Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA KEPALA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Dosen pengampu (Farida Aini,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.KMB)

Disusun oleh :

KELOMPOK 1

1. Ani Triyanti (010116A001)


2. Putri Amalia Indah (010116A002)
3. Ahmad Hatim Ashshidiq (010116A004)
4. Aliyah (010116A005)
5. Amalia Putri Diana (010116A007)
6. Annisa Lathifatul I. (010116A009)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

TAHUN PELAJARAN 2018

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta
hidayah-nya kepada kami. Sholawat serta salam marilah selalu kita hadirkan
keharibaan Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswah al-hasanah yang
senantiasa di harapkan syafaatnya di hari kiamat. Yang pada kesempatan kali ini
kami dapat membuat makalah dengan tema “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Cidera Kepala” dan semoga dapat bermanfaat bagi penulis serta
bermanfaat bagi pembaca.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Farida Aini selaku
dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Untuk ridho dan
barokah dari beliau sangat kami harapkan menuju jalan ilmu yang bermanfaat.
Terimah kasih juga atas semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
penulisan makalah ini.
Mengingat makalah ini jauh dari sempurna,kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga ilmu dalam makalah ini dapat sempurna
dan bermanfaat bagi penulis, terlebih lagi bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Ungaran, 28 Mei 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

Bab I Pendahuluan 4

A. Latar Belakang 4

B. Tujuan 5

Bab II Pembahasan 6

A. Definisi 6

B. Klasifikasi 6
C. Etiologi 7
D. Patofisiologi 8
E. Manifestasi Klinis 9
F. Komplikasi 10
G. Pemeriksaan penunjang 11
H. Penatalaksanaan 12
I. Asuhan Keperawatan 22

Bab III Penutup 27

A. Kesimpulan 27

B. Saran 27

Daftar Pustaka28

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak, cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya
benturan atau kecelakaan (Muttaqin, 2008). Sedangkan akibat dari terjadinya
cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan
keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan
pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam
pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi,
perdarahan.
Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat
trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu,
diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas
dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan
fungsi (Tarwoto, 2007). Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi
cedera kepala berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala
ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis
untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien 2 cedera
kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah
di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari
100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala
tersebut . Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit.
Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala

4
berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer,
2002).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi cedera kepala
2. Untuk mengetahui etiologi dari cedera kepala
3. Untukmengetahui manifestasi klinis dari cidera kepala
4. Untuk mengetahui klasifikai dari cidera kepala
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari cidera kepala
6. Untuk mengetahui komplikasi dari cidera kepala
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari cidera kepala sesuai dengan
prinsip kegawatdaruratan

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani,
2001)

Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Deficit neurologist terjadi karena robeknya substansi alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral
disekitar jaringan otak.

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung


atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak
dan otak. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak
segera setelah trauma. Cedera otak sekunder merupakan kerusakan yang
berkembang kemudian sebagai komplikasi. (Grace, Piere A. 2006)

B. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG)
1) Minor
a. SKG 13-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
2) Sedang
a. SKG 9-12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebihdari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam

6
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3) Berat
a. SKG 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amesia lebih dari 24
jam
c. Juga meliputi kontusi serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial
C. Etiologi
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat oalhraga, anak dengan ketergantungan
3) Cedera akibat kekerasan

Selain itu penyebab terjadinya trauma kepala ((Smeltzer, Suzanne


C,  2005), antara lain:
1) Trauma Tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
2) Tauma Tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya
lebih berat sifatnya.
3) Cedera Akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan
oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.
4) Kontak Benturan (Gonjatan Langsung)
Terjadi benturan atau tabrakan sesuatu objek
5) Kecelakaan lalu lintas
6) Jatuh
7) Kecelakaan industri
8) Perlekahian

7
Mekanisme cedera/ trauma kepala, meliputi:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam,
misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau
dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam,
misalnya pada kepala yang terbentur.
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala,
kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
D. Patofisiologi
Cedera memegang perana yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua

8
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya
untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan
dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak.
Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan
distribusicedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus
menetap setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan
cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkahlaku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari,
beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak
akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggunganatau hahkan koma.

9
 Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
deficit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan
dan pendengaran,disfungsi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo dan gangguanpergerakan.
3. Cedera kepala berat
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum
dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual,
adanya cederaterbuka, fraktur tengkorak dan penurunan
neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan
fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan
pada area tersebut.

F. Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya pada cedera kepala


meliputi :

1. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma.


Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah 16 masa ini penderita akan terbangun, sedangkan
beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan
sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.

2. Kejang/Seizure

10
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan


membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen
ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke system saraf yang lain.

4. Hilangnya kemampuan kognitif

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan


memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala mengalami masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit


Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin
tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut


(Grace, Piere A. 2006):

1) Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne


2)  CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus,
edema serebral.
3) Pengkajian neurologis
4) GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

11
5) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan
trauma.
6) Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur
pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan
adanya frakmen tulang).

H. Penatalaksanaan
Penderita trauma/cedera kepala memerlukan penilaian dan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang
mudah , cepat dan tepat, proses awal ini dikenal dengan initial assessment.
Penilaian awal (initial assessment) penderita cedera kepala pada
dasarnya memiliki tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah
cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehngga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Penilaian awal ini
meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey
6. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
7. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik

Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-olah berurutan namun dalam


praktik sehari-hari dapat dlakukan secara bersamaan dan terus-menerus.

1. Persiapan
Ada 2 tahap persiapan penderita :

12
a. Fase pra-rumah sakit
1.) Koordinasi yang baik antara dokter-perawat di rumah sakit dan
petugas lapangan.
2.) Penjagaan jalan napas, control perdarahan dan imobilisasi
penderita.
3.) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhdap rumah sakit sebelum
penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
4.) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit
seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan
riwayat penderita.
b. Fase rumah sakit
1.) perencanaan sebelum penderita tiba
2.) alat perlindungan diri
3.) kesiapan perlengkapan dan ruang resusitasi
4.) perlengkapan airway sudah dipersiiapkan, dicoba dan diletakkan di
tempat yang mudah dijangkau
5.) cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, di siapkan dan
diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau.
6.) Pemberitahuan terhdap tenaga laboratorium dan radiologi
2. Triase
Triase adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi
dan sumber daya yang tersedia. Penderita yang mengalami gangguan
jalan napas (airway) harus mendapatkan prioritas penanganan pertama
mengingat adanya gangguan jalan napas adalah penyebab tercepat
kematian penderita.
Dua jenis triase :
a. Multiple casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Penderita dengan masalah yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.

13
b. Mass casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan
rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar
dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenanga yang paling
sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal:

1.) Label hijau


Penderita tidak luka. Dtempatkan di ruang tunggu untuk
dipulangkan.

2.) Label kuning


Penderita hanya luka ringan ditempatkan dikamar bedah minor
3.) Label merah
Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan diruang resusitasi
IGD dan disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD
apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi.
4.) Label biru
Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan
di ruang resusitasi IGD disiapkan untuk masuk intensive care
unit atau masuk kamar operasi.
5.) Label hitam
Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah

a) Primary survey
Pada setiap cedera kepala harus selalu di waspadai adanya fraktur
cervical. Cidera otak sering diperburuk akibat cidera sekunder. Penderita
cidera kepala berat dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali
lebih besar dibandingkan dengan penderita cidera kepalaberat tanpa
hipotensi (60% vs 27%), adanya hipotensi akan menyebabkan kematian
yang cepat. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi
kardiopulmoner harus segera dilakukan.

14
Dalam penatalaksanaan survey primer hal-hal yang harus
diprioritaskan adalah dengan prinsip ABCDE (airway, brathing,
circulation, disability, exposure), yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cidera kepala khusus nya dengan cidera
kepala berat survey primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostatis otak (greenberg et al,2005).
a. Jalan nafas (airway) dengan kontrol servikal
Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada
penderita cidera kepala berat dan dapat mengakibatkan gangguan
sekunder. Intubasi endotrakheal (ETT)/LARYNGAL MASK
AIRWAY (LMA) harus segera dipasang pada penderita cidera
kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenasi 100%
dan pemasangan pulse oksimetri atau monitor saturasi
oksigen.tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati
pada penderita cidera kepala berat yang menunjukan perburukan
neurologis akut.
Gangguan airway breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis
karena akan dapat menimbulkan hipoksian atau hiperkabia yang
kemudian akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen
slalu diberikan dan bila pernafasan meragukan, lebih baik memulai
ventilasi tambahan.
1) Penilaian
a.) Mengenal patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
Pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas (airway)
dengan melakukan pemeriksaan thorax berupa inspeksi, auskultasi,
dan palpasi jika penderita dapat berbicara maka jalan napas
kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
b.) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi

15
Obstruksi jalan napas seringterjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah
atau akibat fraktur tulang wajah.
2.) pengelolaan airway
a. lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servkal in-
lineimmobilisasi
usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vetebra servkal
(cervikal spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi,
atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kita dapat melakukan chin lift atau
jaw thrust sambil mersakan hembusan nafas yang keluar melalui hidung.
b. Bersihkan airway dari benda asing

Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan


dengan jari atau saction jika tersedia.

c. Pasang pipa nasofaringeal orofaringeal


Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdpat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma. Terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula
5. Evaluasi
b. Hembusan nafas (breathing) dan ventiasi-oksigen
1. Penilaian
a) Buka leber dan dada penderita dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal in-line imobilisasi.
b) Tentukan laju dan dalamanya pernafasan.
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk
mengenali kemungkinan terdapat deviasi
trakea,ekspansi thoraks simetris atau tidak,
pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda
cedera lainnya.

16
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau
hipersonor.
e) Auskultasi thoraks bilateral.

2. Pengelolaan

a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonbreather mask 11-


12)
c. Sirkulasi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali
pada stadium terminal yaitu bila medula oblongata mengalami gangguan.
Pendarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemorogik pada
cedera kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus segera
dilakukan stabilisasi dan resusitasi untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah cukup hebat,
walaupun tidak selalu cukup jelas. Harus juga dicurigai kemungkinan
penyebab syok lain sperti syok neurologis ( trauma medula spinalis)
kontusio jantung atau tamponade jantung dan tensio pneumotorak.
Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus
apapun dapat memberi respon normal segera setelah tekanan darah
normal. Gangguan sirkulasi ( syok) akan menyebabkan gangguan perkusi
darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan
demikian syok dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan
dengan agresif.
1. Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal.
b) Mengetahui sumber perdarahan internal.
c) Periksa nadi.
Kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.

17
Bila denyut arteri radiasi dapat teraba maka tekanan
sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut nadi femoralis
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70
mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada
arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar
50mmHg.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah
sistolik sebaiknya dipertahankan diatas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan
tekanan.
2. Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal.
Perdarahan eksternal segera dihentikan dengan
penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dapat dipakai
adalah ringer laktat atau NaCl 0,9% sebaiknya dengan dua
jalur intravena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena
cidera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap
cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan.
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi
bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus
mengambil sample darah untuk pemeriksaan rutin, kimia
darah, teskehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta analisis gas darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan
tetesan cepat.

18
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan
pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam
nyawa.
f) Cegah hipotermi.
g) Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena dikepala dan
menaikkan tekanan intracranial.
3. Evaluasi
d. Neurologis/Disability
Pemeriksaan neurologis harus segera dilakukan segera setelah
status kardio pulmoner stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan
GCS dan reflek cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat
dilakukan dengan merangsang atau mencubit otot trapezius atau menekan
kuku penderita. Pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pada pupil
dilakukan sebelum pemberian sedasi atau paralisis, karena akan menjadi
dasar pada pemeriksaan berikutnya. Selama primary Survey pemakaian
obat obatan paralisis jangka panjang tidak dianjurkan , bila diperlukan
analgesia sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara
intavena.
Penilaian:
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS.
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi.
3) Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasai dan
circulation
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita.
2) Cegah hipotermi : beri selimut hangat dan tempatkan pada
ruangan yang cukup hangat.
4. Resusitasi

19
a. Re-evaluasai ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid 1000-2000 ml pada
dewaasa dan 20 mL/kg pada anak pada tetesan cepat.
c. Evaluasi resusitasi cairan
1) Nilai respon penderita terhadap pemberian cairan awal.
2) Nilai perfusi organ (nadi, waarna kulit, kesadaran dan
produksi urin) serta awasi tanda-tanda syok

d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respons terhadap


pemberian

a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenace


b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau
pemberian darah
c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dijalankan
d) Konsultsaikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
1) Respons sementara
a) Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambahi dengan pemberian
darah
b) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
c) Konsultasikan pada ahli bedah
2) Tanpa respon
a. Konsultasi pada ahli bedah
b. Perlu tindakan operatif sangat segera
c. Waspadai kemungkinan syok non hemorgik seperti tamponae
jantung atau kontusio miokrad
d. Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya

b) Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial ( GCS,Lateralisasi dan reflek pupil)
harus segera dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda

20
awal dari herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil a hilangnya reflek
pupil terhadap cahaya, adanya trauma langsung pada mata, sering
merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan menyebabkan
pemeriksaan pupil mata menjadi sulit, namun tetap harus dipikirkanpada
penderita cedera kepala berat (Ariono, 2012) .
Setelah pasien dalam keadaan stabil dilakukan pemeriksaan ulang
tanda vital, pencatatan hal yang penting dan pemeriksaan fisik secara
cepat.mpenangann klinis pada tahap ini menggunakan prosedur 5B yaitu:
a. Breathing
Memperhatikan frekuensi dan jenis pernafasnnya,
pembebasan obstruksi jalan nafas, okdigenasi cukup atau
hiperventilasi.
b. Blood
Oengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium
seperti Hb, leukosit.
c. Brain
Lebih awal pemeriksaan dilakukan pada respon mata,
motorik, dan verbal. Selanjutnya bila semakoin membruk
perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan bola mata.
d. Bladder
Kandung kemih perlu segera dikosongkan dengan
pemasangan kateter.
e. Bowel
Usus yang penuhu cemderung meningkatkan tekanann
intrakranial dan perlu pemeriksaan.

c) Re-evaluasi penderita
a. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan
melaporkan setiap perubhan pada kondisi penderita dan
respon terhadap resusitasi.
b. Monitoring tanda tanda vital dan jumlah urin

21
c. Pemakaian analgesik yangb tepat diperbolehkan
d) Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
a. Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani
pasien karena ketebatasan SDM maupun fasilits serta keadaan
pasien yang masih memungkinkan untuk dirujuk
b. Tentukan indikasi rujikan, prosedur rujukan dan kebtuhna
penderita selama perjalanan serta komunikassikan dnegan dokter
pada pusat rujukan yang dituju.

I. Asuhan Keperawatan
a.Diagnosa keperawatan

NO Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan Pola Setelah dilakukan tindakanü Pantau frekuensi, irama,
Napasberhubungan keperawatan selama 3 x 24 kedalaman pernapasan. Catat
dengan kerusakan jam ketidakteraturan pernapasan.
neurovaskuler (cedera diharapkanketidakefektifan ü Pantau dan catat kompetensi
pada pusat pernapasan pola napas teratasi dengan reflek gag/menelan dan
otak) kriteria hasil,tidak ada sesak kemampuan pasien untuk
atau kesukaran bernafas, jalan melindungi jalan napas
nafas bersih, dan pernafasan sendiri. Pasang jalan napas
dalam batas normal. sesuai indikasi.
ü Angkat kepala tempat tidur
sesuai aturannya, posisi
miirng sesuai indikasi.
ü Anjurkan pasien untuk
melakukan napas dalam yang
efektif bila pasien sadar.
ü Auskultasi suara napas,
perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
2 Perubahan perfusi Setelah dilakukan tindakanü Tentukan faktor-faktor yang 
jaringan serebral keperawatan selama 3 x 24 menyebabkan

22
berhubungan dengan jam, diharapkan masalah koma/penurunan perfusi
penghentian aliran teratasi, dengan kriteria jaringan otak dan potensial
darah (hemoragi, hasil tanda vital stabil dan peningkatan TIK.
hematoma) tidak ada tanda-tandaü Pantau /catat status neurologis
peningkatan TIK. secara teratur dan
bandingkan dengan nilai
standar GCS
ü Evaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri
dan kanan, reaksi terhadap
cahaya.
ü Pantau tanda-tanda vital: TD,
nadi, frekuensi nafas, suhu.
ü Bantu pasien untuk
menghindari /membatasi
batuk, muntah, mengejan.
ü Kolaborasikan pemberian obat
sesuai indikasi, misal:
diuretik, steroid,
antikonvulsan, analgetik,
sedatif, antipiretik
3 Nyeri berhubunganü Setelah dilakukan tindakanü Kaji keluhan nyeri dengan
dengan adanyatrauma keperawatan selama 3 x 24 menggunakan skala nyeri,
kepala. jam diharapkan nyeri catat lokasi nyeri, lamanya,
berkurang atau hilang dengan serangannya, peningkatan
criteria hasilklien merasa nadi, nafas cepat atau lambat,
nyaman yang ditandai berkeringat dingin.
dengantidak mengeluh nyeri,ü Atur posisi sesuai kebutuhan
dan tanda-tanda vital dalam anak untuk mengurangi
batas normal. nyeri.
ü Kurangi rangsangan yang bisa
memicu terjadinya nyeri.
ü Berikan obat analgetik sesuai
dengan program.
ü Ciptakan lingkungan yang
nyaman termasuk tempat
tidur.
ü Berikan sentuhan terapeutik,
lakukan distraksi dan
relaksasi.

23
4 Resiko Setelah dilakukan tindakanü Monitor status hidrasi seperti
kekuranganvolume keperawatan selama 3 x 24 kelembaban mukosa dan
cairan jam diharapkan masalah turgor kulit
teratasi dengan criteria hasilü Monitor Vital Sign
hasil membran mukosaü Monitor intake dan output
lembab, integritas kulit baik,ü Monitor status nutrisi
dan nilai elektrolit dalamü Dorong pasien untuk
batas normal. menambah intake oral
ü Berikan penggantian
nasogatrik sesuai dengan
output
ü Kolaborasikan pemberian
cairan IV
5 Defisit perawatan diriü Setelah dilakukan tindakanü Bantu anak dalam memenuhi
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 kebutuhan aktivitas, makan –
tirah baring dan jam diharapkan terjadi minum, mengenakan
menurunnya peningkatan perawatan pakaian, BAK dan BAB,
kesadaran. diri dengan kriteria membersihkan tempat tidur,
hasiltempat tidur bersih,tidak dan kebersihan perseorangan.
ada iritasi pada kulit, buangü Berikan makanan via
air besar dan parenteral bila ada indikasi.
kecil tanpa dibantu. ü Lakukan Perawatan kateter
bila terpasang.
ü Kaji adanya konstipasi, bila
perlu pemakaian pelembek
tinja untuk memudahkan
BAB.
ü Libatkan orang tua atau orang
terdekat dalam perawatan
pemenuhan kebutuhan
sehari-hari.

b. Implementasi dan Evaluasi

NO.DX Implementasi Evaluasi


1 ü Memantau frekuensi, irama,
S :   Klien mengatakan sudah tidak        sesak
kedalaman pernapasan. Catat lagi
ketidakteraturan pernapasan. O :   Klien tampak bernafas dengan baik
ü Memantau dan catat kompetensi A :   Masalah teratasi
reflek gag/menelan dan P :   Hentikan Intervensi

