Anda di halaman 1dari 2

Hapuntenna teu acan tiasa deui ka Cilimus, margi hujan.

Hujan
Allah swt. tidak hanya mengutus (‫ )يرسل‬nabi untuk memberikan kabar gembira (‫)بشيرا‬,
ada makhluk lain yang Dia utus untuk itu. “Rasul” itu bernama rīh (angin). Angin diutus
untuk memberikan kabar gembira setiap kali hujan akan turun. Angin tidak sendiri, ia dibantu
matahari (‫ )سراجا وهاجا‬dalam membuat awan yang berat (‫)سحابا ثقاال‬, kemudian “...dan Kami
menggiringnya ke hamparan bumi yang tandus (‫)بلد ميت‬...” (Q.S. Al-A’raf ayat 57). Lalu
tumbuhlah pepohonan serta buah-buahan. Semua itu, -kata-Nya- “matā’an lakum wa li
an’āmikum..” (Q.S. Abasa ayat 32), kesenangan bagi kalian dan hewan ternak milik kalian.
Mungkin saja makna risalah hujan adalah, sang “rasulullah” yang bernama angin
menyampaikan wahyu kebahagiaan berupa air hujan agar manusia dan hewan ternak merasa
senang.

“Qola, ngaroqo heula.....”

Dalam al-Qur`an terdapat lima kata kunci untuk membuka makna-makna yang
terkandung dalam fenomena hujan. Lima kata kunci itu adalah anzala, asqā, shabbā, ahyā
dan akhraja (Tafsir Tematik Pelestarian Lingkungan. Kemenag RI).
'Anzala’ berarti ada sesuatu yang digerakkan dari atas ke bawah tanpa perantara.
‘Asqā’ berarti memberi minum atau menyiram. ‘Shabbā’ berarti menurunkan sekaligus,
mencurahkan. ‘Ahya’ berarti menghidupkan, meniupkan ruh. ‘Akhraja’ berarti ada yang
ditumbuhkan dari sesuatu yang mati. Subjek (fa’il) dari lima kata kunci tersebut tersebut
adalah Allah swt.

“Qola, ngaroqo heula...”

Dengan gaya bahasa (Arab: uslub) yang menohok –“araaitum?!”, Allah swt.
menyeru manusia agar merenungkan air:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “apakah kalian semua sudah berpikir, jika (sumber)
air kamu surut ke dalam tanah, siapa yang akan memberimu air yang mengalir” (Q.S. Al
Mulk ayat 30).
Perkara air, Allah swt. memberi peringatan agar jangan sampai air diurus oleh si
“sembilan orang/kelompok” (‫)تسعة رهط‬. Siapa sebenarnya yang sembilan itu? Ulama berbeda
pendapat dalam menafsirkannya. Banyak nama yang dikaitkan oleh mufassirin dengan
‘tis’atu rahthin’ dalam al-Qur`an, ada si fulan, ada si fulan yang lain. Namun yang jelas
dalam banyak riwayat penafsiran ‘tis’atu rahthin’ adalah anak para bangsawan yang berbuat
kerusakan dengan leluasa. Secara antropologis, al-Qur`an menjelaskan bahwa tis’atu rahthin
berada di kota. Entah siapa atau apa yang dimaksud tis’atu rahthin sebenarnya? Yang jelas
umat Nabi Muhammad tidak termasuk ke dalamnya. Berkenaan dengan pelestarian
lingkungan, Nabi Muhammad saw. bersabda, yang artinya:
“Apabila waktu kiamat telah tiba dan di tangan salah seorang
kalian ada bibit tanaman, sekiranya bisa, hendaknya ia tidak
berdiri sebelum menanam (bibit tersebut); maka lakukanlah!”
(Riwayat Ahmad dari Anas bin Mālik).

Wallahu a’lām

Anda mungkin juga menyukai