d. Petunjuk Penyusunan
Dalam penyusunan tes subjektif , maka harus diperhatikan beberapa hal berikut.
1. Hendaknya soal- soal tes dapat meliputi ide-ide pokokdari bahan yang di teskan, dan kalau
mungkin disusun soal yang sifatnya komprehensif.
2. Hendaknya soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin langsung dari buku atau catatan.
3. Pada waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci jawaban serta pedoman
penilaiannya.
4. Hendaknya diusahakan agar pertanyaannya bervariasi antara ”jelaskan”, ”bagaimana”,
”mengapa”, ”seberapa jauh”, agar dapat diketahui lebih jauh penguasaan siswa terhadap bahan.
5. Hendaknya rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh tercoba.
6. Hendaknya ditegaskan model jawaban apa yang dikehendaki oleh penyusun tes. Untuk ini
pertanyaan tidak boleh terlal umum, tapi harus spesifik.
e. Penggunaan Tes Uraian
Tes bentuk uraian digunakan apabila:
1. Kelompok yang akan dites kecil, dan tes itu tidak akan dilakukan berulang-ulang.
2. Tester(guru) ingin menggunakan berbagai cara untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
bentuk tertulis.
3. Guru ingin menglebih mengetahui lebih banyak tentang sikap-sikap siswa dari pada hasil yang
telah dicapai.
4. Memiliki waktu yang cukup untuk menyusun tes.
Secara garis besar tes objektif dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tes objektif jenis isian
(supply type) dan tes objektif jenis pilihan atau yang sering disebut selection type.
Tes objektif jenis isian pada prinsipnya mencakup tiga macam tes, yaitu a) tes jawaban bebas atau
jawaban terbatas, b) tes melengkapi, dan c) tes asosiasi. Tes jawaban bebas mengungkap kemampuan
siswa dengan cara bertanya, tes melengkapi mengungkap kemampuan siswa dengan memberikan spasi
atau ruang kosong untuk diisi dengan jawaban (kata) yang tepat, dan tes asosiasi mengungkap
kemampuan siswa dengan menyediakan spasi yang diisi dengan satu jawaban atau lebih, di mana
jawaban tersebut masih memiliki keterkaitan dan bersifat homogen antara satu dengan lainnya.
Ketiga tes yang disebut di atas mempunyai banyak kemiripan, khususnya dalam tiga hal. Pertama
masing-masing tes memerlukan hafalan dari para siswa. Kedua, ketiga tes tersebut masing-masing
menuntut jawaban singkat dari para siswa. Ketiga, masing-masing tes pada umumnya direncanakan
untuk mengungkap pemikiran siswa tentang materi pembelajaran yang dikategorikan sebagai definisi
atau batasan, pengetahuan tentang fakta dan prinsip-prinsip pengetahuan.
Pada prinsipnya, bentuk tes objektif mempunyai kelemahan dan kebaikan, akan tetapi biasanya bentuk
objektif dapat menteskan semua bahan yang telah diajarkan, sedangkan bentuk uraian agak sukar untuk
mengukur semua bahan yang sudah diajarkan, karena ruang lingkup bentuk tes tersebut sangat sempit.
Untuk lebih jelasnya perlu diterangkan dahulu kelemahan dan kebaikan tes bentuk objektif.
Keuntungan atau kebaikan bentuk objektif dalam evaluasi hasil belajar bagi siswa adalah tes bentuk
objektif :
1. tepat untuk mengungkapkan hasil belajar yang bertatanan pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
dan analisis,
2. mempunyai dampak belajar yang mendorong siswa untuk mengingat, menafsirkan, dan
menganalisis pendapat, dan
3. jawaban yang diberikan dapat menggambarkan ranah tujuan pendidikan menurut Bloom,
khususnya ranah cognitive domain.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Gronlund (1985 : 36) menyatakan bahwa …objective test
items can be used to measure a variety of knowledge out come …the most generally useful is the
multiple choice items…but other items types also have a place. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa
item-item tes objektif dapat digunakan untuk mengukur berbagai hasil belajar yang berupa
pengetahuan. Umumnya yang paling berguna adalah item bentuk pilihan jamak, sementara itu, tipe
item objektif yang lainnya punya peran tersendiri.
Pendapat lain yang berbeda, yakni Lado (1961 : 201) mengemukakan bahwa The usual objectians to
objective test are that they are too simple, that they do not require real thinking but simple memory, and
that they do not test the ability of the student to organize his thought.
Pendapat di atas menunjukan bahwa keberatan tes objektif adalah karena tes itu terlalu mudah, tidak
menuntut pemikiran yang nyata, dan tidak menguji kecakapan siswa dalam mengorganisasikan
pikirannya. Padahal pada tingkatan perguruan tinggi kemampuan untuk mengorganisasikan pemikiran,
mengungkapkan ide secara sistematis, dan menunjukan kemampuan nalar yang ilmiah merupakan
tuntutan yang ditujukan kepada siswa, lebih jauh kepada lulusan perguruan tinggi (Ditjen Dikdasmen,
1982/1983 : 20).
Berikut ini beberapa petunjuk agar tes memiliki susunan dan penampilan yang baik:
1. Nyatakan petunjuk tes yang singkat dan jelas dengan memberikan garis bawah pada kata-kata
kunci.
2. Tulis pertanyaan dan atau pernyataan, di mana hanya ada satu kemungkinan jawaban benar.
3. Pilih batasan atau terminologi dari suatu pengetahuan, dengan menghilangkan kata kuncinya.
Kata kunci tersebut menjadi jawaban yang harus diisi oleh para siswa.
4. Tanyakan secara spisifik untuk jawaban yang diinginkan. Sebagai contoh, tanaman jagung
termasuk tanaman…… dan perlu diganti setelah berbuah sekali. Jawabannya adalah (semusim).
