Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi pada saluran nafas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat,

yang merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada anak-anak dan orang

dewasa. Hal ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan kualitas

penatalaksanaannya belum memadai.Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh

bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50

kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang)

(Riskesdas, 2013). Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan atau infeksi yang terjadi

pada parenkim paru yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti virus, bakteri,

jamur dan parasit (Djojodibroto, 2016).

Pneumonia disebabkan oleh organisme seperti virus dan bakteri yang masuk kedalam

tubuh sehingga mikroorganisme pathogen mencapai bronkioli terminalis lalu merusak sel

epitel basilica dan sel goblet sehingga cairan eksudat dan leukosit masuk ke dalam alveoli

sampai terjadi konsolidasi paru yang mengakibatkan kapasitas vital dan compliancemenurun

sehingga meluasnya permukaan membrane respirasi dan penurunan rasio ventilasi perfusi

sehingga suplai O2 dalam tubuh terganggu (Misnadiarly, 2008).

Menurut (Riskesdas, 2013) dan (Riskesdas, 2018), Prevalensi pengidap pneumonia

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tahun 2013 mencapai 1,6 %,

sedangkan pada tahun 2018 meningkat menjadi 2.0 % (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Jadi sedari tahun 2013 dan 2018 penyakit pneumonia mengalami peningkatan sebanyak 0,4

% seperti yang dijelaskan 2 pada data diatas. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013)

menyebutkan, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%, sementara itu laporan

(Riskesdas, 2018) menyebutkan penderita pneumonia segala umur mencapai 2,21%, pada
usia 54-64 tahun mencapai 2,5%, usia 65-74 tahun sebanyak 3,0% dan 75 tahun keatas

mencapai 2,9%, jika dirata-ratakan, maka penderita pneumonia usia lanjut adalah 2,8%.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.

tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae, yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan

Asam (BTA). Tuberkulosis menyebar dengan mudah melalui udara. Ketika orang yang

terinfeksi batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka mengeluarkan bakteri tersebut.

Sedikit dari bakteri itu dapat menimbulkan penularan. Tuberkulosis paru sampai saat ini

masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di semua negara, bahkan menjadi

masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia (Puspita et al., 2013).

Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2017, TB merupakan salah satu

penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. TB juga merupakan penyebab utama kematian

yang berkaitan dengan antimicrobial resestence dan pembunuh utama penderita HIV. Pada

tahun 2016, diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru (insidensi) TB di seluruh dunia,

diantaranya 6,2 juta laki-laki, 3,2 juta wanita, dan 1 juta adalah anak-anak. Dan diantara

penderita TB tersebut, 10% diantaranya merupakan penderita HIV positif. 7 negara yang

menyumbang 64% kasus baru TB di dunia adalah India, Indonesia, Tiongkok, Filipina,

Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, 1,7 juta orang meninggal

karena TB termasuk didalamnya 0,4 juta merupakan penderita HIV. Namun secara global,

tingkat kematian penderita TB mengalami penurunan sebanyak 37% dari tahun 2000-2016

(WHO, 2017).

Di Indonesia, TBC adalah masalah kesehatan yang ditanggulangi oleh pemerintah.

Data WHO (2017) mencatat bahwa lima negara dengan kasus tertinggi yaitu India, Indonesia,

China, Philipina, dan Pakistan. Indonesia adalah negara dengan pasien TB terbanyak ke-2 di
dunia. Angka kematian dan kesakitan yang disebabkan oleh kuman Myobacterium

tuberculosis di Indonesia sangatlah tinggi. Pada tahun 2017, jumlah kasus TB baru ada

sebanyak 420.994 kasus. Data kasus TB berdasarkan pada jenis kelamin lakilaki 245.298

orang, sedangkan kasus pada perempuan yaitu 175.698 orang, 1,4 kali lebih besar

dibandingkan perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus yang

lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut kelompok umur, kasus

tuberkulosis paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar

18,07% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,25% dan pada kelompok umur 35-44

tahun sebesar 16,81%. TBC masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia dan di

indonesia. TBC juga merupakan salah satu indikator keberhasilan SDGs ( Sustainability

Development Goals ) yang harus dicapai oleh Indonesia, yaitu menurunkan angka kematian

dan angka kesakitan setengahnya. (Kemenkes RI, 2014).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut

(ISNBA) dengan batuk dan disertai dengan sesak nafas disebabkan agens infeksius seperti :

virus bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru

yang disertai eksudasi dan konsolidasi. (Nurarif & Kusuma, 2015). Pneumonia adalah

peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup

bronkiolus respiratori, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

gangguan pertukaran gas setempat. (Zul Dahlan, 2014).

