Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

ALIH FUNGSI WISMA DAN ALIH FUNGSI PROFESI WTS PASCA


IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NO 7 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN ATAU TEMPAT UNTUK
KEGIATAN ASUSILA DI KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II
SURABAYA DAN PENGATURAN TATA RUANG DI DESA ADAT
PENGLIPURAN

SILVIA KUMALASARI
8111412028

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kuliah Kerja Lapangan ini telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Menyetujui, Semarang, 25 September 2014


Ketua Gugus KPK, Dosen Pendamping

Windiahsari, S.Pd., M.Pd Indung Wijayanto, S.H.,M.H.


NIP. 198011282008122001 NIP. 198207132008121002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) yang berjudul “Alih Fungsi Wisma dan Alih Fungsi Profesi WTS Pasca
Implementasi Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan Bangunan
atau Tempat untuk Kegiatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dan Pengaturan
Tata Ruang di Desa Adat Penglipuran “.
Laporan KKL sederhana ini disusun dalam rangka pertanggung jawaban telah mengikuti
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diadakan pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 12
September 2014 oleh Fakultas Hukum Unnes dengan tempat tujuan Surabaya ( Dinas Sosial kota
Surabaya) dan Bali (Desa Adat Penglipuran). Dalam penulisan makalah ini, penulis
mengucapkan terima kasih semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan laporan
Kuliah Kerja Lapangan ini sehingga laporan KKL ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Semoga Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Surabaya dan Bali memberikan
manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pembaca pada khususnya untuk menambah ilmu
pengetahuan mengenai peran dinas sosial dan hukum adat yang masih berlaku desa adat
Penglipuran.

Semarang, 25 September 2014

Silvia Kumalasari

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL-------------------------------------------------------------------------- i
HALAMAN PENGESAHAN--------------------------------------------------------------- ii
KATA PENGANTAR------------------------------------------------------------------------ iii
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------------ iv
BAB I. PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------- 1
1.1. Latar Belakang---------------------------------------------------------------------------- 1
1.2. Rumusan Masalah------------------------------------------------------------------------- 4
1.3. Tujuan Penulisan-------------------------------------------------------------------------- 5
1.4. Manfaat-------------------------------------------------------------------------------------- 5
BAB II. DISKRIPSI OBYEK KKL DAN PEMBAHASAN -------------------------- 7
2.1. Diskripsi Obyek KKL-------------------------------------------------------------------- 7
A. Dinas Sosial----------------------------------------------------------------------------- 7
B. Desa Adat Penglipuran---------------------------------------------------------------- 11
2.2. Pembahasan-------------------------------------------------------------------------------- 12
A. Potensi Pelacuran di Luar Lokalisasi Pasca Penutupan--------------------------- 12
B. Pelaksanaan Program Alih Fungsi Wisma dan Alih Profesi -------------------- 14
C. Pengaturan Tata Ruang Desa Adat-------------------------------------------------- 17
D. Eksistensi Tanah PKD dan AYDS--------------------------------------------------- 23
BAB III. PENUTUP--------------------------------------------------------------------------- 26
3.1. Kesimpulan-------------------------------------------------------------------------------- 26
3.2. Saran---------------------------------------------------------------------------------------- 27

DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------------- 28

LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) sebagai salah satu mata kuliah wajib di Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang. Selain mata beberapa mata kuliah yang ditawarkan baik Mata
Kuliah Dasar (MKD), Mata Kuliah Utama (MKU), dan Mata Kuliah Pilihan (MKP) yang harus
dipenuhi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Kuliah-kuliah Praktik juga termasuk di
dalamnya baik PPL, KKL, dan KKN.
Kesatuan mata kuliah teori dengan praktek sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
kurikulum perkuliahan di fakultas hukum UNNES diharapkan dapat mewujudkan output yang
capable bak teori dan praktik. Selain itu, diharapkan juga output fakultas hukum UNNES
nantinya tidak mengalami stressing yang berlebihan ketika menjadi praktisi pada bidangnya
masing-masing, tidak menjadi sarjana yang ketinggalan informasi, dan lain-lain. Demikian
adalah beberapa tujuan non-formal diadakannya kuliah-kuliah baik teori maupun praktik.
Kuliah Kerja Lapangan pada tahun 2014 ini dilaksanakan di Surabaya dan Bali
sebagaimana angkatan-angkatan yang telah lalu. Tempat tujuan KKL antara lain dinas sosial
kota Surabaya, Kantor Bea dan Cukai kota Surabaya, pelabuhan Tanjung Perak, dan desa adat
Penglipuran. Kuliah Kerja Lapangan ini diselengggarakan selama empat hari yaitu dari hari
Selasa, 9 September 2014 sampai dengan Jumat, 12 September 2014.
Kuliah Kerja Lapangan atau KKL adalah suatu bentuk program pendidikan yang
dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Unnes dalam upayanya meningkatkan isi dan bobot
pendidikan tinggi para mahasiswa, dan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar pada
pendidikan tinggi. KKL dilaksanakan dalam lingkungan masyarakat di luar kampus guna
meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan masyarakat serta meningkatkan
persepsi mahasiswa tentang relevansi antara materi perkuliahan yang telah mereka pelajari di
kampus dengan kebutuhan pembangunan dalam masyarakat. Selain itu, pelaksanaan Kuliah
Kerja Lapangan ini merupakan bentuk penerapan ilmu tersebut dan upaya menjalankan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat serta penelitian.
Terdapat enam lokalisasi besar di Surabaya yang telah ditutup oleh pemerintah

1
Daerahkota Surabaya yang penutupannya dimulai pada akhir tahun 2012. Yakni , Dolly,
Kremil (Tambak Asri), Dupak Bangunsari, Sememi, Moroseneng dan Klakahrejo. Surabaya
sendiri, kendati telah memiliki perda ( Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999 ) yang jelas-jelas
melarang pelacuran, dan telah pula dikembangkan berbagai program intervensi untuk
mengeliminasi praktik pelacuran. Tetapi, karena program-program yang dilakukan cenderung
bersifat segmenter, temporer, dan kurang kontekstual, maka jangan heran jika dilapangan yang
terjadi justru peningkatan jumlah pekerja seks. Dinas Sosial mempunyai tugas pokok dibidang
pembangunan kesejahteraahan social di Kota Surabaya, salah satunya dalam penanganan yang
menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu para PSK dan Mucikari.
Dinas Sosial Kota Surabaya sebagai salah satu pelaksana otonomi daerah sebagai amanat UUD
1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk memercepat terwujudnya
kesejahteraan sosial masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat.
Tempat prostitusi di Surabaya yang terkenal sampai dengan mancanegara yaitu Dolly
akan ditutup berdasarkan  Peraturan Daerah (Perda) No.7 tahun 1999 tentang Larangan
Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila, serta Pemikatan untuk Melakukan
Perbuatan Asusila . Terdapat 4 Perda kenapa Dolly harus ditutup yaitu :
1. Perda Kota Surabaya No. 7 Tahun 1999 tentang larangan menggunakan bangunan untuk
perbuatan asusila serta pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila di Kota Surabaya.
2. Perda Kota Surabaya No. 6 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan perlindungan anak.
3. Perda Kota Surabaya tentang Peredaran Minuman Beralkohol
4. Perda Kota Surabaya tentang Ketertiban Umum

