Anda di halaman 1dari 6

PELAJARAN SEJARAH

TUGAS BIOGRAFI PAHLAWAN NASIONAL DARI PAPUA

DISUSUN OLEH:
BINTANG ALEA RAYHAN
KELAS:
XII MIA 1

MADRASAH ALIYAH NEGERI TOLITOLI


Mengenal 5 Pahlawan Nasional Asal Papua
1. Silas Papare

Silas Papare adalah salah satu Pahlawan Nasional asal Papua yang gigih
memperjuangkan pengembalian Papua ke NKRI. Ia lahir di Kampung Ariepi,
Serui, Yapen Waropen pada 18 Desember 1918. Saat masih berusia 9 tahun, ia
masuk ke Sekolah Desa selama 3 tahun dengan bahasa pengantar bahasa
daerah. Ia sempat tak melanjutkan sekolah selama setahun. Tapi kemudian
melanjutkan sekolah dan masuk ke sekolah juru rawat di Serui. Oleh Belanda,
ia sempat dipercaya sebagai tenaga intelejen.

Pada masa pendudukan Sekutu dan Belanda sesudah Perang Dunia ke II, Silas
Papare diangkat menjadi tentara Sekutu dengan pangkat sersan Persteklas.
Namun sejak Sekutu meninggalkan Irian Jaya dan digantikan oleh Belanda,
Silas Papare tidak lagi menjadi tentara dan kembali sebagai tenaga medis.
Akhir tahun 1945, Silas Papare diangkat sebagai Kepala Rumah Sakit Zending
di Serui. Setelah mendengar Indonesia merdeka, ia keluar dari pekerjaannya
dan bergabung bersama pemuda Irian Barat di Batalyon Papua untuk
mengadakan pemberontakan.

Pada tahun 1946, ia mendirikan Partai Kemerdkaan Indonesia Irian (PKII). Ia


kembali ditahan. Silas pun berhasil kabur ke Yogyakarta dan mendirikan
Badan Perjuangan Irian pada Oktober 1949. Cita-cita Silas Papare, yaitu
mengakhiri kekuasaan Belanda di tanah leluhurnya dan mempertahankan
kemerdekaannya. Silas meninggal di Serui dan mendapatkan anugerah
Pahlawan Indonesia pada 14 September 1993.
2. Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1993. Pada
19 Desember 2016, Frans Kaisiepo diabadikan dalam uang kertas rupiah
pecahan Rp 10.000. Frans Kaisiepo juga diabadikan sebagai nama bandara di
Biak, dan nama kapal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL).
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Frans Kaisiepo dikenal
juga sebagai Gubernur Irian Barat pada 1964 hingga 1973. Sejak muda,
Kaisiepo sudah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik
Indonesia di wilayah Papua.

Diceritakan tiga hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia,


Frans Kaisiepo dan beberapa rekannya mendengarkan lagu Indonesia Raya di
Kampung Harapan Jayapura pada 14 Agustus 1945. Lalu pada 31 Agustus
1945, Kaisiepo dan rekan-rekan perjuangan melaksanakan upacara
pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia. Pada 10 Juli 1946, ia membentuk Partai Indonesia Merdeka. Di
bulan yang sama, ia juga mengikuti Konferensi Malino di Sulawesi Selatan
sebagai salah satu delegasi Indonesia.

Pada konferensi Malino, Frans Kaisiepo mengusulkan nama Irian sebagai


pengganti nama Papua.Irian berasal dari bahasa Biak yang berati semangat
persatuan masyarakat agar tidak mudah takluk di tangan Belanda. Ia juga
menolak atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timu Ia pernah
dijebloskan ke penjara oleh Belanda dan ditahan sebagi tahana politik mulai
1954 hingga 1961. Frans Kaisiepo meninggal pada 10 April 1979. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.
3. Marthen Indey

Marthen Indey ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada September 1993.


Namanya dijadikan sebagai nama rumah sakit tentara di Jayapura, Marthen
lahir di Doromena, Papua pada 16 Maret 1912 dengan nama Soroway Indey.
Setelah dibaptis, ia menggunakan nama Marthen. Marthen Indey banyak
dipengaruhi oleh Johanes Bremer, seorang misionaris Ambon yang dikirim
Belanda untuk menyebarkan agama Kristen di New Guinea. Pada 1926, Indey
berhasil menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan sekolah Angkatan Laut
di Makassar, yaitu Kweekschool voor Indische Schepelingen. Ia pun lulus dari
sekolah tersebut pada 1932.