2.1.2 Etiologi Pneumonia

Secara umum pneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan tubuh

terhadap virulensi organisme patogen. Orang normal dan sehat memiliki mekanisme

pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya

lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ dan sekresi

humoral setempat. Timbulnya pneumonia disebabkan oleh bakteri virus dan jamur, antara

lain (Nurarif dan Kusuma, 2015) :

1) Bakteri :Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella

2) Virus :Legionella Pneumoniae

3) Jamur :Aspergillus Spesies, Candida Albicans

4) Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung kedalam paru

5) Terjadi karena kongesti paru yang lama


2.1.3 Klasifikasi Pneumonia

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya2 :

1) Community-Acquired Pneumonia

Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di sebabkan

oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and resistant strains ),

Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis

(all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP.

CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke

segmen paru atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan

karakteristik penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.

Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial.

Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema

terjadi akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka kesakitan dan

kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan pasien dengan imunokompromis. Resiko

kematian akan meningkat pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan

respiratory rate, hipotensi, demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.

2) Hospital-Acquired Pneumonia

Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih

dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated pneumonia )

didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah

sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak

seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi

traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial

adalah P. Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit. ATS

membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari

perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan

di rumah sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik dibandingkan

late onset pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism

sehingga mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia

nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur

semikuantitatif dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).

3) Ventilator-Acquired pneumonia

Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi setelah

48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang dimasukan melalui

mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi dapat muncul jika bakteri

masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.

2.1.4 Patofisiologi Pneumonia

Gambaran patologis tertentu dapat ditunjukkan oleh beberapa bakteri tertentu bila

dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumonia biasanya bermanisfestasi

sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan

pada remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau

abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonates, karena

Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin,

stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis pendarahan, dan

kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang

mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat

korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat

menetap hingga berbulan- bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut

(Rahajoe dkk, 2008).Sedangkan Pneumonia bacterial menyerang baik ventilasi maupun

difusi. Suatu reaksi-reaksi infalamsi yang dilakukan oleh pneumokokus terjadi pada alveoli

dan menghasilkan eksudat, yang mengganggu gerakan dan difusi okisegen serta karbon

dioksida. Sel-sel darah putih, kebanyakan neutrofil, juga bermigrasi ke dalam alveoli dan

memenuhi ruang yang biasanya mengandung udara. Area paru tidak mendapat ventilasi yang

cukup karena sekresi, edema mukosa, dan bronkospasme, menyebabkan oklusi parsial bronki

atau alveoli dengan mengakibatkan penurunan tahanan oksigen alveolar. Darah vena yang

memasuki paru-paru lewat melalui area yang kurang terventilasi dan keluar ke sisi kiri

jantung tanpa mengalami oksigenasi. Pada pokoknya, darah terpirau dari sisi kanan ke sisikiri

jantung. Percampuran darah yang teroksigenasi dan tidak teroksigenasi ini akhirnya

mengakibatkan hipoksemia arterial. (Brunner & Suddarth, 2002).

Bakteri Virus Jamur, Protozoa

Eksudat intra alveolar Peradangan interstitial Penyebaran granuloma

dada
2.1.5 Manifestasi Klinis Pneumonia

Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada pneumonia adalah demam atau panas

tinggi disertai batuk berdahak yang produktif, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit),

selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk pisau atau sesak, sakit kepala, gelisah

dan nafsu makan berkurang (Rikesdas, 2013). Pneumonia bacterial (pneumokokus) secara

khas diawali dengan awitan menggil, demam yang timbul dengan cepat (39,5 o sampai 40,5 o

), dan nyeri dada yang tersa ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk. Pasien

sangat sakit dengan takipnea sangat jelas disertai dengan pernapasan mendengkur,

pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan. Pneumonia

atipikal beragam dalam gejalanya, tergantung pada organism penyebab.

