Anda di halaman 1dari 5

ANGGOTA BARU

Dunia mulai runtuh, menenenggelamkan surya kedalam samudera yang tak berdasar. Aku duduk
terus tergoncang untuk berpikir, tak peduli dengan lautan gelak tawa mereka yang bertukar cerita
untuk saling menghibur. Tuhan mengirimkan air yang begitu deras, menyiram setiap makhluk yang
ada di dalamnya. Dingin suhu disekitar dan segar angin mengelus mukaku yang berkerut memikirkan
sesuatu yang tak pasti. Aku tahu ini bagian dari kesia-siaan hidup, tapi terpaksa harus aku nikmati
untuk mencharger dan mengevaluasi sikapku menghidupi hidup.

Hujan semakin deras, namun hatiku masih terasa kering. Bukan hujan itu yang aku inginkan, bukan
hujan yang berwajah air deras didampingi suara gemuruh dan kilatan halilintar. Bukian, bukan itu
yang aku tunggu dari dalam pikiran dan jiwaku. Lalu apa? Entah aku pun tak tahu.

Sangat-sangat ingin aku menceriotakan soal ini kepadamu. Tapi entah dengan cara apa dan
harus memulai cerita darimana aku berucap. Kata-kata dalam lidahku seolah lumpuh meski benih-
benih dalam pikiranku sudah mulai tumbuh. Aku sedang mencari ‘air hujan’ lain yang mneyegarkan
pikiran, menumbuhkan benih-benih ide dan kembali menghidupkan kata-kata yang mati suri
terpasung lidahku yang lumpuh.

Mendadak aku membenci rokok dengan prajurit asap yang mengepul-ngepul dari paru-paru
yang kembang kempis. Benci, meski aku tak mau dicap munafik bahwa dalam kondisi suntuk seperti
ini hanya kepulan asap rokok yang bersedia mendengarkan setiap kata yang tak pernah aku ucapkan,
perbincangan yang tak pernah aku perbincangan dan gejolak pikiran yang sebelumnya mengalir
dalam pikiran.

Kau pasti pernah merasakan hal yang sama dalam satu kondisi tertentu, entah karena
pengkhianatan teman atau korban dari perasaan perempuan. Atau hal lain yang mampu
menyeretmu pada kondisi tertentu. Tak bernafsu lagi bermain game online, berdialog dengan kawan
atau merayu pacar teman yang genit. Kamu hanya membutuhkan kamu dan waktu, memikirkan
setiak detik-detik kesia-siaan.

Aku maupun kau harus menikmati kesia-siaan inui, berdialog dengan diri sendiri dan
mempertanggungjawabkan segala hal yang aku dan kau lalui. Alasannya sederhana, karena Tuhan
menginginkan kita melakukan hal yang sama. Musik, Ya, musik mungkin bisa mengubah suasana
perasaan. Apalagi jika kau sangat menyukai alunan nada atau irama, kau bebas memilih list lagu
yang menurutmu cocok menemanimu dalam kondisi seperti ini, putar dan berikan volume yang
cukup agar suasana mampuy ‘menyiksamu’ dengan maksimal. Nikmati ‘kepahitan’ hidupmu dan
buatlah kamu menjadi pribadi yang baru. Mungkin kau jarang merasakan kontemplasi yang begitu
dalam seperti ini. Kau lebih suka berbincang dengan semua orang terutama kawan untuk
menghindari kesiasiaan ini. Akupun begitu. Tapi percayalah kita harus melakukan ini, memberikan
waktu yang cukup untuk berdialog dengan diri sendiri dari segudang waktu yang kita sisihkan untuk
orang-orang disekitar kita. Kita telah memberikan dedikasi yang begitu besar untuk mereka yang
telah mengisi setiap episode hidup kita, meski kita hampir saja lupa untuk menghidupkan perasaan
bagi diri kita sendiri.

