Anda di halaman 1dari 19

SISTEM PERADILAN PIDANA

PAPER

JUDUL :

PROBLEMATIKA PENGHENTIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN


KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG KECIL

Oleh

DAFIT RIADI
2020112050

OLEH :
DAFIT RIADI, SH
NIM : 2020112050

DOSEN : Prof. Dr. ELWI DANIL, S.H., M.H.

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ANDALAS 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam rapat kerja Jaksa Agung RI dengan komisi III DPR RI tanggal
17 Januari 2022, Jaksa Agung menyampaikan bahwa korupsi dengan nilai
kerugian keuangan negara dibawah lima puluh juta rupiah cukup dihukum
dengan pengembalian kerugian keuangan negara saja tanpa harus melalui proses
hukum di Pengadilan. 1 Pernyataan Jaksa Agung ini memantik pro dan kontra di
masyarakat dan pakar hukum. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Universitas Andalas Feri Amsari menilai, akan ada budaya korupsi baru jika
pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin direalisasikan. Jika koruptor Rp 50
juta dibiarkan melenggang, maka akan timbul budaya korupsi baru. Selama Rp
50 juta tidak (dianggap) korupsi, maka orang akan bersama-sama korupsi di
bawah Rp 50 juta.2
Siaran Pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Nomor: PR –
136/136/K.3/Kph.3/01/2022 perihal Tanggapan Kejaksaan Agung Terkait
pemberitaan korupsi di bawah 50 juta cukup kembalikan kerugian negara,
menjelaskan bahwa Jaksa Agung RI menyampaikan untuk perkara tindak pidana
korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung
telah memberikan himbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi
yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara
sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya
ringan.3

1
https://www.ajnn.net/news/korupsi-dibawah-rp-50-juta-cukup-kembalikan-kerugian-negara-
ini-klarifikasi-kejagung/index.html. Diakses pada tanggal 31 Januari 2022 pukul 14.00 Wib.
2
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/28/13501051/pusako-jika-koruptor-rp-50-juta-
dibiarkan-maka-akan-timbul-budaya-korupsi. Diakses pada tanggal 31 Januari 2022 pukul 14.05
WIB.
3
Siaran Pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Nomor: PR –
136/136/K.3/Kph.3/01/ 2022 tanggal 28 Januari 2022.

1
Sedangkan pandangan terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak
pidana korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum dimana
dapat dibayangkan korupsi Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) harus
ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi)
dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara
bisa melebihi dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari kerugian Negara
yang ditimbulkan tersebut, hal ini akan menjadi beban pemerintah seperti biaya
makan, minum dan sarana lainnya kepada Terdakwa apabila Terdakwa tersebut
diproses sampai dengan eksekusi (di Lembaga Pemasyarakatan). Artinya,
analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting
menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan
nilai kemanfaatan hukum. 4
Pernyataan Jaksa Agung tersebut diatas harus dilihat dari berbagai sisi.
Pertama dari sisi efektifitas penanganan perkara korupsi khususnya di Kejaksaan
dan Kepolisian. Undang-undang telah mengamanatkan bahwa penanganan
perkara korupsi memiliki kekhususan tertentu. Kekhususan tersebut antara lain
dapat dilihat dari kedudukan Pengadilan Khusus tindak pidana korupsi yang
hanya terdapat di ibu kota provinsi dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berwenang
menyatakan kerugian keuangan negara. Akibatnya, biaya penanganan perkara
korupsi menjadi tinggi sementara anggaran penanganannya terbatas. Sehingga
dikhawatirkan bila perkara dengan kerugian keuangan negara yang kecil tetap
diajukan kepersidangan justru membebani keuangan negara.
Kedua, dari sisi legalitas, penghentian perkara korupsi dengan alasaan
kerugian keuangan negara yang kecil belum memiliki dasar hukum yang jelas
bahkan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Pasal 4 UU Tipikor
jelas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
korupsi. Dengan demikian keinginan Jaksa Agung untuk melakukan diskresi
terhadap tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara dibawah 50
juta rupiah jelas bertentangan dengan peraturan yang ada.