Banyak pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas (kongestinasal, sakit

tenggorokan), dan awitan gejala pneumonianya bertahap. Gejala yang menonjol adalah sakit

kepala, demam tingkat rendah, nyeri pleuritis mialgia, ruam, dan faringitis. Nadi cepat dan

berkesenambungan. Nadi biasanya meningkat sekitar 10 kali/menit untuk kenaikan satu

derajat celcius. Pada banyak kasus pneumonia, pipi berwarna kemerahan, warna mata

menjadi lebih terang, dan bibir serta bidang kuku sianotik. Tanda-tanda lain terjadi pada

pasien dengan kondisi lain seperti kanker, atau pada mereka yang menjalani pengobatan
dengan imunosupresan, yang menurunkan daya tahan terhadap infeksi dan

terhadaporganisme yang sebelumnya tidak dianggap pathogen serius.

Tanda-tanda klinis utama pneumonia menurut (Betz & Sowden, 2009) meliputi hal-hal

sebagai berikut :

1) Batuk.

2) Dispnea.

3) Takipea.

4) Pucat, tampilan kehitaman, atau sianosis (biasanya tanda lanjut).

5) Melemah atau kehilangan suara nafas.

6) Retaksi dinding thorak : interkostal, substernal, diafragma, atau Nafas cuping

hidung.

7) Nyeri abdomen (disebabkan oleh iritasi diafragma oleh paru terinfeksi didekatnya).

8) Batuk paroksismal mirip pertusis (sering terjadi pada anak yang lebih kecil).

9) Anak-anak yang lebih besar tidak Nampak sakit.

10) Demam

11) Sakit kepala sesak nafas.

12) Menggigil.

13) Berkeringat.

Ada beberapa faktor resiko pneumonia (Depkes RI, 2005):

1) Usia tua atau anak-anak.


2) Merokok.

3) Adanya penyakit paru yang menyertai.

4) Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus.

5) Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia).

6) Obstruksi bronkhial.

7) Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti kortikosteroid.

8) Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi).

Tanda dan gejala menurut (Robinson & Saputra, 2014) antara lain :

1. Batuk

2. Dispnea

3. Lemah

4. Demam

5. Pusing

6. Nyeri dada pleuritik

7. Napas cepat dan dangkal

8. Menggigil

9. Sesak napas

10. Produksi sputum

11. Berkeringat

12. Penurunan saturasi oksigen dengan alat oksimetri denyut (pulse oximetry reading)
13. Ronki dan melemahnya bunyi nafas

2.1.6 Diagnosis Pneumonia

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Pneumonia

1. Sinar x : Mengidentifikasikan distribusi structural (misal: labor, bronchial), dapat

juga meyatakan abses.

2. Biopsy paru : Untuk menetapkan diagnosis.

3. Pemeriksaan gram atau kultur, sputum dan darah : untuk dapat mengidentifikasi

semua organisme yang ada.

4. Pemeriksaan serologi : Membantu dalam membedakan diagnosis organisme

khusus.

5. Pemeriksaan fungsi paru : Untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat

penyakit dan membantu diagnosis keadaan.

6. Spirometrik static : Untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.

7. Bronkostopi : Untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing. (Nurarif

& Kusuma, 2015).


Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil pemeriksaan

laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada (IDAI, 2009). Berikut untuk

pemeriksaan penunjang pada pneumonia :

1. Pemeriksaan Radiologi.

Foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrate sampai konsolidasi

dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambar kaviti. Gambar

adanya infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis (IDAI, 2009).

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya

merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris

tersering disebabkanoleh Steptococcus pneumonia, pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrate bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan klebsiela

pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun

dapat mengenai beberapa lobus.

2. Pemeriksaan Laboratorium.

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya lebih

dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etilogi

diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah positif pada 20-25%

penderita yang tidak diobati, analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada

stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.1.8 Penatalaksanaan Pneumonia

Pengobatan pneumonia terdiri atas pemberian antibiotik dan pengobatan suportif.

