Anda di halaman 1dari 13

PENANGGULANGAN DEFORESTASI INDONESIA MENUJU

INDONESIA HIJAU

BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai pihak memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai makna


defortasi di Indonesia. Perbedaan akan cara pandang tersebut diakui oleh
berbagai pihak, seperti yang terdapat pada World Bank 1990, FAO 1990,
MOF 1992, TAG 1991, yang mengatakan sesungguhnya kondisi hutan
Indonesia digerogoti oleh pengguna istilah “Deforestasi” yang kurang jelas
dan konsisten. Kurang spesifiknya penggunan “Deforetasi” mengakibatkan
interpresentasi data yang beragam tentang estimasi deforestasi (William
dkk,1997). Dalam pandangan yang lebih luas defortasi lebih sering dilihat
seolah fenomena kompleks dimana terdapat berbagai macam faktor dan
kepentingan yang saling berinteraksi didalamnya.
Dalam prespektif ilmu kehutanan deforestasi bermanka sebagai
situasi hilangnya tutup hutan berserta atribut-atributnya yang berdampak
pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Makna ini diperkuat
oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut-
II/2009 tentang tata cara meminimalisirkan emisi dari Defortasi dan
Degradasi Hutan yang secara lugas menyebutkan defortasi adalah
perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kata areal “berhutan” pada
aturan menteri ini terkandung makna unsur independensi kontekstual,
sehingga tak terikat pada status dan fungsi hutan saja tetapi lebih
berfokus pada esensi kedudukan “hutan” itu sendir. Dengan begitu
defortasi mengandung makna yang sangat erat hubunganya dengan
situasi hilangnya hutan serta atributnya yang disebabkan oleh kegiatan
manusia, baik di dalam maupun diluar kawasan hutan.
Pada tahun 1970an FAO melaporkan deforestasi di Indonesia
mencapai 300 ribu hektare/ tahu (FAO/WB,1990). Kemudian pada periode
1990-an defortase melaju menjadi 1 juta hektare/tahun (sunderlin dan
Resosudormo,1997). Analisis FWI dan GWF pada tahun 2001
memperlihatkan bahwa laju defortasi terus meningkat, menjadi 2 juta
hektare/ tahun periode 1996-2000, setelah itu menjadi 1,5 juta hektare/
pada tahun peridode 2001/2010 lalu pada periode 2009-2013 lajunya
menurun menjadi 1,1 juta hektare/tahun, (FWI,2011&2014). Menurut data
dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia, total luas
lahan pada tahun 2016 mencapa 124 juta hektar.
Taconi dkk (2013), menguraikan data dengan jelas dan
menegaskan bahwa penyebab hilagnya hutan di Kalimanta, Sumatera dan
Sulawesi selama periode 1985-1997 meliputi aktivitas perkebunan
sebanyak 2,4 juta hektare atau sebesar 14 persen, kebakaran hutan 1,74
juta hektare atau sebesar 10 persen, investor kecil sebesar juta hektar
atau sebesar 10 persen, petani pelopor sebesar 1,22 juta hektare atau
sebesar 7 persen. Data ini mengindetifikasikan betapa sudah dari lama
para peneliti memberikan gambaran bahwasanya aktivitas-aktivitas
tersebut merupakan aktivitas-aktivitas yang banyak menyebabkan
terjadinya defortasi di Indonesia. Di sisi lain, tingkat defortasi yang tinggi
disebabkan oleh sistem ekonomi da politik yang korup, yang beranggapan
sumber daya alam khususnya hutan , merupakan sumber pedapatanya
yang bias di eksploitasi untuk kepentingan politik dan pribadi (FWI dan
GWF, 2001). Sementara itu menurut Badan Perencanaan Nasional