4
Ibid.

2
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime), karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa
juga (extra judicial action). Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus
dengan tindakan yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya. 5
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang serius, karena dapat
membahayakan stabilitas keamanan negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan social, ekonomi masyarakat, politik bahkan pula merusak
nilainilai demokrasi serta moralitas karena semakin lama tindak pidana korupsi
korupsi sudah menjadi budaya dan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.6
Pelaksanaan sistem peradilan pidana berkaitan erat dengan kebijakan
kriminal. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminal ini tidak terlepas
dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri
dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy)
dan kebijakan/upaya-upaya perlindungan masyarakat (social defence policy).7
Lebih lanjut, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa secara garis besar
upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu jalur
penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (diluar hukum pidana). Upaya
penal atau melalui upaya hukum pidana lebih menitikberatkan pada sifat represif
(penindakan/penumpasan/pemberantasan) setelah kejahatan terjadi. Sebaliknya,
upaya nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/
penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama upaya
penal adalah faktor-faktor kondusif pemicu terjadinya kejahatan. 8
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia terdapat tiga lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara tindak pidana
korupsi yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

5
Umar Sholahudin, “Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan Kasus Tindak
Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Progresif”, http://umarsholahudin.com/eksaminasi-
publikterhadap-putusan-pengadilan-kasus-tindak-pidana-korupsi-dalam-perspektif-
hukumprogresif/, diakses pada tanggal 31 Januari 2022 pukul 14.20 WIB.
6
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.
2.
7
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 77.
8
Bambang Waluyo, Penyelesaian Perkara Pidana, Penerapan Keadilan Restoratif dan
Transformatif, Sinar Grafika, Jakarta, 2020, hal. 78-79.

3
Ketiga lembaga tersebut memiliki pendekatan berbeda-beda dalam menangani
perkara korupsi.
Pemberantasan terhadap korupsi dalam beberapa tahun terakhir gencar
dilakukan oleh ketiga lembaga negara tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI melakukan penyidikan terhadap
perkara-perkara korupsi. Pengadilan pun telah memvonis para pelaku tindak
pidana korupsi. Dalam sejumlah perkara korupsi ataupun temuan yang
berpotensi menjadi perkara korupsi, penegak hukum kerap mendasarkan pada
kerugian negara. Adanya kerugian negara seolah serta-merta dianggap sebagai
adanya tindak pidana korupsi. Padahal, kerugian negara tidak selalu berkorelasi
dengan tindak pidana korupsi. Kerugian negara bisa karena masalah perdata dan
administratif.
Kebijakan penanganan perkara korupsi yang berkaitan dengan jumlah
kerugian keuangan negara perlu dilihat dan dipelajari secara menyeluruh karena
banyak aspek yang tersangkut didalamnya. Misalnya aspek anggaran, aspek
sumber daya manusia dan kualitas penanganan perkaranya. Demikian juga
dengan regulasi dalam penanganan perkara korupsi yang berbeda dengan
perkara tindak pidana umum lainnya. Kesemua aspek tersebut akan tersambung
dengan arah kebijakan pemberantasan korupsi yang diusung pada setiap periode
pemerintahan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam


makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika penghentian perkara tindak pidana korupsi
dengan kerugian keuangan negara yang kecil (dibawah 50 juta rupiah)
ditinjau dari hukum positif yang berlaku?
2. Kendala apa saja yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menangani
perkara tindak pidana korupsi sehingga muncul gagasan penghentian
perkara dengan kerugian keuangan negara yang kecil dan solusinya?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. ARAH KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA


Pemerintah Indonesia sejak awal pada dasarnya sudah memiliki
komitmen dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan
di bidang peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pencegahan
korupsi. Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya telah dilakukan baik pada
masa Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi yang dimulai pada tahun
1998. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun
1950-an. Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah
melakukan berbagai tindakan pemberantasan korupsi yang berakhir dengan
penuntutan terhadap beberapa orang menteri.
Selanjutnya, karena kerasnya tuntutan masyarakat dalam memberantas
korupsi, kemudian timbulah gerakan pemberantasan korupsi yang dipimpin
Kolonel Zulkifli Lubis dan Kolonel Kawilarang, dan pada saat itu beberapa
tokoh koruptor berhasil ditangkap dan diadili seperti Lie Hok Thai dan Piet De
Quelyu. Di era tahun 1960-an, berdasarkan hukum darurat muncul kembali
Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution dan
Sekretaris Kolonel Muktiyo. Akan tetapi tim ini terpaksa dibubarkan
mengingat tekanan politik era Orde Lama. Selanjutnya, di era tahun 1970-an,
Pemerintah Orde Baru membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun juga
tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan terlalu besarnya campur tangan
kekuasaan terhadap proses pemeriksaan yang sedang dilakukan Tim
Pemberantasan Korupsi.
Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan upaya
pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dapat dicatat antara
lain:
1. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa
Militer tanggal 9 April 1957 Nomor : Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957
Nomor Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor : Prt/PM/011/1957.

5
2. Undang-Undang Nomor : 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas KKN;
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
tahun 2019.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut, telah dikeluarkan pula


beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksa
Kekayaan Pejabat Negara.
2. Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Pembentukan Lembaga Ombudsman Nasional.
3. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

6
Pada tahun 2000, berdasarkan amanat Pasal 27 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 telah dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan Jaksa Agung RI sebagai koordinatornya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Tim gabungan ini terdiri dari 4 (empat)
unsur yaitu : kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan unsur masyarakat dan
anggotanya sekurangkurangnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 25 orang.
Tim Gabungan ini dibentuk untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang
sulit dibuktikan antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau
di bidang moneter dan keuangan.
Menjelang akhir tahun 2004, dalam program 100 hari pemerintahan,
Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengeluarkan INPRES Nomor 5 tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Secara garis besar, isi dari
Instruksi tersebut antara lain merupakan dukungan terhadap kinerja dari KPK
terutama dalam hal pelaporan harta kekayaan dan penanganan kasus korupsi
oleh KPK. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik baik dalam bentuk
jasa maupun perijinan. Menetapkan program dan wilayah bebas korupsi,
melaksanakan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah, menerapkan kesederhanaan baik dalam kedinasan
maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan
kegiatan yang berdampak langsung pada keuangan negara serta peningkatan
kualitas kerja dan pengawasan di tiap departemen/institusi.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemberantasan korupi
antara lain dilakukan dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam
berbagai kesempatan Presiden juga menyatakan bahwa ukuran kesuksesan
pemberantasan korupsi tidak hanya seberapa banyak koruptor yang
dimasukkan ke penjara namun juga seberapa besar uang negara yang berhasil
diselamatkan. Artinya kebijakan pemerintah Joko Widodo lebih berorientasi
kepada pengembalian kerugian keuangan negara dari pada sekedar
menghukum pelaku tindak pidana korupsi semata.

7
B. KENDALA DALAM PENANGANAN PERKARA KORUPSI
Penanganan perkara tindak pidana korupsi memiliki berbagai
kekhususan. Selain kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh tiga institusi
(Kepolisian, Kejaksaan dan KPK), terdapat beberapa kekhususan lain yang
menyebabkan menjadi kendala. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Konsep Uang Pengganti
Salah satu kelemahan yang masih ada dalam Undang-undang No. 3
Tahun 1971 jo UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2001 adalah
tentang minimnya pengaturan mengenai Pidana Uang Pengganti. 9 Dalam
setiap putusan pengadilan tindak pidana korupsi, pada umumnya selalu
tertera penerapan pidana uang pengganti. Masalah yang masih dirasakan
ada berkaitan dengan pidana uang pengganti karena minimnya pengaturan
dalam peraturan perundang-undangan adalah perihal mekanisme
pengawasannya.
Konsep pidana uang pengganti, bisa jadi dimaksudkan untuk
menghukum koruptor seberat mungkin sehingga para koruptor menjadi
jera. Bagaimana tidak, hukuman bagi koruptor, sesuai UU No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pidana pokok
berupa pidana penjara dan denda, pun diganjar pidana tambahan berupa
uang pengganti (pasal 34 huruf c). Konsep yang kurang lebih sama dengan
sedikit modifikasi dianut oleh UU penggantinya yakni UU No. 31 Tahun
1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No. 20 Tahun 2001.
Di samping itu, latar belakang munculnya konsep pidana uang
pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang Negara yang raib
akibat suatu tindakan korupsi. Sedangkan salah satu unsur tindak pidana
korupsi adalah adanya tindakan yang “merugikan keuangan Negara”.
Sekalipun demikian, sayangnya pengaturan mengenai pidana uang
pengganti masih minim. Coba saja buka UU No. 3 Tahun 1971, praktis
hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34

9
Uraian tentang masalah ini disarikan dari : “Pidana Uang Pengganti Pundi-Pundi Kas Negara
Yang Tak Transparan”, dalam Majalah Novum, No. 05/September – November 2006, halaman 39.

8
huruf c. Kondisi yang sama juga tergambar pada UU penggantinya, UU
No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001.
Salah satu tujuan penanganan perkara korupsi adalah
mengembalikan kerugian keuangan negara. Untuk itu penanganan perkara
korupsi dengan kerugian keuangan negara yang besar harus menjadi
prioritas. Penanganan perkara korupsi hendaknya diikuti dengan komitmen
untuk memulihkan keadaan semula. Dalam teori pemidanaan disebut
dengan Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).
Konsep uang pengganti ini pada dasarnya merupakan salah satu
kebijakan kriminal (penal policy). Kebijakan penal (penal policy) dapat
diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan
dengan menggunakan sarana hukum pidana. 10 Istilah kebijakan penal
mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kebijakan hukum pidana
(criminal law policy) dan politik hukum pidana (strafrechts politiek). Oleh
karena itu, penggunaan ketiga istilah tersebut dalam bidang pemikiran
mengandung arti yang sama. 11
Dalam perkara tindak pidana korupsi, uang pengganti yang
dimaksud adalah pengembalian kerugian keuangan negara yang timbul
akibat perbuatan korupsi. Dalam hal ini pengembalian kerugian keuangan
negara tersebut merupakan salah satu jenis pidana tambahan disamping
pidana pokok. Konsep uang pengganti tanpa menjalani hukuman pokok
sebagai sanksi pidana belum diakui dalam hukum positif Indonesia. Pasal
4 UU Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Dengan demikian mediasi penal
saja tanpa proses pemidanaan yang lain tidak dapat dilakukan oleh aparat
penegak hukum.

10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1996, hal. 29.
11
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan, FH UII Press, Yogyakarta,
2014, hal. 14.

9
2. Pengadilan Khusus Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak mengamanatkan dibentuknya
pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tetapi mengamanatkan
dibentuknya komisi independen pemberantasan tindak pidana korupsi
(Pasal 43 ayat 1). Kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar
hukum pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
disingkat menjadi KPK. Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi muncul dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 dimuat dalam Bab VII tentang Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62.
Pengadilan Tipikor merupakan “satu-satunya pengadilan” yang
diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak
pidana korupsi. Perkara tindak pidana korupsi tidak lagi diproses melalui
pengadilan ganda seperti sebelumnya yaitu Pengadilan Umum yang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan penuntut umum dari kejaksaan. Pengadilan
Tipikor berkedudukan di Pengadilan Jakarta Pusat bagi perkara tindak
pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkan
menjadi satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum, baik
penuntut umum yang berada di bawah manajemen Kejaksaan Agung
maupun penuntut umum di bawah manajemen KPK. 12
Adanya pengadilan khusus tindak pidana korupsi ini di satu sisi
memberi manfaat guna menempatkan hakim-hakim yang berintegritas
dalam satu lingkungan pengadilan, memudahkan pengawasan terhadap
hakim dan mengintegrasikan penanganan perkara korupsi dalam satu
wadah khusus meskipun masih berada di bawah pengadilan umum.