Yang harus diperhatikan pertama kali pada pasien pneumonia adalah evaluasi terhadap
fungsi pernafasan dan untuk menentukan adanya penyakit di sistemik, seperti dehidrasi

atau sepsis yang berakibat kolaps pada sirkulasi (DiPiro,et al. 2005). Terapi awal

pneumonia bakterial diberikan secara empiris, dengan penggunaan antibiotik spektrum

luas sebelum spesifik patogen penyebab diketahui (Soedarsono, 2004).

Terapi Antibiotika
Pemberian terapi antibiotik diberikan secara empiris dengan pengarahan
Algoritma Diagnosis dan Terapi Pneumonia yang dapat dilihat pada gambar 2.1

Orang sehat/sakit

Patogenesis
Diagnostik Faktorinfeksi

Pneumonia komunitas/nosokomial

Faktordiagnostik

Diamosis empiric ISNBA


Jenis/tingkatsakit
Kuman penyebab

Faktorpasien
Faktorantibiotik

Terapiempirik

Evaluasiterapi

Penyesuaianantibiotik
Terapi antibiotika untuk pneumonia bakterial secara empiris pada pasien dewasa

Tabel 2.2 Terapi Empirik Antibiotika Pasien Pneumonia Dewasa (DiPiro et al, 2005)

Kondisi pasien Bakteri Penyebab Terap


Umum i
Sebelumnya Peumococcus, Makrolid, tetrasiklin
sehat Mycoplasma
pneumoniae
Usia lanjut Pneumococcus, bakteri Piperasilin / lazobaktam,
gram negatif, sefalosporin, karbapenem
Staphylococcus aureus,
H.
influenzae
Bronkitis kronik Pneumococcus, H. Amoxicilin, tetrasiklin,
influenzae, M. kotrimoksazol,
catarrhalis cefuroxim,
amoxicillin/klavulanat,
makrolid-azalid,
fluoroquinolon
Alkoholisme Pneumococcus, K. Ticarcillin-klavulanat,
pneumoniae, S. aureus, piperacillin-tazobaktam
H. influenzae, anaerob dan aminoglikosida,
mulut karbapenem,
fluoroquinolon
Aspirasi
Komunitas Anaerob mulut Penisilin atau
Rumah sakit Anaerob mulut, S. aureus, klindamisin
enterik gram negatif Klindamisin,
ticarcillin- klavulanat,
piperacillin-
tazobaktam dan
aminoglikosida
Pneumonia Basil gram negatif (K. Piperacillin-tazobaktam,
nosokomial pneumoniae, Enterobacter karbapenem, sefalosporin
spp., Pseudomonas spektrum luas dan
aeruginosa), S. aureus aminoglikosida,
fluoroquinolon

Dosis antibiotika yang direkomendasikan untuk terapi pneumonia bakterial


dapat dilihat dalam tabel 2.3
Dosis Antibiotika Pada Terapi Pneumonia Bakterial (DiPiro et al.,2005).
Dosis antibiotika sehari
Golongan Antibiotika Anak Dewasa (dosis
antibiotika (mg/kg/hari) total/hari)
Klaritromisin 15 0,5 – 1 g
Makrolid Eritromisin 30 – 50 1–2g
Azitromisin 10 mg/kg x 1 500 mg 1 hari
Azali hari lalu 5 lalu 250
d mg/kg/hari x mg/hari
4 hari x 4 hari
Tetrasiklin HCl 25 – 50 1–2g
Tetrasiklin Oksitetrasiklin 15 – 25 0,25 – 0,3 g
Ampisilin 100 – 200 2–6g
Amoksisilin/ 40 – 90 0,75 – 1 g
Penisilin amoksisi
lin-klavulanat
Piperasilin- 200 – 300 12 g
tazobaktam
Ampisilin- 100 – 200 4–8g
sulbaktam
Seftriakson 50 – 75 1–2g
Sefalosporin Seftazidim 150 2–6g
spektrum diperluas Sefepim 100 – 150 2–4g
Gatifloksasin 10 – 20 0,4 g
Fluoroquinolon Levofloksasin 10 – 15 0,5 – 0,75 g
Siprofloksasin 20 – 30 0,5 – 1,5 g
Gentamisin 7,5 3 – 6 mg/kg
Aminoglikosida Tobramisin 7,5 3 – 6 mg/kg

