Sifat Karakteristik Prinsip Dan Tujuan H
Sifat Karakteristik Prinsip Dan Tujuan H
KELOMPOK 4
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA. 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena hanya dengan ridhaNya kita
selalu berada dalam keadaan sehat walafiat, dan karenaNya pula lah kami dapat menyusun
makalah ini. Shalawat beriringkan salam tak lupa pula kami sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa umat manusia menuju jalan kemenangan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh/Ushul Fiqh
mengenai Sifat dan Karakteristik Hukum Islam, Prinsip-Prinsip Hukum Islam, dan Tujuan
Hukum Islam, yang mana akan membahas bagaimana sifat dan karakteristik, prinsip, serta
tujuan adanya hukum Islam.
Seperti pepatah lama tak ada gading yang tak retak, demikian juga dalam hal
penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Untuk itu,
kami mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca
nya, dan dapat menambah wawasan para pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. SIFAT DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM..............................................2
1. Sempurna..............................................................................................................2
2. Elastis....................................................................................................................2
3. Hukum yang Ditetapkan oleh Al-Quran Tidak Memberatkan.............................3
4. Universal...............................................................................................................3
5. Dinamis.................................................................................................................4
6. Sistematis..............................................................................................................5
7. Ta’abbudi dan Ta’aqquli......................................................................................5
B. PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM.....................................................................6
1. Meniadakan Kesempitan dan Kesukaran..............................................................6
2. Sedikit Pembebanan..............................................................................................7
3. Mewujudkan Keadilan..........................................................................................8
4. Bertahap Dalam Menetapkan Hukum...................................................................9
5. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia.............................................................10
C. TUJUAN HUKUM ISLAM....................................................................................11
1. Memelihara Agama (Hifz al-Din).......................................................................11
2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs).......................................................................12
3. Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql).........................................................................12
4. Memelihara Keturunan (Hifz al-Nas).................................................................13
5. Memelihara Harta (Hifz al-Mal).........................................................................13
BAB III: PENUTUP...............................................................................................................15
A. KESIMPULAN........................................................................................................15
B. SARAN......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia.1 Ada dua pengertian hukum Islam, yaitu hukum Islam
yang disebut dengan syari’ah, yaitu hukum-hukum Islam yang dijelaskan dalam Al-Quran
dan Sunnah, baik dalam bentuk garis-garis besar maupun dalam bentuk terperinci. Hukum
dalam pengertian yang pertama ini tidak akan pernah berubah. Di samping itu hukum Islam
yang disebut dengan ijtihad (fiqh), yaitu hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad para
fuqaha’ semenjak masa sahabat Nabi hingga waktu ini. Hukum Islam dalam bentuk kedua ini
berbentuk pendapat hukum atau fatwa dari para fuqaha’ dalam rangka menjelaskan,
menguraikan, memperinci aturan-aturan yang bersifat global. Syari’ah dapat ditemukan
langsung dalam Al-Quran dan Sunnah, sedangkan hasil ijtihad, yang disebut fiqh, berada
pada karya para fuqaha’ maupun kumpulan-kumpulan fatwa mereka.2
Hukum Islam memiliki ciri khas sifat dan karakteristik tersendiri, dalam kaitan ini
dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah sekelompok
dengan syari’ah-syari’ah yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari
nash Al-Quran dan Sunnah. Hukum Islam dapat berkembang untuk menanggulangi semua
persoalan yang berkembang dan yang berubah terus mengikuti zaman.3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sifat dan karakteristik hukum Islam.
2. Apa arti dari setiap sifat dan karakteristik hukum Islam.
3. Apa saja prinsip-prinsip dari hukum Islam.
4. Apa tujuan dari adanya hukum Islam.
1
Musnad Rozin, Karakteristik Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, 2016),
hal. 303
2
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), hal. 62
3
Ibid., hal. 74
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan adanya bentuk yang umum dan global tersebut, syari’at Islam dapat benar-
benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di semua tempat dan setiap saat, juga
diharapkan hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa.4
2. Elastis
Sifat dan karakteristik hukum Islam yang kedua yakni elastis (mudah diubah
bentuknya, dan mudah kembali ke bentuk asal, lentur, luwes). Keelastisannya mencakup
disegala bidang kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani, baik mengenai hubungan
manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan interaksi sesama manusia. Juga tuntutan
kehidupan mengenai kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Hukum Islam memperlihatkan segala aspek kehidupan manusia, baik dibidang
muamalah, ibadah, jinayah, siyasah dan di bidang-bidang lainnya. Namun segala aturan yang
diatur oleh hukum Islam tidak berarti pula menjadikan hukum Islam memiliki dogma/aturan
yang kaku (beku), keras dan memaksa.
4
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2007), hal. 113
2
Kecuali untuk masalah dan kaitan tertentu, nash tidak memuat cara dan pengaturan
pelaksanaan kewajiban. Dengan demikian, nash membuka peluang untuk memanfaatkan akal
guna berijtihad dan memilih cara-cara yang paling sesuai bagi pelaksana dan sesuai dengan
keadaan. Berijtihad bukan saja hak para imam-imam mujtahid, ia merupakan hak setiap
muslim yang dituntut untuk terus berusaha meningkatkan kualitas dirinya untuk mencapai
jenjang mujtahid.5
Di dalam Al-Quran tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hambaNya. Jika
Tuhan melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan ada
hikmahnya. Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-hal tertentu
(darurat). Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang, namun dalam keadaan
terpaksa, yaitu ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan terancam, maka tindakan seperti
itu diperbolehkan sebatas hanya memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum
Islam bersifat tidak memberatkan dan dapat berubah sesuai dengan persoalan waktu dan
tempat.6
4. Universal
Universal (‘Alamy) berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh
dunia), bersifat mencakup (melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum Islam itu tidak
dibatasi oleh lautan maupun batasan suatu negara.7 Hukum Islam ditujukan bukan hanya
untuk satu golongan atau suatu bangsa tertentu saja, tetapi hukum Islam ditujukan kepada
seluruh umat manusia. Dengan tanpa mengenal batas-batas warna kulit, suku, bangsa, darah
keturunan ataupun daerah.8
Banyak ayat dalam Al-Quran yang menyinggung tentang keuniversalan hukum Islam.
Diantaranta seperti dinyatakan pada QS. Al-Anbiya’: 107 dan QS. Saba’: 28) yang berbunyi:
Artinya: “Dan Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)
5
Nasution, M. Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 40-41
6
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat, hal. 78
7
Faisar, Filsafat, hal. 117
8
Musnad, Karakteristik, hal. 317
3
Artinya: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Saba’:28)
Kedua ayat Al-Quran diatas menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Muhammad
bukanlah dikhususkan untuk orang Arab saja namun berlaku bagi seluruh umat manusia yang
ada diseluruh dunia.9 Agama Islam dari sisi manfaat atau kegunaan dapat dinikmati bukan
bagi segolongan saja, akan tetapi bagi seluruh alam ini tanpa batas, baik yang berkulit putih
maupun yang berkulit hitam.10
5. Dinamis
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan makna dari kata dinamis adalah
penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dalam
keadaan dsb.
Kedinamisan hukum Islam terletak pada dasar-dasar yang menjadi dasar dan tiang
pokok bagi hukum. Dasar-dasar dan pokok-pokok itulah yang menjadi sumber kekuatan,
kelemahan, kemudahan dan kesukaran dalam menetapkan hukum Islam. Sesuai dengan tabiat
manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya sehingga manusia
memperhatikan bebanan hukum dengan sangat berhati-hati.
Syari’at Islam dapat menarik manusia dengan sangat cepat dan manusia dapat
menerimanya dengan ketetapan hati, karena Islam menghadapkan pembicaraannya kepada
akar dan mendesak manusia bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang
sejahtera, sebagaimana hukum Islam menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan,
menyuruh untuk berbuat ma’ruf, dan mencegah yang munkar. Sendi-sendi dari kedinamisan
hukum Islam adalah:
a. Meniadakan kepicikan.
b. Menyedikitkan tugas.
c. Mensyari’atkam hukum dengan cara berangsur-angsur.
d. Memperhatikan kemashlahatan manusia.
9
Faisar, Filsafat, hal. 117
10
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), hal. 75
4
e. Mewujudkan kadilan yang merata.11
6. Sistematis
Syari’at Islam bersifat sistematis artinya ia mencerminkan sejumlah doktrinnya
bertalian dan berhubungan di antara satu dengan lainnya secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah sholat di dalam Al-Quran selalu
diiringi dengan perintah menunaikan zakat. Perintah untuk makan dan minum, diiringi
dengan kalimat “Tetapi jangan berlebih-lebihan”.
Demikian pula dengan lembaganya, pengadilan dalam Islam tidak akan memberikan
hukum potong tangan bagi pencuri bila keadaan masyarakat sedang kacau dan terjadi
kelaparan, tidak akan memberikan hukuman razam bagi pezina dan kebiasaan berpakaian
yang belum diterapkan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri.
Dengan demikian hukum Islam dengan lembaganya saling berhubungan satu sama
lainnya. Hukum islam tidak akan dapat dilaksanakan apabila diterapkan sebagian dan
ditinggalkan sebagaian lainnya.12
Ta’aqquli berbentuk dalam bidang muamalah. Ta’aqquli ini bersifat duniawi yang
maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qulah alma’na) atau rasional, maka manusia dapat
melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. ‘Illat dari muamalah yang
bersifat ta’aqquli dapat dirasionalkan dengan melihat nashl ahat atau mudharat terkandung di
11
Faisar, Filsafat, hal. 118-120
12
Ibid., hal. 120-121
13
Ibid., hal. 121
14
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat, hal. 82
5
dalamnya. Sesuatu dilarang karena ada kemudharatan di dalamnya, dan diperintahkan karena
ada mashlahat di dalamnya.15
Kata prinsip berarti asas, yakni kebenaran yang menjadi kebenaran pokok dasar orang
berpikir, bertindak dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum
Islam ialah cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan ataupun tumpuan hukum Islam.
Adapun prinsip-prinsip dalam hukum Islam itu antara lain sebagai berikut.
Oleh karena itu Allah menetapkan hukum Islam sesuai dengan kadar kemampuan
seseorang. Bahkan lebih jauh, jika ada yang tidak sanggup dengan hukum yang telah
ditetapkan itu, Allah juga memberikan kelonggaran atau kemudahan (dispensasi) dalam
keadaan tertentu. Adapun contoh dalam prinsip ini, yaitu:
a. Orang yang sedang bepergian, sakit, dalam keadaan hamil, atau menyusui, boleh
tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah al-Baqarah yang
artinya “Bagi siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya”.
b. Orang yang tidak kuat berdiri untuk mendirikan shalat, maka ia dapat
melakukannya dengan duduk. Bahkan boleh melakukannya sesuai dengan kondisi
kesehatan seseorang. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang artinya: “Shalat
lah kamu dengan berdiri, maka jika kamu tidak mampu berdiri duduklah”.
15
Faisar, Filsafat, hal. 122
16
Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo: WAGE, 2016), hal. 91
6
Adapun landasan hukum bagi prinsip ini adalah firman Allah QS. Al-Baqarah.
2. Sedikit Pembebanan
Dalam prinsip ini diisyaratkan bahwa pembebanan syariat atas manusia itu memang
ada, akan tetapi, syariat yang diturunkan atau dibebankan itu diterima apa adanya tanpa
mempermasalahkan atau mempertanyakan yang dapat menimbulkan kesukaran dan
pemberatan atas pundak mukallaf terhadap kewajiban agama yang di embannya. Prinsip ini
dilandasi oleh firman Allah dalam surah Al-Maidah: 101.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu bertanya-tanya tentang sesuatu
yang kalau diterangkan kepadamu akan meyusahkanmu, tetapi kalau kamu
tanyakan (tentang ayat-ayat itu) pada waktu turunnya, akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkanmu dan Allah maha pengampun lagi maha
penyabar”.
Ayat inilah yang menginstruksikan kepada manusia agar dapat menahan diri daripada
mempertanyakan masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, misalnya pada waktu
peraturan perundang-undangan belum diketahui dan agar permasalahannya untuk sementara
dibiarkan, dan kemudian permasalahan itu dapat dipecahkan melalui kaidah-kaidah umum
demi memberikan kelonggaran kepada manusia. Anjuran itu sesuai dengan hadits Nabi SAW.
Yang artinya:
17
Nasution, Filsafat, hal. 40-41
7
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu
sia-siakan dan telah membuat batas-batas, maka janganlah kamu melampaui batas-
batasnya dan Ia telah pula mengharamkan beberapa hal, maka jangan lah kamu
melannggarnya. Dan Allah mendiamkan beberapa hal karena Rahmat untukmu, bukan
karena lupa, maka janganlah kamu membahasnya” (Riwayat Daruquthni, dihasankan
oleh An-Nawawi).18
3. Mewujudkan Keadilan
Keadilan adalah dambaan semua umat manusia. Mereka semua ingin diperlakukan adil
oleh agama dan juga penguasanya. Dalam hal ini Islam datang sebagai agama yang tidak
memihak kepada golongan tertentu, akan tetapi menentukan bahwa semua orang sama
kedudukannya di sisi Tuhan dan hukum.19 Prinsip ini pada zaman Rasulullah telah ditunjukan
dalam riwayat yang menceritakan pada suatu ketika ada seorang wanita bangsawan yang
telah mencuri, dan kaum Quraisy meminta Usamah Bin Zaid untuk memohonkan ampunan
kepada Rasul untuk si wanita itu. Seketika itu pula Rasul marah dan berkata “Apakah engkau
memberikan syafa’at bagi seseorang dalam menjalankan suatu had Allah? Sesungguhnya
telah binasa orang-orang sebelum kamu lantaran kamu mencuri diantara mereka orang yang
berpangkat, mereka dibiarkan dan jika yang mencurI itu orang rendah maka mereka akan
melaksanakan had itu demi Allah! Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri,
pastikanlah aku akan memotong tangannya”.
