HEMATOTOKSIK
2021
PENDAHULUAN
Darah adalah cairan tubuh yang sangat penting bagi makhluk hidup. Darah bersirkulasi
pada jantung dan pembuluh darah untuk memberikan suplai oksigen, nutrisi, sinyal hormon,
serta produk metabolisme bagi sel tubuh. Darah tersalurkan melalui pembuluh darah baik itu
vena maupun arteri. Darah terdiri atas sel darah dan cairan plasma. Sel darah meliputi eritrosit,
leukosit, dan trombosit. Sementara itu, plasma darah merupakan cairan yang mengandung nutrisi
dan substansi seperti protein albumin, globulin, faktor pembeku darah, elektrolit, dan hormon
(Firani 2018). Darah juga memiliki peran dalam metabolisme obat-obatan ke dalam hati
sehingga tidak berefek racun bagi tubuh. Peran darah dalam membawa obat-obatan ini dapat
memicu suatu respon yang disebut dengan hematotoksik.
Hematotoksisitas adalah studi yang menganalisis mengenai jaringan darah sebagai target
organ untuk respon tertentu seperti obat-obatan, bahan kimia, radiasi ion, dan faktor aktivitas
misalnya kerja, stres, dan olahraga. Toksisitas pada darah dapat bersifat primer maupun
sekunder. Hematotoksisitas primer dapat menimbulkan kelainan primer pada darah maupun
sumsum tulang seperti red cell aplasia, agranulositosis, dan trombositopenia. Hematoksisitas
sekunder dapat berpengaruh pada kerusakan atau disfungsi organ dan merupakan kasus toksisitas
yang lebih umum terjadi. Salah satu kasus toksisitas jenis ini adalah anemia kronis inflamatori
(Bloom 1993). Anemia merupakan penyakit kekurangan sel darah merah. Sel darah merah
tersusun atas hemoglobin yang berfungsi mendukung kerja darah sebagai pelaku transportasi
oksigen dan karbondioksida pada jaringan (Rizkiawati 2012).
Sebagai dokter hewan, pemahaman mengenai toksisitas obat dan respon darah terhadap
sediaan obat sangatlah penting karena dapat mempengaruhi kondisi bahkan dapat menyebabkan
kerusakan sel darah. Pengujian hematotoksisitas di bidang kedokteran dilakukan untuk
mengukur kekuatan dan kepekaan sel darah merah terhadap keberadaan bahan asing. Kerusakan
pada membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis atau
hipertonis, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, penambahan zat atau unsur kimia
tertentu, pemanasan dan pendinginan, serta ketuaan dalam sirkulasi darah (Noradina et al. 2017).
TUJUAN
Praktikum ini bertujuan mengevaluasi efek beberapa larutan seperti NaCl, saponin, dan
nitrit pada berbagai tingkat konsentrasi terhadap fragilitas sel darah merah.
TINJAUAN PUSTAKA
Fragilitas osmotik (osmotic fragility) atau resistensi osmotik eritrosit adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk menentukan daya tahan dinding eritrosit terhadap larutan hipotonis yang
dapat melisiskan eritrosit (hemolisis). Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara
lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis dalam darah, penurunan tekanan permukaan
membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan
dalam sirkulasi darah dan lain-lain. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melisiskan eritrosit pada
larutan salin (NaCl) dengan konsentrasi bertingkat. Eritrosit akan lisis dan melepaskan
hemoglobinnya kedalam larutan salin sehingga warna larutan menjadi merah, kemudian diukur
menggunakan fotometer (spektrofotometer). Kadar hemoglobin dapat diketahui dengan
mengukur serapan absorbansi. Semakin besar hemolisis yang terjadi pada eritrosit, maka serapan
absorbansinya juga semakin besar (Amrullah et al. 2009). Jika terjadi hemolisis pada larutan
NaCl yang sedikit hipotonik (0,36 – 0,37%), maka dinyatakan terjadi peningkatan fragilitas
osmotik, sedangkan jika hemolisis terjadi pada NaCl dengan konsentrasi yang sangat hipotonik,
maka terjadi penurunan fragilitas osmotik. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil uji ini
adalah pH, plasma, suhu, konsentrasi glukosa, dan saturasi oksigen darah, umur eritrosit (umur
tua cenderung memiliki fragilitas osmotik yang tinggi), dan sampel darah yang diperiksa lebih
dari 3 jam (meningkatkan fragilitas osmotik) (Hernida 2016). Darah yang akan diperiksa tidak
boleh beku sehingga harus ditambahkan antikoagulan seperti heparin, natrium sitrat, natrium
oksalat, dan EDTA.