Terapi Suportif

Terapi suportif umum diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Terapi O2

untuk mencapai PaO2 80 – 100 mmHg atau saturasi 95 – 96% berdasarkan

pemeriksaan analisis darah. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran

dahak yang kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila

terdapat bronkospasme. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak. Keutuhan

kapiler paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama jika terdapat

pneumonia bilateral. Pemberian cairan harus diatur dengan baik, termasuk pada

keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Pemberian kortikosteroid pada fase

sepsis berat perlu diberikan, tapi terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan

renjatan septik. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang

diperlukan jika terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal

prarenal. Perbaikan oksigenisasi karena dengan tingginya konsentrasi O2 dapat

menyebabkan penurunan kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Bila


terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapat

terutama dari lemak (> 50%) untuk menghindari pembentukan CO 2 yang berlebihan

(Dahlan, 2006).

2.2 Definsi Tuberculosis (TB)

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

TB paru. Mycobacterium TB paru ditularkan melalui percikan dahak (droplet) dari

penderita tuberkulosis kepada individu yang rentan. Sebagian besar kuman

Mycobacterium TB paru menyerang paru, namun dapat juga menyerang organ lain

seperti pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem

urogenital dan lain-lain (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh TB paru bacillus Mycobacterium. Penyakit ini menyebar di

udara ketika orang-orang menderita TB paru misalnya melalui batuk (WHO, 2015).

2.2.1 Epidemiologi Tuberculosis (TB)

Semua manusia di dunia ini dapat terinfeksi kuman tuberkulosis paru, orang

muda dan tua, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin dapat menderita penyakit

tuberkulosis paru. Kuman tuberkulosis tidak pernah memilih induk semangnya dan

siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Daya tahan tubuh yang rendah tidak dapat

melawan kuman sehingga kuman akan berkembang (Arif, 2000).


Lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan

tuberkulosis paru membunuh 100.000 anak setiap tahunnya khusus untuk Indonesia.

Tuberkulosis paru menyerang sebagian besar penderita termasuk dalam kelompok

usia produktif, yaitu antara 20-49 tahun (Aditama, 2002).

Menurut Prihatni (2015), ternyata TB tidak hanya menyerang paru, tetapi

juga dapat menyerang oran tubuh yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB

tulang), otak dan syaraf (TB otak dan syaraf), mata (TB mata).

2.2.2 Etiologi Tuberculosis (TB)

Etiologi Widoyono (2008) menyatakan bahwa penyebab TB paru adalah

kuman Mycobacteria Tuberkulosis, yang berbentuk batang berukuran panjang 1-4

mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan. Kuman Mycobacteria Tuberkulosis disebut pula sebagai Basil

Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam

jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun

(Depkes, 2002).

2.2.3 Klasifikasi Tuberculosis

Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2011) yaitu :

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

1) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar Lymfe, tulang, persendian,

kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB

paru:

1) Tuberkulosis paru BTA Positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.

d) 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA Negatif Criteria diagnostic Tb paru BTA negative harus

meliputi :

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.


c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi

kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (defult) Adalah pasien yang telah berobat dan

putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

5. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,

dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan

masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

2.2.4 Patofisiologi Tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis masuk ke saluran pernapasan melalui udara (droplet)

yang mengandung basil tuberkel dari penderita TB Paru yang tidak menutup mulut saat

bersin atau batuk. Basil yang dapat masuk ke dalam alveolus dan menimbulkan infeksi. Pada

tahap awal sistem imunitas tubuh akan melalui proses pengenalan mikobakterium ini melalui

APC (Antigen Presenting Cell). Setelah itu, terjadilah reaksi antigen dan antibodi, dimana
sistem imun non-spesifik akan mengeluarkan polimorfonuklear untuk fagositosis bakteri ini.

Antibodi non-spesifik juga mengeluarkan makrofag untuk membantu proses fagositosis

bakteri ini, dan Mycobacterium tuberculosis masuk ke endosom makrofag di alveolus.