Deklarasi Penutupan Lokalisasi Dolly digelar di Gedung Islamic Center, Surabaya, Jawa Timur,
pada tanggal 18 Juni 2014 lalu. Tempat itu ditengarai sebagai lokalisasi terbesar di wilayah Asia
Tenggara. Penutupan Dolly dan Pemerintah Kota Surabaya. Bahkan mereka yang tidak setuju
dengan penutupan tersebut melakukan unjuk rasa demi mencegah pelaksanaan keputusan
tersebut. Kehadiran Dolly selain buruk bagi wajah Surabaya juga berbahaya bagi perkembangan
moral anak-anak di sekitar kawasan tersebut. Selama ini, perkembangan mereka telah
terkontaminasi oleh hingar-bingar kehidupan para pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari.
Banyak kekhawatiran bahwa anak-anak akan terganggu tumbuh kembang mereka
sehingga merasa bingung membedakan mana perbuatan yang baik dan yang buruk karena setiap

2
hari mereka disuguhi realitas yang menggerus nilai-nilai agama. Dengan begitu, penutupan Dolly
penting artinya bagi pertumbuhan masyarakat yang sehat. Namun demikian, kehidupan di Dolly
tidak terbatas pada aktivitas pelacuran saja. Ada perekonomian rakyat yang bertumpu pada
berjalannya kehidupan lokalisasi. Upaya Pemerintah untuk mengalihprofesikan masyarakat
bisnis di Dolly belum diterima sepenuhnya dan hal ini berpotensi menimbulkan masalah sosial
lain. Hingga penutupan dilakukan pada tanggal 28 Juni 2014 lalu, masih banyak PSK dan
mucikari yang berdemonstrasi karena merasa dikorbankan demi pencitraan pemerintah provinsi.
Adanya program yang dilakukan oleh dinas sosial kota Surabaya yaitu alih profesi dan
alih fungsi wisma merupakan salah satu strategi yang di realisasikan oleh dinas sosial kota
Surabaya dalam upaya untuk mengurangi keberadaan para PSK dan mucikari. Yang di harapkan
dengan upaya rehabilitasi yang diberikan berupa pembinaan keterampilan para PSK dan
mucikari dapat memiliki keterampilan yang telah di berikan selama program berlangsung, dan
dapat melanjutkan keterampilan tersebut di kehidupan sehari-hari. Serta menjadikan
keterampilan yang dimilikinya sebagai mata pencaharian yang baru untuk para PSK dan
mucikari. Pemerintah juga telah menyiapkan bantuan dari Kemensos sebesar Rp 7 miliar dan
Gubernur Jatim sebesar Rp 1,5 miliar kepada PSK, mucikari, serta warga terdampak lokalisasi.
Eksistensi Desa Adat, secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Daerah Propinsi
Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peran Desa Adat sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali (selanjutnya disebut dengan
Perda Desa Adat). Dengan latar belakan perubahan sosial dan dicabutnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka diadakan pula perubahan terhadap Perda
Desa Adat sesuai kebutuhan masyarakat Bali. Undang-Undang tersebut adalah Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, yang kemudian dirubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Pasal 1 angka 4 dari Perda Desa Pakraman menyebutkan
bahwa:
“Desa Pakraman adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumahtangganya
sendiri”.

3
Provinsi Bali menentukan Tri Hita Karana sebagai landasan ideologis dalam penataan
ruang wilayahnya seperti yang diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang
RT/RW Provinsi Bali. Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga
unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Perwujudan Tri Hita
Karana ini juga tidak terlepas dari adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam
bentuk desa adat atau desa pekraman di Provinsi Bali. Falsafah ini telah menjadi kesatuan tradisi
secara turun menurun dalam masyarakat desa adat atau desa pekraman tersebut.
Pada laporan ini, akan mengutarakan segala hal yang berkaitan dengan tanah yang ada di
desa Penglipuran, Bali, yang telah menjadi obyek laporan (KKL). Secara umum tanah yang ada
di desa panglipuran di kuasai oleh desa adat, hanya saja fungsi tanah yang ada di dasa
panglipuran berbeda-beda, ada yang di fungsikan sebagai  lahan pemukiman, pertanian, hutan
(hutan bambu), tempat ibadah (pura), dan sebagai lahan kuburan atau yang lebih di kenal oleh
masyarakat adat sebagai nista mandala.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana potensi pelacuran di luar lokalisasi pasca penutupan ? Sejauh mana
penutupan Dolly terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya?
2. Bagaimana pelaksaan program alih fungsi wisma dan alih profesi yang dilakukan
dinas sosial untuk menutup lokalisasi di daerah kota Surabaya ?
3. Bangaimana pengaturan tata ruang yang ada di desa adat Penglipuran dan fungsi
sosial tanah tersebut secara umum?
4. Bagaimanakah eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Penglipuran?

4
1.3. Tujuan

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui potensi pelacuran di luar lokalisasi pasca penutupan dan sejauh mana
penutupan Dolly terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya
2. Mengetahui pelaksaan program alih fungsi wisma dan alih profesi yang dilakukan dinas
sosial untuk menutup lokalisasi di daerah kota Surabaya.
3. Mengetahui pengaturan tata ruang yang ada di desa adat Penglipuran dan fungsi tanah
tersebut secara umum
4. Mengetahui tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Penglipuran

Tujuan umum :

1. Realisasi pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang pengabdian


masyarakat.
2. Sebagai sarana pendidikan bagi mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu dan teori
yang dapatkan selama perkuliahan.

1.4. Manfaat
1. Manfaat Teoritis :
a. Laporan ini diharapkan dapat memberi kontribusi akademis bagi peningkatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan khusunya ilmu dalam bidang hukum
ketatanegaraan, bagaimana suatu peraturan daerah dibuat sesuai dengan pengaturan
yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat dan peraturan tersebut dapat di
implementasikan secara sinergis oleh pemerintah dan masyarakat..
b. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang eksistensi hukum dan sistem
pemerintahan dari Desa Adat Penglipuran. Dan pengaturan tata ruang dalam
masyarakat desa adat Penglipuran. Informasi ini juga sebagai tingkat perbandingan
ketaatan dan budaya sadar hukum masyarakat pada umumnya dengan masyarakat di
Desa Adat Penglipuran dalam bidang hukum dan pemerintahan

5
2. Manfaat praktis :
a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagimana suatu peraturan diterapkan,
dengan dukungan masyarakat dan tetap melindungi hak-hak masyarakat.
b. Memberikan gambaran bagaimana seharusnya langkah yang harus ditempuh oleh
pemerintah dalam menerapkan pearturan dan menjalankan pemerintahan dengan baik.
c. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang eksistensi hukum dan sistem
pemerintahan Desa Adat Penglipuran.
d. Memberikan informasi konsep pengaturan tanah dan konsep tata ruang di desa adat
Penglipuran.

