Anda di halaman 1dari 23

PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA

TANAH ADAT SEBAGAI KAWASAN PERTAMBANGAN


DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

JURNAL

Oleh:
DIKO HANDANI
NPM. 1110005600110

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG
2015

0
PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH ADAT
SEBAGAI KAWASAN PERTAMBANGAN
DI PADANG PARIAMAN
Nama Diko Handani, NPM. 1110005600110, Fakultas Hukum, Universitas Tamansiswa, 82
hal Tahun 2015

ABSTRAK
Terkait dengan penulisan ini yang pengelolaan tanah ulayat di Minangkabau, maka
penting untuk melihat lebih jauh lagi keberadaan tanah ulayat di Minangkabau, dalam
hukum adat dikenal istilah “kabau tagak kubanagan tingga” artinya ketentuan ini
memerintahkan kepada pihak ketiga manapun, bila telah selesai memanfaatkan tanah
ulayat, maka tanah itukembali menjadi tanah ulayat, bukan manjadi milik negara,
sebagaimana yang terjadi selama ini. Menariknya mengaji tentang perjanjian kerjasama
pengelolaan tanah ulayat di Minangkabau, selain menambah kasanah ilmu penulis
sendiri, berharap juga bisa menambah kasanah masyarakat lainnya, maka penulis
mengangkat Judul Skripsi ini dengan tema “Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa
Tanah Adat Sebagai Kawasan Pertambangan di Kabupaten Padang Pariaman.”
Dalam karya ilmiah ini yang dijadikan permasalahan adalah Pertama, bagaimanakah
pelaksanaan hak guna usaha dalam perjanjian sewa menyewa tanah adat sebagai kawasan
pertambangan di Padang Pariaman? Kedua, Apa-apa saja kendala yang ditemui dalam
pelaksanaan sewa menyewa tanah adat sebagai kawasan pertambangan di Padang
Pariaman dan upaya penyelesainnya? Pengolahan data dengan cara editing yaitu dengan
cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas berkas dianalisis. Analisis data
secara kualitatif, yakni dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang didapatkan
dilapangan denga bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian.
Dari pengolahan data tersebut diperoleh hasil penelitian sekaligus dari penelitian ini
adalah bagi pihak investor dan pemerintah dalam hal proses perizinan dan penyerahan
tanah ulayat dijadikan sebagai usaha pertambangan hendaknya mengayomi masyarakat
adat, yang pada umumnya belum mengetahui atau belum terlalu memahami tata cara
untuk melakukan penyerahan tanah ulayat mereka. Hal itu bisa terjadi karena kurang atau
minimnya ilmu hukum yang mereka ketahui. Jika memang proses dan semua tata
cara sesuai peraturan yang berlaku, agar pelaksanaannya dapat terlihat jelas, dalam
kata lain semua pihak, termasuk masyarakat adat mendapat transparasi dalam kegiatan
tersebut. Adanya usaha pertambangan mengakibatkan para pihak dalam usaha tersebut
terikat dalam suatu perjanjian, dalam hal ini, masyarakat adat yang mungkin masih
minim pengetahuannya akan hukum, hendaknya diberikan cara atau solosi agar mereka
tidak kehilangan hak mereka, setelah usaha pertambangan dilakukan. Pemerintah
diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan finansial dari suatu kegiatan
pertambangan, akan tetapi juga harus memahami keinginan masyarakat pada umumnya,
masyarakat adat pada khususnya. Dalam hal ini, tentang status tanah ulayat jika jangka
waktu perjanjain kerja sama berakhir. Jika perjanjian kerjasama berakhir, pihak terkait
hendaknya mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat adat. Untuk masyarakat
adat, pelajari juga tentang aspek- aspek perajnjain kerjasama, agar kerjasama yang
dilakukan membawa manfaat kepada keduabelah pihak dan membuat kedudukan
keduabelah pihak seimbang.

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumatera Barat yang dikenal dengan sisitem adat yang memiliki
karakteristik yang berbeda dari adat-istiadat di Indonesia. Indonesia merupakan
negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Sumber daya yang meliputi baik
yang didalam tanah hingga yang berada di atas tanah. Sumber daya alam itu
dikuasai oleh negara. Hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur,
mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan, serta berisi kewajiban
untuk mempergunakannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan penguasaan
dan diselengaarakan oleh pemerintah.
Pengelolaan dan pengusahaan SDA, pemerintah dapat melaksanakan sendiri
dan/atau menunjuk investor/kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum sempat dapat dilaksanakan sendiri
oleh pemerintah. Kita dapat melihat adanya kerjasama pemerintah dengan
investor/kontraktor yang biasanya bergabung dalam suatu badan hukum, yaitu
perseroan terbatas. Usaha pertambangan dilakukan oleh perseroan terbatas,
kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada perseroan terbatas
tersebut.
Misalnya saja pengaturan tentang pertambangan, pertambangan diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Pertambangan. Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi rasa
keadilan, maka pada tahun 2009 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral, Air dan Batu Bara (UU Minerba) dan banyak lagi Undang-
undang yang terkait dengan pengelolaan Sumber daya alam.
Terkait dengan penulisan ini yang pengelolaan kerjasama tanah ulayat di
Minangkabau, maka penting untuk melihat lebih jauh lagi keberadaan tanah ulayat
di Minangkabau, dalam hukum adat dikenal istilah “kabau tagak kubanagan
tingga” artinya ketentuan ini memerintahkan bila telah selesai memanfaatkan
tanah ulayat, maka tanah itu kembali menjadi tanah ulayat, bukan manjadi milik
negara, sebagaimana yang terjadi selama ini.
Media yang telah bereadar baik elektronik dan media cetak banyaknya
konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau dengan
pengusaha sebagai akibat dari kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat
pemilik tanah ulayat. Sejumlah undang- undang yang mengatur soal pengelolaan
sumber daya alam yang lahir setelah Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan
UUPA keluar, pada dasarnya memang lebih berfungsi untuk memperlancar arus
penanaman modal di lapangan agraria.
Ketidakseimbangan dan rancunya pasal-pasal dalam UUPA ialah adanya
sejumlah pasal yang memuat pengakuan hak-hak komunitas masyarakat adat,
tapi pada saat yang bersamaan selalu dipertentangkan dengan kepentingan
nasional yang tidak jelas batasanya sehingga yang terjadi kepentingan nasional
itu direduksi menjadi kepentingan umum yang tidak jelas batasnya, kemudian
direduksi lagi menjadi kepentingan sekelompok kecil orang atau kepentingan
bisnis perusahaan tertentu, karena hanya pemerintah yang boleh sewenang-
wenang menetapkan batasan dari kepentingan umum tersebut.

2
Sangat ironis tanah ulayat hanya dijadikan tumbal bagi investor yang
masuk ke daerah. Banyak kepentingan rakyat yang jauh lebih besar tetap
dikorbankan, seperti halnya hak ulayat yang juga dipasung dan dibuat
mengambang dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun
2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, seperti yang terdapat dalam
Pasal 10 ayat 2 Perda ini.
Pasal 10 ayat 2 Perda No. 6 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa,
investor dapat memanfaatkan tanah ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat
adat yang bersangkutan dengan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam
bentuk akta notaris, yaitu dihadapan Pejabat Pembuat akta tanah/notaris. Hal
ini tidak sepenuhnya bejalan, karena faktor kurangnya pengetahuan hukum
masyrakat akan hukum, perjanjian tidak dilaksanakan dihadapan pejabat
pembuat akta tanah/notaris. Keadaan seperti itu tentu akan merugikan
masyarakat sebagai pemegang hak tanah ulayat. Sebagai salah satu contoh, di
suatu daerah di Sumatera Barat, terjadi pemanfaatan tanah ulayat untuk suatu
kegiatan usaha, ketika usaha berakhir tanah ulayat tersebut tidak kembali
menjadi hak dari masyarakat adat. Salah satu penyebabnya adalah, masyarakat
adat yang menjalin kerjasama dengan pihak investor, tidak menuangkan klausul
perjanjian dalam akta yang dibuat oleh notaris banyak perjanjian berupa Surat
yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat adat dan investor yang diketahui
bupati/walikota. Inilah yang menjadi latar belakang penulis melakukan penelitian.
Pengeloaan tanah ulayat, tentu akan berkaitan pula dengan perjanjian- perjanjian
serta berbagai perizinan. Lapangan hukum perjanjian akan terlihat dalam
perjanjian kerja di dunia usaha. Dalam hal ini, perseroan terbatas diambil
sebagai pihak yang sering berkaitan dengan dunia usaha pertambangan. Perseroan
terbatas sebagai salah satu bentuk badan hukum.
Membahas terkait dengan perjanjian, bahwa Sistem hukum adat
minangkabau juga memiliki pola dalam perjanjian terhadap pengelolaan tanah
ulayat. Perjanjian pengelolaan tanah ulayat di Minangkabu banyak disebut dengan
istilah “Pagang Gadai”. Pagang gadai adalah sebuah system yang sudah lazim
digunakan dalam perjanjian kerjasama pengelolaan tanah ulayat di Minangkabau.
Pemahaman pagang gadai yang di maksudkan di dalam system hukum adat
minangkabau sedikit berbeda dengan perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata
(BW). Menariknya mengaji tentang perjanjian kerjasama pengelolaan tanah ulayat
di Minangkabau, selain menambah kasanah ilmu penulis sendiri, berharap juga
bisa menambah kasanah masyarakat lainnya, maka penulis mengangkat judul
skripsi ini dengan tema “Pelaksanaan Hak Guna Usaha dalam Perjanjian Sewa
Menyewa Tanah Adat Sebagai Kawasan Pertambangan di Kabupaten Padang
Pariaman.

Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Untuk menjawab permasalahan sebagaimana diungkapkan diatas
diperlukan metode penelitian, metode pendekatan yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu
artinya bersifat „nyata‟. Pendekatan empiris dimaksudkan ialah sebagai
usaha
3
mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai
dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Untuk melaksanakan metode yuridis empiris sebagaimana tersebut
diatas diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
2. Jenis dan Sumber Data
Ada dua jenis data dibutuhkan disini yaitu :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber
masyarakat. Data tersebut merupakan keterangan yang diperoleh dari
sumber data yang relevan dengan rumusan masalah data tersebut,
diperoleh dari masyarakat dan si penyewa tanah adat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan dengan cara mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat
dengan pokok permasalahan terdiri dari ;
a) Bahan Hukum Primer
1) Undang-udang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
2) Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria
3) Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4) Undang- undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral, Air dan
Batubara, Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
5) Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terkait dengan
penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah: Rancangan Undang-
undang
1) Hasil Penelitian Hukum sebelumnya
2) Teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana melalui literatur
yang dipakai Dan juga bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya kamus hukum Seosilo Prajogo, Ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Jenis-jenis alat pengumpulan data yang digunakan adalah:
a) Studi Dokumen
Terhadap data sekunder dilakukan Studi dokumen hukum dan bahan-
bahan kepustakaan yang setiap bahan hukum dan bahan kepustakaan itu
haris diperiksa ulang validitasnya (keabsahan berlakunya) dan
reliabilitasnya (hal atau keadaan yang dapat dipercaya), sebab hal ini
sangat menentukan hasil suatu penelitian.

4
b) Wawancara
Terhadap data primer dilakukan wawancara adalah situasi peran
antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni
pewawancara mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang dirancang untuk
memperoleh jawaban- jawaban yang relevan dengan masalah Penelitian.
4. Pengolahan dan Analisa Data
a. Pengolahan Data
Pengolahan data dengan cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali
terhadap catatan-catatan, berkas berkas, informasi dikumpulkan oleh pencari
data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu reliabilitas data yang
hendak dianalisis. Coding yaitu mengelompokan data primer dengan
rumusan masalah.
b. Analisis Data
Analisis data secara kualitatif, yakni dengan melakukan penilaian terhadap
data-data yang didapatkan dilapangan dan perpustakaan secara uraian
kalimat yang akhirnya menjadi kesimpulan.

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN


HUKUM MINANGKABAU SERTA TANAH ULYAT
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Kata perjanjian berasal dari kata “janji” yang berarti kesanggupan untuk
melaksanakan sesuatu. Dalam lalu lintas hukum, istilah perjanjian merupakan
terjemahan dari Overeenkomst (Bahasa Belanda) yang sering diartikan dengan
persetujuan. Mengenai pengertian perjanjian saat ini belum terdapat
keseragaman, pengertian baik menurut Undang-undang maupun menurut
pendapat para sarjana. Hal ini disebabkan karena masing-masing sarjana
mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda.
Pengertian perjanjian menurut Undang-undang dapat dilihat dalam Pasal
1313 KUHPerdata yang menyebutkan:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Berikut dapat dilihat
pengertian perjanjian menurut beberapa Sarjana:
R. Subekti
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang laimn
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.
Wirjono Projodikoro
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
perjanjian.
2. Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal 1548 KUHPerdata sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan
suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran
suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu.

5
Unsur-unsur Sewa Menyewa sebagai berikut:
a) Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
b) Adanya konsensus antara kedua belah pihak,
c) Adanya objek sewa menyewa, yaitu barang, baik bergerak maupun tidak
bergerak,
d) Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan
kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda,
e) Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran
kepada pihak yang menyewakan.
3. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang
perlu diketahui. Asas-asas tersebut adalah:
a. Asas Konsensuil
b. Asas Kekuatan Mengikat.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
d. Asas Kepercayaan
e. Asas persamaan Hak
f. Asas Keseimbangan
g. Asas Kepastian Hukum
h. Asas Kepatutan
i. Asas Moral
j. Asas Kebiasaan
k. Asas Pelengkap
4. Syarat-syarat Syahnya Perjanjian
Sebelum melakukan perjanjian, pihak-pihak yang mengikatkan dirinya
dalam perjanjian ini harus memperhatikan syarat-syarat umum dari suatu
perjanjian, seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini
menentukan bahwa syahnya suatu perjanjian harus dipenuhi beberapa syarat,
yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b. Kecakapan untuk membuat perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal

Tinjauan Umum tentang Hukum Adat Minangkabau


1. Pengertian Hukum Adat Minangkabau
Telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa hukum adat merupakan
perpanjangan dari adanya suatu cara berperilaku yang dilakukan oleh seorang
individu yang mana jika cara itu dilakukan secara terus menerus maka akan
terbentuklah suatu kebiasaan yang apabila kebiasaan tersebut diikuti oleh
individu yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, sehingga kelompok
masyrakat tersebut mengikuti juga kebiasaan tersebut, maka kebiasaan tersebut
akan menjadi suatu adat dari kelompok masyarakat tersebut. Kemudian lambat
laun kelompok masyarakat itu menjadikan adat tersebut sebagai adat yang
seharusnya dipakai oleh anggota masyarakat setempat, sehingga lahirlah yang

6
dimaksud dengan hukum adat yang diterima dan harus dilaksanakan
masyarakat yang bersangkutan.
Pada umumnya, di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat
hukum yang tidak tertulis serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam
suatu kitab undang-undang. Hukum yang tidak tertulis itu dinamakan hukum
adat, yang merupakan sinonim dari pengetian hukum kebiasaan. Istilah
“hukum adat” sendiri merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda
adatrech, yang dipakai pertama kali oleh Snouck Hurgronje. Istilah adatrecht
kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollehoven sebagai istilah teknis-
juridis. Dalam perundang-undangan, istilah adatrech itu baru muncul pada
tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda
mengenai perguruan tinggi di Belanda. Tetapi pada permulaan abad ke-20,
lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan, istilah adatrech makin
sering dipakai dalam literatur (kepustakaan) tentang hukum adat, yaitu dipakai
oleh Nederburgh, Juynboll, Scheuer.
2. Sistem Hukum Adat Minangkabau
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau,
dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya
mereka membagi beberapa periode kesejarahan. Minangkabau zaman sebelum
Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti
yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman
sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman
Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah,
selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam
kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian
keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda
atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi
berikutnya. Penegrtian keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga
tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan
perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan. Adat Minangkabau
mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang tata cara
perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur kemasyarakatan
Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam
kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah
sebagai berikut:
a. Asas Unilateral.
b. Asas Kolektif.
c. Asas Keutamaan
Dalam masyarakat Adat Minangkabau dikenal Sistem Kewarisan
Kolektif Ciri sistem kewarisan kolektif ini yaitu harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya, setiap ahli waris
berhak untuk mengusahakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.

7
Kebaikan dari sistem kolektif ini dapat terlihat apabila fungsi harta kekayaan
itu diperuntukkan bagi kelangsungan harta anggota keluarga tersebut.
Kelemahan dari sistem kolektif ini yaitu menimbulkan cara berpikir yang
terlalu sempit, kurang terbuka karena selalu terpancang pada kepentingan
keluarga saja
3. Bentuk-bentuk perjanjian sewa menyewa di Adat Minangkabau
Hukum Perjanjian pada dasarnya mencakup hukum hutang piutang.
Dengan adanya perjanjian, maka suatu fihak berhak untuk menuntut prestasi
dan lain fihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah
mungkin menyerahkan benda, atau melakukan suatu perbuatan, atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Bentuk-bentuk dari perjanjian dalam masyarakt
hukum adat adalah :
a. Perjanjian Kredit
b. Perjanjian Kempitan
c. Perjanjian Tebasan
d. Perjanjian Perburuhan
e. Perjanjian Pemagangan
f. Perjanjian Pemeliharaan
g. Perjanjian pertanggungan kerabat
h. Perjanjian Serikat
i. Perjanjian Bagi Hasil
j. Perjanjian Ternak
Harta warisan dibedakan menjadi dua bagian: yaitu harta pusako tinggi
dan harta pusako rendah.
a. Harta Pusako Tinggi
Harta Pusako tinggi adalah harta yang diperoleh dengan tambilang besi,
yaitu harta yang diperdapat oleh seseorang dengan manaruko. Yang
dimaksudkan dengan manaruko tersebut adalah membuat/ mengolah sawah
jo ladang dari wilayat, bumi yang belum diolah sehingga diolah dengan
mempergunakan alat perkakas diantaranya dikenal dengan tambilang besi.
b. Harta Pusako Rendah
Harta Pusako Rendah yaitu harta yang diperoleh oleh seseorang tidak
dengan mempergunakan Tambilang Besi, artinya tidak manaruko, tidak
membuat dan tidak mengolah hutan, tanah, wilayah, bumi ini melainkan
diperdapat dengan Tambilang Emas, hadiah maupun hibah dari orang lain.
Harta pusako rendah ini yang diwarisi oleh anak maupun cucu yang
pengaturannya atau pembagiannya diatur baik melalui hukum waris
nasional (dalam KUHPerdata) atau hukum Islam.

Tinjauan Tentang Tanah Ulayat


1. Pengertian dan Defenisi Tanah Ulayat Minangkabau
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra
dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa; “Hak ulayat
merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan
hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan

8
tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum
(desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut
mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh
ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan
sepanjang masa (Lebensraum). Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk
dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik.
Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan
hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik,
berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala
Adat/Tetua Adat.
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai
komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara
individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat
bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat
komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat
hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk
kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini
sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek
moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur
terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan
sepanjang kehidupan itu berlangsung. Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat
tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke
luar.4 Ke dalam berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku
ke luardalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya,
yang disebut “orang asing atau orang luar”.
Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan
(kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang hidup
bebas dalam hutan. Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan
hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu
(objek hak).
Isi Hak Ulayat adalah :
a. Kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak ulayat
itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buah-buahan yang tumbuh di
tanah tersebut.
b. Orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali setelah
mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang pengakuan
Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan yang
pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya terdapat
pengecualian-pengecualian. Pengecualian ini berkaitan dengankekuatan hak
ulayat yang berlaku ke luar.

9
Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai
“res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat
territorial tidak dapat ditentukan secara pasti.
2. Terjadinya Hak Ulayat
Pada asal mulanya hak ulayat dijumpai di hampir seluruh wilayah
Indonesia. Hak ulayat dapat dikatakan sebagai hubungan hukum kongkret dan
hubungan hukum pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau
sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah
yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu.
Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat
hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak
ulayat. Selain diperoleh dari nenekmoyang bagi suatu masyarakat hukum adat
tertentu hak ulayat juga bisa tercipta atau terjadi karena pemisahan dari
masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang
mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.
Tetapi dengan bertambah menjadi kuatnya hak-hak pribadi para warga
masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagianbagian
tanah ulayat yang dikuasainya, juga karena pengaruh faktor-faktor ekstern,
secara alamiah kekuatan hak ulayat pada masyarakat hukum adat semakin
melemah, hingga pada akhirnya tidak tampak lagi keberadannya.
Sehubungan dengan itu dewasa ini pada kenyataannya keadaan dan
perkembangan hak ulayat itu sangat beragam. Tidak dapat dikatakan secara
umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum adatnya masih ada
atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali. Namun
demikian bahwa hak ulayat yang sudah tidak ada lagi akan dihidupkan
kembali, juga tidak akan dapat diciptakan hak ulayat baru yang sebelumnya
tidak pernah ada.
3. Jenis-jenis Tanah Ulayat
Tanah ulayat/Tanah Harta Pusako Tinggi di Minangkabau dapat
dibedakan dari bentuk hak atas tanah yang timbul dari keterkaitan masyarakat
dengan tanah sebagai berikut:
a. Tanah Ulayat Rajo
b. Tanah Ulayat Nagari
c. Tanah Ulayat Suku
d. Tanah Ulayat Kaum
Menurut Hermayulis bentuk hak atas tanah yang timbul adalah sebagai
berikut:
a. Manah (ulayat) nagari, yaitu seluruh wilayah (tanah) yang dimiliki dan
dikuasai oleh seluruh suku yang terdapat dalam nagari. Wilayah itu meliputi
rimbo (rimba) atau suatu areal hutan yang belum diolah tetapi masyarakat
selalu mengambil hasil hutan tersebut. Manah (ulayat) nagari merupakan
gabungan dari manah suku.
b. Manah Suku, yaitu seluruh wilayah yang dimiliki atau dikuasai oleh semua
anggota suku secara turun temurun dibawah pengawasan Penghulu Pucuk

1
atau Penghulu Andiko. Baik tanah yang berasal dari menempati maupun
melalui manaruko atas tanah manah nagari, gadang manyimpang, dimana
tanah tersebut berada dibawah pengawasan dan pemeliharaan penghulu
dalam suku yang bersangkutan.
c. Manah Kaum, yaitu seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu
kaum secara turun temurun dibawah penguasaan penghulu kaum. Tanah
tersebut dapat berupa tanah yang berasal dari peristiwa gadang manyimpang
dari suku asal. Dengan adanya perkembangan anggota suatu kaum dan
terjadinya beberapa kali gadang manyimpang, maka lahirlah terminology
“Pusako Tinggi” untuk manah kaum ini lebih tepat dinamakan pusako
tinggi.
d. Manah paruik, yaitu tanah yang dikuasai oleh suatu paruik. Manah ini
berasal dari pembahagian tanah ulayat kaum karena gadang manyimpang
atau karena hasil penemuan okupasi terhadap daerah baru.
e. Manah keluarga inti, yaitu tanah yang dikuasai oleh suatu bagian dari paruik
yang telah mengalami pewarisan tetapi belum melebihi tiga generasi, atau
berasal dari pencaharian, taruko dan sebagainya.
4. Pengelolaan Tanah Ulayat
Tanah ulayat di Minangkabau dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak
kemenakan atau sebagai tanah cadangan bagi anak kemenakan yang makin
bertambah dikemudian hari. Dalam pemanfaatan tanah ulayat/pusako di
Minangkabau dikenal pepatah “kabau pai kubangan tingga”. Jadi dalam hal ini
tanah ulayat hanya bisa dimanfaatkan dan tidak dapat dialihkan.
Tanah ulayat tidak boleh dijual atau dihilangkan begitu saja. Sifat
kebersamaan dapat dilihat pola pemilikan dan pengolahan tanah, pendirian
rumah adat dan bangunan nagari. Tanah adalah milik kaum, suku dan nagari,
bukan milik individu. Akan tetapi setiap individu dalam suatu nagari
tradisional akan terjamin hidup mereka, karena semua individu adalah anggota
dari salah satu kaum matrilineal. Dan tanah sebagai sumber ekonomi utama
adalah diperuntukan bagi kesejahteraan anggota kaum tersebut. Pengolahan
tanah dilakukan pula secara tolong menolong. Pembangunan rumah adat juga
dilaksanakan dengan tolong menolong. Demikian juga pembangunan semua
infra-struktur social ekonomi nagari.
Kebersamaan satu kaum itu di manifestasikan pula dalam system
kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu bahwa sepanjang hayat mereka
setiap individu adalah anggota dari kerabat matrilinealnya. Perkawinan atau
perantauan tidak merubah status seseorang, harta komunal adalah jaminan
hidup mereka, kerena itu setiap orang dituntut oleh adat untuk memelihara dan
memperbesar harta pusaka kaumnya. Sistem pemilikan komunal dan keluarga
luas ini merupakan system asuransi dalam masyarakat Minangkabau.
Setiap bentuk pengelolaan tanah ulayat walaupun hanya bersifat
sementara harus disepakati bersama oleh anggota kaum, suku, atau nagari.
Dalam pengelolaan tanah ulayat, penguasa tanah ulayat yaitu penghulu atau
mamak kepala waris akan bertindak ke luar dan ke dalam dengan prinsip
keseimbangan dan keadilan, sebagai mana falsafah adat manyatakan “urang

1
mandapek, awak indak kailangan” (orang yang mendapat, kita tidak
kehilangan).

PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH ADAT


SEBAGAI KAWASAN PERTAMBANGAN DI KABUPATEN PADANG
PARIAMAN
Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Adat di Kabupaten Padang
Pariaman
Penyerahan tanah ulayat secara adat ditandai dengn adanya ketentuan
Adat Diisi, Limbago Dituang. Inilah yang dituangkan dalam Berita Acara Adat
Penyerahan Adat Diisi Limbago Dituang dalam Bentuk Sataeh Ameh. Bagi
pihak ketiga (investor) yang tertarik dengan tanah ulayat, pada awalnya
memberitahukan maksudnya terlebih dahulu kepada pihak pemerintah (baik
kabupaten/kota maupun propinsi). Lalu pihak pemerintah menghubungi pemilik
tanah ulayat yang biasanya kaum/nagari (tergantung jenis tanah ulayatnya)
dengan melalui perantara penghulu atau ninik mamak (Mamak Kepala Waris)
penguasa tanah ulayat tersebut. Pemilik tanah yang diwakili oleh Mamak
merundingkan kepada anggota persekutuannya guna memperoleh persetujuan
bersama, mengingat tanah tersebut milik komunal bukan individu. Jika para
anggota persekutuan menyetujui pemanfaatan tanah oleh pihak investor melalui
pemerintah, maka anggota persekutuan memberitahukan kesepakatan mereka
kepada pihak pemerintah, yang bertindak sebagai mediator antara masyarakat
adat dengan pihak perusahaan atau investor. Proses penyerahan secara adat
inilah yang berbeda dengan penyerahan dalam lingkup hukum perdata.
Secara garis besar proses menuju penyerahan tanah ulayat untuk dikelola
oleh PT. UMP adalah :
1. Negosiasi. Pihak PT melakukan pengamatan langsung ke lahan yang diduga
memiliki asset bahan tambang, yang pada penulisan ini terletak di Batu
Bagendeng Jorong Ulu Suliti Kenagarian Pakan Rabaa Utara, Kecamatan
Koto Parik Gadang Diateh Kabupaten Kabupaten Padang Pariaman. Pada
kesempatan kali ini, pihak PT, dapat dikatakan melakukan tindakan untuk
mendapat dukungan dari masyarakat. Akan tetapi kegiatan ini merupakan
kegiatan yang tidak formal.
2. Tahapan selanjutnya adalah, pihak PT mendapatkan Surat Keterangan Izin
Peninjauan (SKIP).
Pihak pemerintah sebagai pihak perantara antara masyarakat sengan
pihak investor / pihak PT, juga menghubungi pihak masyarakat setempat, pihak
pemilik tanah ulayat, dengan tujuan memberitahukan bahwa ada pihak investor
/ pihak PT yang beniat melakukan pertambangan di tanah ulayat mereka.
Dalam hal ini, para pemilik tanah ulayat, dengan kepala nagari, kepala jorong,
kepala suku serta pihak-pihak terkait dengan tanah ulayat melakukan rapat
interen, membicarakan tentang bersedia atau tidaknya mereka menyerahkan
tanah ulayat mereka untuk dikelola.
Setelah pihak masyarakat menyetujuinya, mereka menyampaikannya
kepada pihak pemerintah, bahwa mereka bersedia menyerahkan tanah
ulayatnya untuk dikelola. Selanjutnya pemerintah memberitahukan kepada

1
pihak investor, bahwa keinginan mereka untuk melakukan pertambangan
mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
1. Setelah itu, Pihak investor menyiapkan semua persyaratan perizinan. Jika
persyaratan sudah lengkap maka bisa diajukan kepada pemerintah. Pada
kasus ini berarti pihak PT. UMP mengajukan persyaratan pada Bupati
Kabupaten Kabupaten Padang Pariaman.
2. Pihak pemerintah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP yang
pertama kali dikeluarkan adalah IUP Eksplorasi.
3. Tahapan selanjutnya adalah perjanjian yang terjadi antara pihak pemilik
lahan tanah ulayat dengan pihak investor. Perjanjian ini disebut perjanjian
ganti tanam tumbuh.
4. Tahapan terakhir, setelah IUP Eksplorasi selesai, maka pemerintah
mengeluarkan IUP Eksploitasi. IUP ini memberikan izin pada pihak kedua /
pihak PT melakukan produksi, pengangkutan, dan penjualan.
Penyerahan Siriah Pinang dan Ketentuan Adat diisi Limbago dituang
dalam bentuk Sataeh Ameh dalam adat Kenagarian Pakan Rabaa Utara dari PT.
UMP kepada pemilik lahan dan ninik mamak, merupakan peruntukan tanah
ulayat untuk dikelola dan pelaksanaan penambangan logam dasar oleh PT.
UMP. Semua pihak beserta saksi menandatangani berita acara penyerahan
siriah pinang dalam sataeh ameh diatas kertas bermaterai. Notaris membuat
halaman pengesahan, dimana dia bertindak melihat dan mengesahkan tanda
tangan dari kedua belah pihak, yang juga dilengkapi identitas kedua belah pihak
beserta saksi.
Hal itu dilakukan dengan keluarnya Undang-Undang Perseroan Terbatas
( UUPT ) Nomor 40 Tahun 2007, dimana Pasal 157 UUPT menyatakan agar
Perseroan Terbatas melakukan perubahan Anggaran Dasar atau penyesuaian
Anggaran Dasar Perseroan, sesuai UU yang berlaku, agar semua perbuatan
hukum yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Secara umum, proses penyerahan tanah ulayat untuk
pertambangan adalah :
a. Proses negosiasi antara pihak investor dengan masyarakat adat.
b. Proses penyerahan tanah ulayat secara adat.
c. Proses pemberian izin dari pemerintah.
d. Proses pembuatan perjanjian kerjasama para pihak.
e. Pelaksanaan usaha pertambangan.
Izin Usaha Pertambangan atau yang bisa disingkat dengan IUP, diatur
dalam Pasal 36 UU Mineral, Air dan Batu Bara ( UU Minerba ), yaitu UU
Nomor 4 Tahun 2009. Pasal 36 menyebutkan :
a. IUP terdiri dari atas dua tahap:
1) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan;
2) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan kontruksi penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
b. Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

1
Pasal 37 UU Minerba ini mengatur tentang pihak-pihak yang bisa
mengeluarkan/memberikan IUP. Dalam pasal tersebut dapt terlihar bahwa ada
3 (tiga) pihak yang bisa mengeluarkan/memberikan IUP, yaitu :
IUP diberikan oleh:
1. Bupati/walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan ( WIUP ) berada
di dalam satu wilayah kabupaten atau kota;
2. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1
(satu) povinsi setelah, mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; dan
3. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi
setelahmendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai kepada siapa IUP boleh diberikan, diatur dalam
Pasal 38 UU Minerba, ada 3 (pihak) yang dapat diberikan IUP. IUP diberikan
kepada:
a. Badan usaha;
b. Koperasi; dan
c. Perseorangan
Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan PP No
23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan
wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau
perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan
kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya.
Pembagian kewenangan Menteri, gubernur dan bupati/walikota adalah:
1. Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah
provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai gubernur,
untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam
1 provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil
2. Bupati/Walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam
1wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil.
IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut
Menteri), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha, koperasi, dan
perseorangan.
IUP diberikan melalui 2 tahapan yaitu :
1. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
a. Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan
wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, Gubernur
atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
b. Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota dan oleh gubernur harus mendapat
rekomendasi dari bupati/walikota Permohonan WIUP yang terlebih dahulu
telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional
dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta,
memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP

1
c. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam paling lama 10 hari kerja
setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau
menolak atas permohonan WIUP
d. Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan
penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan
menolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP
disertai dengan alasan penolakan.
2. Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP terdiri atas : IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Persyaratan IUP Eksplorasi dan
IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: administratif, teknis, lingkungan
dan financial.
IUP eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut
Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”), IUP
eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan
perseorangan yang telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP). Jangka waktu masing-masing IUP eksplorasi berbeda sesuai dengan
jenis tambang yang ada pada wilayah tersebut. Pasal 42 UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa
IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan untuk jangka
waktu paling lama 8 tahun, sedangkan untuk non-logam paling lama 3 tahun,
dengan pengecualian terhadap non-logam jenis tertentu yang dapat diberikan
IUP selama 7 tahun. Untuk pertambangan batuan, dapat diberikan IUP selama 3
tahun, dan 7 tahun untuk pertambangan batubara. Dalam hal kegiatan eksplorasi
dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP eksplorasi yang mendapatkan
mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP.
Penyerahan hak atas tanah secara adat untuk dikelola berbeda dengan
pelepasan hak atas tanah. Penyerahan hak atas tanah secara adat untuk
dikelola menyangkut asas keseimbangan dalam perjanjian. Penyerahan hak atas
tanah secara adat untuk dikelola lebih mementingkan faktor keseimbangan,
dimana kedudukan pihak yang menyerahkan tanahnya untuk dikelola dengan
pihak penerima hak pengelolaan adalah berada dalam keadaan seimbang. Hal
ini merujuk pada perjanjian yang secara tegas menggambarkan kedudukan
keduabelah pihak adalah sama. Ini bisa terlihat dalam akta perjanjian
penyerahan itu adanya hak dan kewajiban keduabelah pihak. Penyerahan hak
atas tanah untuk dikelola yang berdasarkan perjanjian ini tidak mengakibatkan
pihak yang menyerahkan tidak kehilangan haknya atas suatu tanah, yang
terbukti dengan perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, dimana
dicantumkan dalam salah satu Pasalnya tentang jangka waktu perjanjian. Jadi
pemahaman tentang penyerahan secara adat berbeda maksudnya dengan
penyerahan dalam lingkup hukum perdata, seperti jual beli yang menghilangkan
kewenangan pemilik awal barang dengan barangnya.. Sedangkan pelepasan hak
atas tanah mengandung pengertian hilangnya hak-hak atas tanah yang
dilepaskan kepada negara dan kemudian pihak yang memberikan kompensasi
atau ganti rugi memohonkan hak baru pada negara.

1
Pelepasan hak pada umumnya adalah kegiatan melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
pemberian ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sedangkan penyerahan hak
atas tanah ulayat secara adat adalah proses pemberian izin untuk mengelola
sebidang tanah ulayat dari ninik mamak, penghulu-penghulu suku dan mamak
kepala waris berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan anak kemenakan
kepada pihak lain untuk dikelola dengan sistem bagi hasil sesuai dengan
ketentuan hukum adat yang dituangkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
Pejabat Negara Pembuat Akta Tanah.
Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain yang bukan warga hukum adat
yang bersangkutan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi
risiko dengan kaedah “adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah mufakat.
Yang dimaksud dengan “adat diisi limbago dituang“ yaitu suatu pemberian
ganti kerugian yang diberikan oleh pihak ketiga yang mengelola dan
menguasai tanah ulayat, kepada penguasa dan atau pemilik ulayat berdasarkan
kesepakatan masyarakat.
Prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau sebagaimana
diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah “jua indak makan
bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa tanah ulayat tidak
dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan pada orang lain.
Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola, mengolah dan
menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap menjadi milik
komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini menegaskan
bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah ulayat bersifat
abadi.
Rumusan Pasal 11 ayat (1) Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang
ditolak oleh kalangan masyarakat tersebut dihidupkan kembali dalam Perda
TUP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perda TUP yang berbunyi: Apabila
perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan
dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke
bentuk semula.” Meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa setelah
pemanfaatan tanah ulayat dengan pihak pengusaha selesai, tanah ulayat menjadi
tanah negara, tetapi penggunaan frasa “kembali ke bentuk semula” yang masih
memberikan penafsiran jamak. Misalkan terhadap tanah ulayat nagari yang
didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, apakah setelah
perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah
ulayat yang dikuasai oleh KAN atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.
Selain itu kita juga menyadari bahwa atas tanah ulayat tersebut terdapat
pertentangan antara kepentingan individu/ kelompok, masyarakat dan
kepentingan negara. Semua itu tidak terlepas dari fungsi ganda yang melekat pada
tanah, apakah itu sebagai social asset maupun capital asset.
UU Minerba tidak ada mengatur tentang status tanah jika IUP dikeluarkan
oleh pemerintah UU Minerba dalam Pasal 135 menyatakan “ Pemegang IUP
Eksplorasi hanya dapat melaksanaakan kegiatanya setelah mendapatkan

1
persetujuan dari pemegang hak atas tanah”. Selanjutnya dalam Pasal 138
disebutkan “Hak atas IUP, IUPR atau IUPK bukan merupakan pemilikan atas
tanah”. Pasal ini dapat diperoleh kesimpulan, bahwa IUP tidak merupakan
kepemilikan atas tanah.
Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan badan hukum dan atau
perorangan dapat dilakukan berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan
pengelolaan antara penguasa dan pemilik berdasarkan kesepakatan masyarakat
adat dengan badan hukum dan atau perorangan dalam jangka waktu tertentu
dalam bentuk lain yang disepakati berdasarkan musyawarah dan mufakat di
Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan diketahui oleh pemerintahan nagari.
Semuanya itu hanya dapat dilakukan setelah badan hukum atau perorangan
yang memerlukan tanah ulayat, memperoleh izin lokasi guna kesesuaian
penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah dari pemerintah setempat
sesuai kewenangannya. Selain itu, investor dapat memanfaatkan tanah ulayat
dengan mengikut sertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat berdasarkan
kesepakatan masyarakat adat yang bersangkutan sebagai pemegang saham, bagi
hasil dan dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Dikeluarkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pemerintah kepada
pihak investor / pihak swasta dalam hak ini adalah PT. UMP menyebabkan
status tanah mengalami pergeseran. Sebelum adanya IUP, masyrakat / pemilik
tanah ulayat berkuasa penuh atas tanah ulayatnya, maka dengan keluarnya IUP,
masyrakat / pemilik lahan tidak memiliki kepentingan yang penuh terhadap
tanah ulayatnya. Hal itu terjadi karena pihak investor / pihak swasta telah
mendapatkan Hak Pengelolaan terhadap tanah ulayat tersebut, sesuai jangka
waktu yang diperjanjikan habis atau hingga jangka waktu perjanjian berakhir.
Setelah adanya ganti rugi ini, maka terjadi suatu penyerahan hak tanah
ulayat secara adat dari pihak pemilik kepada pihak investor. Penyerahan tanah
secara adat untuk dikelola sesuai dengan jangka waktu perjanjian yang dibuat.
Pada tahap ini, pihak pemilik tanah ulayat sebagai pihak pertama, tidak dapat
menguasai tanah ulayatnya untuk sementara waktu, atau secara hukumnya
hingga jangka waktu perjanjian yang mereka sepakati dengan pihak kedua /
pihak PT berakhir. Perjanjian inilah yang juga menunjukan penundukan diri
pihak investor hukum adat atas tanah ulayat milik masyarakat adat. PT. UMP
merupakan pihak investor yang bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku,
baik menurut peraturan perundang- undangan, termasuk dengan penundukan
dirinya kepada hukum adat.
Kegiatan usaha pertambangan yang pada saat ini masih berlangsung oleh
PT. UMP di tanah ulayat yangberada di Batu Bagendeng, merupakan salah satu
contoh penyelenggara pertambangan yang baik. PT. UMP melakukan usaha
pertambangan sesuai demgam ketentuan yang berlaku, termasuk juga menjalanai
segala ketentuan yang telah ada dalam perjanjian kerjasama. Adanya IUP
membuat pemegang IUP mempunyai hak untuk melakukan kegiatan konstruksi,
produksi, pengangkutan dan penjualan serta pengolahan dan pemurnian dalam
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). IUP dilarang dipindahtangankan
kepada pihak lain tanpa persetujuan Bupati.

1
Kendala Yang Ditemui Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa
Tanah Adat di Kabupaten Padang Pariaman dan Upaya penyelesainnya
Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk
penguasaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan berakhir, maka status
penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula. Tanah ulayat
yang telah berakhir masa perjanjian pemanfaatannya malah kemudian berubah
status menjadi tanah negara, sehingga dengan demikian para pemilik tanah ulayat
telah kehilangan hak kepemilikannya terhadap tanah tersebut. Hal itulah yang
sering terjadi, setelah usaha pertambangan selesai, masyarakat adat kehilangan
hak mereka. Mereka tidak dapat menuntut pihak investor, karena mereka
terkendala dengan masalah pembuktian. Tidak adanya perjanjian kerjasama yang
dibuat dihadapan pejabat berwenang, membuat masyarakat adat, tidak dapat
mempertahankan tanah ulayat mereka. Dalam penelitian ini, PT UMP seperti
yang telah dijelaskan, sejauh ini telah melakukan kegiatan pertambangan
dengan baik. Adanya itikad baik dari phak PT, dengan menuangkan klausul
perjanjian dihadapan notaris, memberikan pegangan pada masyarakat adat atas
status tanah mereka.
Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah
perjanjian kerjasama dengan pihak luar ini merupakan salah satu tema utama
yang ditolak dalam pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat tahun
2002-2003. Alasan utama penolakan kalangan masyarakat terkait dengan Pasal
11 ayat (1) Ranperda tersebut yang menyatakan: “Terhadap tanah bekas hak
ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya
berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai
negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat
dan pengusaan masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya.
Rumusan Pasal 11 ayat (1) Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditolak oleh
kalangan masyarakat tersebut dihidupkan kembali dalam Perda TUP.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perda TUP yang berbunyi: Apabila
perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan
dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke
bentuk semula.” Meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa setelah
pemanfaatan tanah ulayat dengan pihak pengusaha selesai, tanah ulayat menjadi
tanah negara, tetapi penggunaan frasa “kembali ke bentuk semula” yang masih
memberikan penafsiran jamak.
Misalkan terhadap tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU,
Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, apakah setelah perjanjian dengan investor
berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh
KAN atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai
langsung oleh Pemerintah.
Pihak lain yaitu pemerintah dan investor yang telah berperan dalam
memanfaatkan tanah ulayat harus memenuhi semua persyaratan, jika
penggunaan berakhir maka tanah ulayat harus dikembalikan kepada masyarakat
hukum yang bersangkutan, karena perjanjian yang dibuat berlaku sebagai
Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Adagium adat mengatakan

1
“kabau tagak kubangan tingga” mengandung arti bahwa tanah ulayat tidak
boleh berpisah dengan masyarakat pendukungnya.
Selain itu, guna melindungi kepentingan masyarakat hukum adat (dalam
hal ini pemilik hak ulayat), maka pengambilalihan tanah oleh pemerintah atau
perusahaan/investor pada umumnya mengenai jangka waktu berakhirnya
perjanjian, agar apabila setelah jangka waktu perjanjian berakhir, tanah tersebut
dapat kembali kepada penguasa/pemiliknya semula (sesuai dengan adagium
kabau tagak, kubangan tingga).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Masyarakat adat Minangkabau sesuai
dengan kesepakatan yang telah di ambil, maka pemerintah, investor harus
mengikuti kesepakatan tersebut, sebagaimana juga yang telah tertuang di dalam
Peraturan Gubernur nomor 24 Tahun 2012 tentang Pemulihan Tanah Ulayat.
Peraturab Gubernur nomor 24 Tahun 2012, yang pada pokoknya melindungi
fungsi-fungsi tanah ulayat adat terhadap pemilik tanah ulayat, dan menjelaskan
skema pengembalian tanah-tanah yang telah digunakan atau di ekploitasi oleh
investor, dan prosedur lainnya termasuk jika investor ingin mengelola tanah
ulayat masyarakat adat.
Sewajarnyanyalah permasalahan yang muncul mengikuti skema
penyelesaian seperti yang tertuang di dalam Pergub tersebut, agar pemerintah dan
investor dan masyarakat adat mendapatkan hak-hak masing-masingnya, selain itu
juga adanya kepastian hak dan kepastian hukum bagi masyarakat adat
minangkabau dalam pengelolaan tanah ulayat-nya.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari analisis pembahasan yang terdapat dalam bab sebelumnya maka di
dapat beberapa kesimpulan yaitu.
1. Pelaksanaan sewa menyewa tanah ulayat untuk pertambangan terdiri dari
Proses negosiasi antara pihak investor dengan masyarakat adat, Proses
penyerahan tanah ulayat secara adat, Proses pemberian izin dari pemerintah.
Kedudukan Tanah Ulayat Dengan Dikeluarkannya Izin Usaha Pertambangan
(IUP) oleh Pemerintah. Hal itu terjadi karena pihak investor / pihak swasta
telah mendapatkan Hak Pengelolaan terhadap tanah ulayat tersebut, sesuai
jangka waktu yang diperjanjikan habis atau hingga jangka waktu perjanjian
berakhir. Status Tanah Ulayat Jika Jangka Waktu Perizinan Pertambangan
Berakhir.
2. Berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 4 akta notaris tentang
perjanjian kerjasama pemilik lahan tanah ulayat Kanagarian Lubuk alung
Kecmatan lubuk alung Kabupaten Kabupaten Padang Pariaman ( sebagai
pihak pertama) dengan PT. UMP (sebagai pihak kedua). Perjanjian ini
mengatur tentang tugas, tanggungiawab dan kewajiban para pihak. Pada
salah satu poin dalam pengaturan tugas, tanggungiawab dan kewajiban bagi
pihak kedua adalh “setelah lahan-lahan yang diserahkan untuk dikelola oleh
pihak pertama kepada pihak kedua, selesai dikerjakan, maka pihak kedua
mengembalikannya kepada pihak pertama”. Sehingga berdasarkan perjanjian
kerjasama ini, ketika perjanjian berakhir atau izin pertambangan tanah ulayat

1
yang dikelola oleh investor / pihak swasta habis, maka tanah ulayat kembali
kepada pihak pertama, yaitu pihak yang merupkan pemilik lahan, bukan
menjadi tanah milik Negara. Karena usaha pertambangan ini masih
berlangsung, maka tentang pengembalian tanah ulayat secara nyata belum
terlaksana, akan tetapi jika pihak PT tidak mengembalikannya, maka
masyarakta bis menuntut PT, karena hal tersebut telah dituangkan dalam
akta perjanjian kerjasama yang merupakan bukti otentik.
Saran
1. Bagi pihak investor dan pemerintah dalam hal proses perizinan dan
penyerahan tanah ulayat dijadikan sebagai usaha pertambangan hendaknya
mengayomi masyarakat adat, yang pada umumnya belum mengetahui atau
belum terlalu memahami tata cara untuk melakukan penyerahan tanah ulayat
mereka. Hal itu bisa terjadi karena kurang atau minimnya ilmu hukum yang
mereka ketahui. Jika memang proses dan semua tata cara sesuai peraturan
yang berlaku, agar pelaksanaannya dapat terlihat jelas, dalam kata lain
semua pihak, termasuk masyarakat adat mendapat transparasi dalam
kegiatan tersebut.
2. Adanya usaha pertambangan mengakibatkan para pihak dalam usaha tersebut
terikat dalam suatu perjanjian, dalam hal ini, masyarakat adat yang mungkin
masih minim pengetahuannya akan hukum, hendaknya diberikan cara atau
solosi agar mereka tidak kehilangan hak mereka, setelah usaha pertambangan
dilakukan. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan finansial
dari suatu kegiatan pertambangan, akan tetapi juga harus memahami
keinginan masyarakat pada umumnya, masyarakat adat pada khususnya.
Dalam hal ini, tentang status tanah ulayat jika jangka waktu perjanjain kerja
sama berakhir. Jika perjanjian kerjasama berakhir, pihak terkait hendaknya
mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat adat.

2
21
22

Anda mungkin juga menyukai