Pena dan buku catatanku masih tergeletak disampingku, ogah untuk aku buka dan
menuangkan sebuah gagasan yang mendidih dalam benak. Aku hanya ingin ruang waktu saja yang
menerjemahkan gejolak ini untukku. Ruang waktu? Ya, ruang waktu yang tak mampu aku
definisikam. Kau tentu pernah mendengar kesurupan dalam keramaian. Nah dalam kondisi itu aku
berada. Merasakan ketidakteraturan perasaan, seolah terjadi chaos dalam jiwa. Bertubrukan dan
berantakan. Apa persoalan yang membuatku berhasil membuatku layaknya orang linglung? Tak
tahu. Bahkan aku tidak terlibat satu masalah pun dengan mereka yang sedang tertawa
bercengkrama itu. Soal perkelahian ku dengan kevin tempo lalu, hal lumrah bahkaan ku biarkan dia
merasakan kjepuasan memukuliku hingga babak belur. Atau dengan Kang Viktor, seorang aktivis
senior malam itu? Kami yakin seoranng aktivis di didik dengan sebuah prinsip bahwa tak ada
sentimen dalam perbedaan, ini soal pikiran bukan perasaan. Jadi itu bukan persoalan yang
membuatku merasakan kekeringan harapan seperti ini.

Apakah semua perkara ini bertolak dari pitaloka? Oh, sejujurnya, jantungku dan pikiranku
merasakan kelainan ketika mendengar atau menyebut nama itu. Lagi-lagi bukan itu yang
menyebabkan aku ada di fase ini. Fase dimana akupun tak menegetahui apa nama yang cocok untuk
menamai kondisi batin ini. Tak bisa move on? Sepertinya bukan. Mau sampai kapan aku
mengharapkan perempuan itu kembali? Dunia tidaka akan berakhir besok, karena besok adalah hari
senin bukan jumat. Kehidupan akan terus berlanjut dan aku harus tetap menjadi pemeran utama
dalam cerita Tuhan. Aku tak ingin mnejadi piguran dalam skema yang telah aku susun. Harus aku
segerakan menutup halaman kelam, tak harus aku buka dan membaca kembali cerita itu. Biarkan
cerita-ceritav itu tetap berirama pada zona dan halamannya, tak perlu aku hakimi mereka agar sadar
bahwa perasaanku terlalu berhargha untuk diacuhkan.

Seorang pujangga pernah berkata “ Cinta adalah soal permainan rasa, tapi bukan untuk
mempermainkan perasaan agar supaya ada vkorbanm dan pemenang.” Aku tak berniat mengkalim
bahwa diriku seorang pemenang, tetapi aku telah membuktikan kepada diriku untuk tidak
mempermainkan perasaan. Tunggu, atau sebaliknya akulah yang menjadi korban? Tentu bukan.
Justru pengalaman itu akan menjadi Fortipolio untuk aku sodorkan pada seseorang yang tepat
menerima kemampuanku untuk disempurnakan. Seseorang yang masih dirahasiakan dan
merahasiakan perasaannya untukku. Siapapun tak ada yang mengetahui perkara itu termasuk aku
dan perempuan itu. Misterius.

“Bro, Pinjem jaket dong.” Akmal menghancurkan imajinasi. “Buat apa?.” Tanyaku kesal.

“Itu ada peserta baru datang, kasian kedinginan.” Dengan malas aku lepas jaket yang
menghegomoni tubuhku dalam kehangatan. Akmal pergi untuk mendistribusikan kehangatan pada
korban hujan.

Masih dua jam sebelum tengah malam, dan ini akan menjadi malam yang panjang untuk aku
berselimut dingin.

“Tak apa.” Pikirku. “Setidaknya aku telah berbagi kehangatan untuk orang lain. Calon anggota
keluara.” Ya sebuah doktin yang pasti selalu menjadi materi wajib di setiap organisasi atau
komunitas manapun. Tujuannya tioada lain adalah supaya memberikan optimisme kebersamaan dan
memupuk kepedulian terhadap sesama.

Tubuhku dingin merasakan suhu dingin yang merangsak masuk, menembus pori-pori.
Dalam situai ini permukaan kulit menjadi tak rata akibat pori-pori yang membesar dan
menyebabkan bulu romaku berdiri, bukan karena hal mistis tetapi kondisi ini dapat terjadi apabila
suhu diluar tubuh lebih rendah daripada suhu didalam tubuh. Selain indera perasa atau peraba kulit
berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh manusia. Saat cuaca dingin seperti ini, pembulu kapiler yang
bertugas untuk mengangkut darah kedalam sel kulit menyempit sehingga pada saat itu suhu tubuh
akan meningkat mengimbangi suhu diluar tubuh yang lebih rendah. Jaln keluar dari situasi
mengenaskan ini adalah masuk keruangan, bergabung bersama manusia lain. Menghangatkan tubuh
sekaligus menyejukan jiwa yang kerontang itu pu jika beruntung.