6
BAB II
DISKRIPSI OBYEK KKL DAN PEMBAHASAN

2.1 DISKRIPSI OBYEK KULIAH KERJA LAPANGAN


A. Dinas Sosial Kota Surabaya

Dinas Sosial Kota Surabaya terbentuk sebagai konsekuensi implementasi UU No. 22


Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu bidang yang menjadi fokus penyelenggaraan
otonomi daerah seperti yang diamanatkan UU tersebut adalah bidang sosial, khususnya
pembangunan manusia dan lingkungan sosialnya dengan segala kompleksitas dan implikasinya
demi perwujudan suatu kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa permasalahan sosial di Surabaya masih jauh lebih
kompleks daripada daerah-daerah sekitarnya. Surabaya sebagai Ibukota Propinsi dengan
penduduk terpadat harus menanggung beban yang ekstra berat. Urbanisasi berlebihan (Over
Urbanization) ke Surabaya adalah fakta yang tidak perlu kita sanggah dan tutup-tutupi.
Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta harus diakui telah berhasil
melakukan pembangunan fisiknya. Meski tidak dipungkiri bahwa pada saat bersamaan berbagai
masalah sosial bermunculan tak kalah peliknya. Anggapan bahwa mencari uang di kota lebih
gampang dari pada di desa seperti mewajibkan agar penduduk desa berbondong – bondong
mencari pekerjaan di kota. Padahal, realitasnya berbicara lain. Tanpa bekal ketrampilan dan
keberanian, uang pun sulit dicari. Dampaknya Surabaya penuh sesak dan kewalahan menghadapi
laju pertambahan penduduk akibat migrasi serta menimbulkan masalah sosial, seperti :
Gelandangan, Pengemis, Anak Jalanan, Pekerja Seks Komersial serta Kawasan Kumuh.
Dinas sosial kota Surabaya terletak di jalan Kedungsari Nomor 18 Surabaya. Dasar
hukum adanya dinas sosial kota Surabaya yaitu :
 Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 8 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah
(Bab II Pasal 3 bagian (4))
 Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 8 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah
(Bab III Bagian Ketiga Paragraf 15 Pasal 32)
 Peraturan Walikota Surabaya No. 91 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi
Dinas Kota Surabaya (Bab I Pasal 2)

7
 Peraturan Walikota Surabaya No. 91 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi
Dinas Kota Surabaya (Bab II Bagian Kelimabelas).
Dengan tugas pokok :
Dinas Sosial
1. Pasal 225

Dinas Sosial mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas


otonomi dan tugas pembantuan di bidang sosial.
2. Pasal 226

Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225, Dinas Sosial


mempunyai fungsi:
a. perumusan kebijakan teknis di bidang sosial
b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum
c. pembinaan dan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225
d. pengelolaan ketatausahaan Dinas; dan
e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

Sekretariat
1. Pasal 227

Sekretariat mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Sosial di bidang


kesekretariatan.
2. Pasal 228

Rincian tugas Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227, sebagai berikut :
a. Pemrosesan administrasi perizinan/rekomendasi
b. Pelaksanaan koordinasi perencanaan program, anggaran dan laporan dinas
c. pemberian rekomendasi izin undian skala kota
d. pelaksanaan pembinaan organisasi dan ketatalaksanaan
e. pengelolaan administrasi kepegawaian

8
f. pengelolaan surat menyurat, dokumentasi, rumah tangga dinas, kearsipan dan
perpustakaan
g. pemeliharaan rutin gedung dan perlengkapan/peralatan kantor
h. pelaksanaan hubungan masyarakat dan keprotokolan
i. penyusunan perencanaan bidang sosial skala kota
j. penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kota
k. pelaksanaan koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kota
l. pelaksanaan sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi
m. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial skala kota
n. pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial
o. pemrosesan administrasi pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kota.
3. Pasal 229

(1) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai fungsi :


a. menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang umum
dan kepegawaian
b. menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang
umum dan kepegawaian
c. menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di
bidang umum dan kepegawaian
d. menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang umum dan kepegawaian
e. menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Sekretaris sesuai dengan tugas dan
fungsinya

(2) Sub Bagian Keuangan mempunyai fungsi :


a. menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang keuangan;
b. menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang keuangan;
c. menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang
keuangan;
d. menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang keuangan

9
e. menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Sekretaris sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Bidang Bina Organisasi dan Swadaya Sosial


Pasal 230
Bidang Bina Organisasi dan Swadaya Sosial mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
Dinas Sosial di bidang bina organisasi dan swadaya sosial.
Pasal 231
Rincian tugas Bidang Bina Organisasi dan Swadaya Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
230, sebagai berikut :
a. pemrosesan teknis perizinan/rekomendasi sesuai Bidangnya
b. pelaksanaan seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan
sertifikasi
c. pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala
kota
d. pelaksanaan identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kota
e. penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kota
f. pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kota
g. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial skala kota
h. penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kota
i. pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kota
j. pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kota
k. pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kota
l. pemberian penghargaan di bidang sosial skala kota
m. penanggung jawab terhadap penyelenggaraan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional
tingkat kota
n. pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kota
o. pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kota
p. pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kota.

Pasal 232
(1) Seksi Bina Organisasi Sosial mempunyai fungsi :

10
a. menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang
bina organisasi sosial
b. menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang
bina organisasi sosial
c. menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di
bidang bina organisasi sosiald. menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian
di bidang bina organisasi sosial
d. menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
e. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Bina Organisasi dan
Swadaya Sosial sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Seksi Bina Swadaya Sosial mempunyai fungsi :


a. menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang
bina swadaya sosial
b. menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang
bina swadaya sosial
c. menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di
bidang bina swadaya sosial
d. menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang bina swadaya sosial
e. menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Bina Organisasi dan
Swadaya Sosial sesuai dengan tugas dan fungsinya.

B. Desa adat Penglipuran

Desa Tradisional Penglipuran terletak di kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari kota
Denpasar, Desa adat yang juga menjadi objek wisata ini sangat mudah ditemukan, karena
letaknya yang berada di Jalan Utama Kintamani – Bangli. Desa Penglipuran ini juga tampak
begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu memasuki kawasan Desa. Pada areal Catus pata
yang merupakan area batas memasuki Desa Adat Penglipuran, disana terdapat Balai Desa,
fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal selamat datang.

11
Kata penglipuran berasal dari kata penglipur yang artinya penghibur, karena semenjak jaman
kerajaan, tempat ini adalah salah satu tempat yang bagus untuk peristirahatan.
Desa adat Penglipuran ini dipimpin oleh seorang ketua adat atau biasa disebut Jero
Pendesa yang bernama I Wayan Supat. Desa adat cenderung menutup diri terhadap budaya luar,
namun dalam hal pendidikan di desa adat Penglipuran  banyak para pemuda yang mengenyam
penddikan bahkan sampai jenjang yang tinggi. Bahkan didepan pintu masuk desa Penglipuran
ada sebuah sekolah sejenis sekolah Taman Kanak-kanak atau PAUD. Hal itu membuktikan
bahwa di desa Penglipuran system pengetahuannya sudah maju.
Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang
teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka
pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala.
Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh
masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.
Yang membedakan desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali
adalah, Bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa.
Ciri khas desa tersebut terletak pada angkul – angkul (pintu gerbang) rumah penduduknya yang
seragam. Ada 76 angkul – angkul yang berjajar rapi dari ujung utara hingga selatan desa.
Angka76 ini menunjukan 76 keluarga utama atau pengarep.

2.2. PEMBAHASAN

A. Potensi Pelacuran di Luar Lokalisasi Pasca Penutupan dan Dampak Penutupan


Dolly Terhadap Kehidupan Masyarakat Sekitarnya

Penutupan Dolly bukanlah keputusan yang dibuat dalam waktu cepat. Pemerintah Kota
didukung Pemerintah Provinsi dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) gencar berkampanye
menghapus julukan Kota Surabaya yang tenar sebagai ''Kota Sejuta PSK'' dalam tiga tahun
terakhir. Berbagai program diturunkan agar para PSK tidak lagi beroperasi, di antaranya dengan
membekali mereka kemampuan usaha dan bekal Rp3 juta per PSK untuk membuka usaha baru di
kampung halamannya. Untuk mendukung Program Surabaya Bebas Prostitusi, Kementerian
Sosial memberikan tabungan senilai Rp4.200.000,- kepada 960 PSK. Upaya tersebut tampaknya

12
berhasil dan mampu menurunkan jumlah PSK. Di dua kompleks lokalisasi Dolly dan Jarak,
hingga Mei 2012 tercatat sebanyak 1.080 PSK. Jumlah itu turun dari tahun sebelumnya yang
mencapai 1.132 PSK. Sementara di lokalisasi Bangunsari, di akhir 2012 jumlah PSK turun
menjadi 162 dari jumlah di tahun sebelumnya yang mencapai 213 PSK.
Penutupan lokalisasi Dolly pada tanggal 28 Juni 2014 tetap menimbulkan kontroversi,
terutama bagi mereka yang memperoleh penghasilan dari kawasan tersebut, seperti para PSK dan
mucikari, serta para pedagang, tukang ojek, atau tukang becak. Lokalisasi dianggap memberi
penghidupan bagi masyarakat sekitar. Seperti berbagai praktek penggusuran lain, pemindahan
pusat perekonomian dari satu tempat ke tempat lain selalu menimbulkan ketakutan bagi pelaku
usaha. Ketakutan itu terkait dengan ketidakyakinan mereka bahwa tempat yang baru mereka
dapat memperoleh penghasilan yang setara dengan yang mereka terima di Dolly.
Secara resmi lokalisasi Dolly sudah ditutup namun bukan berarti Pemerintah berhasil
mematikan praktek pelacuran. Masalahnya, uang kompensasi sebesar Rp5,050 juta untuk PSK
dan untuk mucikari Rp5 juta yang telah disiapkan Pemerintah Kota Surabaya tidak disetujui oleh
semua calon penerima.
Menurut Koordinator Front Pekerja Lokalisasi (FPL) Gang Dolly dan Jarak, Pokemon,
uang sebesar Rp5 juta itu tidak berarti banyak untuk para PSK dan mucikari. Hingga menjelang
penutupan, PSK yang mengambil dana kompensasi hanya sebanyak 397 orang dan mucikari
sebanyak 69 orang. Sedangkan yang mengembalikan uang kompensasi lima PSK dan tiga
mucikari. Ditengarai bahwa PSK yang menerima kompensasi adalah mereka yang tidak bisa
berbisnis pelacuran lagi karena alasan usia. Ini menimbulkan kekhawatiran adanya pelacuran
terselubung oleh para PSK yang masih laku.Purnomo dan Siregar dalam Dolly (1983)
mengemukakan, sejumlah pernyataan resmi mengumumkan jumlah perempuan yang telah
meninggalkan kompleks, dianggap menuju “jalan yang lurus”, tetapi kebanyakan hanya pindah
kompleks lain di kota lain di mana para germonya bisa membanggakan adanya “pendatang
baru”. Jadi penutupan lokalisasi belum tentu berarti menyelesaikan masalah pelacuran secara
komprehensif, karena dapat berdampak pada pelacuran di tempat lain. Perlu diingat bahwa
eksistensi pelacuran terbangun karena logika bisnis, yaitu adanya supply and demand, di mana
para pelacur membutuhkan uang dan pelanggannya membutuhkan kepuasan seksual. Para PSK
eks-Dolly tetap dapat beroperasi selama masih ada pelanggan yang menginginkan meskipun
harus bekerja di luar wilayah Dolly.

13
Terkait motivasi pelacuran pun terdapat banyak perdebatan, ada yang menganggap itu
sebagai patologi (penyakit masyarakat), dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. Menurut
Walkowitz dalam Prostitutional and Victiorian Society: Women, Class and the State aktivitas
seksual gelap merupakan strategi dari golongan yang secara sosial sangat kuasa; pelabelan
generik pelacur sebagai orang yang menyimpang tidak punya hubungan dengan kenyataan
karena “mereka bukan orang-orang buangan masyarakat yang tidak berakar tetapi perempuan
miskin pekerja yang berusaha bertahan hidup di kota-kota yang hanya memberikan sedikit
kesempatan kerja. Masuknya mereka ke dunia pelacuran bukanlah patologis; dalam banyak hal
tetapi sebaliknya merupakan pilihan yang rasional karena alternatif yang terbatas pada mereka.
Jika ini benar maka dapat dipahami betapa sulitnya (sampai kapan pun) mengatasi masalah
pelacuran karena penutupan sebuah lokalisasi bisa saja hanya memindahkan persoalan ke tempat
lain. Dan yang mengkhawatirkan adalah jika penutupan lokalisasi berdampak pada munculnya
pelacuran-pelacuran terselubung.

B. Pelaksaan Program Alih Fungsi Wisma dan Alih Profesi yang Dilakukan Dinas
Sosial untuk Menutup Lokalisasi di Daerah Kota Surabaya

Prostitusi di Indonesia dipandang negatif, karena dengan adanya kegiatan prostitusi ini
sangat meresahkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar wilayah yang dijadikan tempat
prostitusi sebab prostitusi sangat bertentangan dengan norma adat, agama dan hukum. Adapun
peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk praktik
germo dan Pasal 506 KUHP untuk mucikari maka dari itu perlu adanya upaya yang keras dari
pemerintah dan aparat hukum dalam penangan masalah prostitusi di Indonesia, program dan
sosialisasi yang di berikan sebagai jalan keluar.
Pemerintah Kota Surabaya memiliki surat keputusan Pemerintah Kota Surabaya yaitu
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II atau Kota Surabaya No.7 Tahun 1999 tentang
larangan penggunaan bangunan/tempat untuk perbuatan asusila serta pemikatan untuk
melakukan perbuatan asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Instruksi Walikota
Surabaya Nomor 1 Tahun 2012. Tentang Penyelengaraan Kesejahteraan Sosial ( lembaran
Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 2 tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya
Nomor1). Instruksi Walikota Surabaya Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pemutakiran Data

14
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Menimbang bahwa dalam rangka pelaksanaan
program rehabilitasi sosial di Kota Surabaya diperlukan data yang lengkap mengenai
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial
(PMKS) dan Pengembangan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dapat tepat sasaran.
Mengingat diantaranya adanya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2012
tentang penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.Menginstruksikan Kepada Kepala Dinas Sosial
Kota Surabaya, untuk melaksanakan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing masing.
dan Dinas Sosial memiliki program Masing-masing dalam pengentasan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dimana, Tuna Susila terdapat di dalamnya. Program/ kegiatan yang
berhubungan dengan Tuna Susila masuk di dalam Tugas dan Fungsi Seksi Rehabilitasi Anak dan
Tuna Sosial, salah satunya tentang Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
yang memiliki kegiatan berupa pelatihan bagi Wanita Tuna Susila Yang berada di Kota
Surabaya. Kegiatan tersebut berupa pelatihan tataboga dan handycraft bagi para Wanita Tuna
Susila, yang memiliki Dasar Hukum,berdasarkan UU’45 mengenai Dekarasi Universal Hak
Asasi Manusia, UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, UU No 23 tahun 2002
tentang Perdagangan Anak, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta berdasarkan
Instruksi Gubernur Jatim No 460/16474/031/2010 tanggal 30 november 2010 perihal
Pencegahan dan Penanggulangan Porstitusi Serta Woman Traficking.
Pasca penutupan Gang Dolly Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Pemkot Surabaya
berjanji akan menjadikan kawasan Gang Dolly menjadi lahan pemutar perekonomian baru di
Surabaya. Risma berjanji akan mengalih fungsikan wisma-wisma menjadi kios-kios dan
perpustakaan untuk wisma yang lebih kecil dan menjadikan lapak PKL di dalamnya. Dan
berjanji akan menjadikan warga sekitar, Mucikari, dan PSK yang terdampak penutupan sebagai
pelaku perekonomian di Gang Dolly tersebut. Bukan hanya itu Tri Rismaharini yang memiliki
keinginan membuat kota surabaya sejuk maka berencana membangun taman di dalam Gang
Dolly. Tetapi kita tahu rencana ini aka terealisasikan 2 tahun lagi dan selama itu Gang Dolly
tanpa kegiatan perekonomian. Sungguh sangat riskan memang karena orang yang terdampak
penutupan  terlalu lama untuk mendapatkan semua rencana Walikota Surabaya dan Pemkot
Surabaya. 

15
Pemerintah Kota telah menyiapkan Rp16 miliar untuk membeli seluruh wisma yang ada,
yaitu sebanyak 311 wisma. Pemerintah Kota Surabaya berencana mengubah wajah Dolly dan
Jarak dengan membangun gedung multi-fungsi berlantai enam. Lantai dasarnya digunakan
sebagai area sentra PKL, lantai dua untuk aneka jajanan dan makanan, lantai tiga dan empat
untuk perpustakaan dan komputer, lantai lima difungsikan sebagai taman bermain, dan lantai
paling atas dijadikan sebagai Balai RW. Di sekitar gedung juga direncanakan akan dibangun
taman-taman kota.
Upaya penataan kawasan :
Pemberdayaan WTS, Rehabilitasi sosial dan lingkungan pasca penutupan lokalisasi yang
dilakukan oleh dinas sosial kota Surabaya yaitu :
1. Mucikari, dan Masyarakat terdampak melalui pelatihan ketrampilan (pelatihan
handycraft, tata boga, kecantikan,dll) untuk meningkatkan kemampuan dalam
pengembangan usaha kecil menengah, sehingga masyarakat memiliki sumber
penghidupan dari kegiatan usaha tersebut.
2. Penataan/pengembalian fungsi kawasan melalui program alih fungsi wisma menjadi
pemukiman dan pusat kegiatan masyarakat secara terpadu berikut sarana prasarana
lingkungannya, sehingga akan dapat mengurangi kegiatan prostitusi di kawasan
permukiman.
3. Menghilangkan kawasan lokalisasi/kegiatan prostitusi dilingkungan permukiman secara
bertahap dan mengembangkan kegiatan usaha yang lain yang dapat memberikan manfaat
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
4. Meningkatkan aktifitas sosial kemasyarakatan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
religius keagamaan, untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat.

Konsep rencana penataan kawasan :


1. Pembangunan Rusunawa di Kawasan Putat Jaya:
 Pembangunan Rusunawa untuk merelokasi permukiman ilegal yang berkembang di
sekitar makam Putat.
 Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman dengan menciptakan aktivitas ekonomi
baru yang dapat diterima oleh masyarakat
2. Revitalisasi & Peningkatan Kualitas Kawasan

16
 Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman dengan pavingisasi, pembangunan
pedestrian ways, pengelolaan sampah dan sanitasi.

Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman dengan menciptakan aktivitas ekonomi baru


yang dapat diterima oleh masyarakat

C. Pengaturan Tata Ruang di Desa Adat Penglipuran dan Fungsi Tanah Secara Umum
Desa adat panglipuran merupakan salah satu desa bali mula yang masih memelihara
tradisi dan nilai-nilai tradisional masyarakat bali. Tatanan sosial masyarakat panglipuran
memperlihatkan bahwa desa adat merupakan simbol sakralisasi yang telah  bertahan ratusan
bahkan mungkin ribuan tahun, memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Hal ini bisa di
lihat dari eksistensi politis dan sosiologis yang di lakukan oleh desa adat dalam memajukan
maupun mempertahankan nilai-nilai kultural masyarakat.
Penglipuran merupakan sebuah desa yang terletak di kelurahan Kubu, kecamatan Bangli,
kabupaten Bangli, provinsi Bali. Desa ini memiliki lahan seluas 112 hekter. Wilayah yang seluas
itu di bagi menjadi beberapa fungsi yaitu 9 hektear di gunakan untuk pemukiman, 45 hektar di
gunakan untuk hutan bambu, dan 40 hektar untuk lahan pertanian.
Secara umum wilayah atau tanah tersebut di bagi kepada lima kategori yaitu :
1. Tanah milik
2. Tanah druwe atau sering di sebut druwe desa
3. Tanah laba pura
4. Tanah pekarangan desa
5. Tanah ayahan desa
Pengaturan secara hukum
Dari segi hukum, tanah yang ada di desa Penglipuran tidak terikat secara hukum dalam
hal surat-menyurat tanah, jadi tanah yang ada di  bali tidak memiliki sertifikat. Hasil penelitian
menunjukkan bahawa larangan penyertifikatan tanah di sebabkan oleh desa adat menganggap
penyertifikatan tanah ayahan desa akan menyebabkan penjualan tanah desa adat yang ber
implikasi pada konflik adat dan pengikisan kebertahanan nilai-nilai sosial relegius masyarakat
adat Penglipuran. Secara dilematis ternyata larangan ini malah memicu sengketa tanah ayahan
desa yang di stimulir oleh ketidak pastian yuridis batas kepemilikan tanah ayahan desa. Adapun

17
beberapa hak yang di miliki  masyarakat dalam penguasaan tanah ayahan desa yang mereka
kelola yaitu :
1. Hak mengelola tanah ayahan desa
2. Hak memanfaatkan hasil tanah ayahan desa
3. Hak untuk menggadaikan tanah ayahan desa yang di kelola dengan persetujuan dari
bendesa adat panglipuran
4. Hak untuk mengontrakkan tanah ayahan desa yang di  kelola dengan persetujuan dari
bendesa adat panglipuran
Imbas dari tidak adanya penyertifikatan tanah di panglipuran adalah tanah yang ada di desa
panglipuran tidak di kenai oleh pajak, jadi semua tanah yang ada di desa panglipuran bebas dari
pajak.
Pengaturan secara adat
Secara adat, tanah yang ada di Penglipuran di kuasai oleh desa Penglipuran, dan tanah
tersebut di bagi menjadi beberapa bagian, yang masing-masing bagian memiliki fungsi  masing-
masing.
Secara umum desa ini memiliki lahan seluas 112 hekter. Wilayah yang seluas itu di bagi
menjadi beberapa fungsi yaitu 5,5 hekter di gunakan untukpekarangan, 75 hekter di gunakan
untuk hutan bambu, 10 hekter untuk vegetasi lainnya dan 21,5hekter merupakan lahan pertanian.
a. Utama Mandala
Ruang ini adalah ruang yang paling disucikan dan terletak pada bagian yangpaling tinggi
atau di utara desa. Ruang ini menjadi simbolis dunia para dewa atau leluhur. Pada
bagian ini terdapat pula hierarki keutamaan ruang yang membagi ruang utama
mandala menjadi utama ning utama, madya ning utama, dan nista ningutama.
Konsep Tri Mandala pada ruang ini berorientasi kaja-kelod. Ruang utama ning
utama merupakan ruang untuk pemujaan dewa-dewa. Ruang madya ning utama,
merupakan tempat untuk melakukan ibadah bersama. Ruang nista ning utama ialah
ruang untuk pagelaran tari sakral atau aktivitas sebelum upacara peribadatan.
b. Madya Mandala
Ruang ini adalah ruang dengan kesucian di bawah ruang utama mandala. Pada bagian ini
terletak perumahan penduduk Desa Adat Penglipuran yang terdiri dari 76 pekarangan
yang disebut karang kerti. Di luar karang kertijuga terdapat beberapa pekarangan

