Anda di halaman 1dari 10

Concursus memiliki 3 bentuk yakni :

perbarengan peraturan (concursus idealis),perbarenganperbuatan (concursus realis)dan


perbarenganperbuatan berlanjut.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhiuntukdapat menyatakan


adanya perbarenganadalah :

a. Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan


b. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (ataudua orang
dalam hal penyertaan)
c. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili
d. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus
Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukumpidana, yang biasa juga
disebut dengan ajaran yaitu:
a) Concursus idealis: apabila seseorang melakukan satu perbuatan danternyata satu
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukumpidana. Dalam KUHP disebut
dengan perbarengan peraturan.
b) Concursus realis: apabila seseorang melakukan beberapa perbuatansekaligus.
c) Perbuatanberlanjut: apabila seseorang melakukan perbuatan yang samabeberapa
kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubunganyang demikian erat
sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggapsebagai perbuatan lanjutan.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas secara rincimengenai ketiga bentuk
perbarengan atauconcursus.

a) ConcursusIdealis : yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebihdari satu


aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satuperbuatan (eendaadsche
samenloop), yakni suatu perbuatan meliputilebih dari satu pasal ketentuan hukum
pidana. Sistem pemberian pidanayang dipakai dalamconcursus idealisadalah
sistem absorbsi, yaituhanya dikenakan pidana pokok yang terberat.

Dalam KUHP bab IIPasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan :


a) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu,jika berbeda-beda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidanapokok yang paling berat.

b) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yangumum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanyayang khusus itulah yang
dikenakan.
Contoh Concursus Idealis :
‘’suatu pemerkosaan di muka umum,maka pelaku dapat diancam denganpidana
penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosaperempuan, dan pidana
penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281karena melanggar kesusilaan di muka
umum. Dengan sistem absorbsi,maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara.
Namun, apabiladitemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok
yangsejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidanapokok
yang mempunyai pidana tambahan paling berat.

b) ConcursusRealis: atau gabungan beberapa perbuatan terjadiapabila seseorang


melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masingperbuatan itu berdiri sendiri
sebagai suatu tindak pidana.BisadikatakanConcursus realisterjadi apabila
seseorang sekaligusmerealisasikan beberapa perbuatan.

Hal ini diatur dalam Pasal 65sampai 71 KUHP.Pasal65KUHP berbunyi sebagai


berikut :
a) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandangsebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapakejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis makadijatuhkan hanya satu pidana.
b) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidanayang
diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih darimaksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.

Pasal 66 KUHP berbunyi :


a) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masingharus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehinggamerupakan beberapa
kejahatan yang diancam dengan pidana pokokyang tidak sejenis, maka
dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan,tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana yangterberat ditambah sepertiga.
b) Pidana denda dalam hal itu dihitung menurut lamanya maksimumpidana
kurunganpenggantiyang ditentukan untuk perbuatan itu.

Pasal67 KUHP berbunyi :


Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, makabeserta itu tidak
boleh dijatuhkan hukuman lain lagi kecualipencabutan hak-hak tertentu
perampasan barang-barang yang telahdisita sebelumnya, dan pengumuman
putusan hakim.

Berdasarkan rumusan ayat (1) pasal 65 dan 66,


Maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana dalam
perbarenganperbuatan satu samalain harus di pandang terpisah dan berdiri
sendiriinilah yang merupakan ciri pokok dari perbarengan perbuatan.

Contoh Concursus Realis :


“Di dalam satu kecelakaan, seseorang pengemudi mobil telahmenyebabkan
matinya seseorang pengendara sepedamotor dan telahmenyebabkan seorang lainya
mengalami luka berat. Apa yangsesungguhnya terjadi itu bukanlah satu
pelanggaran, melainkan duaakibat yang terlarang oleh undang-undang ini
merupakan duaperbuatan.”

c) Perbuatan berlanjutPerbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang


melakukanbeberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-
perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandangsebagai
satu perbuatan berlanjut.
Dalam MvT (Memorie vanToelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada
hubungansedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatanberlanjut” adalah :
a) Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.
b) Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya.
c) Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.Batas
tenggang waktu dalam perbuatanberlanjut tidak di atur secarajelas dalam
undang-undang. Meskipun demikian jarak antaraperbutan yang satu dengan
yang berikutnya dalam batas wajar yangmasih menggambarkan bahwa
pelaksanaan tindak pidana oleh sipembuat tersebut ada hubungan baik dengan
tindak pidana (sama)yang di perbuat sebelumnya maupun dengan keputusan
kehendakdasar semula.

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjutmenggunakan sistem absorbsi,


yaitu hanya dikenakan satu aturanpidana terberat, dan bilamana berbeda-beda
maka dikenakan ketentuanyang memuat pidana pokok yang terberat.

Pasal 64 ayat (2) merupakanketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan
mata uang,sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam
halkejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurianringan),
373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barangringan), yang dilakukan
sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai-nilai kejahatan yang timbul dari kejahatan ringanyang dilakukan
sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,-maka menurut pasal 64 ayat 3
dikenakan aturan pidana yang berlakuuntukkejahatan biasa.Misalnya A
melakukan 3 kali penipuan ringan(379) berturut turut sebagai suatu perbuatan
berlanjut dan jumlahkerugian yang timbul adalah lebih dari Rp. 250,-Terhadap A
bukannyadikenakan pasal 379 yang maksimumnya adalah 3 bulan
penjaratetapidikenakan pasal 378 yang maksimumnya 4 tahun penjara.

Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)

A. Pengertian

Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak
pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak
pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada
putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada
Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara
perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan.


Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

Sistim Residive Umum

Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana
yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada
daluwarsa dalam residivenya.

Sistem Residive Khusus

Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan
pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan
terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu
yang tertentu pula.

Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam
“Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana
tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.

Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu


pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem
Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-
pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

B. Recidive Kejahatan

Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah
recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan
tertentu ini KUHP membedakan antara :

1. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,


2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok
sejenis”.

Ad. 1 : Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”diatur secara tersebar


dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHPyaitu dalam pasal:
137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis
(2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan
pemberatan pidana

Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang


bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan sebagai berikut :

1. Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan
yang terdahulu;
2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah
ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
3. Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu
menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393
syarat ini tidak ada)
4. Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut
dalam pasal-pasal terbseut, yaitu :

a. 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik


dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau

b. 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik


dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).

Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan


mempunyai kekuatan tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :

1. Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya


keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk)
dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag) berdasar
Pasal 191 KUHAP.
2. Keputusan hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya
hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
3. Keputusan hakim tersbut berupa penetapan (beschikking) misalnya :

 Keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk


memeriksa perkara yang bersangkutan,
 Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa
tidak melakukan kejahatan.
 Tidak diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.

Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung


sejak adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap. Jadi tidak disyaratkan
apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula
disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum
baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini
berbeda-beda, yaitu :

1. Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak


untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang
pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata
pencahariannya);
2. Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216);
pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman
pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat
ditambah sepertiga.
3. Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393
dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.

Ad.2: Recidive terhadap kejahatan-kejahatn tertentu yang masukdalam satu “kelompok


jenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP

Adapun persayaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut


sebagai berikut :

1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis


dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu.

Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :

 Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan
harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248),
pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368),
pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378),
kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
 Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pada umumnya mengenai
kejahatan terhadap orang.
 Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya mengenai
kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan
penerbitan/percetakan.

Dengan adanya kelompok jenis kejatan-kejahatan seperti dikemukakan


diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang
melakukan pencurian biasa (362) kemudian melakukan delik lagi yang
berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310) karena masing-
masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-
beda.

Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan sebagai alas


an adanya recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan
(373), penipuan ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak
dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP. Begitupula
pulapenganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam
kelompok 487 KUHP. Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam
KUHP sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok
kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis
kejahatan pribadi orang) tidak disebutkan delik maker dalam PAsal 104
dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (285),
perdagangan wanita (297), pengguguran (299), dan perjudian (303).

Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa


dalam sistem, KUIHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai
alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana)

2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang


pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa
pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini,
maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak
berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau
yang berupa beschikking.

3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.


Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada alas an recidive untuk
pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu
berupa pidana kurungan atau pidana denda.

4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :

1. Belum lewat 5 tahun :

 Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang


dijatuhkan terdahulu, atau
 Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan

2. Belum lewat tenggang waktu daluarasa kewenangan menjalankan


pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992
dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana
penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu
pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :

 Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu


pengulangannya adalah sebelum lewat tahun 2005 (perhitungan : 1992
+ 8 + 5).
 Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat
grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka tenggang
waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan :
1992 + 2 + 5).
 Apabila A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun
1994 melarikan diri, maka tenggang waktu penggulanganya adalah
sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan
pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP
tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri.
Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebelum lewat tahun 2010
yaitu dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu
daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338 lihat pasal
84 KUHP)

Dari contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu


recidive dapat lebih dari 5 tahun.

C. RECIDEVE PELANGGARAN

Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut


KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja
yang disebut dalam Buku III KUHP.

Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat
merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-
pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544,
545, 549 KUHP.

Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal


yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :

1. Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang
terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang
bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2. Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan
hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya
putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.

Berdasarkan syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya


tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan
apakah pidana tersebut sduah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).

Recidive dalam RUU KUHP

RUU Hukum Pidana rumusan terbaru yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah
dan DPR RI mengatur secara khusus mengenai “Pengulangan Tindak Pidana” dalam
Buku I tentang Aturan Umum (Buku I Bab II tentang Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana). Hal ini berbeda dengan KUHP yang saat ini berlaku
yang tidak secara khusus mengatur dalam salah satu Bab di Buku I tentang Aturan
Umum, melainkan diatur tersebar dalam berbagai Pasal dalam Buku II (tentang
Kejahatan) dan Buku III (tentang Pelanggaran).RUU Hukum Pidana Pasal 24
menentukan bahwa “Pengulangan Tindak Pidana” terjadi jika seseorang melakukan
Tindak Pidana kembali:
1. dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok
yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau,
2. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang
dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

Selanjutnya dalam Pasal 64 ditegaskan pula mengenai “Pemberatan Pidana”, bahwa


faktor yang memperberat pidana meliputi:
1. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau
Tindak Pidana yangdilakukan oleh pejabat negara, (aparat) penegak hukum,
pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang diberikan kepadanya karena jabatan;
2. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia
pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau
3. pengulangan Tindak Pidana.Ketentuan mengenai pemberatan pidana tersebut
tidak terlalu berbeda dengan apa yang ada dalam KUHP yang masih berlaku saat
ini,

bahwa pemberatan pidana berlaku untuk perbuatan penyalahgunaan kewenangan


jabatan oleh pegawai negeri (diperluas termasuk pejabat negara dan aparat penegak
hukum), penggunaan bendara saat melakukan tindak pidana (diperluas termasuk lagu
kebangsaan dan lambang negara), dan pengulangan tindak pidana (recidive).
Sementara untuk penggabungan/concurcus diatur pula dalam pasal lainnya dengan
istilah “perbarengan”. Mengenai “bentuk pemberatan pidana”, diatur dalam pasal
tersendiri yakni dalam Pasal 65 yang secara tegas menentukan bahwa “Pemberatan
pidana adalah dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana”.
Misalnya ancaman pidana untuk perbuatan yang diancam dengan pidana maksimum
15 tahun penjara dengan adanya pemberatan pidana maka ancaman pidananya dapat
ditambah 1/3 dari maksimum ancaman pidana yang berarti 20 tahun penjara.Selain itu,
ada aturan pula dalam Pasal 77, yang pada pokoknya menentukan bahwa
“pengulangan tindak pidana” termasuk salah satu sebab seseorang tidak boleh hanya
diberi “pidana denda”, apabila hakim berdasarkan pertimbangannya hanya akan
menjatuhkan pidana denda bagi orang yang melakukan tindak pidana yang hanya
diancam dengan pidana penjara “di bawah 5 tahun”. Selanjutnya dalam Pasal 123,
ditentukan bahwa diversi wajib diupayakan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana. Pasal ini merupakan penegasan dari ketentuan
dalam UU SPPA sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, karena ada tambahan
frasa “wajib” dalam redaksional pasal tersebut. Lalu dalam Pasal 145 ayat (3) pada
pokoknya mengatur pula bahwa dalam hal pidana denda diperberat karena
pengulangan (recidive), pemberatan berupa pidana tambahan untuk perampasan
barang atau tagihan tetap berlaku, sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap
tindak pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur yang disebabkan diantaranya karena
sebab kedaluwarsa, atau sebab diversi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Dengan mencermati pasal-pasal terkait pengulangan tindak pidana yang terdapat
dalam RUU Hukum Pidana tersebut, setidaknya dapatlah dipahami beberapa hal
sebagai berikut:
1. Konsep atau sistem recidive yang diatur dalam RUU Hukum Pidana menganut
sistem “Algemene Recidive” atau recidive umum, artinya sudah tidak lagi
membedakan jenis tindak pidana atau kelompok jenis tindak pidana yang diulangi.
2. Jangka waktu seseorang dikenakan pemberatan akibat recidive ialah “5 (lima)
tahun” setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau
pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan, atau pada waktu melakukan
Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum
kedaluwarsa (masih menjalani pidana).
3. Pemberatan pidana adalah dengan penambahan 1/3 dari maksimum ancaman
pidana.
4. Pelaku recidivist tidak boleh hanya dijatuhi pidana denda oleh hakim untuk delik
yang ancaman pidananya yakni pidana penjara di bawah 5 tahun.
5. Pengulangan tindak pidana oleh pelaku anak tidak “wajib” diberikan upaya diversi

Anda mungkin juga menyukai