(BAPPENAS) tahun 2010 mengungkapkan bahwa dalah hasil analisisnya
didapat tata kelola yang buruk, penataan ruang yang tak sejalan antara
daerah dan pusat. Ketidak jelasan hak tenurial, serta lemahnya kapasitas
di manajemen kehutanan (termasuk penegakan hokum) menjadi
permasalahan mendasar dalam pengelolahan hutan di Indonesia.
FWI menemukan sampai dengan tahun 2013 luas tutupan hutan alam di
Indonesia adalah 82 juta hektare atau sekitar 46% dari rata-rata luas
daratan. Persesntasi tersebut dibanding dengan luas luas daratan di
masing-masing pulau hingga 2013, secara urut adalah papua sekita 85
persen daratan masih berupa hutan alam, Maluku 57 persen, Sulawesi 49
persen, Bali-Nusa Tenggara 17 persen, dan Jawa sebesar 5 persen
(FWI,2014).
Penyebab deforestasi terbagi menjadi dua yakni langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung ialah aktivitas yang berdampak langsung
dalam perubahan tutupan hutan, lebih rinci adalah kegiatan pembukaan
hutan dan permanenan kayu hutan alam. Penyebab dasar/tidak langsung
adalah kekuatan nasional/daerah yang mendorong terjadinya kehilangan
hutan, terutaman pada tatanan kebijakan pemerintah dan
penyalahgunaan wewenang. Lebih dari 50 persen hutan alam tersisa
berada di wilayah yang telah dibebani izin. Di beberapa provinsi seperti
Kalimantan Timur, Sumatara Utara, dan Maluku Utara didapat bahwa
faktor utama penyebab defortasi ialah aktivitas-aktivitas industri ekstratif
yang rakus akan ruang.
Di Kalimantan Timur, aktivitas PT. Fajar Surya Swadaya
menghilangkan hutan alam di daerah Desa Muara Lambakan, Kabupaten
Paser dalam rentang tahun 2009 hingga 2016 dengan hutan alam seluas
17 ribu hektare hilang dikarenakan konversi menjadi areal perkebunan
kayu (HTI).
Di Sumatera Utara, pada wilayah HTI PT Toba Pulp Lestari,
dengan hasil citra satelit menunjukan bahwa rentang tahun 2013-2016
terdapat sekitar 2.108 hektare hutan alam hilang di dalam konsensi
perusahaan. Hasil tersebut di perkuat dengan temaun lapangan berupa
adanya pembukaan hutan campuran di juli 2016. Temuan ini
memperlihatkan bahwa PT Toba Pulp Lestari telah melakukan melanggar
komitmen untuk tak melakukan penebangan hutan alam. Walapun hutan
tersebut berada pada konsensi mereka.
Di Maluku Utara, sleain konversi hutan alam menjadi HTI, terdapat
pelanggaran atas ketentuan pengelolahan hutan lestari. Contohnya
aktivitas HPH PT.Poleko Yubarsons di Pulau Obi. Penebangan di
sempadan sungai diduga telah menyebabkan kualitas fungsi daerah
tangkapan air di wilayah tersebut. Dampaknya: di wilayah hilir di selatan
pulau obi diterjang bencan banjir di setiap penghujung tahun (hasil
wawancara masyrakat).
Selain contoh-contoh kasus diatas yang berupa aktivitas di sektor
kehutanan, penyebab langsung deforestasi juga adalah maraknya
ekspansi perkebunan kelapa sawit. Contohnya ialah perekbunan kelapa
sawit yang berada di dalam area HPH PT Teluk Nauli di Sumatera Utara.
Tentu saja, keberadaan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan
merupakan pengabaian serta pelanggaran oleh pemerintah dan pelaku
usaha pemegang izin konsensi atas peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kebijakan pembangunan HTI, yaitu dalam bentuk izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT), dimulai
awal 1990. Selain merehabilitasi lahan-lahan hutan yang sudah rusak,
pembangunan HTI juga diharapkan menyumbang bahan baku bagi
industri kehutanan. Celakanya kebijkan ini yang harusnya mampu
merehabilitasi hutan malah justru merusak hutan. Akhirnya banyak HTI
yang berada di hutan alam melakukan konversi hutan dalam rangka
penyiapan lahan tanam mereka.
Pembangunan HTI menyumbang 10 persen deforestasi di
Indonesia pada rentang tahun 2009 hingga 2013 (FWI. 2014). Pada tahun
2009 masih terdapat 2 juta hektare di dalam konsesi HTI, namun
berkurang dan di tahun 2013 tinggal 1,5 juta hektare. Salah satu data
pendukung pada rentang tahun 2009-2015, 20 persen atau 53,2 juta
meter kubik kebutuhan kayu bulat di hasilkan dari aktivitas Land Clearing
atau penyiapan lahan pembangunan HTI (KLHK,2016).
Kinerja buruk IUPHHK-HA atau HPH merupakan satu dari sekian
banyak penyebab langsung kehilangan hutan di Maluku Utara. HPH
memberikan izin di kawasan hutan produksi secara langsung melalui
operasinya mendegradasi bahkan mendeforestasikan hutan-hutan di
Maluku Utara. Dalam rentang tahun 2013 hingga tahun 2016 saja tutupan
hutan di kawasan hutan produksi berkuran hingga 101 ribu hektare, dari
jumlah tersebut HPH menyumbang deforestasi sebesar 13,5 ribu hektare.
Pada UU 41/1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan produksi
dapat dimanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayunya. Maka dari itu
dpat dikatakan bahwasanya deforestasi yang terhadi di dalam hutan
produksi di Maluku Utara disebabkan oleh salah satunya adalah aktivitas
IUPHHK-HA yang memanfaatkan hasil hutan kayu.
Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian pada bulan
agustus tahun 2017 mengatakan bahwa kelapa sawit menyumbang
sebesar 239,4 triliun (CNN Indonesia, 2017). Inilah penyebab mengapa
pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan mati-matian memerangi
kampanye-kampanye anti sawit dan pengungkapan serta temuan-temuan
kerusakan hutan akibat perkebunan kelapa sawit. Biasa mereke
mengatakan bahwa kampanye dan temuan-temuan tersebut merupakan
bagian dari “perang dagang” persaingan usaha yang tidak ingin atau
meninginkan majunya industri sawit Indonesia.
Demikianlah perkembangan kelapa sawit indonesai dengan berbagi
perdebatan tentang kelapa sawit sebagai penyebab/bukan penyebab
deforestasi. Isitlah deforestasi menjadi perdebatan terus menerus karena
“hutan” selalu dibedakan dengan “kawasan hutan”. Ketika tutupan hutan
hilang, namun secara administratif hutan tersebut tidak masuk ke dalam
kawasan hutan, banyak pihak sangat menolak menyebut hal tersebut
sebagai deforestasi walaupun tutupan hutan alam tersebut tidak berada di
dalam kawasan hutan.
Vijay dkk. (2016) dalam Thamrin School (2017) menyebutkan
bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit mempunyai tanggung jawab
aras 54 persen deforestasi di Indonesia antara tahun 1989 sampai tahun
2013. Sementara itu penelitian sebelumnya mengungkapkan angka yang
sedikit lebih tinggi, yaitu berkisar 56 persen (Koh dan Wilcove, 2008 dalam
Thamrin School,2017). Sedangkan FWI juga pada tahun 2014
mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan
atau menghabiskan hutan alam sekitar 500 ribu ton pada tahun 2009
hingga tahun 2013.