Adapun landasan hukun dalam prinsip ini adalah firman Allah yang tertuang dalam
QS. Al-Maidah: 8, yaitu:
Artinya: “Dan janganlah suatu kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena belaku adil itu lebih dekat kepada
taqwa”.
Kemudian ada juga firman Allah dalan QS. An-Nisa: 135 yaitu:
18
Faisar, Filsafat, hal. 83-83
19
Busyro, Dasar-Dasar, hal. 99
8
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah maha
mengetahi kemaslahatannya”.20
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada
keduanya yang terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’ ”.
Dari ayat ini terlihat bahwa Allah mengisyaratkan bahwa khamar dan judi itu ada dosa
dan manfaatnya, tapi dosa (bahaya)nya lebih besar dari manfaat yang diharapkan darinya.
20
Faisar, Filsafat, hal. 88-89
21
Ibid., hal. 84
9
Ayat ini baru berupa berita dan belum merupakan titah yang harus ditaati. Tapi, isyaratnya
sebenarnya menunjukkan bahawa sebaiknya khamar dan judi itu dijauhi.22
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan”.
Dalam ayat ini Allah melarang dengan tegas orang-orang mendirikan sholat dalam
keadaan mabuk. Ayat ini juga belum mengharamkan khamar secara total melainkan hanya
mengaitkannya dengan sholat.
Ayat diatas secara jelas mengharamkan khamar. Ayat ini diturunkan ketika orang-orang
Arab pada waktu itu telah siap mental untuk menerima ketetapan hukum khamr ini. Begitu
juga dengan perbuatan zina. Para wanita melakukan praktek perzinaan pada mulanya hanya
diolok-olok, dihina dan diberi tahanan rumah23.
22
Busyro, Dasar-Dasar, hal. 99
23
Faisar, Filsafat, hal. 85-87
10
5. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Penetapan hukum islam atas manusia senantiasa mempertimbangkan kemaslatahan
manusia. Hal ini terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Oleh karena itu
hukum yang ditetapkan akan dapat diterima dengan lapang dada, dikarenakan kesesuaian akal
dengan kenyataan yang ada. Maka dalam penetapan hukum itu selalu didasarkan kepada tiga
sendi pokok, yaitu:
a. Hukum ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
b. Hukum ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan
memudahkan masyarakat ke bawah ketetapannya.
c. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Ibnu Qayyim berkata: “Sesunggunya syariat itu pondasi dan asasnya adalah hikmah
dan kemaslatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat”.
Sebagai contoh, kiblat pada mulanya di Bairul Maqdis, namun setelah 16 bulan
lamanya diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram. Begitu juga mengenai hukum
wasiat. Pada mulanya hukum wasiat adalah wajib. Kemudian dinasakhkan dengan ayat-ayat
tentang faraidh yang terdapat dalam surah An-Nisa: 11-12, 176 juga dinasakhkan oleh hadist
Nabi SAW. “Tiada wasiat bagi ahli waris”.24
24
Ibid., hal. 87-88
11
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.
Menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepetingannya dapat dibedakan menjadi
tiga tingkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat dharuriyat, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti
melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat diabaikan maka terancamlah
eksistensi agama
b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama
dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi
orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak kan mengancameksistensi
agama, tetapi hanya akan mempersulit bagi orang yang akan melaksanakannya.
12
c. Memelihara jiwa dalam peringkat thasiniyat, seperti ditetapkannya tata cara
makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika
yang tidak akan mengancam eksistensi hidup manusia dan tidak pula
mempersulitnya jika tidak dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan pemeliharaan
jiwa pada peringkat di atas.
13
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat seperti disyari’atkan khitbah atau
walimah perkawinan. Hal ini dilakukan merupakan pelengkap kegiatan perkawinan.
Jika ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam keturunan dan tidak akan
menimbulkan kesulitan dalam keturunan itu.
25
Ibid., hal. 103-108
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan yang bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah yang mengatur segala aspek kehidupan manusia di dunia manupin di akhirat. Hukum
Islam memiliki sifat dan karakteristik tersendiri, selain itu hukum Islam juga memiliki
prinsip-prinsip dan tujuan.
B. SARAN
Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
memberikan pengetahuan tentang Sifat dan Karakteristik, Prinsip, dan Tujuan dari Hukum
Islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangatlah dibutuhkan penyusun, mengingat masih banyak
kekurangan dari karya ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
Arfa, Faisar Ananda. 2007. Filsafat Hukum Islam. Medan: Citapustaka Media Perintis
Rozin, Musnad. 2016. Karakteristik Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Jurnal Hukum.
Vol. 13, No. 2
16