Suasana pelatihan penyambutan calon keluarga baru semakin ramai dan riuh. Setiap sudut
telah terisi oleh berbagai perbincangan yang aku sendiri tak mengetahui membahas apa. Sedang
malas berbincang serius. Aku edarkan pandangan, mencari sorak sorai cerita untuk ditertawakan.
Bergabung sebentar dan mencari tempat baru untuk membenamkan jiwa, raga dan pikiran dari
kehidupan. Tidur.

“Bro.” Ahmad menjulurkan tangan dengan jaket digenggamannya. “ nuhun bro jaketnya.” Aku
mengangkat kedua alis dan mengangguk paham. Ahmad duduk dikursi sebelah kanan. Dimas duduk
dihadapanku dan satu orang peserta duduk disebelah kiri. Kami duduk melingkari meja yang
berbentuk persegi panjang dan tiga gelas kopi, satu nampan gorengan dan tiga bungkus rokok sisa
semalam. Suasana kaum proletar yang terpinggirkan dari segi gaya hidup. Miskin, karena diukur oleh
nominal bukan rasa syukur. Aku percaya bahwa kedalaman rasa syukur mampu menembus
kedangkalan nominal, ideologi, ekonomi, dan politik. Penciptaan rasa syukur akan berujung pada
ikhlas, dan buah dari keikhlasan adalah kenikmatan. Tidak meratap apalagi menghujat kehidupan
sebuah pangkal kebahagiaan. Aku bahagia, kami berempat bahagia, dengan modal yang paspasan
hasil patungan setidaknya kami telah membagi kebahagiaan dengan cara memberi keuntungan yang
sedikit kepada emaknya Karim. Seorang perempuan paruh baya yang mendedikasikan sebagian
tenaganya untuk berdagang dorengan sekaligus menghibahkan seluruh dedikasinya kepada
kehidupan dan keluarga.

Perbincangan singkan namun hangat, emaknya Karim memang awam soal dunia mahasiswa
aktivis, namun ada pesan yang begitu berkesan yang aku dapat. Lebih kurang seperti ini, kondisi
sebuah negara akan selalu berada pada fase chaos diberbagai sisi dan bidang, tidak pernah berdiam
diri dalam fase stagnan. Sebuah pernyataan yang logis karena chaos yang memungkinkan untuk
senantiasa berubah dan kembali. Chaos itulah kehidupan. Tidak pernah ada keadilan dan
kemakmuran yang utuh dirasakan oleh setiap warganya, maka seyogianya mahasiswa dan pemuda
harus selalu ada pada zona keresahan sepanjang waktu untuk mengcounter setiap chaos yang
terjadi pada negeri.

“Selamat pagi wahai kaum proletar!” Seorang senior yang tak diharapkan keberadaannya
datang tak diundang. Kami balas dengan tertawa mengetahui kondisi sekitar peserta yang duduk di
kursi sebelah kiriku pamit setelah menyalami sang senior.

Dia duduk dengan damai di kursi bekas peserta yang tak ku kenal itu, dan seminar motivasi
akan segera dimulai. Tahap pertama, dia akan menanyakan kabar terakhir dari senior-senior yang
lain. Tahap dua, dia akan mulai menghujat keburukan dari orang yang tidak dia senangi. Tahap tiga,
dia akan memaparkan argumentasinya dengan penuh semangat dan menyatakan bahwa yang
dilakukan olehnya adalah langkah benar serta membanggakan. Tahap ke empat, dia akan
memberikan motivasi atau wejangan dan Tahap kelima dia akan meminta tolong.

Entah apa esensi dari obrolannya itu, yang ku tahu apa yang dia ucapkan itu justru tak
memiliki esensi. Sesekali Ahmad nyaut memberikan dukungan pernyataan, meski aku tak tahu
maksud dari sautan itu apa, karena yang ku tahu itu adalah cara seorang penjilat mengelabui
mangsa.

”Ar, sibuk apa kau sekarang?” Dia berusaha membangun percakapan yang selama seminar
percakapan itu membeku seperti matisuri.

“Seperti ini aja kang.” Jawabku merendah.

“Masih sibuk nganggur.” Selanya sembari diselini tawa yang merendahkan. Amarahku untuk
memukul aku tahan dengan segera, Dimas meminta sedikit saja untuk menahan emosi.

“Akang gimana masih sibuk jadi calo hukum?” Pukulan pertamaku mendarat dengan mulus
tak terelkan. Dia tertawa, sedikitnya pasti dia tahu maksudku.