Bakteri yang masuk ini menghambat pematangan endosom sehingga terjadi gangguan

pembentukan fagolisosom untuk proses fagositosis yang lebih lanjut. Bakteri ini berkembang

tanpa hambatan oleh karena dinding sel yang tahan asam dan peptidoglikan pada dinding sel

tersebut dapat menghambat reaksi fagositosis. Setelah 3 minggu terjadinya proses

peradangan, maka terbentuklah suatu sistem imun yang spesifik yaitu sel-T/limfosit T.

Limfosit T ini akan berdiferensiasi menjadi sel T CD 4+ ( sel T-helper) dan membantu proses

pembentukan sel T CD 8+ (sel T sitotoksik). Sel T sitotoksik akan memfagosit makrofag dan

sel yang terinfeksi bakteri ini, sehingga timbul gambaran infiltrat pada paru. Saat sel T

sitotoksik terbentuk, terbentuk pula Th1 yang akan menghasilkan Interferon/IFN gamma dan

TNF-beta. Interferon gamma akan merekrut monosit yang berdiferensiasi menjadi histiosit

dan epiteloid dan terjadilah respon granulomatosa dimana jaringan granulasi ini menjadi

lebih fibrotik, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu

kapsul mengelilingi tuberkel agar tidak menyebar, walaupun bakteri ini tetap dapat

bereplikasi. Gambaran inilah yang disebut nekrosis kaseosa/reaksi perkejuan. Ketika terjadi

suatu proses peradangan, maka tubuh mengeluarkan suatu mediator inflamasi salah satunya

ialah histamin, sehingga terjadi rangsang kerja pada goblet sel dan terjadi hipersekresi mukus

yang menyebabkan batuk pada penderita. Tumor Necrosis Factor (TNF-alfa) yang juga

dihasilkan merupakan suatu pirogen endogen yang akan merangsang prostaglandin dan

menaikkan termostat regulator di hipotalamus sehingga suhu tubuh naik ke patokan yang

baru. Untuk reaksi menghasilkan panas tubuh, maka penderita akan menggigil. Sedangkan

untuk reaksi kompensasi pelepasan panas tubuh maka penderita akan berkeringat.

2.2.5 Diagnosa Tuberculosis


a. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa Menurut Depkes RI (2006), diagnosis

TB Paru pada orang dewasa dapat dilakukan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan

dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari

tiga spesimen SPS (SewaktuPagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen

yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau

pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulang.

1) Kalau hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita didiagnosis sebagai

penderita TB positif.

2) Kalau hasil foto rontgen tidak mendukung TB paru, maka pemeriksaan dahak SPS

(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektum luas selama

1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala kinis tetap mencurigakan TB, ulangi

pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).

1) Kalau hasil positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.

2) Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk

mendukung diagnosis TB.

3) Bila hasil rontgen mendukung TB, didagnosis sebagai penderita TB BTA negatif

rontgen positif.

4) Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB

b. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak

Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang

diambil penderita misalnya dahak. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga

sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran rontgen dada
dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita Tuberkulosis kalau mempunyai

sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif, terdapat reaksi kemerahan

cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) serta terdapat gejala klinis TB. Agar anak

terhindar dari penyakit TB maka perlu diberikan imunisasi BCG untuk kekebalan aktif

terhadap penyakit Tubekulosis (TB), vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette

Guaerrin (BCG) hidup yang dilemahkan. BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2

bulan (Depkes RI, 2006).

1) Uji tuberculin (Mantoux)

Bila uji tuberculin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB

aktif pada anak. Namun, uji tuberculin dapat negatif pada anak TB berat dengan alergi

(malnutrisi, penyakit sangat berat, dll). Jika uji tuberculin meragukan dilakukan uji silang.

2) Reaksi cepat BCG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7

hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi

kuman TB.

3) Foto rontgen dada Gambaran rontgen TB paru pada anak tidak khas dan

interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan bias overdiagnosis atau

underdiagnosis.

4) Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi Pemeriksaan BTA secara mikroskopis

langsung pada anak biasanya dilakukan dengan bilasan lambung karena dahak biasanya sulit

didapat pada anak. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, dll, masih

memerlukan penelitian yang lebih lanjut.

