Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP
TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA SEBELUM DAN
SETELAH KRISIS
Ari Mulianta Ginting dan Rasbin1
Abstract
In the period of 1970‐1996 the poor in Indonesia was reduced, but the
monetary crisis in 1997 had increased due to the declining of economic
growth. The purpose of this study is to analyze the economic growth that
influence poverty in Indonesia. The time regression analysis showed the
effect of economic growth to the unemployment and poverty in
Indonesia. It is also shown that there was significant positive relations
between GDP and poverty rate, but it was negative and significant
relation between government expenditure (GE) and poverty. Therefore,
government expenditure (GE) should be increased because of is
associated with the reduction of poverty in Indonesia.
Key Words: Poverty, Economic Growth
I. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi dan lintas sektoral
yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang berkaitan, seperti: tingkat
pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi,
geografis, gender, dan kondisi lingkungan.
Kemiskinan dapat menunjukkan pada kondisi individu, kelompok,
maupun situasi kolektif masyarakat. Kemiskinan yang bersifat massal dan
parah pada umumnya terdapat di negara berkembang, namun terdapat
bukti bahwa kemiskinan juga terjadi di negara maju. Di negara berkembang,
kemiskinan sangat terkait dengan aspek struktural. Misalnya, akibat sistem
ekonomi yang tidak adil, praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
diskriminasi sosial, tidak adanya jaminan sosial, dan sebaginya.
1
Keduanya kandidat Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Fiskal, P3DI, Setjen DPR
280 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
2
Suhartono, Edi, 2006, Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat, Bandung:
Refika Aditama
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 281
a. Kemiskinan Absolut
Menurut konsep ini, kemiskinan dapat dikaitkan dengan perkiraan
tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan
pokok atau kebutuhan fisik minimum (KFM) yang memungkinkan seseorang
untuk hidup secara layak. Bila pendapatan tidak mencapai kebutuhan
minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. Dengan demikian,
kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang
dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan
dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan yang dapat menjamin
kelangsungan hidupnya6.
b. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif, menurut Miller dalam Kuncoro (2003) adalah
orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimum sehingga tidak selalu berarti miskin. Walaupun
pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi
masih lebih rendah dibandingkan keadaan masyarakat sekitarnya maka
orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena
kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, dari pada
lingkungan yang bersangkutan7.
Menurut konsep ini, garis kemiskinan akan berubah bila tingkat
hidup masyarakat berubah. Hal ini berarti konsep kemiskinan bersifat
dinamis sehingga kemiskinan akan selalu ada. Oleh karena itu, beberapa
peneliti melihat kemiskinan dari berbagai aspek ketimpangan sosial.
6
Todaro, M. P., 2000, Economic Development, Six Edition, Harlow : Addition-Wesley
7
Kuncoro, Mudrajad, 2003, Economi Pembangunan –Teori, Masalah, dan Kebijakan,
Edisi Ketiga,UPP-AMP YKPN, Yogyakarta
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 285
c. Garis Kemiskinan
Dalam menghitung tingkat kemiskinan dalam suatu daerah dimulai
dengan menggambarkan sebuah garis kemiskian. Idealnya, garis ini
definisikan sebagai pendapatan per kapita/rumah tangga. Rumah tangga
dengan pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan dapat dikatakan
miskin, sementara mereka yang mempuyai pendapatan di atas garis
kemiskinan dapat dikatakan tidak miskin.
Garis kemiskinan (GK) digunakan dan ditetapkan oleh BPS untuk
menghitung jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. GK didapatkan
dari hasil survei modul konsumsi Bapenas yang ditetapkan dalam rupiah per
orang per bulan.
8
Sumanta, Jaka, 2005, Fenomena Lingkaran Kemiskinan Indonesia- Analisis Ekonometri
Regional Dana Panel Propinsi Tahun 1999-2002, Tesis Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik, UI, Depok
286 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
d. Pengukuran Kemisikinan
Cahyat (2004) pada awal tahun 1970an menytakan bahwa indikator
kemiskinan diukur dengan menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras
per kapita sebagai indikator kemiskinan. Pengukuran dibuat perbedaan
antara tingkat ekuivalen di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk
pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen 240 kg per
orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin,
sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan ekuivalen 360 kg beras per
tahun. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak
mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil.
Sementara itu, BPS menghitung angka kemiskinan lewat dua
pendekatan, yaitu 1 pendekatan kebutuhan dasar dan 2 pendekatan Head
Account Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang
sering digunakan dan mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara Head Account Index
merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Sementara
jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum
makanan dan non makanan, yaitu tidak hanya terbatas pada sandang dan
papan melainkan juga termasuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi
kebutuhan minimum makanan, BPS tidak menyetarakan kebutuhan‐
kebutuhan dasar dengan jumlah beras tetapi termasuk pendidikan dan
kesehatan. Dari sisi kebutuhan minimum makanan, BPS tidak menyetarakan
kebutuhan‐kebutuhan dasar dengan jumlah beras tetapi dengan
menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan
dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari.
BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup periode 1976‐1981 dengan
menggunakan modul konsumsi Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional).
Sejak tahun 1981, setiap 3 tahun sekali, dengan data modul konsumsi
Susenas, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase
penduduk miskin hanya disajikan untuk tingkat nasional yang dipisahkan
menurut perkotaan dan pedesaan. Selanjutnya, sejak tahun 1993, informasi
mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin disajikan untuk seluruh
propinsi.
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 287
B. Pertumbuhan Ekonomi
1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat
penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang
terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh
mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan
masyarakat pada suatu periode tertentu. Selanjutnya, perekonomian
dianggap mengalami pertumbuhan apabila seluru balas jasa riil terhadap
penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari pada
tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan bila pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih
besar dari pada pendapatan riil masyrakat pada tahun sebelumnya.
Indikator yang digunakan lebih besar dari pada pendpatan riil masyrakat
pada tahun sebelumnya. Indikator yang digunakan untk mengukur
pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) riil.
2. Teori Pertumbuhan
‐ Teori Pertumbuhan Pembangunan Lewis
Teori ini memusatkan perhatiannya pada transformasi struktural
suatu perekonomian subsistem yang dirumuskan oleh W. Arthur Lewis pada
dekade 1950an yang kemudian dikembangkan oleh John Fei dan Gustav
Ranis. Model dua sektor ini diakui sebagai teori umum yang membahas
proses pembangunan di negara‐negara dunia ketiga yang mengalami
kelebihan penawaran tenaga kerja selama dekade 1960an dan awal dekade
1970an.
Menurut teori pembangunan ini, perekonomian yang terdiri dari
dua sektor, yaitu: pertama sektor tradisional,yaitu sektor pedesaan
subsistem yang kelebihan penduduk yang ditandai oleh produktivitas
marjinal tenaga kerja sama degan nol. Hal ini memungkinkan Lewis untuk
mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa jika
sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian, maka sektor itu
tidak akan kehilangan outputnya, dan kedua, sektor industri perkotaan
modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat
288 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor
subsistem9.
‐ Teori Pertumbuhan Neoklasik
Model pertumbuhan neoklasik Sollow merupakan pilar yang sangat
memberikan kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model
pertumbuhan Sollow ini berpegang pada konsep skala hasil yng terus
berkurang dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara
terpisah. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk
menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tinggi
rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Sollow diasumsikan bersifat
eksogen atau tidak dipengaruhi faktor‐faktor lain. Model pertumbuhan
neoklasik Sollow memakai fungsi produksi agregat standar yakni;
Y = Kα (AL)1‐α
di mana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan
modal manusia, L adalah tenaga kerja dan A adalah produktivitas tenaga
kerja yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Simbol α
menunjukkan elastisitas output terhadap modal.
Menurut teori pertumbuhan neoklasik, pertumbuhan output selalu
bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan
kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan penduduk dan perbaikan
pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi) serta
penyempurnaan teknologi.
‐ Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan endogen dijelaskan melalui model
pertumbuhan endogen menurut Roomer. Model ini mengkaji akibat
teknologi yang mungkin terbagi dalam proses industrialisasi.
Model ini dimulai dengan mengasumsikan bahwa proses
pertumbuhan berasal dari tingkat perusahaan atau industri. Setiap industri
berproduksi dengan skala hasil yang konstan, namun Roomer
9
W. Arthur Lewis, Economic Development Life Unlimeted Supplies of Labour, Manchaster
School, 22 May 1980
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 289
10
Datt, Gaurau, Martin Ravallian, 2002, Is India’s Economics is Leaving The Poor Behind,
Journal of Economics Prospective
292 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
B. Sumber Data
Sumber data utama untuk penelitian ini adalah laporan, Badan
Pusat Statistik (BPS), International Financial Statistik (IFS) yang diterbitkan
oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Indonesia (Laporan
Tahunan BI dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia). Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder mulai dari tahun 1990
sampai dengan tahun 2008.
C. Metode Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka
(library research), maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan literature yang berkaitan dengan objek penelitian
yang berupa dokumen atau arsip yang didapat dari Bank Indonesia, situs
internet, sehingga tidak diperlukan tehnik sampling serta kuesioner.
D. Metode Analisis Data
Studi ini menggunakan analisis regresi sebagai alat pengolahan
data. Analisis regresi adalah studi mengenai ketergantungan suatu variable
dependen (tidak bebas) terhadap salah satu atau lebih variable
independent (bebas atau penjelas) untuk mengestimasi dan atau
meramalkan nilai‐nilai populasi variable dependen berdasarkan nilai tetap
variable independent.
Berdasarkan kerangka pikir analisis yang dibangun dalam penelitian
ini, variabel‐variabel yang digunakan adalah tingkat kemiskinan sebagai
variabel yang dijelaskan (dependen variabel), sedangkan variabel yang
menjelaskan (explanatory variabels) adalah pertumbuhan ekonomi,
pengeluran pemerintah, pengangguran.
Model umum yang akan dibangun dalam persamaan:
MIS = f (GDF, GE, UNE) ................................................................................ .1
di mana model umum tersebut selanjutnya dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
294 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
MIS = C(1) + C(2)*DUMMY*(GE) + C(3)*DUMMY*(GDP) + (4)*DUMMY* (UNE) +
C(5)*(GDP) + C(6)*(GE)+(7)*(UNE)……….......………………………………………..2
Karena model ini mengaitkan pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan, maka pendapat persamaan ditransformasikan ke dalam bentuk
logaritma dimana koefisien tiap variabel merupakan nilai elastisitas yang
menggambarkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Selanjutnya model dinamik menjadi:
LOG(MIS) = C(1) + C(2)*DUMMY*(LOG(GE)) + C(3)*DUMMY*(LOG(GDP)) +
C(4)*DUMMY*(LOG(UNE)) + C(5)*LOG(GDP) + C(6)*LOG(GE) +
C(7)*LOG(UNE)………………………………..............……………………………3
Dimana;
MIS : tingkat kemiskinan atau jumlah orang miskin di Indonesia
GDP : jumlah GDP per tahun
GE : jumlah pengeluaran pemerintah
UNE : jumlah atau tingkat pengganguran per tahun
E. Hipotesis
Kajian ini membahas pengaruh variabel independen yaitu
pertumbuhan terhadap variabel dependen yaitu tingkat kemiskinan.
Adapun faktor‐faktor lain yang diidentifikasi sebagai pendorong
pertumbuhan ekonomi ialah pengeluaran pemerintah, dan pengangguran.
Untuk pengujian hipotesis selengkapnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
GDP diduga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan.
H0 : , artinya GDP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat kemiskinan
H1 : , artinya GDP berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan
1. Pengeluaran pemerintah (GE) diduga mempuyai pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan.
H0 : , artinya GE tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat kemiskinan
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 295
F. Tahapan Analisis Data
a. Pengujian Ekonometri
Sebelum model diuji secara empiris, beberapa pengujian
ekonometrik penting dilakukan yaitu:
‐ Pengujian Otokorelasi
Asumsi dasar yang terdapat dalam metode regresi dengan kuadrat
terkecil adalah tidak adanya korelasi antar gangguan (error). Masalah
otokorelasi sering terjadi pada penelitian‐penelitian deret waktu dimana
eror yang berkaitan dengan observasi dalam periode waktu tertentu
terbawa ke dalam periode‐periode waktu yang akan datang. Otokorelasi
tidak mempengaruhi ketidak biasan atau konsistensi penduga‐penduga
kuadrat terkecil biasa tetapi mempengaruhi efesiensi model. Varians
estimasi parameter yang tidak efesien menyebabkan nilai t hitung cendrung
kecil dan hasil pengujian cendrung menerima hipotesis nol.
Jika DW dihitung terletak pada interval 1 dan 5 maka model
menunjukan masalh otokorelasi, sedangkan apabila nilai DW dihitung
terletak pada interval 3, atau mendekati nilai 2, maka model tidak
mengalami masalah otokorelasi yang serius. Bila hasil DW hitung terletak
pada interval 2 dan 4 maka hasil pengujian tidak simpulkan ada atau
tidaknya masalah otokorelasi.
‐ Pengujian Heterokedastisitas
Asumsi dasar lainnya dari metode regresi dengan kuadrat terkecil
adalah variasn dari setiap gangguan adalah konstan. Heterokedastisitas
adalah keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai. Dampak adanya
heterokedastisitas adalah tidak efesiennya proses estimasi, sementara hasil
296 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
estimasinya sendiri masih tetap konsisten dan tidak bias. Adanya masalah
dengan heterokedastisitas akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat
menjadi tidak berarti (tidak ada gunanya).
Uji heterokedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan
Goldfeld Quandt Test yakni dengan menggunakan nilai λ = S2/S1, dimana S1
dan S2 adalah jumlah residual squares dari regresi pertama dan kedua.
Membandingkan nilai λ dengan nilai nilai kritis yang relevan dari distribusi F
dan jik a F test (=λ) < F table, maka tidak ada Heterokedastisitas, tetapi jika
terdapat Heterokedastisitas, parameter tersebut menjadi tidak BLUE (Best
Linier Unbiased Estimator).
‐ Pengujian Multikolinearitas
Salah satu asumsi model regresi majemuk adalah tidak adanya
hubungan linier yang persis antar variabel –variabel yang menjelaskan di
dalam model. Jika hubungan linear itu ada, dikatakan bahwa variabel‐
variabel mempuyai masalah multikolinieritas. Indikasi terjadinya
multikolinieritas antara lain tingginya R2, nilai uji F signifikan namun ada
variabel yang yang secara parsial tidak signifikan (nilai uji t tidak signifikan),
atau terdapat korelasi tinggi (r>= 0,8) antara satu atau lebih pasangan
varibel bebas dalam model. Untuk mengatasi dan menghilangkan adanya
multikolinearitas adalah dengan menyederhanakan model (mengurangi
jumlah variabel bebas dengan melihat uji t yang tidak signifikan), mengubah
bentuk atau dengan menambah observasi
b. Pengujian Signifikansi
‐ Uji t
Uji t merupakan penngujian koefesien regresi secara terpisah atau
parsial. Dengan menggunakan uji t setiap koefesien regresi akan dilihat satu
persatu keabsahannya secara statistik t. Nilai t statistik diperoleh dengan
menormalisasikan koefesien regresi terhadap standar deviasinya.
Jika nilai varians populasi bagi masing‐masing B tidak diketahui
dapat digunakan varians dari sample yang diperoleh dari matriks kovarians
B. Nilai statistik tersebut akan dibandingkan dengan nilai t table dengan
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 297
derajat bebas (N‐1) pada tingkat keyakinan tertentu. Hipotesa nol yang
menyatakan bahwa nilai koefesien B adalah sama dengan nol akan ditolak
bila nilai t statistik lebih besar dari nilai table untuk tingkat keyakinan
bersangkutan.
‐ Uji F
Uji F adalah menyangkut keabsahan koefesien regresi secara
keseluruhan. Pengujian yang melibatkan beberapa koefesien regresi secara
bersama‐sama ini dapat dilakukan dengan menggunakan distribusi F. Nilai F
statistiknya diberikan sebagai berikut:
Nilai F statistik tersebut akan dibandingkan dengan F table dengan
derajat bebas sebesar (N,(N‐K‐1)) pada tingakt keyakinan tertentu. Hipotesa
nol pengujian menyatakan bahwa seluruh koefesien B adalah sama dengan
nol, dan hipotesis alternatif menolak hal tersebut. Hipotesis nol akan
ditolak apabila nilai F statistik yang diperoleh dari sample dari F table.
Pengujian dengan menggunakan distribusi F statistik disebut pula
dengan test keseluruhan (overall test).
‐ Uji R2
Kriteria lain yang dapat pula digunakn untuk melihat apakah
persamaan regresi dapat diandalkan adalah besar koefesien determinasi
atau R2. koefesien determinasi menunjukkan besarnya persentase regersi
yang dihasilkan. Besarnya R2 adalah antara 0 dan 1. bila R2=0, artinya
variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara R2=1,
artinya variasi dari 100% dapat diterangkan oleh X. dengan kata lain bila R2
=1 maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi2.
IV. Pembahasan
A. Gambaran Umum Kemiskinan Di Indonesia
Indonesia adalah negara yang masih mengalami masalah
kemiskinan akut. Hasil survei Media Indonesia terhadap 480 responden
yang diambil secara acak dari daftar pemilik telepon enam kota besar di
Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar).