Perpindahan secara osmotik terjadi dimana air akan dipindahkan ke daerah yang
memiliki kadar air lebih rendah melalui membran sel. Jika terjadi ketidakseimbangan maka akan
terjadi perubahan bentuk pada eritrosit. Hemolisis merupakan kerusakan membran sel darah
merah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin dan komponen intraseluler ke luar sel. Hal ini
ditandai dengan warna merah pada serum atau plasma. Apabila medium di sekitar eritrosit
menjadi hipotonis akibat penambahan larutan NaCl hipotonis maka akan masuk ke dalam
eritrosit melalui membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit
menggembung. Jika kondisi ini berlanjut, dinding eritrosit tidak akan sanggup menahan tekanan
dari dalam, sehingga sel pecah. Jika eritrosit berada pada medium yang hipertonis, maka cairan
eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput
(krenasi) (Noradina et al. 2017). Pecahnya sel eritrosit menyebabkan hemoglobin masuk ke
dalam serum atau plasma menyebabkan gangguan kromorfik dalam analisa fotometri. Hemolisis
akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen hemoglobin menjadi komponen protein
dimana goblinnya akan digunakan kembali dan komponen heme yang dipecah menjadi dua yaitu
besi dan bilirubin. Besi akan dikembalikan ke pool besi dan digunakan kembali sedangkan
bilirubin akan diekskresikan melalui hati dan empedu.
Natrium nitrit (NaNO2) merupakan bahan pengawet yang sering disalahgunakan dalam
dunia makanan. Nitrit adalah senyawa berbentuk kristal yang tidak berbau, berwarna putih dan
larut dalam air. Bahan ini sering digunakan dalam pengawetan daging agar berwarna lebih merah
(nitrosomioglobin). Natrium nitrit menyebabkan berkurangnya kemampuan hemoglobin untuk
mengikat oksigen. Nitrit dan hemoglobin akan membentuk kompleks reaktif ROS (Reactive
Oxygen Species) yang disebut methemoglobin. ROS bekerja menyebabkan stress oksidatif pada
eritrosit sehingga menyebabkan membran eritrosit tidak bisa mempertahankan kekenyalan dan
akhirnya terjadi hemolisis. Nitrit adalah bahan yang bersifat karsinogenik terhadap eritrosit
(Ambarwati 2012). Nitrit akan mengoksidasi sebagian hemoglobin sehingga aliran darah akan
terdapat ion ferri.
Saponin memiliki efek merusak dengan meningkatkan (tegangan permukaan)
permeabilitas lipid bilayer sel darah merah sehingga menyebabkan hemolisis (Fajriyani et al.
2017). Hemolisis akibat saponin juga dapat mempengaruhi interaksi antara protein
transmembrane dan sitoskeleton. Hemolisis akibat meningkatnya permeabilitas sel darah merah
menyebabkan terdapatnya hemoglobin bebas dalam plasma. Dampak dari lisisnya sel darah
merah adalah anemia. Penurunan jumlah eritrosit juga dapat dijumpai pada trauma, perdarahan,
infeksi kronis, mieloma multiple, gagal ginjal kronis, dehidrasi berlebihan, defisit vitamin,
malnutrisi, infeksi parasit, dan intoksikasi.
METODOLOGI
Tabel 1 Hasil pengamatan efek NaCl pada konsentrasi berbeda terhadap nilai absorban dan
persentase hemolisis darah
1 1 0,08 200
Berdasarkan hasil uji, larutan NaCl dengan berbagai konsentrasi menunjukan nilai
absorbansi dan persentase hemolisis darah yang beragam. Mulai terjadinya hemolisis (initial
hemolysis) ditandai dengan warna merah pada larutan dan adanya endapan (eritrosit) di bagian
bawah. Hal ini dinyatakan sebagai titik awal fragilitas eritrosit, sedangkan hemolisis total terjadi
pada tabung yang berciri larutan berwarna merah tanpa ada endapan eritrosit dan dinyatakan
sebagai fragilitas total (Ganong 1995). Larutan hipotonis menyebabkan terjadinya hemolisis
karena pecahnya membran eritrosit akibat perbedaan tekanan osmotik. Hal ini menyebabkan air
akan tertarik masuk ke dalam eritrosit sehingga sel menjadi membengkak dan berbentuk sferis.
