Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh
Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama
dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh
perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran
yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara
harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan
pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar
mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar
dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan
politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis
maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam
yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya
masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para
malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk
memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan
akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah,
Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut al-
Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran Jabariyah ini menganut
paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam
keadaan terpaksa.

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang
berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki
kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan
Tuhan sebagai dalangnya.

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu
Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu
para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan
kekuasaan mutlak Tuhan.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam
datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari
dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan
beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

3. Doktrin Ajaran Jabariyah

Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri., tetapi perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Di antara pemuka
Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :

a. Jahm bin Shofyan

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurusan, bertempat tinggal di
Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais,
seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh
secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham
Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan
Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :

1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal
dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat
Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.

2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.

3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.

4) Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di
akhirat kelak.

Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan
Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i
dan Al-Asy’ari.

b. Ja’d bin Dirham

Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang
Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah
menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut

1) Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan
kepada Allah.

2) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar.

3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah
majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi
pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.

4. Tokoh Aliran Jabariyah

a. Jahm bin Shafwan


Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di
Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais,
seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.

Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;

1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal
dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat
Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.

2) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah

3) Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru
(hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak
mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.

4) Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan
balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham
dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal

b. Ja’ad bin Dirham

Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan
orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah
menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:

1) Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.

2) Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mengengar.

3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya

Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling
signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu.
Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan
tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian
di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya.

Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;

a) An-Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-
Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;

1) Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative. Tetapi dalam melakukan
perbuatan itu, manusia mempunyai andil. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan
mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition

2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

b) Adh- Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein
An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua
pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga
oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

1. Pengertian Qadariyah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna
kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini
dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup
semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan
pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk
melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal
dengan nama free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan
kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah menentukan segala tingkah laku manusia
baik perilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh
orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam
pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya
sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa:“kaum Qadariyah
adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.

Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada
taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih
dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:

Tersebar luasnya madzhab asy’ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu’tazilah sebagai
minoritas dihadapan kaum asy’ariyah yang mayoritas.

Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang
diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan
saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi.

Dokterin-Dokterin Paham Qadariyah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat
atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai
daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.

Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan
tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab
faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah
dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat
baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran
kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan
neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena
itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh
bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali
terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam
semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam
dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan
oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang dua ratus kilogram.

6. Tokoh-tokoh paham Qadariyah

Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut dapat
dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk didalamnya tokoh
pencetus aliran Qadariyah :

Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi

Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini memadukan
antara faham Khawarij dan Syi’ah.

b. Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)

Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan
takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan
ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini mendapat
penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup
ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar,
menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak
baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama
Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan
bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan
banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .

c. Ghailan Ad-Dimasyqi

Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut
Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada
masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah
taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar
wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.

Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan
juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja. Para salaf pun
menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin
Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang
sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya
telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya
dihukum mati setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum
oleh Hisyam Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara
Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

d. Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)

Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya dan meracik antara bid’ah Qadariyah
dengan bid’ah Mu’aththilah dan ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di
tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan
menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah
pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka
semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya.

para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh
oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai
menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan
kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa
berbicara dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 124 H.

e. Al-jahm bin Shafwan

Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali
melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya
serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan dan
penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-
ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah),
bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum
mati pada tahun 128 H

f. Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid

Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar
pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak
sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya.
Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah
terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan
mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.

Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki
kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur tangan
dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini
dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

Anda mungkin juga menyukai