2.2.6. Manifestasi Klinis Tuberculosis (TB)


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 sampai dengan 3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak napas, rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan

demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2011).

Gejala respiratorik yang dirasakan penderita TB paru dapat bermacam-macam, seperti

batuk yang berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya iritasi pada bronkus dengan

sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudia setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Hal ini menyebabkan adanya dahak bercampur

darah bahkan sampai batuk darah (haemaptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

Ketika batuk bercampur darah telah terjadi, keadaan yang lebih lanjut akan terjadi sesak

napas, dimana infiltrasi kumannya sudah setengah bagian paru-paru (Sudoyo, Setiyohadi,

Alwi, dkk, 2009)

Gejala sistemik akan dirasakan demam yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh

penderita dan berat ringannya infeksi kuman yang masuk, lalu rasa kurang enak badan

(malaise) yang sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,

meriang, dan berkeringat di malam hari tanpa melakukan aktifitas (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,

dkk, 2009).

2.2.7 Pengobatan Tuberculosis (TB)

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi

kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2011). Pengobatan TB menggunakan obat antituberkulosis

(OAT) dengan metode direcly observed treatment shortcourse (DOTS).

1. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC baru.


2. Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang

pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).

3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+).

4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap

intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+).

Obat diminum sekaligus 1 jam sebelum makan (Widoyono, 2008) Pengobatan TB

diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu pengawasan secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menukar menjadi

tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi

BTA negative dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan RI 2007:21). Fase ini bertujuan untuk

membunuh kuman sebanyakbanyaknya dan secepat-cepatnya, karenanya digunakan 4-5 obat

sekaligus (Tjandra Yoga, 2008: 66). Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2

HRZE):

a. INH (H) : 300 mg – 1 tablet

b. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

c. Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg

d. Etambutol

(E) : 750mg – 3 kaplet @ 250 mg

Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali (Widoyono, 2008).

2. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan RI 2007:21). Pada fase ini

bertujuan menghilangkan sisa-sisa kuman yang ada, untuk mencegah kekambuhan Tahap

lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4 H3R3):

a. INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300mg

b. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu sebanyak 54 kali (Widoyono, 2008).

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan

dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan

dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada saat perut kosong. Apabila paduan

obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB

akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Pengobatan dilakukan dengan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO), untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat (Depkes RI, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L., Sowden, Linda A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta:

EGC.

Departemen Kesehatan R.I. 2005. Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes

RI

Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi 2006.

Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi 2007.

Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi 2011

DiPiro, Joseph T., Hamilton, Cindy W., Schwinghammer, Terry L., Wells, Barbara G., 2005.

Pharmacotheraphy Handbook. 6th ed. Singapore : The McGraw-Hill Companies, Inc. P.425-430.

Djojodibroto D. (2016). Penyakit parenkim paru. In Perdan TI, Sujanto D (Eds).

Respirologi. Jakarta: EGC

Kemenkes RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan

Misnadiarly. (2008). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan dengan

Perilaku Pencegahan Pneumonia Pada Balita. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan

Masyarakat, 1(4), 1–10.

Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Dianosa Medis

& Nanda NIC-NOC. Jilid 3. Jogjakarta: Mediaction.


Puspita, E., Christianto, E., & Indra, Y. (2013). Gambaran Status Gizi Pada Pasien

Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud Arifin Achmad

Pekanbaru. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Ranny, A. (2016). Perbedaan Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas Dewasa

dengan Usia Lanjut di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang 2014.

http://scholar.unand.ac.id/3681/

Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of

Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-

8113/44/8/085201

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI Tahun 2013. Diakses di

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda s%20.2013.pdf

Soedarsono, 2004. Pneumonia. In : Alsagaff, Hood; Wibisono, M.Yusuf;

Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Graha Masyarakat

Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hal. 130-160.

Sudoyo, W, Aru; Setiyohadi, Bambang; Alwi, Idrus dkk,2009. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing

Widoyono. 2008.Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantasannya.Jakarta : Erlangga

WHO. 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: World Health Organization

Zul, Dahlan. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Ed ke-VI. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai