Anda di halaman 1dari 5

Valentine menurut Islam

Bantahan terhadap tulisan Muhibin AM ‘Valentine dalam Islam’


Oleh: Wildan Hasan

Muhibin AM menulis dalam Republika (14/02) pro kontra umat Islam terhadap Valentine. Saya
akan coba membuat bantahan per paragraf dan kalau mungkin per kalimat terhadap tulisannya
Muhibin tersebut.

Pertama, Muhibin mengatakan, yang tidak menolak Valentine adalah mereka yang diwakili
kaum muda borjuis perkotaan yang tidak memiliki fanatisme agama berlebihan. Perkataan
Muhibin ini sangat kacau, fanatik terhadap kebenaran agama adalah wajib bagi setiap muslim.
Apa maksud dari istilah fanatisme agama yang berlebihan versi Muhibin? Apakah yang dia
maksud adalah orang Islam yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dan
senantiasa memurnikan keyakinannya dari kebudayaan-kebudayaan yang tidak Islami? Jika
demikian, sungguh Muhibin telah melecehkan Nabi dan Agamanya sendiri, karena begitu
banyak ayat Allah maupun hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah serta larangan dari melakukan hal-hal yang akan mengotori aqidahnya.

Kemudian, siapa kalangan muda borjuis perkotaan? Kita tanya sama Muhibin, tahu apa kaum
muda borjuis perkotaan tentang fanatisme agama? Bisa jadi jangankan fanatisme agama
berlebihan, agamanya pun mereka tidak kenal (maaf tanpa bermaksud men-genelarisir).
Memangnya kaum muda seperti apa yang selama ini memperingati Valentine seperti yang
dimaksud Muhibin? Apakah mereka yang rajin sholat tepat waktu, rutin mengaji, berbakti sama
orang tua, menutup aurat, suka menundukkan pandangan pada lawan jenis, dan tekun sholat
malam? Atau sebaliknya…

Kalau justru yang dimaksud adalah kaum muda yang sebaliknya, apakah mereka itu yang disebut
tidak memiliki fanatisme agama berlebihan? Juika benar maka wajar saja.

Kedua, tidak perlu kita berpanjang kalam terkait hukum Valentine kepada Muhibin. Basi
akhirnya bicara hukum kepada orang yang tidak percaya kepada hukum itu sendiri. Dari
1
tulisannya, keberpihakan Muhibin kepada Valentinian sangat kentara. Selain Muhibin tidak
paham betul sejarah ideologis Valentine dan ideologi Islamnya (jika Muhibin seorang muslim),
ia juga ikut melegitimasi kebolehan sesuatu atas dasar logika ‘asalkan’. Muhibin mengatakan
‘Dan, menurut mereka, sah-sah saja merayakan valentine asalkan tidak merusak keyakinannya.”
Istilah ‘asalkan tidak merusak akidahnya’ itu mana standarnya, apa kategorinya, bagaimana
batasannya? Inilah repotnya kita bicara dengan pemikir Liberal yang tidak punya standar, karena
liberal adalah inkonsisten, jika konsisten justru bukan liberal (baca artikel ‘Islam Liberal’ di
www.wildanhasan.blogspot.com).

Keyakinan seperti apa sih yang dimiliki oleh mereka sehingga dengan pede menyatakan
valentine tidak akan merusak keyakinan? Apakah artinya mereka tetap beragama Islam dan tidak
akan berpindah agama? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, sementara merayakan valentine itu
sendiri menunjukkan keyakinan mereka terhadap Islam telah rusak. Jika yakin Islam adalah
agama yang sempurna, yang tidak perlu ditambah dan dikurang, jika yakin Islam telah memberi
makna dan cara yang paling indah untuk mengeksfresikan kasih sayang, lalu kenapa harus
merayakan valentine yang tidak diajarkan Islam? Bukankah hal itu diakibatkan oleh keyakinan
yang rusak.

Ketiga, Muhibin mengatakan ‘benar tidaknya ketika kita menolak dan menerima budaya
valentine ini tergantung pada penilaian diri kita masing-masing’. Mari kita tanya lagi Muhibin,
sejak kapan umat manusia sepakat bahwa valentine adalah budaya? Jangan asbun, bagi kalangan
Gereja dan Kristen fanatik valentine adalah ritual, namun mereka menutupinya agar valentine ini
dirayakan oleh umat lain dengan dalih bahwa ‘kasih sayang’ adalah universal. Perkataan
Muhibin tentang benar atau tidak valentine tergantung pada penilaian masing-masing,
mengisyaratkan Muhibin berpaham relativisme kebenaran. Relativisme adalah salah satu aqidah
pokok kalangan liberal. Maka tidak sulit menyebut Muhibin adalah salah satu pengasong
liberalisme di negeri ini. Apalagi kalau kita cermati profil lembaga ‘tadah hujannya’ LeKAS
Yogyakarta itu.

Prinsip dasar Islam saat bersentuhan dengan kebudayaan adalah Islamlah yang melahirkan
kebudayaan bukan Islam bagian dari kebudayaan. Jadi Islam di atas kebudayaan. Islam tidak bisa
dinilai atau dikritik dari kacamata kebudayaan manusia. Islamlah yang terus menilai dan
2
mengkritisi kebudayaan manusia, karena Islam sempurna sementara manusia tidak sempurna.
Budaya manusia ataupun budaya agama lain yang secara ideologis berbeda dengan Islam,
dibungkus dengan bungkusan apapun, apakah aroma kemodernan atau aroma keprimitifan tidak
lantas menjadikannya sesuai dengan Islam. Kita sama-sama sadar bahwa saat ini, aroma
kemodernan sebenarnya berbau busuk kejahiliyahan yang sangat menyengat. Dan bau
kejahiliyahan inilah yang sedang ditawarkan oleh Muhibin lewat jalan tengahnya.

