Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN COB ( Cidera Otak Berat )

Di RS dr. Soebandi Jember

cover

Oleh:
Anggi Bunga Wasilah (1440119009)

s
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA
2021
A. Definisi
Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak.Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan
neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan proporsi epidemik
sebagai akibatkecelakaan di jalan raya (Smeltzer & Bare 2013).Cidera otak berat atau
COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada otak secara
langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2012).Cedera otak berat
merupakan keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitandengan
edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS<
8 dan tidak dapat membuka mata.
Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

B. Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
( Mansjoer, 2000:3).Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh
peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
1. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
a. Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural.
b. Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup & terbuka).
c. Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang, berat),
difusi laserasi.
a) Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah
kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain
sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan
raya .
b) Jatuh Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
2. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
a. Oedema otak
b. Hipoksia otak
c. Kelainan metabolic
d. Kelainan saluran nafas
e. Syok

Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001:2210; Long,1996:203),
antara lain :

a. Trauma tajam Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
c. Cedera akselerasi Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
e. Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
f. Kecelakaan lalu lintas
g. Jatuh
h. Kecelakaan industri
i. Serangan yang disebabkan karena olah raga
j. Perkelahian
C. Menafestasi klinis
1. Kehilangan kesadaran selama beberapa menit hingga jam
2. Terdapat luka pada kepala yang dalam
3. Terdapat benda asing yang menancap di kepala
4. Sakit kepala parah yang berkepanjangan
5. Mual atau muntah secara berkelanjutan
6. Kehilangan koordinasi tubuh
7. Kejang
8. Pelebaran pupil mata
9. Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga
10. Sulit dibangunkan saat tidur
11. Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku
12. Merasa sangat bingung
13. Perubahan perilaku yang drastis
14. Berbicara cadel
15. Koma
D. Mekanisme
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
1. Akselerasi Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala
yang terbentur.
3. Deformitas Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
E. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh.
Bila trauma mengenai ekstra kranial dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit
kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi
terus menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia.
Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak
sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan
perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat
meningkatkan tekanan intra kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antara lain
terjadi kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial
terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley &
Grace, 2006).
F. Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera Kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera Kepala Tertutup Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak
ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah.
Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan
laserasi (Brunner & Suddarth, 2001; Long,1990).
3. Berdasarkan Tingkat Keparahan Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat
keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
Reaksi membuka mata (E) dengan nilai :
1. Membuka mata spontan ( 4 )
2. Buka mata dengan rangsangan suara ( 3 )
3. Buka mata dengan rangsangan nyeri ( 2 )
4. Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri ( 1 )

Reaksi berbicara Reaksi Verbal dengan nilai :

1. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat ( 5 )


2. Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang ( 4 )
3. Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata ( 3 )
4. Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata ( 2 )
5. Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun ( 1 )

Reaksi Gerakan lengan / tungkai Reaksi Motorik dengan nilai :

1. Mengikuti perintah ( 6 )
2. Melokalisir rangsangan nyeri ( 5 )
3. Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri ( 4 )
4. Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri ( 3 )
5. Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri ( 2 )
6. Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri ( 1 )

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Cedera kepala ringan Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada
fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tangal lahir, pekerjaan, status, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Apakah ada riwayat trauma yang mengenahi kepala kerena kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian, dan langsung trauma di kepala.Biasanya mengalami penurunan
kesadaran, konvulsi, muntah, sakit kepala, lemah, serta dapat disertai koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah ada riwayat hiperkapnea, riwayat cidera kepala sebelumya, diabetes
mellitus,anemia, penyakit jantung, penggunaan obat –obatan anti koagulan, obat-obat
adiktif, alkohol.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada riwayat penyakit degeneratife hipertensi dan diabetes mellitus.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenahi perilaku, perasaan, dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.
2. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi
Pola persepsi menggambarkan persepsi klien terhadap penyakitnya tentang
pengetahuan dan penatalaksanaan penderita cidera otak berat dengan perubahan
perfusi jaringan serebral.
b. Pola nutrisi
Penderita cidera otak berat sering mengeluh dengan anoreksia, mual,
muntah.Sehingga terjadi penurunan berat badan.

c. Pola eliminasi
Terjadi perubahan pola berkemih (polyuria, nokturia, anuria) letih, lemah, sulit
bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
d. Pola aktivitas/istirahat
Klien tidak sadarkan diri (koma), lemah, sulit bergerak, tonus otot menurun.
e. Nilai dan keyakinan
Gambaran tentang cidera otak berat tentang penyakit yang di deritanya. Menurut
agama dan kepercayaan, kecemasan, dan kesembuhan tujuan dan harapan akan
sakitnya.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
a) Kesadaran : Pada pasien trauma kepala tingkat kesadaran pasien
mengalami penurunan kesadaran karena peningkatan TIK dan disebabkan
karena adanya ketidakseimbangan antara volume intrakranial dengan isi
kranium(Krisanty, et al., 2011).
b) Tanda-tanda vital
Seharusnya teratur diukur, sejak tanda-tanda vital mungkin memberikan
petunjuk adanya perkembangan syok sebaik adanya peningkatan TIK.
Monitor harus dilakukanya untuk pengukuran oksimetri, pembacaan EKG,
dan tekanan darah, dan untuk pengkajian suhu konstan(Krisanty, et al.,
2011).
1. Tekanan darah dan nadi aslinya adalah stabil pada awal periode
setelah trauma kepala, tetapi ketika tekanan perfusi serebral menjadi
terancam, karena berbagai sebab, reseptor pressor dalam pusat
vasomotor medulla testimulasi untuk menaikkan tekanan darah.
Elevasi tekanan darah dan pelebaran tekanan nadi adalah refleksi
proses iskemik mempegaruhi medulla peningkatan TIK, atau
disebabkan miokardial, dalam banyak kasus. Tekanan darah rendah
tidaklah spesifik pada trauma neurologi sampai kematian dapat terjadi
segera(Krisanty, et al., 2011).
2. Nadi biasanya lambat dan terikat hubungannya, dengan trauma kepala
mayor. Jika bradikardia muncul, ini mendorong penekanan pada
batang otak, suatu massa dalam fossa posterior, atau suatu trauma
spinal dimana jalur simpatis asenden terputus. Dalam kasus-kasus
peningkatan TIK yang berat, nadi melambat dan penuh, kadang kala
40-50 bpm. Adanya tachikardia menimbulkan hipotensi membutuhkan
resusitasi volume. Nadi yang cepat, tidak beraturan mungkin
mengikuti dekompensasi peningkatan TIK terminal. Disritmia terjadi
pada pasien dengan darah dalam CSF dan berhubungan dengan
gangguan otak tertentu, seperti yang melibatkan fossa
posterior(Krisanty, et al., 2011).
3. RR, pola pernafasan yang mungkin sangat menolong pengkajian
pasien trauma kepala. Pernafasan Cheyne-Stokes dikateristikan dengan
peningkatan dan penurunan kedalaman ekskursi di ikuti dengan suatu
periode apnea. Pola yang dipicu karena peninggian sensitivitas
medulla terhadap karbondioksida. Fase apne berhubungan degan
penurunan simulasi dari hemisfer serebral. Pernafasan Cheyne-Stokes
berhubungan dengan perdarahan kedalam ganglia basalis, kondisi yang
mendorong tekanan pada pusat pernafasan medularis, lesi hemisfer
bilateral dalam serebrum, atau suatu disfungsi serebelum, otak tengah,
dan pons atas. Hiperventilasi neurogenik pusat adalah hiperventilasi
berkelanjutan pada RR 40-50 x/menit(Krisanty, et al., 2011).
4. Suhu mungkin berguna dalam pengkajian koma, sejak pasien-pasien
dengan masalah-masalah metabolik mungkin dapat meningkat atau
menurun dari normal yang dimediasi oleh hipotalamus. Ruptur
anerisma ventrikular dan infeksi tertentu dari sistem saraf pusat yang
diikuti dengan peningkatan suhu. Akan tetapi, pada trauma kepala
akut, suhu mungkin berfluktuasi, dan mungkin mengalami baik
hipotermia atau hipertermia(Krisanty, et al., 2011).

1) Body System
a. Kepala
Inspeksi dan palpasi
Trauma yang mengenai kepala dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala.
Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak,
yang cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala
terbentur pada objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran tegkorak
melebihi toleransi elastisitas, tulang patah/retak. Hal ini dapat
menyebabkan fraktur linear sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai
ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata
dan bila lebih hebat lagi dapat menyebabkan depresi fraktur(WA, 2010).
Saraf I ,Pada beberapa biasanya didapatkan keadaan cedera kepala didaerah
yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami
kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II,biasanya timbul Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus
optikus. Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia
subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali
pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi
dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan
intrakranial dapat dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV dan VI,Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada
klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus
trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran.
Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot  okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan
pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral
yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat
siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
Saraf V, Pada klien trauma kepala beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII, Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII, Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl, Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut.
Saraf XI, Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup
baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan trapezius.
Saraf XII, Indra pengecapan mengalami perubahan(WA, 2010)
b. Mata
Inspeksi dan palpasi
Inspeksi visual dilakukan dengan instrument oftslmik khusus dan sumber
cahaya.Palpasi biasa dilakukan untuk mengkaji nyeri tekan mata, dan
biasanya pada trauma kepala mata berkunang-kunang, kesulitan
berkonsentrasi ata penglihatan sedikit kabur. Pasien-pasien ini biasanya
telah mengalami konkusio dan diduga akan mengalami periode amnesia
singkat, didapatkan pembesaran pupil, abnormalitas perhatian, intelektual,
spontanitas meskipun beberapa defisit kognitif mungkin
menetap(Alamsyah, 2013).
c. Telinga
Inspeksi dan palpasi
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS) keluar
dari telinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika
organisme masuk ke dalam basis kranii melalui telinga atau sinus melalui
robekan pada dura meter. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh
CSS yang mengandung darah(Batticaca, 2012).
d. Hidung
Inspeksi dan palpasi
Keluarnya CSS merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan infeksi
seperti meningitis, jika organisme masuk ke dalam basis kranii melalui
hidung atau sinus melalui robekan pada dura meter. Laserasi atau kontusio
otak ditunjukkan oleh CSS yang mengandung darah. Klien yang sadar
didapatkan biasanya bersin-bersin, keluarnya cairan secara spontan
melalui hidung(Batticaca, 2012).
e. Mulut
Inspeksi dan palpasi
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas atau
inflamasi.Memalpasi apakah ada nyeri tekan terhadap pasien pada bagian
mulut & bibirnya(Muttaqin, Arif, 2012).
f. Leher
Inspeksi dan palpasi
Memulai dengan leher dalam posisi anatomik biasa dengan sedikit
hiperekstensi.Inspeksi kesimetrisan bilateral dari otot leher untuk menguji
fungsi otot sternokleidomastoideus.Periksa adanya pembesaran kelenjar
tiroid(Muttaqin, Arif, 2012).
g. Paru-paru
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari perubahan
jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan, hasil dari
pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
- Inspeksi, biasanya pada klien trauma kepala terjadi peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak
penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan
adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur
tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan
abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
- Palpasi biasanya pada klien trauma kepala didapatkan fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
- Perkusi biasanya pada klien trauma kepala didapatkanbiasanya Adanya
suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
thoraks/ hematothoraks
- Auskultasi biasanya pada klien trauma kepala didapatkanbunyi napas
tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran koma(Mansjoer, 2012).

h. Genetalia
Inspeksi dan palpasi
Menginspeksi karakteristik warna kulit sekitar genetalia apa ada gangguan
serta menginspeksi apa ada nyeri tekan hingga benjolan lain yang
didapatkan saat sakit(Muttaqin, Arif, 2012).
i. Jantung
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia dan aritmia.Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada
beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang
pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit
meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler(WA,
2010).
j. Muskuloskeletal
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan megubah posisi,
kekuatan otot pasien serta kelemahan yang dialami.Sendi dilakuakn
dengan tes ROM yang menentukan gerakan sendi normal/tidak.ROM
dibagi menjadi 2 yaitu pasif dan aktif(Muttaqin & Sari, 2011).
k. Abdomen
Pemeriksaan abdomen pasien harus rileks. Otot abdomen yang
mengencang akan menyembunyikan keakuratan palpasi dan auskultasi.
Perawat meminta pasien untuk berkemih sebelum pemeriksaan dimulai.
Inspeksi dilakukan dengan cara melihat kondisi abdomen secara
keseluarahan yang nampak(Muttaqin & Sari, 2011).
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala, yaitu :
1. Pengkajian neurologi
2. Pemeriksaan CT scan(Batticaca, 2012).
Pemeriksaan penunjang menurut (Nurarif & Kusuma, 2016), yaitu :
1. Foto polos tengkorak (Skull X-ray)
2. Angiografi sereberal
3. Pemeriksaan MRI
4. CT scan : Indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan GCS
lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardia (nadi <60x/menit), fraktur
impresi dengan leteralisasi yang tidak sesuia, tidak ada perubahan selama 3
hari perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau peluru.
Pemantauan tekanan intrakranial dan oksigen jaringan otak dilakukan dengan
sebuah vestrikulostomi memungkinkan drainase cairan serebrospinal untuk
mengobati tekanan intrakranial (ICP) yang meningkat. Monitor serat optik ICP
dan oksigen jaringan otak biasanya difiksir dengan menggunakan kunci
tengkorak yang mirip dengan sekrup. Aliran darah ke otak dan probe
mikrodialisis (tidak diperlihatkan dalam gambar) dapat dipasang dengan cara
yang sama dengan probe oksigen jaringan otak(Alamsyah, 2013, hal. 103).
5. Penatalaksanaan:
A. Perawatan emergensi
1. Primary survey
a) Nilai tingkat kesadaran
b) Lakukan penilaian ABC :
- A-Airway dengan cara kaji apakah ada muntah,perdarahan,
benda asing dalam mulut
- B-Breathing dengan cara kaji kemampuan bernafas, peningkatan
PCO2 akan memperburuk edema serebri.
- C-Circulation dengan cara nilai denyut nadi dan perdarahan.
c) Imobilisasi kepala atau leher dengan collar neckatau alat lain
dipertahankan sampai hasil x-ray membuktikan tidak ada fraktur
cervical(Krisanty, et al., 2011).
2. Intervensi primer
a. Buka jalan nafas dengan teknik “jaw-trust” kepala jangan ditekuk, isap
lendir kalau perlu
b. Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri
c. Hiperventilasi 20-25 x/menit meningkatkan vasokontriksi pembuluh
darah otak sehingga edema serebri menurun.
d. Kontrol perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan di
kepala, tutup saja dengan kassa, diplester, jangan berusaha
menghentikan alirah darah dari lubang telinga atau hidung dengan
menyumbat/menutup lubang tersebut.
e. Pasang infus(Krisanty, et al., 2011).
3. Secondary survey
a. Kaji riwayat trauma
- Mekanisme trauma
- Posisi klien saat ditemukan
- Memori
b. Tingkat kesadaran
- Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
c. Ukur tanda-tanda vital
- Hipertensi dan bradikardia menandakan peningkatan TIK
- Nadi irregular atau cepat menandakan disritmia jantung
- Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
- Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri (trauma panas)
d. Respon pupil, apakah simetris atau tidak
e. Gangguan penglihatan
f. Tanda Battle’s yaitu “blush discoloration” memar di belakang telinga
(mastoid) manandakan adanya fraktur dasar tengkorak.
g. Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF
h. Aktivitas kejang
i. Sunken eyes (mata terdorong ke dalam, satu atau keduanya)
j. Periorbital ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior
basilar(Krisanty, et al., 2011).
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami gangguan komunikasi
bicara yaitu sulit dimengerti, tanda – tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi
bervariasi.
a. B1 (Breathing)
Pada inspeksi, didapatkan klien lemah, sesak nafas dan peningkatan frekuensi nafas.Saat
auskultasi terdengar suara nafas tambahan yaitu ronchi dengan penurunan tingkat
kesadaran (koma).
b. B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan shock hipovolemik yang sering terjadi
pada klien cidera otak berat.Tekanan darah biasanya mengalami peningkatan dan
dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah > 180 mmHg).
c. B3 (Brain)
Pasien koma, GCS: 1-1-1 (verbal tidak bisa dikaji karena menggunakan respirator).
Sklera putih, pupildilatasis/midriasis kanan.Terjadi cidera kepala bagian kanan dan
ada epidural hematom kanan, post trepanasi.
d. B4 (Bladder)
Pasien terpasang dower kateter dengan produksi urine ± 1.500 cc / hari.
e. B5 (Bowel)
Klien untuk makan dan minum di bantu dengan susu lewat NGT dan cairannya infus.
f. B6 (Bone)
Klien untuk bergerak sendi terbatas, hemiplegi kiri.Ekstremitas atas dan bawah
terdapat luka lecet.Akral hangat, turgor cukup, warna kulit agak pucat.

6. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut
b. Defisit nutrisi
c. Gangguan perfusi jaringan perifer
d. Pola nafas tidak efektif
e. Resiko perfusi serebral tidak efektif
f. Defisit perawatan diri
g. Bersihan jalan nafas tidak efektif
h. Gangguan integritas kulit
i. Gangguan ventilasi spontan
j. Resiko dekubitus
7. Intervensi
a. Nyeri Akut
a) Observasi
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
b) Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
c) Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pola Nafas Tidak Efektif


a) Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu
c) Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
c. Dukungan ventilasi
a) Observasi
 Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
 Identifikasi efek perubahan posisi terhadap ststus pernafasan
 Monitor status respirasi dan oksigenasi
b) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan posisi semi fowler atau fowler
 Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
 Gunakan bag- valve mask, jika perlu
c) Edukasi
 Ajarkan melakukan tehnik relaksasi nafas dalam
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan tehnik batuk efektif
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronchodilator, jika perlu

d. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif


a) Observasi
 Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan metabolisme,
edema serebral)
 Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas ireguler, kesadaran
menurun)
 Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
 Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu
 Monitor PAWP, jika perlu
 Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
 Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)
b) Terapeutik
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari maneuver Valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan IV hipotonik
 Atur ventilator agar PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh normal
c) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
e. Manajemen sensasi perifer
a) Observasi
 Identifikasi penyebab perubahan sensasi
 Identifikasi penggunaan alat pengikat, prostesis, sepatu, dan pakaian
 Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul
 Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
 Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda
 Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
 Monitor perubahan kulit
 Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli vena
b) Terapeutik
 Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas
atau dingin)
c) Edukasi
 Anjurkan penggunaan termometer untuk menguji suhu air
 Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak
 Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
 Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
f. Manajemen nutrisi
a) Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b) Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
c) Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

g. Perawatan integritas kulit


a) Observasi
 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan sirkulasi,
perubahan status nutrisi, peneurunan kelembaban, suhu lingkungan
ekstrem, penurunan mobilitas)
b) Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
 Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
 Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
 Gunakan produk berbahan petrolium  atau minyak pada kulit kering
 Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitif
 Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
c) Edukasi
 Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotin, serum)
 Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat asupan buah dan saur
 Anjurkan menghindari terpapar suhu ektrime
 Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada diluar
rumah
h. Pencegahan infeksi
a) Observasi
 Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi
 Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi
 Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan kesehatan
b) Terapeutik
 Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral
 Dokumentasikan informasi vaksinasi
 Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat
c) Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek samping
 Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah
 Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan pemerintah
 Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus
 Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi kembali
 Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis

i. Manajemen Jalan Nafas


a) Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu
c) Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
j. Dukungan perawatan diri
a) Observasi
 Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
 Monitor tingkat kemandirian
 Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan
makan
b) Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang terapeutik (suasana hangat,rileks,dan privasi)
 Siapkan keperluan pribadi
 Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
 Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
 Jadwalkan rutinitas perwatan diri
c) Edukasi
 Anjurkan melakuckan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan

Anda mungkin juga menyukai