12
Mudzakkir, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Biasa Penanganannya
Luas Biasa, Jurnal legislasi Indonesia, Volume 8 Nomor 2 Juni 2011

10
Namun di sisi lain, keberadaan Pengadilan khusus korupsi yang
hanya terdapat di Jakarta Pusat dan ibukota provinsi menimbulkan masalah
bagi lembaga penuntut umum (jaksa). Beberapa kejaksaan di Indonesia
harus menempuh perjalanan jauh untuk mengadili perkara tindak pidana
korupsi. Di Aceh misalnya, jaksa di Kejaksaan Negeri Singkil harus
menempuh perjalanan darat selama 12 jam untuk menyidangkan perkara
korupsi ke Pengadilan Khusus Tipikor di Banda Aceh. Akibatnya, biaya
penanganan perkara menjadi meningkat dan memakan waktu. Belum lagi
bagi kejaksaan negeri yang berada di wilayah kepulauan seperti Maluku
dan sebagainya.
Tentu penanganan perkara menjadi seperti sia-sia bila yang
disidangkan adalah perkara korupsi dengan kerugian keuangan negara yang
relatif kecil sementara waktu dan biaya yang diperlukan sangat besar. Hal
ini juga bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan
biaya ringan. Oleh karena itu diperlukan mekanisme lain bagi perkara
tindak pidana korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara yang kecil.
Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan harus dapat mendelegasikan
penanganan perkara tindak pidana dengan kerugian keuangan negara yang
kecil ke Pengadilan negeri setempat. Dengan demikian tidak ada alasan
bagi jaksa untuk men-declare perkara tindak pidana korupsi dengan
kerugian keuangan negara yang kecil dengan alasan keterbatasan anggaran.

3. Anggaran Penanganan perkara Korupsi


Penanganan perkara tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak
pidana biasa. Biaya ini muncul dari banyaknya birokrasi yang harus
dipenuhi dalam melakukan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan yang
juga mengatur demikian.
Sebagai contoh, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran
Nomor 4 tahun 2016 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung tahun 2016. Dalam SEMA tersebut diatur antara lain
instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan

11
negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan
konstitusional. Sedangkan Instansi lainnya seperti Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat, Satuan Perangkat Kerja Daerah
tetap berwenang melakukan audit pengelolaan keuangan negara. Namun
tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan
negara.
Aturan ini menyebabkan penyidik di daerah harus berkoordinasi
dengan BPK yang ada di ibu kota provinsi untuk melakukan perhitungan
kerugian keuangan negara. Tentunya hal ini kembali menimbulkan biaya
penanganan perkara. Selain itu keberadaan Pengadilan Khusus tindak
pidana korupsi yang berada di ibukota provinsi tentunya juga
membutuhkan biaya sebagaimana telah diuraikan pada poin sebelumnya.
Oleh karena itu setiap instansi yang berwenang menangani perkara
korupsi seperti kejaksaan, kepolisian dan KPK memiliki anggaran khusus
dalam Daftar Isian Alokasi Anggaran (DIPA) untuk pananganan perkara
korupsi. Di Kejaksaan, misalnya, total biaya satu perkara korupsi hingga
tuntas adalah 200 juta rupiah. Rinciannya, 25 juta tahap penyelidikan; 50
juta tahap penyidikan; 100 juta tahap penuntutan. Sisanya, 25 juta lagi,
dipakai untuk biaya eksekusi putusan. Di kepolisian biaya penyelidikan dan
penyidikan perkara korupsi juga tak jauh beda, totalnya Rp208 juta per
perkara padahal Kepolisian hanya melakukan penyidikan perkara korupsi
sedangkan proses penuntutan dilakukan di kejaksaan. 13
Di KPK, sistemnya menggunakan sistem pagu. Pagu anggaran tahap
penyelidikan 11 miliar rupiah untuk proyeksi 90 perkara. Tahap penyidikan
punya pagu anggaran 12 miliar untuk proyeksi 85 perkara. Sementara,
untuk tahap penuntutan dan eksekusi dialokasikan 14,329 miliar untuk 85
kasus. Selain itu, masih ada biaya yang digunakan untuk eksekusi pidana
badan sebesar 45 miliar rupiah.14

13
https://www.hukumonline.com/berita/a/mau-tahu-biaya-penanganan-perkara-korupsi-
simak-angka-dan-masalahnya-lt5733f0ea01aea, diakses pada tanggal 02 Februari 2022 pukul
13.00 WIB
14
Ibid.