Apakah antara haq dan batil ada jalan tengah? Jelas tidak ada. Halal dan haram sudah jelas, di
antaranya keduanya ada syubhat. Dan pesan Nabi saw yang syubhat ini juga harus ditinggalkan
agar kita tidak terjerumus ke dalam kebatilan.

Kenapa kita harus bersusah payah berupaya melegitimasi ‘kehalalan’ valentine, sementara kita
termasuk Muhibin belum pernah secara total mengamalkan ajaran Islam yang penuh kasih
sayang ini? Sama pertanyaan ini kita ajukan kepada orang yang berpeluh basah merubah hukum
agar dibolehkannya menikah beda agama, seolah-olah sudah tidak ada lagi wanita atau laki-laki
muslim di dunia ini.

Keempat, jalan tengah yang ditawarkan Muhibin adalah qiyas (analogi) dengan dakwah para
Wali. Qiyas Muhibin ini jelas batil, sebab la qiyasa ma’al fariq (tidak ada qiyas terhadap perkara
yang berbeda). Konteks para Wali meyikapi kebudayaan lain (Hindu Budha) jelas berbeda
dengan kaum muda borjuis menyikapi valentine. Motif para Wali adalah dakwah dan hasilnya
sukses mengislamkan umat Hindu Budha waktu itu. Sedangkan motif kaum muda borjuis adalah
hedonisme, materialisme, dan permisifisme. Kemudian apakah kaum muda borjuis itu berhasil
mengislamkan orang-orang Kristen?

Di sisi lain kebudayaan Hindu Budha adalah ritual peribadatan sama dengan valentine. Tidak
bisa disamakan sebuah kebudayaan murni hasil akal manusia dengan ritual peribadatan sebuah
agama. Muhibin tidak bisa membedakan itu sehingga logika yang dia gunakan adalah logika
‘akal-akalan’.

Kelima, Prof. Dr. Rasyidi menuliskan dalam salah satu bukunya bahwa para Wali pernah
berkumpul dan berdiskusi panas terkait metode dakwah yang memanfaatkan kebudayaan (ritual)
Hindu Budha. Mereka khawatir amalan-amalan itu selanjutnya akan dianggap sebagai bagian
3
dari ajaran Islam oleh umat Islam. Namun salah satu Sunan mengatakan ‘Suatu saat kita akan
memurnikannya setelah masyarakat masuk Islam dan mencintai agamanya. Jika pun tidak oleh
kita, maka pemurnian agama akan dilakukan oleh anak cucu kita’. Allah menaqdirkan para Wali
tidak sempat mewujudkan niatnya itu karena perhatian mereka beralih untuk menghadapi dan
melawan para penjajah yang datang. Maka tidak heran saat kita mendapati banyak di antara
pejuang kemerdekaan yang masih memakai jimat dan jampi-jampi untuk kekuatan dan
kekebalan.

Siapakah anak cucu kita yang akan memurnikan ajaran Islam itu? Siapa lagi kalau bukan kita
termasuk Muhibin yang harus punya tanggung jawab dakwah mewujudkan niat para Wali
tersebut. Seharusnya muhibin menuturkan sejarah secara mendalam dan menyeluruh, tidak
mengambil bagian-bagian yang hanya akan mendukung teorinya saja.

Tentu berbicara metode dakwah harus melihat realita yang ada (Waqi’iyah). Namun bukan
berarti boleh mencampur adukkan haq dan batil. Contoh yang paling layak diteladani adalah
sikap Rasulullah saw yang tegas menolak untuk melakukan pergiliran ibadah sehingga turun
surat al-Kafirun. Padahal saat itu Rasulullah dan para sahabat dalam kondisi sedikit dan tertekan.

Oleh karena itu akan membingungkan bagaimana merumuskan sifat inklusif asalkan nilai-nilai
keislaman dapat masuk ke dalamnya seperti yang dikatakan Muhibin. Logika ‘asalkan’ kembali
dipakai oleh Muhibin dengan menghalalkan valentine sebagai ajang memadu kasih antara dua
orang kekasih ‘asalkan’ tidak sampai bunting…

Keenam, paragraf terakhir makin menunjukkan kepada kita bahwa Muhibin orang yang
mengidap penyakit sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) yang diharamkan MUI.
Ukuran kebenaran bagi pengidap sepilis adalah pertimbangan manfaat dan mudarat menurut
akalnya semata bukan menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab bagi kita Al-Qur’an dan As-
sunnah pasti manfaat tidak ada mudaratnya, sementara ukuran manfaat atau mudarat menurut
akal manusia belum tentu benar. Manfaat Islam adalah universal sementara manfaat manusia
bersifat lokal dan terbatas. Jelas, yang lebih tahu tentang manfaat dan mudarat adalah Allah swt
bukan manusia ciptaan-Nya. Artinya, jika kita mampu memahami Islam dengan benar, mengapa
harus blasak-blusuk mati-matian membela yang tidak benar.

4
5

Anda mungkin juga menyukai