5. Gunakan hanya satu spasi atau ruang kosong, untuk setiap item tes melengkapi. Jika spasi lebih
dari tiga maka item tersebut lebih baik dikonstruksi dengan model tes jawaban bebas.
6. Tempatkan spasi atau ruang kosong pada akhir kalimat dari item tes melengkapi.
7. Buat kunci jawaban yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian penilaian. Kunci
jawaban diperlukan untuk memudahkan dalam penilaian guru maupun pedoman jawaban yang
diberikan kepda siswa.
Beberapa petunjuk praktis yang harus diperhatikan dalam pembuatan tes matching:
1) Butir soal tidak kurang dari 10 dan tidak lebih dari 15
2) Pada setiap kelompok item hendaknya ditambahkan sekitar 20% kemungkinan jawab
(daftar II) Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan di mana
pasangan yang harus dipilih tinggal sedikit, (misalnya tinggal dua atau tiga saja)
3) Daftar yang berada disebelah kiri hendaknya dibuat lebih panjang daripada yang di
sebelah kanan, agar jawaban dapat dengan cepat dicari dan ditemukan testee.
4) Hendaknya diatur sedemikian rupa , sehingga kelompok soal maupun kelompok jawaban
berada dalam satu halaman kertas.
5) Sekalipun kadang-kadang suloit dilaksanakan usahakanlah agar petunjuk tentang cara
mengerjakan soal dibuat seringkas dan setegas mungkin.
Kompetensi dan Materi- Kognitif Indikator-indikator sesuai Strategi pembelajaran sesuai Stra
materi PAI Afektif masing-masing domain materi dan domain mat
Psikomotor
Ket: Alur evaluasi PAI dalam kerangka domain Bloom.
Alur dengan domain Bloom ini perlu untuk dikaji ulang, apakah memang sudah bisa mewakili untuk
menukur dan mengeavluasi konsep (construct) keberagamaan seseorang. Alternative yang bisa
dikembangkan adalah mengganti domain Bloom dengan dimensi-dimensi psikografi agama. Dimensi-
dimensi psikografi agama itu kemudian dirumuskan apa indikatornya dan bagaimana teknik evaluasi
yang tepat. Dalam kerangka psikografi agama, maka alur evaluasi PAI bisa diilustrasikan sebagaimana
berikut ini:
KOMPETENSI DIMENSI INDIKATOR-INDIKATOR STRATEGI
KEBERAGAMAAN
DAN MATERI PEMBELAJA-RAN
Ideologis
Ritual
Kompetensi dan Indikator-indikator sesuai masing- Strategi pembelajaran
Konsekuensial
Materi-materi PAI masing dimensi sesuai materi dan dimensi
Intelektual
Eksperiensial
Ket: Alur evaluasi PAI dalam kerangka psikografi agama
Dimensi intelektual bisa diukur dengan teknik tes. Sebagian dimensi ritual bisa dengan tes performansi
atau unjuk kerja. Tetapi tentang keaktifan dia dalam menjalani ritual sehari, tentu tidak bisa dengan
teknik tes. Tapi harus dengan wawancara, observasi dan portofolio sebagaimana dimensi konsekuensial
atau akhlak. Yang sulit untuk diukur tentu adalah dimensi ideologis atau akidah dan dimensi
eksperiensial. Yang paling dekat dengan dimensi ini adalah domain afektif, tetapi tentu saja domain
afektif tidak bisa mewakili secara persis dimensi ideologis dan eksperiensial. Teknik pengukuan non-
tes adalah yang paling dekat untuk dimensi ini, tetapi perlu dikembangkan lebih jauh agar tidak
terjebak sebatas apa yang digunakan dalam pengukuran afektif.
Bila evaluasi terhadap seluruh dimensi keberagamaan ini bisa berjalan secara proporsional, maka
informasi tentang kualitas keberagamaan siswa tidak akan berat sebelah kepada domain kognitif atau
dimensi intelektual semata, tetapi akan mencerminkan keadaan yang lebih utuh. Dalam langkah
validasi, maka jika kondisi yang utuh ini bisa terwakili, bisa dikatakan bahwa validitas construct-nya
bisa dipertanggungjawabkan.
Kasus Pendidikan Agama ini, secara analogis bisa dikembangkan untuk kemampuan seperti EQ dan
SQ. SQ mestinya sesuatu yang penting dalam Pendidikan Islam, karena merupakan bagian inti dalam
Pendidikan Islam. Pertanyaan yang dikedepankan adalah apa SQ itu? Apa indikatornya dalam diri
siswa dan bagaimana cara pengukuran dan evaluasinya?
H. Kesimpulan
Evaluasi pada hakikatnya adalah upaya untuk mencari informasi apakah proses, tujuan, kebijakan, atau
kondisi yang diinginkan telah dicapai. Untuk mengetahui ini perlu ditentukan apa sesungguhnya
sasaran yang dievaluasi, beserta domain, dimensi serta indikator-indikatornya. Lalu bagaimana teknik
yang valid dan reliable untuk bisa digunakan menggali informasi.
Pendidikan Islam merupakan sistem yang memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan pendidikan
pada umumnya, terutama karena agama (Islam) tidak sekedar menjadi mata pelajaran, tetapi paradigma
yang melandasi dasar dan tujuannya. Oleh karena itu harus mengembangkan sendiri evaluasi yang
sesuai dengan karakternya sendiri. Model, teknik dan instrumen evaluasi yang tidak tepat akan
melahirkan informasi dan keputusan yang tidak tepat juga, sehingga tidak akan memberikan informasi
yang tepat terhadap pencapaian tujuan-tujuan Pendidikan Islam yang sesungguhnya.