12
Pada kenyataannya setiap tahun pemerintah hanya menganggarkan
biaya penanganan perkara yang terbatas untuk satu atau dua perkara tindak
pidana korupsi saja (khususunya di Kejaksaan Negeri atau Polres)
sementara bisa saja laporan pengaduan yang diterima oleh kejaksaan atau
polres setempat jumlahnya melebihi pagu anggaran. Akibatnya, mau tidak
mau lembaga penyidik dan penuntut umum harus memilih perkara yang
ditangani pada tahun anggaran berjalan. Pilihan tersebut biasanya
berdasarkan kualitas dan jumlah kerugian keuangan negara yang timbul
akibat perkara tersebut.
Tentu saja terhadap perkara lain yang kerugian negaranya kecil tidak
dapat dibiarkan begitu saja, tetapi karena anggaran penanganan perkara
yang terbatas, harus ditindak lanjuti dengan upaya hukum yang lain. Antara
lain dengan menyelamatkan kerugian keuangan negara.

4. Kerugian Keuangan Negara


Produk hukum terkini yang menciptakan “problem” bagi usaha
pemberantasan korupsi adalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
permohonan judicial review atas Undang-undang No. 31 tahun 1999,
khususnya yang berkaitan dengan penjelasan pasal 2 ayat (1). UU No. 31
tahun 1999. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan
permohonan judicial review UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan membatalkan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1),
rupanya menimbulkan reaksi dan protes keras dari Jaksa Agung. Bahkan,
Jaksa Agung dengan tegas mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu
makin mempersulit pemberantasan korupsi.
Dalam keputusannya, Mahkamah Konstitusi, dengan membatalkan
penjelasan pasal 2 ayat (1), rupanya menimbulkan reaksi dan protes keras
dari Jaksa Agung. Bahkan, Jaksa Agung dengan tegas mengatakan putusan
Mahkamah Konstitusi itu makin mempersulit pemberantasan korupsi.
Dalam keputusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan, penjelasan pasal
2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat lagi. Dengan demikian, konsekuensi dari putusan MK itu,

13
penyidik/jaksa penuntut umum tidak dapat “hanya” mendasar pada
pelanggaran asas kepatutan, keadilan atau norma keadilan masyarakat
dalam menetapkan seorang tersangka (perbuatan melawan hukum
materiil).
Penyidik harus pula membuktikan ada tidaknya pelanggaran
peraturan perundang-undangan (perbuatan melawan hukum formil). Jika
kita cermati lebih arif putusan MK itu, sebetulnya esensi yang dikehendaki
di sini adalah adanya kepastian hukum terhadap adanya kerugian Negara
yang diakibatkan tindakan orang yang diduga melakukan korupsi.
Namun disisi lain, putusan mengenai adanya kerugian keuangan
negara ini menyebabkan aparat penegak hukum memilih-milih perkara
yang akan diajukan ke persidangan. Dengan kata lain kualitas penanganan
perkara menjadi sangat penting dari sisi kerugian keuangan negara.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Diskresi terhadap perkara korupsi yang nilainya dibawah 50 juta rupiah
sebagaimana yang disampaikan Jaksa Agung dalam rapat kerja dengan
Komisis III DPR RI belum memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini karena
dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi pengembalian kerugian
keuangan negara tidak menghapuskan pidana.
2. Dari sisi efektifitas dan kualitas penanganan perkara korupsi yang memiliki
kekhususan yaitu Pengadilan Khusus, metode penghitungan kerugian
keuangan negara dan proses penanganan perkaranya yang relatif memakan
waktu lama ditengah keterbatasan anggaran, pada akhirnya memang
diperlukan diskresi kebijakan penanganan perkara korupsi. Diskresi ini
tidak hanya dengan mengutamakan pengembalian kerugian negara tanpa
menghukum pelaku tapi juga dapat dilakukan antara lain dengan
penyederhanaan proses persidangan misalnya mendelegasikan kepada
Pengadilan Negeri setempat untuk menyidangkan perkara tindak pidana
korupsi.

