Anda di halaman 1dari 16

DINAMIKA HUKUM PIDANA DAN HAM

PAPER

JUDUL :

KONFERENSI PERS DENGAN MENGHADIRKAN TERSANGKA


DITINJAU DARI ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DAN
HAK ASASI MANUSIA

Oleh

DAFIT RIADI
2020112050

OLEH :
DAFIT RIADI, SH
NIM : 2020112050

DOSEN : Prof. Dr. ELWI DANIL, S.H., M.H.

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ANDALAS 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945), seperti yang dijelaskan dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

hukum. Hal ini mempunyai arti bahwa negara Republik Indonesia adalah

negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin

segala hak warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan

pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Penghargaan terhadap hak asasi

manusia dalam sebuah negara hukum merupakan suatu hal yang sangat

esensial. Di Indonesia penghargaan terhadap hak asasi manusia di atur dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28D angka (1) yang berbunyi :

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Selanjutnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

jak asasi manusia juga mengatur mengenai penghargaan terhadap hak asasi

manusia. Adapun bunyi pasal itu yaitu:

Bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh karena itu berhak
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaan di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat
bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan
tidak berpihak.

Maka dari itu, untuk tercapainya maksud dan tujuan dari penghargaan

hak asasi manusia yang diatur pada Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 5

Undang-Undang hak asasi manusia dapat terwujud, para aparatur penegak

1
hukum dalam melakukan proses hukum harus mengedapankan asas-asas dalam

kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang mengatur

perlindungan terhadap keluhan harkat dan martabat manusia, salah satu asas

yang paling pokok pada proses peradilan pidana adalah asas praduga tak

bersalah (Presumption of innocence).

Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakikatnya merupakan hak yang

paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai anugerah tertinggi

dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di manapun manusia itu hidup, karena dengan

hak-hak itu manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat dan

berkeadaban.2 Dengan posisi HAM yang sangat sentral dalam makrokosmos

maupun mikrokosmos kehidupan bangsa manusia, maka tidak ada seorang

ataupun penguasa dapat merampas atau mengurangi hak dasar manusia.1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum acara pidana menentukan proses

peradilan pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas

perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani

proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga didalam

Hukum Acara Pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh negara atau

pemerintah dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehubungan dengan itu, pada proses peradilan pidana, kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya seringkali

mengabaikan hak-hak tersangka sehingga tidak terpenuhinya hak-hak

tersangka atau terdakwa sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang.

1
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH UII Press, 2008,
hlm. 329

2
Pengabaian ini khususnya sering terjadi terhadap perkara yang menarik

perhatian masyarakat terutama dalam proses penyidikan.

Salah satu fakta yang sering kita temui sehari-hari dalam pemberitaan

di media massa, seringkali aparat penegak hukum setelah melakukan

penangkapan terhadap tersangka melakukan kegiatan konferensi pers. Dalam

konferensi pers tersebut tersangka dihadirkan dan dipertontonkan kepada

media dan masyarakat. Hal ini menyebabkan perlindungan HAM terhadap

tersangka terutama dalam penerapan asas praduga tak bersalah menjadi

terabaikan. Karena dengan mempertontonkan seorang tersangka yang menurut

menimbulkan preseden seolah-olah yang bersangkutan telah bersalah, padahal

belum melalui proses peradilan dalam artian perkaranya belum berkekuatan

hukum tetap.

Mengingat bahwa asas praduga tak bersalah merupakan asas yang

paling pokok dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam

proses peradilan yang menjamin hak asasi manusia tetap terjaga dan

terlindungi, maka adalah hal yang menarik untuk melihat bagaimana

keberadaan asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan pidana dan

keterkaitannya dengan hak asasi manusia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam


makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah dalam
hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana keterkaitan antara pelaksanaan asas praduga tak bersalah
dengan menghadirkan tersangka dalam konferensi pers?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM HUKUM


PIDANA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG PERS

Di dalam hukum positif Indonesia, asas praduga tak bersalah telah


dirumuskan dalam Undang-undag Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun
2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapakan di depan pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”2 Berdasarkan
keterangan yang terdapat dalam pasal tersebut seseorang tidak dapat dikatakan
bersalah apabila belum mendapat putusan pengadilan yang inkracht
(berkekuatan hukum tetap) dalam artian yaitu tidak adanya ataupun tidak
melakukan upaya hukum biasa yang dilakukan terdakwa terhadap putusan
pengadilan tersebut.
Demikan halnya dalam Undang-undang RI No. 39 Th. 1999 yang
isinya sebagai berikut: “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut
kerena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahanya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
Selain itu, asas praduga tak bersalah diatur pula dalam Bab III Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982
tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang isinya antara lain adalah :3

2
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
3
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982
tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4
“Sebagian seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia
mendapatkan hak-hak seperi: hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan
dalam fase penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh
pengadilan dan mendapatkan putusan seadiladilnya, hak untuk diberitahu
apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang
dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk
mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan
keluarga.”

Sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP), asas praduga tak bersalah tidak dicantumkan secara tegas, namun
hanya tedapat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang isinya: “setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
hadapan sidang pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.”
Pegertian asas praduga tak bersalah dapat ditemukan dalam
dokendokumen internasional diantaranya. rumusan asas praduga tak bersalah
di dalam Pasal 14 paragraf 2, International Covenan on civil and
Politcal/Kovenan International tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966,
yang dirumuskan dengan kalimat singkat yaitu “Everyone charge with
everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumen
innocent untlil proved guilty according to law.”4
Menurut Andi Hamzah asas presumption of innocent atau dikenal juga
dengan asas praduga tidak bersalah tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa
yang tertulis). Menurutnya, kalau asas tersebut diartikan secara letterlijk, maka
tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Presumption of innocent adalah hak-
hak tersangka sebagai manusia diberikan. Hak-hak yang dia maksud misalnya
kawin dan cerai, ikut pemilihan dan sebagainya.5
Sedangkan menurut Yahya Harahap, tersangka harus ditempatkan
pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai
sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka.
Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek
pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan

4
Internasional Covenan on civil and Politca.
5
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 10.

5
ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas
praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah
berkekuatan tetap.6
Ahmad Ali dalam bukunya “Meluruskan Jalan Reformasi Hukum“
menguraikan bahwa terdapat dua hal penting dari pengertian asas praduga tidak
bersalah. Pertama, asas praduga tidak bersalah hanya berlaku dalam tindak
pidana. Kedua, asas praduga tidak bersalah hakikatnya adalah pada persoalan
beban pembuktian (the burden of proof) di mana bukan terdakwa yang harus
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, melainkan bahwa di muka persidangan
pengadilan, negara diwakili oleh jaksa penuntut umum yang harus
membuktikan bahwa terdakwa memang bersalah, dengan membuktikan semua
elemen tindak pidana yang didakwakan.7
Selanjutnya, Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Lilik
Mulyadi menyebutkan bahwa unsur-unsur dalam asas praduga tidak bersalah
adalah asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang
adil (due process of law) yang mencakup sekurang-kurangnya:
1. Perlindungan terhadap tindakan kesewenang-wenangan dari pejabat
negara;
2. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa;
3. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia); dan
4. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberi jaminan-jaminan untuk dapat
membela diri sepenuh-penuhnya. 8
Lebih jauh lagi, Siswanto Sunarso berpendapat bahwa dengan adanya
asas praduga tidak bersalah, dalam pemeriksaan terhadap seseorang tersangka
atau terdakwa, maka:
1. Hak kedudukan dan martabat tersangka harus tetap dihormati dengan
perlakuan yang wajar;

6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 29.
7
Ahmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press, Jakarta, 2004, hal. 54.
8
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni,
Bandung, 2004, hal. 276.

6
2. Pemeriksaan tidak boleh mengadakan paksaan terhadap tersangka untuk
memberikan jawaban, apalagi pengakuan itu dapat mengaburkan atau
menyesatkan jejak perkara yang sedang diusut; dan
3. Hakim harus bertindak adil dan sebijaksana mungkin, dalam arti tidak
dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektif, baik secara langsung ataupun tidak
berkenaan dengan diri terdakwa.9
Karena itu dalam koridor hukum acara pidana, asas praduga tidak
bersalah haruslah menjadi pedoman utama dalam memperlakukan tersangka
atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana. Artinya, dalam
pelaksanaan penegakan hukum, hak-hak asasi yang melekat pada diri tersangka
dan terdakwa tidak boleh dikurangi. KUHAP sendiri telah menempatkan
tersangka atau terdakwa pada posisi yang harus diperlakukan sesuai dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah tidak hanya diatur
dalam UU yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, namun juga dalam
UU Pers. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Pers, yang dimaksud dengan pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang
tersedia. 10
UU Pers mewajibkan pers untuk menghormati asas praduga tak
bersalah dalam memberitakan peristiwa dan opini. Hal ini diatur secara tegas
dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers yang berbunyi “Pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama
dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”11 Penjelasan
Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa “Pers nasional dalam
menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan

9
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hal. 187.
10
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers.
11
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

7
seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan
serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam
pemberitaan tersebut.”
Pasal 18 ayat (2) UU Pers menjelaskan bahwa perusahaan pers yang
melakukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah diancam pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).27 Pasal 7 ayat (2)
UU Pers menjelaskan bahwa Selain ketentuan UU Pers, wartawan juga wajib
menaati Kode Etik Jurnalistik. Pasal 15 ayat (2) huruf c UU Pers menjelaskan
bahwa Kode Etik Jurnalistik ini ditetapkan dan diawasi pelaksanaannya oleh
Dewan Pers. Menurut Pasal 3 Kode Etik Junalistik, wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran dari ketentuan pasal ini antara lain adalah sebagai berikut:12
1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu;
2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional;
3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi
wartawan atas fakta;
4. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip untuk tidak menghakimi
seseorang.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu pemberitaan pers dapat


dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah jika isinya memang telah
menghakimi seseorang atau beberapa orang telah terlibat atau bersalah
melakukan tindak pidana, padahal belum terbukti melalui putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal terdapat pemberitaan yang
merugikan pihak lain, maka mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh
adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat (2) UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5
ayat (3) UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang

12
Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik.

8
untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa
fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap
orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang
diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

B. KEHADIRAN TERSANGKA DALAM KONFERENSI PERS DALAM


PESPEKTIF ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DAN
PERLINDUNGAN HAM
Menurut Lilik Mulyadi, kajian dari optik asas-asas hukum pidana yang
relatif telah berkembang dan diterapkan masyarakat berdasarkan asas-asas
yang telah berlaku secara universal, ada relevansinya dengan dimensi
pembuktian dalam hukum pidana pada tataran legislasi dan implementasinya. 13
Secara sederhana dapat dikatakan ada anasir erat antara asas-asas hukum
pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara
pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht). Dengan demikian, asas praduga
tidak bersalah sebagai asas fundamental dalam hukum pidana, berkaitan erat
dengan masalah pembuktian sebagai suatu proses untuk menentukan dan
menyatakan kesalahan seseorang, yang penerapannya dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip penghargaan dan perlindungan HAM bagi tersangka atau
terdakwa.
Karenanya, sangat beralasan ketika berbicara tentang hukum acara
pidana, maka fokus kajiannya adalah hanya pada dimensi pembuktian dan
perlindungan HAM. Hal ini sejalan dengan pendapat Muladi yang menegaskan
bahwa kalau proses hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai
“filter“ yang akan menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dengan
perlindungan hak-hak individu, sistem pembuktian merupakan “core filter“,
sebab melalui proses pembuktian itulah akan ditentukan apakah kekuatan
pembuktian (bewijskracht) dari setiap alat bukti akan menjadikan seorang
terdakwa dibebaskan (vrijspraak), dilepaskan dari segala tuntutan (onstlag van
alle rechtsvervolging), ataukah dipidana. 14

13
Lilik Mulyadi, op.cit, hal. 75.
14
Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reversel Burden
of Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Jakarta, Juli 2001, hal. 121.

9
Kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi
tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana
sampai menjalani hukumannya, adalah menjadi substansi dari hukum acara
pidana. Karena hukum acara pidana dalam pelaksanaannya mengedepankan
adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law)
sebagai manifestasi adanya HAM, maka asas praduga tidak bersalah
hendaknya ditujukan sebagai sarana justifikasi bagi seluruh proses pelaksanaan
hukum acara pidana. Artinya, pelaksanaan peradilan pidana harus dimulai
dengan menempatkan tersangka atau terdakwa pada posisi yang tidak bersalah.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam keseluruhan proses perkara
pidanapun wajib memposisikan dirinya untuk lebih memperhatikan aspek
HAM melalui instrumen pembuktian sebagai suatu proses beracara untuk
menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang.
Menghadirkan tersangka pada saat konferensi pers saat ini telah
menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Penyampaian
berita atau suatu isu hukum di hadapan publik dengan mengundang media
massa yang biasanya dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berkaitan
dengan kasus narkotika, korupsi, dan lain sebagainya dan yang biasanya
tersandung kasus tersebut ialah figur publik.
Perlindungan HAM dalam mempertontonkan tersangka pada
konferensi pers pada ketentuan hukum Indonesia harus sesuai ketentuan pasal
yang terkait yakni pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945, Pasal 1 angka 14 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 4
dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 8 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perspektif asas praduga tidak
bersalah terhadap tindakan penegak hukum yang mempertontonkan tersangka
pada konferensi pers dimana pasal terkait ialah Pasal 8 ayat (1) UU No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan asas tersebut
mempertontonkan tersangka dalam konferensi pers merupakan suatu
kesalahan, kerancuan dan kekeliruan dikarenakan bertentangan dengan asas
yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara dan juga tindakan ini
menimbulkan rasa tidak aman dan rasa malu yang dirasakan tersangka selain

10
itu juga tersangka mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat karena sudah
dipertontonkan padahal baru berstatus sebagai tersangka.
Tersangka pidana memiliki hak untuk wajib dianggap tidak bersalah
sebelum mendapat keputusan dari pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
yang tetap. Tindakan mempertontonkan tersangka dalam konferensi pers jika
dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah tentunya bertentangan
dikarenakan tersangka sudah mendapatkan penghukuman padahal pengadilan
belum menetapkan bahwa tersangka tersebut bersalah melakukan tindak
pidana yang dituduh kepadanya. Penghukuman yang dimaksud ialah
penghukuman oleh masyarakat akibat tindakan mempertontonkan tersangka
pada konferensi pers yang mana keluarga maupun tersangka itu sendiri akan
merasa malu dan tidak nyaman dan juga sanksi sosial yang diperoleh tersangka
dari masyarakat padahal baru berstatus sebagai tersangka.
Dilihat dari sudut pandang HAM, maka keberadaan asas praduga tidak
bersalah adalah merupakan HAM yang memiliki kedudukan yang sama dengan
HAM lainnya walaupun asas ini tidak tergolong sebagai non derogable rights
yakni tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Namun dalam artian
seyogyanya sama-sama harus dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi. Hal
ini memiliki pengertian bahwa mempertontonkan tersangka dalam konferensi
pers yang mengundang pemberitaan di media massa harus berpedoman pada
asas praduga tidak bersalah hal ini bertujuan untuk menghindari tidak
terpenuhinya hak-hak pribadi tersangka dan juga opini-opini yang bersifat
menghakimi yang dituju kepada tersangka.
Bila dilihat pengaturan dalam KUHAP tidak ada yang secara spesifik
mengatur mengenai keharusan mempertontonkan tersangka suatu tindak
pidana dalam konferensi pers, dan Perkap Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Sistem Informasi Penyidikan dimana pada era demokrasi dan keterbukaan
informasi publik, setiap warga negara berhak memperoleh informasi dari
penyelenggara negara secara transparan, mudah, cepat dan akurat dan juga
sistem informasi penyidikan berfungsi kontrol atas kinerja aparat penegak
hukum maupun instansi lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 18 Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM diatur mengenai asas praduga tidak bersalah.

11
Sehingga hal ini merupakan suatu bentuk pertentangan yang mana satu sisi
masyarakat berhak memperoleh informasi dari penyelenggara negara yang
mana jika diterjemahkan maka konferensi pers tersangka pidana memang
dilakukan dengan tujuan sebagai bahan informasi publik dan satu sisi bahwa
tersangka yang dipertontonkan dalam konferensi pers juga memiliki hak asasi
dan prinsip asas praduga tidak bersalah yang seharusnya tetap dilindungi.
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, harus
menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan
perlindungan terhadap HAM.15 Negara harus menjamin persamaan (equality)
setiap individu termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak
asasinya. Hal ini merupakan condition sine quanon, mengingat bahwa negara
hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari
keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah
penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan
kekuasaannyapun harus dibatasi.16 Dalam negara hukum, setiap orang
diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dan menjadi
elemen pokok dari konsepsi dasar HAM. Sebagai manifestasi dan
implementasi dari hak persamaan kedudukan di hadapan hukum adalah dalam
ketentuan hukum acara pidana, adanya eksistensi bahwa manusia harus
dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya atau yang dikenal
dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Artinya, asas
praduga tidak bersalah merupakan dasar perlindungan HAM bagi seorang
tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang penyidik, penuntut
umum maupun hakim yang mengadili perkaranya.

