Anda di halaman 1dari 2

Landasan Teori

1. Teori Kepentingan
Pada teori kepentingan, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-
masing masyarakat, termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta agar
kepentingan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Semakin tinggi tingkat kepentingan
perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat (wajib
pajak). Dalam hal peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, para pihak dalam hal ini
penjual dan pembeli memiliki kepentingan dalam pemenuhan pajak yang timbul terhadap
perbuatan hukum tersebut. Adanya pajak penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan melalui jual beli terlihat bahwa kepentingan para pihak timbul
dalam pemenuhan pajak tersebut. Penjual dalam hal ini dibebankan dengan kewajiban untuk
pemenuhan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan yang dilakukan karena menerima
pembayaran dari pembeli dan timbul kepentingan untuk pemenuhan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang harus dilunasi sebelum dilakukan peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan tersebut. sedangkan disisi lain pembeli memiliki kepentingan untuk membayarkan
pajak yang timbul atas perbuatan hukum tersebut yaitu Pemenuhan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) serta pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas objek pajak
tersebut.
2. Teori Kewenangan
Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan.
Namun kewenangan juga diartikan yaitu: Untuk menerapkan dan menegakkan hukum;
Ketaatan yang pasti; Perintah; Memutuskan; Pengawasan; Yurisdiksi; atau kekuasaan.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.
Dalam hal pemenuhan pajak atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual
beli wajib pajak memiliki kewenangan untuk menghitung dan membayarkan pajaknya secara
sendiri dan mandiri (self assessment). Adapun dasar hukum self assessment diatur dalam
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan yang menyebutkan “Setiap
wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.” Sehingga berkaitan dengan Notaris/PPAT disebutkan bahwa Notaris/PPAT
tidak memiliki kewenangan dalam pemenuhan pajak yang timbul dari peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Kewenangan Notaris hanya sebatas membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang sedangkan kewenangan PPAT hanya sebatas melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum itu.

Anda mungkin juga menyukai