Keadaan ini mengakibatkan peregangan membran eritrosit. Setelah mencapai volume tertentu,
membran sel akan robek dan lisis sehingga hemoglobin terlepas. Hemoglobin eritrosit yang
mengalami hemolisis ini akan larut dalam plasma dan mewarnai plasma menjadi merah (Guyton
dan Hall 1996). Senturk et al. (2005) menyatakan bahwa bila eritrosit berada pada medium yang
hipertonis, maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya
eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat dikembalikan dengan cara menambahkan cairan
isotonis ke dalam medium luar eritrosit.
Menurut Amrullah et al. (2009), nilai absorbansi akan berbanding lurus dengan
persentase hemolisis darah. Semakin hipotonis konsentrasi larutan maka semakin banyak
hemoglobin yang keluar (lisis) sehingga konsentrasi larutan semakin meningkat yang kemudian
mempengaruhi peningkatan nilai absorbansi dan persentase hemolisis darah. Data perlakuan
NaCl menunjukan beberapa hasil uji yang tidak sesuai dengan literatur dikarenakan nilai
absorbansi yang terlalu besar dan tidak sesuai dengan konsentrasinya. Kemungkinan hemolisis
yang terjadi pada eritrosit dipengaruhi oleh umur eritrosit. Eritrosit tua akan lebih rentan
mengalami hemolisis karena dapat menyebabkan terganggunya integritas membran
Tabel 2 Hasil pengamatan efek saponin, sodium nitrit, dan aquades pada konsentrasi berbeda
terhadap nilai absorban dan persentase hemolisis darah
SIMPULAN
Saponin dan sodium nitrit memiliki efek toksisitas terhadap sel darah merah sehingga
menyebabkan darah menjadi lisis. Saponin memiliki sifat hemolisis dengan mudah larut dalam
air sehingga metabolit dapat terkonsentrasi pada pelarut polar karena glukosa mengandung gugus
OH dan sangat baik larut dalam air. Sodium nitrit bereaksi dengan hemoglobin yang dapat
merangsang oksidasi ion besi di oksihemoglobin untuk membentuk methemoglobin serta
berbagai ROS. Sedangkan NaCl masih ada endapan pada tabung dan hemolisis total terjadi jika
tidak memiliki endapan.
SARAN
Saat praktikum akan dilaksanakan, perlunya melakukan kalibrasi kembali pada alat-alat
yang akan digunakan. Jika tidak dikalibrasi ulang pada saat praktikum akan memungkinkan
sekali adanya data yang kurang valid.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati R. 2012. Effect of Sidum Nitrite NaO2 to Erithrocyte and Hemoglobin Profile in
White Rat (Rattus norvegicus). Folia Medica Indonesiana. 48(1): 1-5.
Amrullah FH, Dewi MAS, Karlina, Komari N. 2009. Pengaruh pemberian minyak kelapa murni
terhadap hemolisis sel darah merah akibat paparan lampu UV secara in vitro. Jurnal
Sains dan Terapan Kimia. 3(2) : 154-163.
Fijriyani A, Hatuti S, Sarjito. 2017. Pengaruh serbuk jahe pada pakan terhadap profil darah,
pertumbuhan dan kelulushidupan ikan patin (Pangasius sp.). Journal of Aquaculture
Mangeent and Technology. 6(4) : 39-48.
Firani NK. 2018. Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan Darah. Malang (ID) : UB Press.
Guyton CA, Hall JE. 1996. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 9. Jakarta (ID): EGC.
Ganong WF. 1995. Fisiologi kedokteran. Edisi ke 14. Jakarta (ID) : EGC.
Lestari HD. 2016. Guru Pembelajar Modul Guru Produktif Analisis Kesehatan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Depok (ID) : Kemendikbud RI.
Masters SB. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta (ID) : Medika Salemba.
Noradina, Hutagaol A, Siregar Y. 2107. Pemberian vitamin E terhadap fragilitas eritrosit pada
mencit (Musculus L) yang dipapari tuak. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA. 3(2):
361-369.
Rizkiawati A. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah pada tukang becak di Pasar Miranggen Demak. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
1(2): 663-669.
Senturk UK, Gunduz F, Kuru O, Kocer G, Ozkaya YG, Yesilkaya A, et al. 2005.
Exercise-induced oxidative stress leads hemolysis in sedentary but not trained humans. J
Appl Physiol. 99(4) : 143-441.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.
Wiranto E, Wibowo MA, Ardiningsih P. 2016. Aktivitas antiinflamasi secara invitro ekstrak
teripang butoh keling (Holothuria leucospilota Brandt) dari Pulau Lemukutan. JKK. 5(1):
52-57.