15
Lilik Mulyadi, op.cit, hal..33
16
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 3.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Asas praduga tak bersalah merupakan perwujudan hak asasi manusia yang
memberikan perlindungan terhadap keluruhan harkat dan martabat yang
wajib dijunjung tinggi. Pengaturan suatu asas dalam hal ini asas praduga
tak bersalah sebagai perwujudan hak asasi manusia, untuk menegakkan dan
melindunginya sesuai prinsip negara hukum yang demokratis adalah
diperlukan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (5) perubahan
(amandemen) keempat UUD 1945. Sebagai manifestasi adanya HAM,
maka asas praduga tidak bersalah hendaknya ditujukan sebagai sarana
justifikasi bagi seluruh proses pelaksanaan hukum acara pidana. Artinya,
pelaksanaan peradilan pidana harus dimulai dengan menempatkan
tersangka atau terdakwa pada posisi yang tidak bersalah. Aparat penegak
hukum yang terlibat dalam keseluruhan proses perkara pidanapun wajib
memposisikan dirinya untuk lebih memperhatikan aspek HAM melalui
instrumen pembuktian sebagai suatu proses beracara untuk menentukan
dan menyatakan tentang kesalahan seseorang.
2. Perlindungan HAM dalam mempertontonkan tersangka pada konferensi
pers pada ketentuan hukum Indonesia harus sesuai ketentuan pasal yang
terkait yakni pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945, Pasal 1 angka 14 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 4
dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 8 ayat (1) UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perspektif asas
praduga tidak bersalah terhadap tindakan penegak hukum yang
mempertontonkan tersangka pada konferensi pers dimana pasal terkait
ialah Pasal 8 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Berdasarkan asas tersebut mempertontonkan tersangka dalam
konferensi pers merupakan suatu kesalahan, kerancuan dan kekeliruan
dikarenakan bertentangan dengan asas yang seharusnya dijunjung tinggi

13
oleh negara dan juga tindakan ini menimbulkan rasa tidak aman dan rasa
malu yang dirasakan tersangka selain itu juga tersangka mendapatkan
sanksi sosial dari masyarakat karena sudah dipertontonkan padahal baru
berstatus sebagai tersangka.

B. SARAN
Semangat penegakan hukum yang transparan memang dibutuhkan oleh
masyarakat yang saat ini sangat mudah mengakses berbagai informasi. Namun,
bukan berarti aparat penegak hukum dapat mengabaikan norma-norma, asas-
asas dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Aparat penegak hukum
seyogyanya harus lebih mempedulikan hak-hak tersangka yang dipertontonkan
karena sudah tentu tersangka yang dipertontonkan merasa tertekan dan malu
seharusnya aparat penegak hukum bukan hanya mementingkan citra positif
institusinya saja dengan melaksanakan suatu konferensi pers didepan publik
tetapi harus mengedepankan HAM tersangka dan asas praduga tidak bersalah.
Bagi masyarakat sebaiknya tidak memberikan sanksi/penghukuman secara
sosial terhadap tersangka yang dipertontonkan dalam konferensi pers secara
berlebihan karena akan menimbulkan ketidaknyaman yang dirasakan oleh
tersangka.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ali, Ahmad. 2004. Meluruskan Jalan Reformasi Hukum. Agatama Press.


Jakarta.

Alkostar, Artidjo. 2008. Korupsi Politik di Negara Modern. FH UII Press.


Yogyakarta.

Gautama, Sudargo. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum. Alumni.


Bandung.

Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan


KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta, 2006.

Mulyadi, Lilik. 2004. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.


Alumni. Bandung.

Sunarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia. Citra


Aditya Bakti. Bandung.

2. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab


Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-


Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Internasional Covenan on civil and Politca.

3. Jurnal dan Majalah

Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reversel


Burden of Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan,
Jakarta, Juli 2001.

15

Anda mungkin juga menyukai