BAB II
Pembahasan

Diantara kita banyak yang belum sadar pentingnya peranan hutan


untuk kehidupan. Hutan tidak hanya bermanfaat bagi spesies hewan,
tumbuhan, atau etinik tertentu yang menetapinya saja. Ada tiga manfaat
yang sangat berpengaruh pada global atau bumi sebagai habitat yang
lebih luas, diantaranya adalah; Hutan merupakan tempat resapan air,
hutan sebagai payung raksasa, dan hutan merupakan wadah kebutuhan
premier. Di samping itu sirkulasi dari pernapasan dunia bermuara pada
hutan-hutan yang ada di sekeliling kita.
Hutan merupakan tempat resapan air, mempunyai arti bahwa hutan
merupakan daerah penahan dan area resapan air yang efektif. Banyaknya
lapisan humus yang berpori-pori serta banyaknya akar ialah berfungsi
menahan tanah, mengoptimalkan hutan sebagai tempar resapan air.
Keruskan hutan ialah penyebab terganggunya fungsi sebagai penahan air,
sehingga daerah dan habitatn sekitar hutan dapat ditenggelamkan banjir.
Selain itu kerusakan hutan dapat mengganggu sebagai tempat resapan
air terganggu. Tidak adanya resapan air bersih dan higenis ataua air siap
pakai.
Selain itu fungsi hutan sebagai payung raksasa. Maksudnya
rapatnya antara tumbuhan satu dengan yang lain serta tinggi rata-rata
pohon disegenap lokasinya, berguna untuk melindungi permukaan tanah
dari derasnya air. Tanpa payung raksasa lahan gembut yang mendapat
curah hujan yang tinggi perlahan akan terkikis dan mengalami erosi,
sehingga terjadilah longsor di sekitar daerah tersebut. Jika manfaat hutan
sebagai daerah resapan air terkait keseimbangan kondisi air, bila
fungsinya sebagai payung raksasa terkait dengan permukaan tanah,
maka sebagai “paru-paru dunia” hutan bertanggung jawab atas
keseimbangan suhu dan iklim.
Secara rinci inilah fungsi hutan apabila tidak terjadi keruskan pada hutan,
yakni:
1. Mencagah Erosi
Dengan adanya hujan, maka air hujan tidak akan langsung
kepermukaan tanah melainkan akan diserap oleh akar
2. Sumber Ekonomi
Melalui penyediaan kayu, karet, getah, bunga, hewan, dan
sebagainya menjadi ladang untuk meningkatkan ekonomi.
3. Sumber Plasma Nutfah
Keanekaragaman hewan dan tumbuhan dihutan memungkinkan
diperoleh keberagaman gen.
4. Menjaga Keseimbangan Air saat Musim Kemarau dan Hujan
Seperti layaknya sumur yang dalam menjangkau seluruh lapisan
bumi. Hutan menjadi sumber daya air yang tiada tandingnya.
Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa berbagai macam manfaat
dapat kita manfaatkan nanti, namun, ada saja manusia dengan rakusnya
membuat ekosistem serta kelestarian hutan menjadi terganggu. Maka dari
itu perlu adanya tindakan dan upaya untuk menjaga kelestarian hutan
tersebut.
Upaya yang telah di lakukuan oleh pemerintah sebaga penanggung jawab
terhadap kesejahteraan rakyar ialah:
 Mengeluarkan UU pokok Agraria No.5 Tahun 1960 yang mengatur
tata guna tanah
 Menerbitkan UU No.23 Tahun 1997 , tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengelolahan lingkungan hidup
 Memberlakukan AMDAL yang terdapat pada Peraturan Pemerintah
RI No. 24 Tahun 1986.
Tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian
Lingkungan dengan tujuan pokok sebagai berikut:
a. Menanggulangi kasus pencemaran
b. Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3)
c. Melakukan penilaian analisa mengenai dampak lingkungan
(AMDAL)
Pemerintah merencanakan gerakan menanam sejuta pohon, jeda
penebangan pohon atau moratorium logging ialah sebuah metode
pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan
kayu dalam skala besar dengan lama masanya ditentukan oleh berapa
lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi tersebut ( Hadirman
dalam Hutan Hancur, Moratorium Manjur).
Kini dari banyaknya dampak yang dapat timbul dari deforestasi,
maka sudah seharusnya kita sebagai masyrakat juga turut berperan dan
mencari solusi untuk menanggulangi hal tersebut. Maka berikut ini adalah
upaya yang kita dapat lakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan
tersebut, diantarnya:
1. Memberikak penyuluhan petani ladang berpindah untuk mengubah
sistem pertanianya dari ladang berpindah menjadi ladang
menetap, seperti sawah dan kebun
2. Melarang penebangan hutan liar tanpa izin dari pemerintah, dalam
hal ini ialah dinas kehutanan.
3. Memberikan sanksi tegas kepada pembalak sehingga terjadi efek
jera
4. Memberikan pengarahan tentang penebangan hutan secara
selektif, artinya pohon yang ditebang harus benar-benar layak
untuk ditebang.
5. Mencabut izin pengusaha HPH dan HTI yang melanggar aturan
dan hukum perizinan
6. Menghentikan pengambilan hutan dengan sistem tebang habis
7. Pemegang HTI dan HPH diwajibkan menanam pohon kembali
yang mereka perlukan sebagai bahan baku pada lahan yang
sudah di tetapkan atau tentukan
8. Melakukan penghijauan yaitu penanaman kembali kawasan hutan,
khususnya lahan-lahan yang kritis

Upaya-upaya tersebut dapat mengembalikan fungsi hutan secara


sempurna. Serta banyak manfaat yang akan kita dan anak cucu kita
rasakan nantinya, jika kita sebagai warga negara yang mempunyai
kesadaran dan mampu berkomitmen untuk melaksaakan serta tidak
mengulangi terjadinya kerusakan hutan alam dengan penyebab yang
sama untuk kesekian kalinya.
BAB III
KESIMPULAN