298 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
12
BPS, 2008, Indikator Makro Indonesia, Juli 2008, BPS, Jakarta
300 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
C. Analisis Regresi
1. Uji Spesifikasi
Sebelum dilakukan pengujian model, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan data dan melihat pola data. Pemeriksaan data dengan
membuat grafik pergerakan jumlah orang miskin sebagai variabel terikat
dan variabel‐variabel bebas yaitu jumlah GDP, pengeluaran pemerintah
(GE) dan pengangguran (UNE).
MIS
50,000
GDP
5,000,000
45,000
4,000,000
40,000
3,000,000
35,000
2,000,000
30,000
1,000,000
25,000 0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
GE
UNE
500,000
12,000
10,000 400,000
8,000
300,000
6,000
200,000
4,000
100,000
2,000
0 0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 90 92 94 96 98 00 02 04 06 08
Dependent Variable: LOG(MIS)
Method: Least Squares
Date: 06/15/10 Time: 09:13
Sample: 1990 2008
Included observations: 19
Sumber: lihat lampiran
Berdasarkan hasil persamaan diatas maka dituliskan persamaan berikut:
LOG(MIS) = 10.2408 + 2.38412*DUMMY*(LOG(GE)) ‐2.01776*DUMMY*(LOG(GDP)) +
t‐stat 8.456 3.234 ‐3.148
0.1892*DUMMY*(LOG(UNE)) + 2.4711*LOG(GDP) ‐ 2.8616*LOG(GE)+ .25061*LOG(UNE)
‐1.058
Dari uji F statistic yang signifikan sampai dengan tingkat
kepercayaan 0.05 dan nilai R2 yang sebesar 86.88 .% dapat dinyatakan
bahwa persamaan model yang terbentuk cukup baik. Namun ada sebanyak
13.12% dari variabel yang dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel
302 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
independen, karena pada model diatas faktor variabel lain tersebut tidak
dapat ditangkap model.
2. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas dilakukan dengan cara uji White
Heterocedasticity Test. Hasil uji tersebut menghasilkan nilai sebagai berikut:
Heteroskedasticity Test: White
Hasi uji tersebut dengan P‐value = 0.63874 menunjukkan bahwa H0 yang
menyatakan tidak ada Heteroskedastisitas (homoskedastisitas) pada
residual diterima pada tingkat signifikansi 5%. Jadi dengan tingkat
kepercayaan 95% pada data tersebut tidak terjadi heteroskedastisitas.
3. Uji Otokorelasi
Nilai Durbin Watson (DW) dari persamaan adalah 1.222619.
Sementara itu, untuk nilai n=18 dan k=3, untuk memperoleh nilai dL dan dU
cukup sulit maka digunakan Breusch‐Godfrey Serial Correlation LM Test.
Breusch‐Godfrey Serial Correlation LM Test:
H0 tidak ada serial correlation. Dari hasil test ini P‐value 0.834415 > 0.05
maka terima H0. Dengan tingkat keyakinan 95% dapat disimpulkan bahwa
tidak ada otokorelasi.
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 303
D. Analisis Regresi Persamaan
LOG(MIS) = 10.2408 + 2.38412*DUMMY*(LOG(GE)) ‐ 2.01776*DUMMY*
(LOG(GDP))+
t‐stat 8.456 3.234 ‐3.148
0.1892*DUMMY*(LOG(UNE)) + 2.4711*LOG(GDP) ‐ 2.8616*LOG(GE) –
0.614 4.170 ‐4.355
0.25061*LOG(UNE)
‐1.058
Model persamaan diatas dapat dibuat 2 bentuk persamaan yakni
persamaan pada sebelum terjadinya krisis ekonomi dan setelah terjadinya
krisis ekonomi.
Analisa Regresi Persamaan: Persamaan pada sebelum terjadinya krisis
ekonomi dan setelah terjadinya krisis ekonomi.
a. Persamaan pada sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu:
LOG(MIS) = 10.2408 + 2.4711*LOG(GDP) – 2.8616*LOG(GE) – 0.2506*LOG(UNE)
Jika terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 10% cateris paribus
maka tingkat pertumbuhan kemiskinan naik sebesar 24,71%. Jika terjadi
kenaikan dalam pengeluaran pemerintah sebesar 10% cateris paribus
maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 28,61%. Sedangkan
variabel tingkat pengangguran tidak signifikan mempengaruhi tingkat
kemiskinan.
b. Persamaan setelah terjadinya krisis ekonomi dapat ditulis sebagai
berikut:
LOG(MIS) = 10.2408+ {2.3841‐2.861}*LOG(GE) ‐ {2.0177‐2.471}*LOG(GDP)
Setelah dihitung hasil penjumlahan persamaan di atas adalah:
LOG(MIS) = 10.2408 – 0.4769*LOG(GE) + 0.4553*LOG(GDP)
Setelah terjadinya krisis ekonomi, maka kita dapat lihat hasil
regresi. Secara keseluruhan hasil regresi sesudah krisis tidak terlalu beda
hasilnya dengan setelah krisis, variabel pengeluaran pemerintah (GE)
mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap tingkat
kemiskinan dan variabel pertumbuhan ekonomi (PDB) mempunyai
304 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia
asing. Bagaimana kalau banyak bisnis pertambangan di Indonesia semacam
itu? Mungkin nantinya sumber daya habis, ternyata yang lebih menikmati
adalah asing.
Kedua, perusahaan jasa, misalkan perbankan, mungkin lebih parah.
Mereka melayani aktivitas ekonomi Indonesia, dan semua transaksi
keuangan dalam perekonomian hampir pasti dikelola sektor tersebut.
Kendatipun lokasi bisnis di Indonesia, dan kinerjanya dicatat dalam PDB
negeri ini, karena sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai
asing, nilai tambahnya sebagian besar juga dimiliki asing. Karena usaha jasa
saat ini sarat dengan ICT (Information‐communication technology), hanya
sedikit tenaga kerja yang diserap. Binis jasa bukan hanya perbankan. Peran
asing sudah mendominasi.
Ketiga, usaha besar jumlahnya sedikit, sebaliknya usaha kecil
jumlahnya banyak. Usaha besar sering merupakan afiliasi asing yang
operasionalisasinya sangat efesien, sedangkan usaha kecil masih menjadi
perbincangan untuk didorong maju. Ritel modern yang berjaringan luas,
efesien dan diizinkan masuk ke daerah kecil bersampingan dengan ritel
tradisional yang dianggap berpenampilan kumuh dan kurang menarik
pengunjung. Hasilnya adalah yang besar tumbuh besar dan yang kecil
semakin kecil. Padahal kontribusi ritel besar memiliki kontribusi yang besar
terhadap PDB, sedangkan ritel‐ritel kecil, kendatipun berjumlah banyak
tetapi memliki kontribusi yang kecil terhadap PDB. Dengan demikian,
apabila sektor perdangangan tumbuh, secara matematis lebih
menggambarkan keterjepitan pasar tradisional.
Keempat, bisnis kuliner yang terbentuk waralaba memang sebagian
besar faktor produksinya dikuasai oleh bangsa Indonesia. PDB yang tercipta
lebih banyak menguntungkan Indonesia. Namun, bukan berarti secara
“bersih” dinikmati Indonesia. Fee waralaba asing akan mengalir ke luar dan
terkagetorikan sebagai kebocoran ekonomi Indonesia.
Dengan uraian diatas anomali pertumbuhan ekonomi tersebut,
jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi semacam itu bukanlah sesuatu hal
yang patut dibanggakan. Gambaran tersebut lebih menunjukkan
pertumbuhan yang tidak berkualitas yang berdampak bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak mampu mengurangi kemiskinan bahkan berdasarkan hasil
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 307
regresi diatas bahwa pertumbuhan ekonomi menghasilkan atau mendorong
terjadi pertumbuhan tingkat kemiskinan di Indonesia. Bahkan kebijakan
yang didasarkan pertumbuhan ekonomi seperti itu sangat mungkin
merugikan, dan sasaran yang dibidik tidak tercapai.
Hasil analisis regresi hubungan pertumbuhan ekonomi yang tidak
signifikan terhadap pengurangan kemiskinan sejalan dengan pendapat
Ketua Badan Anggaran DPR, Harry Azhar Aziz, dalam diskusi Center for
Information dan Development Studies (CIDES) di Jakarta, yang menyatakan
bahwa selama kemiskinan tidak berhubungan dengan angka pertumbuhan
ekonomi, maka kegagalan ini disebabkan oleh mengaitkan angka makro
ekonomi dengan kondisi riil masyarakat.