18
yangmerupakan pengembangan. Pada ruang ini juga terletak beberapa tempat suci
milik desa adat dan pura dadia(klen). Pada sisi selatan ruang ini terdapat Tugu
Pahlawan sebagai monumen Pahlawan Bangli. Terdapat pula beberapa fasilitas umum
yaitu Balai Banjar Dinas dan fasilitas wisata. Pada ruang ini, terutama pada lahan
pekarangan terbagi menjadi tiga ruang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu utama
ning madya, madya ning madya, dan nista ning madya.
c. Nista Mandala
Ruang ini adalahruangyang paling rendah tingkat kesuciannya dan terletak pada bagian
paling selatan desa. Pada ruang ini terletak kuburan warga Desa Adat Penglipuran,
ladang penduduk, dan Pura Dalem (Pelapuhan). Pada ruang ini juga terbagi tiga
ruang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu utama ning nista, madya ning nista,
dan nista ning nista. Tata ruang pekarangan disebut oleh masyarakat Desa Adat
Penglipuran sebagai tata ruang mikro. Pada setiap pekarangan di desa ini terdapat
lebih dari satu Kepala Keluarga yang masih berhubungan saudara. Orang yang paling
tua berada pada bangunan rumah tinggal (loji) terdepan dan dekat dengan sanggah
(tempat ibadah). Dalam setiap pekarangan terbagi menjadi tiga ruang berdasarkan
konsep Tri Mandala. Orientasi yang digunakan dalam konsep Tri Mandal adalam
pekarangan ialah kangin-kauh(timur-barat). Berikut adalah penjelasan dari
penggunaan ruang dalam pekarangan berdasarkan konsep Tri Mandala:
a. Utama Mandala
Pada ruang ini dibangun sanggah sebagai tempat untuk keluarga yang tinggal dalam
pekarangan melakukan upacara peribadatan. Sanggah terletak di arah timur laut.
b. Madya Mandala
Ruang ini digunakan sebagai tempat aktivitas keluarga sehari-hari dengan jenis bangunan
yang ada, yaitu:
1) Dapur tradisional yang terletak di sebelahutara dan sekaligus tempat tidur bagi orang
tertua yang ada di pekarangantersebut.
2) Balai saka enem yang terletak di sebalah selatan sebagai tempat upacara yadnya.
3) Bangunan sebelah barat yang saat dahulu merupakan bangunan loji tetapi kini diganti
dengan bangunan modern sebagai tempat tidur, menerima tamu, dan bermain anak-
anak.

19
c. Nista Mandala
Ruang ini adalah terletak di belakang atau barat. Namun, terdapat perbedaan tempat untuk
pekarangan yang terletak di jejer timur. Pada pekarangan yang ada di jejer timur, ruang ini
terletak di bagian yang paling timur karena bagian barat dari pekarangan pada jejer ini
merupakan ruang terbuka dan merupakan pintu masuk dari jalan utama desa. Pada bagian ini
terdapat WC, kandang dan bangunan lainnya yang tidak layak untuk ditempatkan pada bagian
utama dan madya mandala.
Tanah-tanah kepunyaan adat di bagi lagi menjadi beberapa kategori :
1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat
melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya.

Kalau tanah desa ini berupa pertanian (sawah, ladang) maka akan digarap oleh krama
desa (anggota desa) dan penggarapannya diatur dengan membagi-bagikan secara
perorangan maupun secara kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap
kepada desa adat.
Selain itu yang termasuk tanah desa adalah : tanah pasar, tanah lapang, tanah kuburan ,
tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan kepada pejabat/ pengurus Desa Adat selama
memegang jabatan).
2. Tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai oleh
desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura. Tanah laba pura ini ada 2 macam
yaitu :
 Tanah yang khusus untuk tempat bangunan pura.
 Tanah yang diperuntukan guna pembiayaan keperluan pura
3. Tanah Pekarangan Desa atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa
yang diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lazimnya
dalam ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang
melekat (yang lebih dikenal dengan “ayahan”) pada Krama Desa yang menempati tanah
ialah adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa Adat.
2. Tanah Ayahan Desa atau tanah AYDS adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai atau
dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan pada masing-masing Krama Desa
disertai hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya.

20
Disamping tanah-tanah adat tersebut di atas, dikenal juga tanah-tanah pribadi atau tanah-
tanah bebas yang merupakan tanah-tanah milik perseorangan yang bebas dari kewajiban “ayah”.
Demikian dalam praktek sehari-hari tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut sebagai tanah
adat.  
Jika melihat keberadaan tanah yang ada di desa panglipuran, tanah yang ada di desa tersebut
tidak hanya di fungsikan sebagai lahan pemukiman,  tetapi tanah tersebut juga di fungsikan
untuk berbagai kepentingan lainnya yang hal itu  mengandung nilai sosial seperti :
1. Tempat ibadah atau pura, tanah ini di kenal dengan sebutan tanah ayahan atau AYDS (tanah
ayahan desa
2. Fasilitas Umum, seperti balai banjar yang di peruntukkan untuk tempat perkumpulan atau
diskusi bagi masyarkat desa atau masyarakat umum (pengunjung, wisatawan)
3. Tanah pekarangan desa, di peruntukkan untuk hutan bambu dan lahan pertanian lainnya, dan
lahan kuburan.
4.      Pemukiman, yaitu lahan tempat tinggal penduduk yang terdiri dari 76 kapling.
Selain asas sosial atas tanah yang ada di desa panglipuran, ada beberapa nilai yang terkandung,
yaitu :
1.      Nilai Produksi
Hutan bambu yang ada di desa panglipuran merupakan kekayaan yang di miliki oleh desa,
dan itu menjadi nilai produksi tersendiri bagi desa panglipuran
2.      Nilai  Lokasi
Lokasi desa yang sangat strategis dan penataan desa yang sangat bagus, menjadi nilai plus
tersendiri bagi desa tersebut dalam hal lokasi, yaitu tersebut menjadi salah satu obyek
wisata yang ada di bali. Walaupun penetapannya sebagai obyek wisata masih baru-baru
ini, tetapi daerah tersebut telah  lam di kunjungi oleh wisatawan.
3.      Nilai Lingkungan
Nilai lingkungan berarti tanah yang merupakan bagian dari lingkungan berhak untuk dijaga
keutuhannya agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan. Oleh karenanya hak-hak
atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi  yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan
air serta ruang angkasa yang ada di atasnya (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
4.      Nilai Sosial

21
Nilai sosial ini tidak bebeda dengan asas sosial hak atas tanah, dalam arti tanah tersebut tidak
hanya di fungsikan untuk satu kepentingan, tetapi juga di fungsikan untuk hal lain seperti
jalan, lahan pertanian, rumah ibadah dan pekuburan
5.      Nilai Kebudayaan
Hukum adat dijadikan sebagai dasar hukum agraria nasional Indonesia. Pembentuk UUPA
saat itu telah berhasil memasukkan nilai-nilai asli dan prinsip-prinsip kehidupan bangsa
Indonesia yang selalu hidup dalam kebersamaan sebagai konsepsi yang mendasari hukum agraria
nasional dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Konsepsi yang dimaksud ialah konsepsi hukum adat
yang bersifat komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan individual dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Tanah merupakan bagian dari adat istiadat, dimana hukum agraria sendiri berasal dari
hukum adat (pasal 5 UUPA). Bahwa dimana agraria berangkat dari nilai komunal yang berlaku
dimasyarakat (kebersamaan, adanya paguyuban, adanya patembayan).
Hal ini juga yang melekat pada desa adat di panglipuran, bangli, bali. Masyarakat telah
menempati tanah tersebut dalam kurun waktu yang lama. Kebudayaan mereka telah berkembang
disana selama ratusan  tahun, dan sampai saat ini hal itu masih hidup dan tetap di jalankan.
Walaupun sejak tanggal 1 mei 2012 dasa tersebut di tetapkan sebagai desa pariwisata oleh
pemerintahan bali, tetapi hal itu tidak berpengaruh terhadap kebudayaan di desa panglipuran,
kegiatan ritual yang selama ini berlangsung tetap di jalankan, tarian adat tetap di lestarikan,
bangunan rumah yang memiliki kekhasan tetap di pertahankan karna hal itu sesuai dengan apa
yang mereka yakini.  

D. Eksistensi Tanah PKD Dan AYDS Menurut Hukum Adat Penglipuran


Untuk tanah AYDS dan tanah PKD secara bersama-sama sering disebut “tanah ayah” saja.
Ini artinya tanah yang diatasnya berisi beban berupa ayahan . Tanah ayah ini dapat diwariskan,
dan jika ingin menjual harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau melakukan
transaksi-transaksi tanah lainnya, harus tetap seijin dari desa.
Demi kepentingan komunitas Karaman, dan keajegan Kahyangan serta kepentingan
ekonomis anggota Karaman, maka tanah-tanah yang berada diwilayahnya dibagi-bagikan kepada
anggota Karaman yang sudah membentuk “Kurn” (Keluarga). Lambat laun Karaman dan
Thaninya disebut Desa, Kemudian Desa Karaman atau Desa Pakraman, dan sampai akhirnya

22
disebut Desa Adat. Tanah Desa (Tanah PKD) dan tanah-tanah tegalan atau sawah
yang  menghasilkan disebut tanah ayahan desa (Tanah AYDS). Baik tanah PKD maupun AYDS
adalah merupakan “Beschikkings gebied” (wilayah kekuasaan) dari desa adat. Dasar penguasaan
ini adalah “hak ulayat” (hak wilayah) yakni hak dari persekutuan Desa adat atas tanah yang
didiami.
Pada awalnya anggota desa hanya mempunyai hak menggunakan (Genoterecht). Tetapi
kenyataannya kemudian tanah-tanah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya (beschikken) maka
muncullah hak penguasaan atas tanah (beschikkingsrecht). Berdasarkan azas hukum (legal
principle) bila hak menggunakan dan hak penguasaan bergabung maka itu tidak lain adalah milik
(orang Belanda) menyebutkan “Inlands bezitsrecht”
Untuk tanah PKD dan AYDS ikatan adat tetap ada yakni serupa kebijakan public untuk
desa dan/atau pura. Kewajiban ini secara umum dikenal dengan istilah “ayahan”. Jadi ayahan
inilah yang mengekang atau mengikat tanah-tanah ayah diatas. Sehingga tanah tersebut menjadi
tanah hak milik terkekang (Ingeklemd Inlands bezitsrecht).
Bagi tanah – tanah terkekang, menurut Bushar Muhammad, akan sangat tergantung dari
kuat dan lemahnya hak Penguasaan Desa (Hak Ulayat) Kalau hak ulayat kuat maka desa akan
menhgklaim bahwa tanah itu milik desa. Demikian sebaliknya bila hak ulayat lemah maka tanah-
tanah ayah ini akan menjadi milik anggota (Krama) Desa Adat.
Dari penelitian yang pernah dilakukan ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age)
masih mempertahankan hak ulayat desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali dataran)
tidak mempersoalkan pemilikan tanah. Tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja, ini
membuktikan bahwa hak ulayat semakin melemah.
Bila dianalisis dengan teori bola (Bellem Theorie) Dari Terhaar, yang menyatakan bahwa
semakin kuat hak ulayat, maka semakin lemah hak perorangan dan demikian sebaliknya. Terlihat
bahwa teori ini berlaku terhadap penguasaan tanah-tanah adat di Bali.
            Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di panglipuran adalah melekat pada
fungsi tanah adat yang meliputi:
a. Fungsi Keagamaan
b. Fungsi Sosial
c. Fungsi Ekonomis

23
Pelaksanaan fungsi sosio-religius dari tanah-tanah adat tersebut. Kemudian diwujudkan dalam
pelaksanaan ayahan yang sekaligus merupakan yadoya.
Kalau memperhatikan jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali sebagaimana tergambar di depan,
maka ada tiga subyek yang dapat melakukan permohonan konversi, yaitu :
1.      Desa Adat.
2.      Pura.
3.      Krama Desa Adat (Anggota Desa)
Pura
Sesuai dengan Surat dengan keputusan menteri dalam negeri No. SK 556/DJA/1986 tentang
penunjukan Pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
memutuskan :
a. Menunjuk Pura sebagai Badan Hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah.
b. Menegaskan bahwa tanah-tanah pelemahan yang merupakan kesatuan fungsi dengan pura
yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya surat keputusan ini, dikonversi sebagai hak
milik.

Dari ketentuan ini Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum keagamaan yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah.
Krama Desa Adat
Pasal 6 ayat (1) peraturan Menteri Pertanian dan Agararia No. 4 tahun 1962 (di tambah dengan
surat keputusan Menteri 110 SK. 26/Dua/1970) menentukan :
Hak- hak yang disebutkan dalam pasal II ketentuan- ketentuan konversi Undang-undang Pokok
Agraria ditegaskan dan di daftarkan menjadi :
a.    Hak milik, jika yang mempunyainya untuk mempunyainya pada tanggal 24 september
1960 memenuhi syarat untuk hak miliki.

b.   Hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya Undang- undang
Pokok Agraria jika tidak yang mempunyai pada tanggal 24 september 1960 tidak
memenuhi syarat untuk mempunyai hak miliki dan tanahnya merupakan tanah perumahan.

24
c.    Hak guna usaha dalam jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya Undang- undang Pokok
Agraria, jika tidak memenuhi syarat untuk mempunyai hak miliki dan tanahnya merupakan
tanah pertanian.

Dari ketentuan tersebut untuk krama desa adat/ perseorangan dapat mempunyai hak miliki,
setelah memenuhi syarat yakni :
a.       Dapat memperlihatkan tanda bukti kewarganegaraan tunggal,

b.      Dan tanda bukti hak atas tanah tersebut.

1.    Tanah adat adalah tanah- tanah milik persekutuan hukum yang secara langsung di
kemukan pada hak ulayat dan tanah-tanah perseorangan yang didasarkan pada hak milik
terkekang. Tanah-tanah milik perseorangan bebas tidak termasuk tanah adat. Tetapi
menurut ketentuan konvensi dari UUPA tanah milik perorangan bebas tercakup pula
dalam pengertian tanah adat. Demikian pula di Bali tanah- tanah pribadi/ tanah bebas
tidak termasuk tanah adat bali. Kemudian yang termasuk tanah- tanah adat adalah : tanah
desa, laba pura, tanah PKD dan tanah AYDS.

2.    Kedudukan tanah adat bali setelah berlakunya UUPA adalah : bahwa untuk tanah desa
belum jelas kedudukannya karena desa adat belum ditunjuk sebagi badan hukum yang
dapat memiliki tanah. Sedangkan untuk tanah laba pura, Tanah PKD dan AYDS
kedudukannya menurut UUPA sudah jelas.