B. SARAN
1. Strategi penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan
secara menyeluruh dan memberikan efek jera baik terhadap perkara korupsi
dengan kerugian keuangan negara yang kecil maupun besar. Hal ini untuk
mencegah timbulnya budaya korupsi baru sebagaimana yang
dikhawatirkan oleh para ahli hukum. Diskresi terhadap perkara korupsi
dengan kerugian keuangan negara dibawah 50 juta rupiah akan berdampak
buruk pada sistem penegakan hukum khususnya dalam perkara tindak
pidana korupsi. Selain itu juga untuk menghindari tebang pilih perkara oleh
aparat penegak hukum.

15
2. Diperlukan beberapa revisi aturan perundang-undangan agar seluruh
pelaku tindak pidana korupsi baik besar maupun kecil dapat diadili.
Pertama, Mahkamah Agung harus mendelegasilan persidangan perkara
tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang kecil ke
Pengadilan negeri setempat. Kedua, penghitungan kerugian negara bagi
perkara korupsi yang sederhana harus dapat dilakukan oleh lembaga
ditingkat daerah seperti inspektorat maupun auditor khusus yang ditunjuk
oleh penyidik. Dengan demikian, maka biaya penanganan perkara korupsi
tersebut dapat ditekan dan perkara tindak pidana korupsi berapapun
jumlahnya dapat diadili di persidangan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan


Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan.
Kencana. Jakarta.

------------- 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya


Bhakti. Bandung.

Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Sinar Grafika,


Jakarta

Gunawan, T. J. 2018. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi.


Kencana. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Pradnya


Paramita, Jakarta.

Luthan, Salman. 2014. Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan. FH UII


Press. Yogyakarta.

Surachman. RM. 2017. Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai


Negara. Sinar Grafika. Jakarta.

Suratman, Hayat dan Ummi Salamah. 2009. Hukum dan Kebijakan Publik.

Waluyo, Bambang. 2020. Penyelesaian Perkara Pidana, Penerapan Keadilan


Restoratif dan Transformatif. Sinar Grafika. Jakarta.

Zaidan, M. Ali. 2016. Kebijakan Kriminal. Sinar Grafika. Jakarta.

2. Website

https://www.ajnn.net/news/korupsi-dibawah-rp-50-juta-cukup-kembalikan-
kerugian-negara-ini-klarifikasi-kejagung/index.html. Diakses pada tanggal 31
Januari 2022 pukul 14.00 Wib.

https://nasional.kompas.com/read/2022/01/28/13501051/pusako-jika-
koruptor-rp-50-juta-dibiarkan-maka-akan-timbul-budaya-korupsi. Diakses
pada tanggal 31 Januari 2022 pukul 14.05 WIB.

17
Umar Sholahudin, “Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan Kasus
Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Progresif”,
http://umarsholahudin.com/eksaminasi-publikterhadap-putusan-pengadilan-
kasus-tindak-pidana-korupsi-dalam-perspektif-hukumprogresif/, diakses pada
tanggal 31 Januari 2022 pukul 14.20 WIB.

https://www.hukumonline.com/berita/a/mau-tahu-biaya-penanganan-perkara-
korupsi-simak-angka-dan-masalahnya-lt5733f0ea01aea, diakses pada tanggal
02 Februari 2022 pukul 13.00 WIB

3. Makalah dan Jurnal

Hermanto, Asep Bambang, 2016. Ajaran Positivisme Hukum Di Indonesia :


Kritik Dan Alternatif Solusinya. Jurnal Hukum dan Bisnis Selisik. Volume 2
Nomor 4.

Pidana Uang Pengganti Pundi-Pundi Kas Negara Yang Tak Transparan”,


dalam Majalah Novum, No. 05/September – November 2006.

Mudzakkir, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Biasa


Penanganannya Luas Biasa, Jurnal legislasi Indonesia, Volume 8 Nomor 2 Juni
2011

4. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun
2019.

5. Sumber lain

Siaran Pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Nomor: PR –


136/136/K.3/Kph.3/01/ 2022 tanggal 28 Januari 2022.

18

Anda mungkin juga menyukai