Bumi yang saat ini kita pijak adalah merupakan alam nan indah
dimana kita mempunyai kewajiban untuk menjaganya. Salah satu hutan
yang merupakan kawasan yang ditumbuhi dengan lebat pepohonan serta
tumbuh-tumban lainnya, keruskan hutan yang dari dulu hingga saat ini
terjadi merupakan dampak dan akibat pembalakan hutan secara kejam.
Kegiatan perusak tersebut. Setelah penebangan, karena diluar dari
perencanaan yang telah ada. Kerusaka ini juga disebabkan oleh tingginya
permintaan pasar dunia akan kayu, serta meluasnya konversi hutan
menjadi kelapa sawit, tinda korupsi para penjabat dan tidak ada
pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolahan hutan.
Deforstasi (kerusakan hutan) merupakan kondisi yang menunjukan
penurunan kualitas hutan dalam ruang lingkup yang sangat luas secara
kualitas maupun kuantitas. Sehingga semuanya makin tidak terkendali
yang dimana disebabkan oleh kerakusan manusia dalam memberdayakan
kekayaan alam, kerusakan hutan yang mengubah kandungan hara dalam
tanah dan menghilangkan lapisan atas tanah sehingga terjadinya erosi
permukaan tanah dan membawa pergi hara penting bagi tumbuhan
tegakkan. Terbukanya taju iokut menunjang sehingga habisnya lapisan
atas tanah yang subur dan membawa serasah sebagai pelindung
sekaligus simpanan hara sebelum dekomposisi oleh organisme tanah.
Terjadinya keruskan hutan juga mempunyai dampak yang negatif bagi
lingkungan lainnya, seperti : illegal logging yang menyebabkan terjadinya
hutan gundul, banjir, tanah longsor, kehidupan masyrakat terganggu
disebabkan hutan yang menjadi tumpuan hidup dan kehidupanya tidak
berarti lagi serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.
Maka perlu adanya konsep pengelolahan hutan secara bijaksan,
Agar dapat mengembalikan fungsi hutan secara menyeluruh (fungsi
ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi) dengan lebh menekankan
kepada peran oleh pemerintah, peran masyarakat, dan peran pihak
swasta. Langkah-langkah yang sinergi dari tiga komponen tersebut dapat
mewujudkan fungsi hutan secara menyeluruh dan membantu menyiapkan
pengamanan juga pelestarian hutan yang terkendali
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (Ed) 1994, Pemberdayaan lingkungan hidup dana alam


sekitar, Medan, Yudhistira.
Abdul, Tohimi 2006, Upaya penyelamatan hutan, Pontianak, Kardi house
Alrasyid, H 2017, Pengembangan kehutanan dan pengelolaanya, Balai
Teknologi Reboisasi Palembang, Bastono.
Arif, Arifin 2004, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta, Kanisius
BAPPENAS 2010, Indonesia climate change sectoral roadmap (ICSSR)
summary report forestry sector, hal 2, Jakarta.
CNN Indonesia 2017, Kementrian klaim sawit sumbang Rp. 239 triliun.
diakses tanggal 27 juni 20019
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170829150806-92-
238106/kementan-klaim-sawit-sumbang-devisa-negara-
rp239-triliun
FWI, GFW 2001, Potret keadaan hutan Indonesia tahun 2010, Bogor.
FWI, GFW 2011, Potret keadaan hutan Indonesia tahun 2002-2009,
Bogor.
FWI, GDW 2014. Potret keadaan hutan Indonesia tahun 2009-2013,
Bogor.
Ismail, Bardui 1987, Ilmu pengetahuan alam, Jakarta: Tiga Serangkai
Rianto, Amir 2006, Menciptakan lahan indah nan permai di bumi tercinta,
Bandung, Pustaka Bandung.
World Bank 2019, Indonesia: suitainable developments of forest, land, and
water, The World Banks, Washington, DC, dalam Sunderlin WD,
dan Resosudarmo IAP 1997, laju dan penyebap deforestasi di
Indonesia: penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya.
Occasional paper No.9 (I), Cifor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai