Anda di halaman 1dari 12

Nama : Fahrurrozy

NIM : 1813030021

Kelas : HTN C

Matkul : Hukum Humaniter

RESUME KE-10

ISLAM DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Seiring dengan terjadinya konflik bersenjata di banyak belahan dunia Islam, hukum
perang Islam menjadi suatu keniscayaan demi melindungi warga sipil dan mereka yang
digolongkan sebagai hors de combat (kombatan yang tidak lagi berpartisipasi dalam konflik).
Selama berabad-abad, para ahli fikih klasik telah menyusun suatu literatur hukum yang
mengesankan, yang seperti halnya hukum humaniter internasional (HHI)—mengedepankan
aspek kemanusiaan dalam perang. Menonjolkan sifat universalitas dari prinsip-prinsip HHI–
yang melampaui tradisi hukum, peradaban dan budaya—adalah mutlak demi meningkatkan
penghargaan dan perlindungan bagi para korban konflik bersenjata di dunia Islam.

A. Asal-usul Hukum Perang Islam


Munculnya Islam pada 610 masehi mengancam sistem agama, politik, ekonomi, dan
sosial yang saat itu berlaku di Jazirah Arab. Sikap permusuhan terhadap para pengikut
agama baru ini kian meningkat, dan mereka kemudian dipaksa menyelamatkan diri
keluar dari tanah kelahiran Islam, Mekkah, dua kali. Pertama ke Abyssinia (sekarang
menjadi Ethiopia) pada 615, kemudian ke Yathrib (sekarang menjadi Medina) di Arab
Saudi, pada 622. Permusuhan terus berlanjut bahkan setelah pelarian diri ke Madinah,
hingga terjadi sejumlah bentrokan, termasuk pertempuran, antara kaum Muslim dan
musuh-musuhnya.
Aspek sejarah Islam ini disinggung singkat dalam Alquran; dan aspek ini tercatat
dengan rinci dalam sīrah nabawiyah (kisah hidup Rasulullah, sejarah Islam awal) yang
mengungkap jumlah korban mati dan mereka yang ditawan, dan terkadang nama lengkap
mereka. Literatur hadis (sabda, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah) juga memuat ribuan
riwayat mengenai subyek ini. Untuk memahami sepenuhnya kumpulan literatur ini dan
mengambil hukum darinya, bahkan para ahli juga harus mempelajari dan mengamati
kumpulan literatur lainnya, termasuk tafsir dan metodologi hadis; mereka harus
melakukan ini untuk menenkan kesahihan para perawi dan keaslian berbagai riwayat dari
periode ini.
Seluruh kumpulan literatur ini merupakan bahan, atau naskah, dari mana para fuqahā’,
atau ahli fikih, mengembangkan hukum perang Islam dalam literatur fikih, atau hukum
Islam, dengan berbagai judul seperti al-jihād, al-siyar, al-maghāzī1 ; pada judul-judul
tersebut, para cendekiawan Muslim kontemporer menambahkan istilah akhlāq al-ḥarb
(etika perang) dan al-qanūn al-dawlī al-insānī fī al-Islām (hukum humaniter
internasional, atau HHI, dalam Islam).
Pengantar singkat ini menunjukkan di mana, di sumber apa, hukum perang Islam
dapat dipelajari. Pengantar ini juga menjelaskan betapa perbedaan interpretasi berbagai
sumber ini adalah salah satu alasan mengapa terdapat peraturan yang kontradiktif, serta
pelanggaran besar, sehubungan dengan penggunaan kekuatan oleh Muslim.
B. Sumber-sumber Hukum Perang Islam
Sumber-sumber atau perangkat yang digunakan oleh para ahli fikih untuk
mengembangkan hukum perang Islam antara lain adalah sebagai berikut: 1) Alquran; 2)
Sunnah (tradisi Nabi); 3) preseden dari periode awal Islam, terutama hingga sekitar 661
M; 4) ijmak atau konsensus di antara para ahli fikih; 5) qiyas atau putusan ahli fikih yang
dicapai melalui analogi; dan 6) maslahah atau kepentingan umum.
Patut ditambahkan di sini bahwa dalam Islam, sebuah perjanjian bersifat mengikat
kecuali perjanjian itu dalam beberapa hal jelas-jelas melanggar ajaran agama. Adalah
penting pula bahwa sejak abad ketujuh, hukum Islam telah dikembangkan oleh
cendekiawan Islam secara individu, dan independen, yang merupakan bagian Sunni atau
Syiah. Tambahan lagi, masing-masing cendekiawan ini adalah pengikut salah satu dari
sekian banyak mazhab: di antara mazhab-mazhab itu ada empat mazhab yang paling
utama di dunia Sunni (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) dan tiga mazhab di antara
pengikut Syiah (Mazhab Dua Belas Imam/Itsna Asyariyyah, Zaidiyyah, dan Ismailiyah).
Karena perkembangan hukum Islam berpijak pada naskah spesifik yang berkaitan
dengan konteks perang di abad ketujuh, dan karena sifat perangkat yang dilibatkan dalam
proses pembuatan hukum, aturan Islam mengenai penggunaan kekuatan sering bertolak-
belakang satu sama lain. Kontradiksi ini sebagian juga akibat dari kenyataan bahwa
hukum Islam tengah mengalami reformasi dan bahwa sekarang ini hukum Islam
dikodifikasi terutama dalam hukum keluarga. Lebih dari itu, sebagai konsekuensi dari
kolonialisme Eropa, hukum Islam di hampir semua negara Muslim, kecuali sebagian
kecil saja, digantikan oleh sistem hukum Prancis atau Inggris; karena itulah, hukum
Islam di banyak bidang, termasuk hukum konflik bersenjata, tetap murni menjadi
persoalan akademis.
Mengenai hukum internasional, termasuk HHI, suatu konsensus telah ada sejak
pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di antara kaum cendekiawan dan negara-
negara di dunia Muslim, bahwa kumpulan hukum ini sejalan dengan semangat sejati dan
tujuan akhir Islam, tapi tidak serta-merta sejalan dengan seluruh peraturan yang
dikembangkan di masa lalu oleh para ahli fikih klasik yang berlaku di suatu konteks
politik yang amat berbeda. Ini sebabnya seluruh negara Muslim telah menandatangani
Konvensi Jenewa dan traktat internasional terkait lainnya.
Namun demikian, beberapa waktu belakangan, pelanggaran HHI serius telah
dijustifikasi secara selektif dengan menggunakan pendapat fikih klasik tertentu atau
interpretasi atas naskah, atau hanya dengan analogi terhadap situasi perang klasik
tertentu—demi, misalnya, membenarkan pembunuhan warga sipil. Namun demikian,
perlu dicatat pula bahwa sejumlah kelompok Muslim non-negara lainnya telah
merancang aturan perilaku yang didasarkan pada hukum Islam dan bahwa aturan itu
selaras dengan prinsip-prinsip HHI modern. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam
digunakan sekaligus disalahgunakan dalam konflik bersenjata kontemporer di dunia
Muslim.
Mempelajari poin-poin hubungan korespondensi antara hukum Islam dan HHI
modern bukanlah soal kemewahan intelektual: ini adalah soal strategi penting dalam
memastikan bahwa prinsip-prinsip HHI diperhatikan, semaksimal mungkin, dalam
konteks spesifik konflik bersenjata.
C. Karakteristik Hukum Perang Islam
Karena keunikan teks dan sumber, juga konteks (masa lalu dan sekarang), dari mana
hukum perang Islam diturunkan, hukum perang Islam—yang digunakan untuk mengatur
perilaku perselisihan dalam konflik bersenjata—memiliki sejumlah karakteristik yang
harus dipertimbangkan:
(1) dasar agama: karena aturan Islam mengenai perilaku permusuhan diturunkan dari
kitab suci Islam.
(2) motivasi agama: hal ini mendorong orang-orang yang beriman untuk mengikuti
aturan Islam tentang perilaku perselisihan agar diberi ganjaran oleh Tuhan di akhirat dan
juga untuk menghindari hukuman Tuhan, termasuk hukuman negara;
(3) diniatkan oleh diri sendiri: untuk alasan-alasan yang disebut di atas dan tanpa
memandang perilaku pihak lawan terkadang para ahli fikih menggunakan prinsipprinsip
timbal-balik (resiprokal) untuk mencabut larangan atas senjata atau taktik tertentu. Perlu
diingat bahwa tidak ada traktat internasional yang mengatur tentang penggunaan
kekuatan ketika hukum perang Islam ini diciptakan.
(4) memiliki dasar kontekstual dan tekstual: tentu saja, sepanjang sejarah Islam, para
ahli fikih berbeda dalam menafsirkan teks dan konteks terkait hukum perang Islam, yang
mengantarkan pada
(5) peraturan tentang penggunaan kekuatan yang saling bertolakbelakang.
Putusanputusan yang kontradiktif ini juga adalah akibat para ahli fikih harus
menyeimbangkan batasan-batasan dalam Islam mengenai penggunaan senjata yang
membabi buta dan berbagai metode perang—bisa dibilang, demi memanusiawikan
konflik bersenjata— dengan kepentingan militer demi memenangkan perang. Hal ini
menjelaskan
(6) kesenjangan lebar antara teori dan praktik: sementara hukum Islam mencakup
peraturan rinci yang, menariknya, sebagian besar selaras dengan prinsip-prinsip HHI
modern, sebagian Muslim justru melakukan pelanggaran serius terhadap HHI.
Karena karakteristik-karakteristik ini, hukum konflik bersenjata Islam akan terus
digunakan, atau setidaknya dijadikan acuan, oleh Muslim yang menggunakan Islam
sebagai sumber rujukan mereka. Lebih dari itu, karena putusan-putusan yang kontekstual
dan terkadang kontradiktif itu, hukum perang Islam sering kali digunakan secara
sembrono untuk menjustifikasi tindakan melukai orang-orang atau obyek yang
dilindungi.
Di sisi lain, sebagaimana yang ditunjukkan di bawah, kemiripan antara prinsip-prinsip
HHI dan hukum perang Islam menunjukkan bahwa dua tradisi hukum ini memiliki
tujuan sama dan bahwa prinsip-prinsip HHI modern merupakan bantuan praktis dalam
mengatur perilaku permusuhan selama situasi konflik kontemporer. Memberi penekanan
pada universalitas prinsip-prinsip HHI, yang melampaui tradisi hukum, peradaban dan
budaya, adalah hal yang mutlak untuk menjamin kepatuhan pada HHI.
D. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional Islam
Literatur hukum Islam yang luas dan terinci terkait pengaturan konflik bersenjata
menunjukkan bahwa para ahli fikih Islam klasik memikirkan filosofi dan prinsip yang
kurang lebih sama dengan yang mengilhami HHI. Menariknya, literatur hukum Islam
klasik membedakan antara konflik bersenjata internasional dan non-internasional.
Derajat signifikansinya menjadi dua kali lipat: pertama, peraturan tentang penggunaan
kekuatan dalam konflik bersenjata non-internasional jauh lebih ketat dan lebih
manusiawi daripada peraturan konflik bersenjata internasional; kedua, karena sejumlah
preseden tertentu dalam sejarah Islam awal, hukum Islam mengidentifikasi empat
kategori konflik bersenjata non-internasional yang memiliki aturan yang berbeda-beda
dalam hal penggunaan kekuatan.
Hukum perang Islam berusaha memanusiakan konflik bersenjata dengan melindungi
nyawa para non-kombatan, menghormati martabat kombatan musuh, dan mencegah
kerusakan harta-benda musuh kecuali bila betul-betul dibutuhkan oleh kepentingan
militer atau ketika terjadi tidak sengaja, sebagai kerusakan ikutan (collateral damage).
Berikut adalah inti prinsip-prinsip hukum humaniter internasional Islam.
1. Perlindungan warga sipil dan non-kombatan
Hukum Islam dengan gamblang menjelaskan bahwa segala pertempuran di
medan perang harus diarahkan hanya kepada kombatan musuh. Warga sipil dan
nonkombatan tidak boleh dilukai dengan sengaja sepanjang masa permusuhan.
Dalam QS 2:190 disebutkan; “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Beberapa kisah yang dihubungkan dengan Rasulullah di mana beliau secara
khusus menyebutkan lima kategori orang yang mendapat imunitas non-kombatan
di bawah hukum Islam: perempuan, anak-anak, orang tua, rohaniwan, dan, yang
terpenting, para ʻusafā’ (budak atau orang yang dibayar untuk melakukan layanan
tertentu untuk musuh di medan perang, tapi tidak ikut ambil bagian dalam
permusuhan langsung).
Berbagai tugas ʻusafā’ di medan perang pada saat itu termasuk merawat
binatang dan barang-barang pribadi para kombatan. Dalam konteks perang
modern, peran mereka sama seperti petugas medis –militer dan sipil—wartawan
militer dan segala kategori lain dari orang-orang di pasukan musuh yang tidak
terlibat dalam permusuhan langsung; orang-orang ini pun tidak bisa dijadikan
sasaran.
Para sahabat Rasulullah dan generasi ahli fikih selanjutnya menangkap logika
yang memandu larangan menyasar lima kategori orang ini, dan memberikan
imunitas nonkombatan untuk kategori orang lainnya juga, misalnya kepada yang
sakit, orang buta, mereka yang lumpuh, orang gila, para petani, pedagang, dan
pengrajin.
Namun demikian, mereka yang masuk dalam kategori orang-orang yang
dilindungi ini akan kehilangan imunitas non-kombatan mereka apabila mereka
ambil bagian dalam permusuhan. Para ahli fikih Islam klasik menelusuri berbagai
kasus menarik yang melibatkan partisipasi orang-orang yang dilindungi ini dalam
permusuhan dan mendiskusikan kemungkinan dibolehkannya menjadikan orang-
orang ini sebagai sasaran.
Kasus-kasus ini termasuk contoh berikut: seorang perempuan yang betul-betul
bertempur di medan perang atau melempar batu ke arah pasukan tentara Islam
atau berpatroli dengan pasukan musuh atau menggunakan uang pribadinya untuk
mendanai tentara musuh; dan seorang waria/hermaphrodite (yang penampilannya
tidak memberi petunjuk gender) yang dijumpai selama pertempuran. Kasus-kasus
lainnya melibatkan seorang anak atau orang tua yang berpartisipasi langsung
dalam permusuhan, dan seorang tua yang dibawa ke medan perang untuk
merencanakan operasi musuh.
Tanpa memperhatikan nuansa diskusi mereka dan putusan mereka yang
berbeda tentang dibolehkannya menjadikan orang-orang yang dilindungi ini
sebagai sasaran, fakta bahwa mereka menelusuri kasus-kasus itu dan
memikirkannya saja sudah dapat membuktikan bahwa prinsip pembedaan dan
doktrin imunitas non-kombatan menjadi perhatian besar mayoritas ahli fikih
klasik.
2. Larangan menggunakan senjata pemusnah (indiscriminate weapons)
Demi memelihara jiwa, dan martabat, warga sipil dan non-kombatan yang
dilindungi— dan meski senjata yang digunakan kaum Muslim pada abad ke-7 dan
ke-8 masih primitif dan daya rusaknya terbatas—para ahli fikih klasik
mendiskusikan diperbolehkannya penggunaan senjata pemusnah berjenis apa pun,
seperti mangonel (ketapel atau senjata pelontar batu besar) dan panah dengan
ujung beracun atau berapi.
Dalam QS 5:32 disebutkan: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum)
bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Fakta bahwa senjata pemusnah
ini menjadi subyek diskusi mengindikasikan kepedulian besar akan harta-benda
musuh dan keinginan untuk melindungi, seperti dicontohkan berikut.
Perlu ditambahkan di sini bahwa diperbolehkannya menggunakan senjata
membabibuta dipelajari sehubungan dengan situasi selain perang yang melibatkan
pertempuran di antara individu. Misalnya, para ahli fikih mempertimbangkan
apakah senjata semacam itu boleh digunakan melawan musuh yang bertempur
dari posisi yang dibentengi. Dalam situasi semacam ini, jelas akan sangat sulit
menghindari tindakan yang mencelakai orang-orang atau objek yang dilindungi.
Lagi-lagi semua ini menunjukkan bahwa prinsip pembedaan adalah alasan di balik
diskusi soal kemungkinan menggunakan senjata yang membabibuta seperti itu.
Menyeimbangkan prinsip-prinsip kemanusiaan dengan prinsip kepentingan
militer, sebagian besar ahli fikih membolehkan tembakan kepada benteng musuh
dengan mangonel, namun mereka tidak bersepakat mengenai boleh tidaknya
menembakkan panah berapi ke benteng musuh. Satu kelompok melarang,
kelompok lain menunjukkan ketidaksukaan terhadap metode perang ini, dan
kelompok ketiga mengizinkan dengan syarat bila ada keperluan militer di situ atau
bila itu merupakan bentuk pembalasan yang setimpal. Putusan-putusan yang
saling bertentangan semacam ini menciptakan kesulitan besar ketika hukum
perang Islam digunakan sebagai sumber acuan dalam konflik bersenjata masa
kini, karena mereka bisa digunakan secara “tebang pilih” untuk membenarkan
serangan terhadap orang atau obyek yang dilindungi.
3. Larangan melakukan serangan membabibuta
Didorong oleh kepedulian yang sama yang membuat mereka mempelajari
benartidaknya menggunakan mangonel dan panah beracun atau berapi (sarana
perang), para ahli fikih klasik juga mendiskusikan kemungkinan dua metode
perang yang berpotensi membabibuta dan dapat mengakibatkan pembunuhan
orang-orang yang dilindungi dan kerusakan terhadap obyek yang dilindungi,
yaitu: al-bayāt (serangan malam hari) dan al-tatarrus (penggunaan perisai
manusia)
Dasar pemikiran untuk mempelajari keabsahan pertempuran malam—suatu
isu yang muncul pertama kali saat diskusi antara Rasulullah dan para sahabat—
adalah bahwa al-bayāt tidak melibatkan perang antarindividu karena mereka tidak
bisa melihat satu sama lain pada malam hari. Mangonel dan senjata serupa
terutama digunakan melawan musuh pada malam hari, yang bisa meningkatkan
risiko terlukainya orangorang dan objek yang dilindungi. Demikian pula, mereka
menganggap bahwa menyerang perisai manusia juga dapat menimbulkan bahaya
tambahan (incidental harm) dalam dua kasus yang mereka pelajari: kepada orang-
orang yang dilindungi dari musuh atau kepada tawanan perang Muslim.
Lagi-lagi, kebutuhan untuk menyeimbangkan prinsip-prinsip kemanusiaan
seperti pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian dengan prinsip
kepentingan militer membawa para ahli fikih membuat putusan yang
bertentangan. Sebagian dari mereka melarang serangan pada malam hari atau
serangan ke arah perisai manusia, sebagian lain tidak menyukai metode ini, dan
ada pula yang membolehkan, tapi hanya ketika dilakukan untuk keperluan militer.
Mereka juga tidak bersepakat tentang apa yang disebut kepentingan militer.
Namun demikian, tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka tentang poin
mendasar: bahwa orang-orang dan objek yang dilindungi tidak boleh dilukai
dengan sengaja.
4. Perlindungan atas properti
Dalam pandangan dunia Islam, segala isi dunia ini adalah milik Tuhan, dan
manusia— sebagai khalifah-Nya di muka bumi—dipercayakan tanggung jawab
untuk melindungi harta-benda-Nya dan memberikan kontribusi untuk peradaban
manusia. Karenanya, bahkan dalam masa peperangan, pengrusakan secara
serampangan terhadap hartabenda musuh sangatlah dilarang.
Khalifah pertama Abu Bakar (wafat 634) memerintahkan panglima perangnya:
“jangan menebang pohon yang berbuah; jangan menghancurkan bangunan; jangan
membantai domba atau unta kecuali untuk dimakan; jangan membakar atau
merusak pohon kurma.” Ahli fikih abad ke-8, Al-Awzāʻī (wafat 774),
menyatakan: “dilarang bagi Muslim untuk melakukan segala bentuk takhrīb,
pengrusakan berlebihan, [sepanjang masa permusuhan] di wilayah musuh.”
Pengrusakan semacam itu dilarang karena merupakan—sebagaimana larangan
kejahatan terorisme dalam hukum Islam— tindakan kriminal yang digambarkan
secara metaforis dalam Qur’an sebagai fasād fī al-arḍ (secara harafiah, kehancuran
di muka bumi).
Menarik untuk mencatat bahwa sedikit ahli fikih yang membedakan antara
harta-benda bernyawa dan tidak bernyawa yang dimiliki musuh. Imam a-Syafii
(wafat 820), pendiri mazhab Syafii, berkata bahwa semua makhluk hidup dapat
merasakan sakit dan karenanya mencelakai mereka sama saja dengan penyiksaan
yang tidak bisa dibenarkan. Sementara bagi Ibnu Qudāmah (wafat 1223) melukai
makhluk hidup masuk dalam definisi fasād fī al-arḍ. Menjadikan kuda dan
binatang sejenis sebagai target selama masa permusuhan diizinkan, tapi hanya
apabila tentara musuh menunggangi mereka saat berperang.
Ada sejumlah contoh dalam literatur hukum Islam klasik tentang penghargaan
terhadap kesakralan properti harta-benda publik dan privat pihak musuh. Cukup
kiranya menyebutkan satu contoh di sini. Para ahli fikih klasik
mempertimbangkan keabsahan mengonsumsi persediaan makanan musuh atau
mengambil pakan mereka untuk memberi makan binatang milik seseorang. Dari
situ mereka menyimpulkan bahwa ini dibolehkan, tapi hanya dalam jumlah yang
betul-betul dibutuhkan demi kepentingan militer, dan dengan demikian
menguatkan bahwa harta-benda musuh tidak dapat diganggu-gugat. Oleh karena
itu, aturannya (kecuali apabila dibutuhkan untuk kepentingan militer) serangan
terhadap harta-benda musuh harus dilakukan dengan memikirkan dua tujuan:
memaksa musuh menyerah atau mengakhiri peperangan; demi menghindari upaya
pengrusakan harta-benda dengan sengaja.
5. Larangan melakukan mutilasi
Hukum Islam dengan tegas melarang mutilasi. Perintah Rasulullah mengenai
penggunaan kekuatan mencakup perintah-perintah ini: “jangan mencuri dari
rampasan perang, jangan berkhianat, dan jangan memutilasi.” Rasulullah juga
menginstruksikan Muslim agar jangan dengan sengaja menyerang wajah musuh.
Perintah tertulis Abu Bakar kepada Gubernur Hadramaut, Yaman, berbunyi
sebagai berikut: “Berhati-hatilah dengan mutilasi, karena itu adalah sebuah dosa
dan tindakan yang menjijikkan.”
Penghargaan terhadap martabat manusia mensyaratkan agar tentara musuh
yang tewas dikuburkan atau jasadnya dikembalikan ke pasukannya setelah
permusuhan berhenti. Literatur hukum dan sejarah Islam awal mencatat bahwa
Rasulullah memerintahkan jasad tentara dikubur tanpa menanyakan apakah
mereka termasuk pasukan Muslim atau pasukan musuh. Ahli fikih Andalusia,
Ibnu Hazm (wafat 1064) menekankan bahwa Muslim memiliki kewajiban
mengubur jasad musuh dan bahwa kegagalan melaksanakan kewajiban ini sama
dengan mutilasi.
6. Perlakuan terhadap tawanan perang
Sejumlah karakteristik hukum Islam yang didiskusikan di atas menjadi
perhatian dalam perkara tawanan perang. Ada dua masalah di sini: apa yang harus
dilakukan dengan tawanan perang dan bagaimana mereka seharusnya
diperlakukan. Aturan dalam kedua kasus ini didasarkan pada bahan-bahan tertulis
dan sejarah serta beberapa preseden pada masa-masa awal sejarah Islam.
Mengenai apa yang harus dilakukan dengan tawanan perang, ahli fikih klasik
terbagi menjadi tiga golongan.
Golongan pertama, yang mengambil posisi berdasarkan QS 47:4, menganggap
bahwa tawanan perang harus dibebaskan baik secara sepihak atau ditukar dengan
tentara Muslim yang tertangkap.
Golongan kedua, terdiri atas ahli fikih aliran Hanafi, beranggapan bahwa
negara harus memutuskan, berdasarkan kepentingan terbaik, apakah
mengeksekusi atau memperbudak tawanan perang; tapi sebagian kecil pengikut
mazhab ini berkata bahwa tawanan perang boleh dibebaskan, tapi harus tetap di
Negara Islam karena mengizinkan mereka kembali ke negerinya sendiri akan
memperkuat pasukan musuh.
Golongan ketiga, mayoritas ahli fikih, juga beranggapan bahwa negara harus
memutuskan, berdasarkan kepentingan terbaik; namun demikian, mereka juga
berkata bahwa tawanan perang boleh dieksekusi, diperbudak, dibebaskan secara
sepihak atau ditukar dengan tentara Muslim yang tertangkap, atau dibebaskan tapi
dipaksa tinggal di negara Muslim.
Perlu dicatat di sini bahwa para ahli fikih yang mengizinkan eksekusi tawanan
perang mendasarkan keputusan mereka berdasarkan riwayat bahwa ada tiga
tawanan perang yang pernah dieksekusi dalam perang antara Islam dan musuh-
musuhnya sepanjang riwayat hidup Rasulullah. Namun, pemeriksaan terhadap
catatan sejarah menunjukkan bahwa kalau semua atau sebagian riwayat ini benar,
ketiga tawanan perang ini dipilih karena kejahatan yang pernah mereka lakukan
sebelum mereka ikut berperang.
Sedangkan untuk perlakuan terhadap tawanan perang, hukum Islam meminta
agar mereka dihargai dan diperlakukan secara manusiawi. Mereka harus diberi
makan dan minum, diberi pakaian bila perlu, dan dilindungi dari panas dan dingin
dan dari perlakuan yang kejam. Menyiksa tawanan perang demi mendapatkan
informasi militer dilarang, sebagaimana dinyatakan oleh Malik (wafat 795),
pendiri mazhab Maliki.
7. Jaminan keamanan dan pemberian ampun
Masalah amān (jaminan keamanan dan pemberian ampunan) memberi
sejumlah wawasan menarik mengenai hukum perang Islam. Amān, dalam arti
jaminan keamanan, mengacu pada perlindungan dan hak khusus yang diberikan
kepada warga non-Muslim dari negara musuh yang sementara hidup di atau
melakukan kunjungan singkat ke negara Islam untuk tujuan perdagangan,
pariwisata, pendidikan atau tujuan-tujuan damai lainnya.
Karena karakter profesi mereka, para diplomat telah menikmati hak istimewa
amān sejak masa pra-Islam. Literatur hukum Islam klasik bisa dikatakan
mendefinisikan amān, dalam hal pemberian ampun, sebagai “sebuah jaminan
perlindungan, yang diberikan selama berlangsungnya perang aktual, demi
melindungi orang dan hartabenda pihak musuh yang terlibat, seluruh resimen,
setiap orang di dalam benteng, seluruh pasukan musuh atau kota”.
Dalam beberapa hal, Amān bertujuan sama dengan status hors de combat.
Meminjam kata-kata ahli fikih klasik Islam, tujuan aman adalah ḥaqn al-damm
(mencegah pertumpahan darah, melindungi nyawa). Karenanya, bila kombatan
musuh meminta amān di medan perang selama permusuhan berlangsung–entah
secara lisan maupun tertulis, atau melalui isyarat atau melalui indikasi lain bahwa
mereka meletakkan senjata—permintaan mereka harus dikabulkan. Setelahnya,
mereka harus dilindungi dan diberikan hak yang sama seperti penduduk sipil
sementara di Negara Islam bersangkutan. Mereka tidak boleh diperlakukan
sebagai tawanan perang; mereka juga tidak boleh hidup dengan pembatasan dalam
hal apa pun selama tinggal di negara Muslim. Perlindungan ini berlaku efektif
hingga mereka kembali dengan selamat ke tanah air mereka.
Singkatnya, sistem amān menjelaskan dengan pasti bahwa kombatan musuh
tidak boleh menjadi sasaran apabila mereka tidak sedang berperang langsung.
Tentu saja perbuatan licik dilarang tegas dalam hukum perang Islam; namun,
muslihat dibolehkan, sebagaimana disabdakan Rasulullah: “Perang adalah
muslihat.”
Keunikan hukum Islam–asal-usul dan sumbernya, serta metodenya dalam
menciptakan dan menerapkan hukum—seharusnya sudah jelas dari deskripsi di
atas.
Demikianlah para ahli fikih klasik berhasil menyusun literatur hukum yang
luar biasa yang bertujuan memanusiawikan konflik bersenjata. Mereka juga
menunjukkan kepedulian besar kepada para non-kombatan dan warga sipil, juga
pada obyek sipil khusus: mereka berpendapat bahwa semua itu harus dilindungi,
dan tindakan melukai mereka secara insidental tidak dibenarkan kecuali dalam hal
terkait kepentingan militer yang mutlak.
Namun demikian, sejumlah aturan Islam soal penggunaan kekuatan
melahirkan tantangan dalam memanusiawikan konflik bersenjata. Ini karena,
dalam sejarah, hukum konflik bersenjata Islam tidak pernah dikodifikasi, dan juga
karena hukuman bagi pelanggaran itu tak pernah dibuat. Namun demikian, karena
dalam hukum Islam setiap traktat bersifat mengikat, dan karena prinsip-prinsip
HHI modern selaras dengan hukum perang Islam, HHI mengisi kekosongan ini–
represi terhadap pelanggaran— dengan sangat baik.

Anda mungkin juga menyukai