“ Mad, tolong beli rokok dulu ya.” Dia merogoh dompetnya dari saku belakangnya. Dia
menyodorkan uang seratus ribu. “ Beli 3mpat bungkus ya;”

“Gak usah Mad.” Aku menyela. “ Keberadaan akang disini sudah dijamin oleh panitia.”
Segerea aku rogoh kantong jaketku dan menyodorkan satu bungkus rokok masih tersegel.Ahmad
duduk dan memberikan kembali uang yang baru saja diterimanya.

“Wah,mantap. Salut saya, baru kali ini senior dilayani begitu istimewa.” Dia membuka segel
rokok dengan rakus, meminta korek api yang dari tadi dijadikan mainan oleh Dimas.

“Ada kemjuan lah ya, biasanya meminta jadi memberi. Artinya didikanku kepada kalian tidak
sia-sia.” Dia isap dalam-dalam nikotin dan tar yang terbungkus fengan penuh penghayatan.

“Iya kang makasih bimbingannya.” Kataku sedikit memberikan racun, dia mengangguk
angkuh rasanya. “Gimana kang, rokok dari kaum proleturnya?” pukulan kedua aku hunuskan penuh
perhitungan.

“Oh, ini uang kalian?” dia pura-pura terkejut. “Biar nanti saya ganti.” Ucapnya ketus sambil
menyandarkan tubuhnya pad punggung kursi. “Tahu darimana kalian dapat modal untuk kegiatan
ini?” bukan bermaksud merendahkan ya, tapi tak mungkin jika dari uang pribadi.” Dia meragukan.
Sebuag serangan balik yang tak terduga, aku pun tak begitu paham soal sumber dana kegiatan lebih
detail.

“Dari zakat dan infak pengurus dan anggota kang.” Dimas membela, “ Kebetulan saya yang
mengurusnya bersama kawan yang lai. Jika akang mau membayar zakat dan berinfak, boleh, tentu
karena itu kewajiban.” Lanjutnya dengan tenang. Wow, itu pukulan yang sangat-sangat telak.

“Iya nanti.” Jawabnya. Beberapakali dia ubah posisi duduknya mengganggu


ketidaknyamanannya sekaligus memaksa untuk terus nyaman, “ Ada siapa saja di dalam?” tanyanya
lagi.
“ Ada tamu yang lain kan.” Ujar Ahmad.

“ Nampaknya sedang pada kumpul ya? Mad antar saya kesana.” Dia pun pamit dan pergi
lengkap dengan sikap angkughnya. Dia hanya meninggalkan rasa malu yang selanjutnya kami ejek
menjadi bahan tertawaan.

Seperti biasa, ketika Dimas pergi mengurusi tanggung jawabnya, aku duduk sendiri.
Lebih banyak menyempatkan waktu untuk berdialog dengan emak Karim dalam pikiran.

“Ada apa kang?” tanya seorang perempuan yang tak ku kenal. Dia berdiri mematung
dibelakng kursi yang tadi di duduki Ahmad.

“Ada apanya?” aku balik nanya dengan pertanyaan yang buruk.Bingung. Maksudku, heran
saja dia tak pernah aku panggil tiba-tiba bertanya seperti itu. Sebelumnya aku tak mengenalinya,
bertemu pun tidak.

“ Maksudku, itu orang-orang pada bicarakan akang. Memangnya kenapa kang?” Tanyanya
polos seolah berbisik.

“Tidak ada apa-apa, memangnya kenapa?” Risih juga berdialog dengan orang yang
mendesak, tak kenal pula.

“Oh iya kang makasih ya jaket nya tadi malam.” Perempuan itu menunjuk jaket dengan
matanya. “Cuma kasian jaketnya susah bernafas.”

“Maksudmu?” tanyaku kaget. Rupa-rupanya perempuan itu sudah tertelan hegomoni akut
media sosial.

“Iya kasian jaketnya kebanyakan menghirup asap rokoko.” Jawabnya lugu.

“Lebih baik jaket ini bau asap rokok, daripada bau liur orang-orang penjilat.” Jawabku ketus.

“Boleh saya duduk kang?”

“Jangan, tak enak dilihat yang lain.” Dalam hati, aku malas bercakap terlalu panjang. Risih.
Sudah terlebih dahulu ilfil sebelum memulai obrolan.

“Oh yasudah,. Kalau seperti itu aku kesana dulu kang.” Aku mengusirnya dengan anggukan.

Aku kembali merenung...

Anda mungkin juga menyukai