara presiden tidak pernah menepati janjinya menerbitkan laporan Komite Empat. Komunitas mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Beberapa dari mereka mulai memberikan tekanan lebih pada pemerintah. Mereka mendirikan gerakan komite antikorupsi seperti KPK di Jakarta, Bandung Bergerak di Bandung, dan front Pemberantasan Korupsi di Yogyakarta. Kelak tindakan mereka kemudian mendapat penolakan dari pemerintah. Kesimpulan Diawali Oleh Tuntutan Mahasiswa Presiden Soeharto telah berjanji untuk memberantas korupsi. “Pernyataan itu dikemukakan oleh presiden ketika menerima delegasi bersama Steering Committee panel diskusi DIVI-UI (Dewan Mahasiswa), KAK (Komite Anti Korupsi), BB(Bandung Bergerak), dan FAK (Front Anti Korupsi) dari Yogyakarta," catat mingguanMahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970. Mereka memiliki minat yang sama dalam kasus ini kasus korupsi di Indonesia. Mereka menaruh Indonesia berharap tidak ada lagi korupsi di pemerintahan baru yang dibentuk Suharto. Kerja TPK bekerja Suharto telah menangkap suara mahasiswa, pemuda dan pers. Dalam pidato sebelumnya anggota DPR pada 16 Agustus 1967, Suharto mengatakan bahwa pemerintahan Sukarno telah gagal menyelesaikan akar penyebab korupsi. Enam bulan setelah pidatonya di depan anggota DPR, Soeharto mengeluarkan keputusanPresiden (Kepres) No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Ini termasuk sekretaris, anggota dan kelompok kerja. Dalam struktur perwakilan kelompok masyarakat yang mengakar. TPK telah menghadapi delapan kasus korupsi besar dan ratusan kasus korupsi kecil dalam dua tahun terakhir tahun pertama pelayanan. Beberapa pihak menganggap TPK tidak lain adalah cakar dalam berbisnis korupsi kecil-kecilan selama dua tahun masa jabatannya. Tapi TPK tidak punya cakar dalam hal kasus korupsi oleh pejabat tinggi dan orang-orang yang dekat dengan pemerintah. ”TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan korupsi, jadi bila TPK ingin berhasil, harus berani. ]ika tidak, maka nasibnya akan sama dengan tim—tim anti korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde Lama," kata seorang anggota MPRS dalam Indonesia Raya, 29 November 1968. Dia mengatakan orang-orang di TPK harusnya memiliki keberanian kuat, idealisme, dan ketegasan. Dalam editorial Mochtar Lubis pada Harian Indonesia Raya Seri 2, Mochtar mengatakan itu bahwa koruptor benar-benar tak kenal takut dan puas. "Perilaku Korupsi tidak lagi dilakukan oleh individu untuk dirinya sendiri tetapi sekarang dilakukan dalam kelompok demi kelompok yang cukup besar untuk saling berinteraksi menutupi korupsi mereka untuk waktu yang lama,” tulis Mochtar. Di Indonesia Raya, pada tanggal 5 Maret 1969, Sugih Arto menjelaskan bahwa TPK berhasil Hingga akhir tahun 1969, 172 kasus korupsi telah diselesaikan di tingkat pusat dan daerah. Dia mengatakan pekerjaan TPK terhambat oleh UU Korupsi. Tidak ada tindakan pemerintah terhadap rekomendasi dan laporan satgas UI. “Satuan Tugas telah gagal, seperti halnya Tim Pemberantasan Korupsi, melatih Menteri Kehakiman (di antaranya sejumlah cendekiawan dan jurnalis anggota) mengalami kekalahan total, karena kedua tim tidak memiliki kekuatan praktis yang diperlukan, yang hanya ada di tangan sang jenderal Suharto,” kata Sjahrir dalam Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok. Menutupi laporan Komite Empat Melihat pemerintah tidak serius memberantas korupsi, sekelompok mahasiswa asal Jakarta berangkat pada Januari 1970. Presiden Soeharto menanggapi langsung tuntutan mahasiswa untuk memberantas korupsi dengan membentuk Komisi Empat,” tulis Sjahrir. MM setelahnya membekukan kegiatannya sendiri di bawah Konstitusi Komite Empat. Komite Empat dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970. Keputusan Presiden berdasarkan dua pertimbangan untuk pembentukan Empat Komite tersebut. Komite Empat menasihati pemerintah pemberantasan korupsi di BUMN. Masa kerja Panitia Empat berakhir setelah penyampaian laporan kerjanya kepada Presiden pada pertengahan Juli 1970. Sementara presiden tidak pernah menepati janjinya menerbitkan laporan Komite Empat. Beberapa dari mereka mulai memberikan tekanan lebih pada pemerintah. Mereka mendirikan gerakan komite antikorupsi seperti KPK di Jakarta, Bandung Bergerak di Bandung, dan front Pemberantasan Korupsi di Yogyakarta.