3.    Boleh tidaknya tanah PKD dan AYDS dijadikan tanah milik perorangan (Krama Desa
Adat), tergantung dari kuat lemahnya hak ulayat desa adat.

Jadi didalam hukum adat yang termasuk tanah-tanah adat adalah tanah-tanah hak ulayat
persekutuan dan tanah-tanah hak perorangan terkekang. Sedangkan hak milik perorangan bebas
tidak disebut sebagai tanah adat. Sampai batas ini maka tanah-tanah adat dapat diberi batasan,
tanah-tanah yang bukan milik perorangan, tetapi  milik kaum, suku, desa dan sebagainya, dan
tidak seorangpun bisa mendakwakan bahwa tanah itu milik pribadinya dan tetap dibawah
persangkut-pautan (campur tangan) hak ulayat persekutuan.

25
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Lokalisasi Dolly ditutup berdasarkan  Peraturan Daerah (Perda) No.7 tahun 1999 tentang
Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila, serta Pemikatan untuk
Melakukan Perbuatan Asusila . Terdapat 4 Perda kenapa Dolly harus ditutup yaitu : Perda Kota
Surabaya No. 7 Tahun 1999 tentang larangan menggunakan bangunan untuk perbuatan asusila
serta pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila di Kota Surabaya, Perda Kota Surabaya No.
6 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan perlindungan anak, Perda Kota Surabaya tentang
Peredaran Minuman Beralkohol, dan Perda Kota Surabaya tentang Ketertiban Umum.
Pemerintah Kota telah menyiapkan Rp16 miliar untuk membeli seluruh wisma yang ada,
yaitu sebanyak 311 wisma. Pemerintah Kota Surabaya berencana mengubah wajah Dolly dan
Jarak dengan membangun gedung multi-fungsi berlantai enam. Lantai dasarnya digunakan
sebagai area sentra PKL, lantai dua untuk aneka jajanan dan makanan, lantai tiga dan empat
untuk perpustakaan dan komputer, lantai lima difungsikan sebagai taman bermain, dan lantai
paling atas dijadikan sebagai Balai RW. Di sekitar gedung juga direncanakan akan dibangun
taman-taman kota.
Masyarakat Desa Adat Penglipuran mengatur tata ruang di wilayah Desa Adat dengan
menggunakan konsepsi tata ruang tradisional yang ada. Konsepsi tersebut kemudian dijabarkan
dalam aturan tata ruang yang berbentuk awig-awig, sima dresta, atau kesepakatan warga.
Pemanfaatan ruang di Desa Adat Penglipuran juga dipengaruhi oleh adanya aturan kepemilikan
lahan. Aturan-aturan kepemilikan lahan ini juga dijadikan acuan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang di Desa Adat Penglipuran.
Aturan tata ruang tradisional yang dijadikan pedoman untuk pengendalian pemanfaatan
ruang tradisional memiliki unsur-unsur yang sepadan dengan aturan tata ruang formal. Selain itu,
perangkat pengendalian utama, yaitu awig-awig, sepadan dengan peraturan zonasi dalam
pengendalian formal. Perangkat lainnya yang sepadan ialah izin, disinsentif non fiskal, dan
sanksi administrasi. Lembaga pengendalian pemanfaatan ruang tradisional dalam struktur

26
organisasi desa adat memiliki kesepadanan wewenang atau tugas seperti lembaga pengendalian
formal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang tradisional
di Desa Adat Penglipuran memiliki unsur-unsur yang sepadan dengan pengendalian formal.

3.2. Saran
Prostitusi di Indonesia dipandang negatif, karena dengan adanya kegiatan prostitusi ini
sangat meresahkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar wilayah yang dijadikan tempat
prostitusi sebab prostitusi sangat bertentangan dengan norma adat, agama dan hukum. Adapun
peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk praktik
germo dan Pasal 506 KUHP untuk mucikari.
Penutupan Dolly memberikan kebutuhan profesi alternatif bagi masyarakat terkait di
dalamnya. Dengan adanya program-program pengentasan dan sentuhan modal usaha menjadi
alternatif, beberapa PSK dan mucikari sudah bisa melakukan pekerjaan halal. Namun demikian,
masih banyak kekhawatiran akan munculnya pelacuran terselubung yang meluas di tempat-
tempat yang tidak bisa diawasi pemerintah.
Pemerintah perlu terus meningkatkan kualitas dan kuantitas program-program yang
mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat karena kondisi kesejahteraan yang baik
akan mengurangi potensi terjadinya pelacuran. Selain itu, DPR RI sebagai lembaga legislatif
juga perlu terus melakukan pengawasan terhadap berbagai hal terkait, di samping upaya terus
mendorong Pemerintah untuk semakin serius menangkal berbagai kemungkinan terjadinya
pelacuran.
Adanya hak otonomi desa adat untuk mengatur wilayahnya dan berlakunya hak ulayat
atas lahan di desa adat mengakibatkan kelembagaan desa adat memiliki kewenangan yang lebih
kuat dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, perizinan untuk setiap pemanfaatan
ruang di wilayah desa adat sebaiknya dilaksanakan oleh kelembagaan adat. Hal yang sama juga
berlaku untuk pemberian sanksi karena sanksi adat memiliki daya ikat yang kuat terhadap
masyarakat yang ada di desa adat. Untuk pemberian insentif dan disinsentif, sebaiknya
pengendalian formal mengatur bentuk insentif dan disinsentif secara tersendiri yang diberikan
kepada desa adat sebagai satu kesatuan agar masyarakat desa adat tetap melakukan upaya
pengendalian pemanfaatan ruang.

27
DAFTAR PUSTAKA

Fafida, Azifatul. 2010, Skripsi: Mantan Pelacur: Studi Tentang Presepsi Mantan Pelacur
Berkaitan Dengan Pandangan Masyrakat Di Surabaya.

Harsono, Hanafiah. 2002, Implementasi Kebijakan dan Politik. Bandung: Pustaka


Buana.Suyanto, Bagong & karnaji, 2004, Pemetaan Dan Pengembangan Program
Penanganan Pelacuran DI Kota Surabaya. Surabaya: kerja sama Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga dengan Dinas Sosial Dan Pemberdayaan perempuan Kota
Surabaya.

Kasuma, I Putu Agus Wira, dan Iwan Suprijanto. “Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa
Adat Penglipuran, Bali”. Jurnal Permukiman, 2012: 40-50.

Tentang kelompok sasaran rehabilitasi bagi PMKS melalui www.kemensos.go.id diakses pada
tanggal 24 September

“Pemkot Surabaya Siapkan Rp 16 Miliar Untuk Rehabilitasi Dolly-Jarak”,


“https://id.berita.yahoo.com/pemkot-surabaya-siapkan-rp-16-miliar-untuk-rehabilitasi-
063233162.html, Diakses, 23 September 2014.

“PSK dan mucikari Dolly tolak bantuan usaha Rp 5 juta”, “https://id.berita.yahoo.com/psk-dan-


mucikari-dolly-tolak-bantuan-usaha-rp-112339204.html”, diakses tanggal 23 September
2014.

“Deklarasi Penutupan Dolly dan Jarak Dibacakan 107 Perwakilan Warga”,


“https://id.berita.yahoo.com/deklarasi-penutupan-dolly-dan-jarak-dibacakan-107-
perwakilan-190119185. html”, diakses tanggal 24 September 2014.

28
LAMPIRAN

29
30

Anda mungkin juga menyukai