Sementara itu, berdasarkan hasil analisis regresi, baik sebelum
maupun sesudah krisis menunjukkan hal yang sama bahwa Belanja
pemerintah (GE) berdampak negatif dan signifikan terhadap tingkat
kemiskinan. Ini berarti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan oleh
pemerintah dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
Hal ini berdampak bahwa pemerintah harus lebih serius dalam membuat
kebijakan pengeluaran anggaran untuk lebih pro rakyat.
Hal ini harus menyentuh reformulasi dan realokasi anggaran
pemerintah bagi system pendistribusian yang lebih memperhatikan
karateristik dan kebutuhan agar tepat sasaran. Alokasi sumber anggaran
menuju pro poor. Mencakup anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk
jaminan social (bantuan social dan ansuransi soaial), pendidikan, kesehatan
dan berbagai kebijakan lain yang dapat menstimulus dan memberdayakan
masyarakat miskin.
Permasalahan kebijakan yang pro rakyat bisa dikaji dari rendahnya
komitmen dan keberpihakan para perumus kebijakan dan penyelenggara
negara. Di Indonesia masih banyak kebijakan publik yang memihak orang
kaya (pro‐rich), ketimbang memihak orang miskin (pro‐poor). Padahal,
sebagai sebuah perangkat pemerintahan yang penting, kebijakan public
seharusnya lebih memihak orang miskin ketimbang orang kaya. Selain
karena jumlah orang miskin di Indonesia sangat besar, orang kaya memiliki
sumber daya untuk menolong dirinya sendiri. Mereka memiliki kemampuan
yang lebih besar dan pilihan yang lebih luas ketimbang orang miskin.
308 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
B. Rekomendasi
Kesimpulan diatas, penulis memberikan beberapa rekomendasi
sebagai berikut:
1. Berdarkan penelitian ini, pemerintah dalam usahanya menurunkan
kemiskinan dapat menggunakan strategi peningkatan pengeluaran
pemerintah (GE) terutama yang pengeluaran yang berpihak kepada
kaum miskin.
2. Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan pertumbuhan
ekonomi (PDB) karena terbukti pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh mengurangi jumlah orang miskin, bahkan berdampak
positif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Apakah kebijakan
pertumbuhan ekonomi telah disertai dengan pemertaan dan
menyentuh keberpihakan terhadap substansi permasalahan dari
kemiskinan itu sendiri.
310 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010
Lampiran 1.
Hasil Regresi
Dependent Variable: LOG (MIS)
Method: Least Squares
Date: 06/15/10 Time: 09:13
Sample: 1990 2008
Included observations: 19
Prob(F‐statistic) 0.000112
Ari Mulianta G. & Rasbin, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi … 311
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, 1990‐2009, Statistik Indonesia, BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2008, Indikator Makro Indonesia, Juli 2008, BPS,
Jakarta.
Basri, Faisal, 2002, Perekonomian Indonesia‐Tantangan dan Harapan bagi
Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta.
BPS‐Statistic, Bappenas, UNDP (2001), Indonesia Human Development
Report, 2001(Towards a New Consensus: Democracy and Human
Development Indonesia), Jakarta: BPS‐Stistics, Bappenas, UNDP.
Cahyat, Ade, 2000, Bagaimana Kemiskinan Diukur (Beberapa Model
Penghitungan Kemiskinan di Indonesia), Center for International
Forestry Research.
Datt, Gaurau, Martin Ravallian, 2002, Is India’s Economics is Leaving The
Poor Behind, Journal of Economics Prospective.
Dollar, David, Aast Kraay, 2002, Growth is Good for the poor, Journal of
Economics Growth.
Gujarati, Damodar N, 2003, Basic Econometric, International Edition, Fourth
Edition, Mc. Graw Hill, New York.
Kuncoro, Mudrajad, 2003, Ekonomi Pembangunan‐Teori, Masalah, dan
Kebijakan, Edisi Ketiga, UPP‐AMP YKPN, Yogyakarta
Media Indonesia (2004), 24 Januari, Anomali Pertumbuhan Ekonomi
Nachrawi Jalal, Harius Usman, 2002, Penggunaan Teknik Ekonometri, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta.
Ray, Debraj, 1998, Development Economics, Princeting University Press”,
New Jersey.
Republika (2010), Kesejahtraan Rakyat Belum Optimal, dalam Republika, 6
April 2010.
312 Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 2 No. 1, Desember 2010