24
kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas sendiri.
Pasang jalan napas sesuai indikasi.
ü Mengangkat kepala tempat tidur
sesuai aturannya, posisi miirng
sesuai indikasi.
ü Menganjurkan pasien untuk
melakukan napas dalam yang
efektif bila pasien sadar.
ü Mengauskultasi suara napas,
perhatikan daerah hipoventilasi
dan adanya suara tambahan yang
tidak normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
2 ü Menentukan faktor-faktor yang  S  :   -
menyebabkan koma/penurunanO :  Klien tampak mengalami perbaikan respon
perfusi jaringan otak dan potensial motorik
peningkatan TIK. A :   Masalah belum teratasi
ü Memantau /catat status neurologis P :   Lanjutkan Intervensi
secara teratur dan bandingkan
dengan nilai standar GCS
ü Mengevaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri dan
kanan, reaksi terhadap cahaya.
ü Memantau tanda-tanda vital: TD,
nadi, frekuensi nafas, suhu.
ü Membantu pasien untuk
menghindari /membatasi batuk,
muntah, mengejan.
ü Mengkolaborasikan pemberian obat
sesuai indikasi, misal: diuretik,
steroid, antikonvulsan, analgetik,
sedatif, antipiretik
3 ü Mengkaji keluhan nyeri denganS :   Klien mengatakan nyeri berkurang
menggunakan skala nyeri, catat O :  Klien tampak sedikit lebih tenang
lokasi nyeri, lamanya, A :   Masalah belum teratasi
serangannya, peningkatan nadi, P :   Lanjutkan Intervensi
nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin.
ü Mengatur posisi sesuai kebutuhan

25
anak untuk mengurangi nyeri.
ü Mengurangi rangsangan yang bisa
memicu terjadinya nyeri.
ü Memberikan obat analgetik sesuai
dengan program.
ü Menciptakan lingkungan yang
nyaman termasuk tempat tidur.
ü Memberikan sentuhan terapeutik,
lakukan distraksi dan relaksasi.
4 ü Memonitor status hidrasi seperti S :   -
kelembaban mukosa dan turgor O :  Status hidrasi klien normal
kulit A :  Masalah teratasi
ü Memonitor Vital Sign P :  Hentikan Intervensi
ü Memonitor intake dan output
ü Memonitor status nutrisi
ü Mendorong pasien untuk
menambah intake oral
ü Memberikan penggantian
nasogatrik sesuai dengan output
ü Mengkolaborasikan pemberian
cairan IV
5 ü Membantu anak dalam memenuhi S :   Klien mengatakan belum mampu
kebutuhan aktivitas, makan – melakukan aktivitas secara mandiri
minum, mengenakan pakaian, O :  Klien tampak selalu dibantu melakukan
BAK dan BAB, membersihkan aktivitas
tempat tidur, dan kebersihan A :    Masalah belum teratasi
perseorangan. P :    Lanjutkan Interve
ü Memberikan makanan via
parenteral bila ada indikasi.
ü Melakukan Perawatan kateter bila
terpasang.
ü Mengkaji adanya konstipasi, bila
perlu pemakaian pelembek tinja
untuk memudahkan BAB.
ü Melibatkan orang tua atau orang
terdekat dalam perawatan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah
kematian. Asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang
peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya
pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
B. Saran
Dengan adanya pembahasan mengenai makalah kegawatdaruratan
pada pasien cedera akepala, diharapkan tenaga kesehatan mampu
menangani masalah kegawatdaruratan sesuai dengan initial assesment
sehingga dapat mengurangi angka kematian yang terjadi karena cedera
kepala.

27
DAFTAR PUSTAKA

Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV


Sagung Seto
Smeltzer, suzane C & Bare, Brenda G. 2005. Buku Ajar Keperawata Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Ed 8, Vol 3. EGC: Jakarta
Grace,Pierce A, neil R. Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah.edisi ketiga.Jakarta:
Erlangga.
Mansjoer, A . 2000. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 2. FKUI Jakarta:
Media Auskulapius.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Ssitem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Tarwoto, Wartonah, suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Pusponegoro, Ariono DKK. 2012 . Basic Trauma Live Support and Basic Cardiac
Llive Support. Jakarta: yayasan ambulan gawat darurat 118.

Price, Sylvia Anderson dan Wison Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit. E/6 Vol2. Jakarta: EGC

Greenberg, M.I. 2005. Hypovolemic Shock. In: Greenberg’s text atlas of


emergency medicine. Philadelphia: Lippicott william & willkins

28

Anda mungkin juga menyukai