Setelah menjalankan tugas pelayaran pertamanya, Indey memutuskan


meninggalkan karier angkatan lautnya dan menjadi perwira polisi. Pada 1934,
ia pun mendaftar di akademi polisi di Sukabumi, Jawa Barat dan
menyelesaikan pelatihannya pada tahun 1935. Ia sempat telibat
pemberontakan saat membebaskan Soegoro dari penjara Hollandia.

Kematian salah satu anak buahnya membuat Marthen Indey marah kepada
Belanda. Ia pernah dikirim ke New York untuk berpartisipasi dalam negosiasi
yang menghasilkan Perjanjian New York, yakni Irian Jaya bergabung ke
Indonesia. Marthen Indey meninggal di Jayapura pada 17 Juli 1086.
4. Machmud Singgeri Rumagesan

Machmud Singgeri Rumagesan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada


tahun 2020. Ia lahir di Kokas pada 27 Desember 1885 dan menjadi raja muda
diusia 21 tahun. Dua tahun kemudian, ia menjabat sebagai Raja Sekar di
Fakfak, dengan gelar Raja Al Alam Ugar Sekar (Raja yang lahir dan tumbuh
tanpa pengaruh dan kuasa dari kerjaan lain) Ia bersama Raja Rumbati,
Ibrahim Bauw, menyerukan perlawanan dengan jihad fisabilillah menentang
penjajahan. Di Sorong, Machmud Singgirei Rumagesan merencanakan
pemberontakan dengan bekal 40 pucuk senjata Heiho, pasukan bangsa
Indonesia yang dibentuk Jepang. Namun, rencananya tersebut gagal. Ia
dimasukkan ke sel isolasi selama enam bulan. Bahkan, Machmud Singgirei
Rumagesan hampir dihukum mati dengan cara ditembak pada 2 Mei 1949.
Namun setelah desakan dari berbagai pihak, hukuman mati diubah menjadi
hukuman seumur hidup pada 5 Desember 1949. Selama dipenjara, ia telah
berpindah dari satu penjara ke penjara lain, seperti Saparua, Sorong-Doom,
Manokwari, Hollandia hingga diasingkan ke Makassar.

Salah satu perlawanan yang dilakukan adalah saat Machmud Singgirei


Rumagesan memimpin Gerakan Tjendrawasih Revolusioner Irian Barat pada
1953 setelah ia dibebaskan dari penjara. Gerakan yang ia pimpin ini bertujuan
untuk membantu Pemerintah Republik Indonesia merebut dan
memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari kolonial Belanda. Perjuangan
Machmud berbuah manis. Pada 24 Desember 1949, Irian Barat dinyatakan
merdeka dari Belanda setelah diputuskan di Konferensi Meja Bundar (KMB).
Saat ikut Kongres Nasional untuk perdamaian di Jakarta, Machmud
menyerukan agar Irian harus kembali ke Indonesia.
5. Johanes Abraham Dimara

Johanes Abraham Dimara ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 8


November 2010. Ia lahir di Korem, Biak Utara, Papua pada 16 April 1916
dengan nama Arabel. Saat ia berusia 13 tahun, Dimara diangkat sebagai anak
oleh Elias Mahubesi, anggota polisi Ambon. Ia kemudian melanjutkan
pendidikan setingkat SD pada tahun 1930 dan melanjutkan sekolah pertanian
di Laha. Ia lalu sekolah agama (Injil) dari tahun 1935 hingga 1940. Sebagai
seorang lulusan agama, Dimara bekerja sebagai guru Injil di Kecamatan
Leksuka, Pulau Buru.

Tahun 1946, Dimara ikut serta dalam pengibaran bendera merah putih di
Namlea, Pulau Buru. Ia juga turut memperjuangkan pengembalian wilayah
Irian Barat ke tangan Republik Indonesia.

Pada tahun 1054, Dimara yang menjadi anggota TNI dan menjabat sebagai
Ketua Organisasi Pembebasan Irian Barat ditangkap oleh tentara Kerajaan
Belanda. Ia dibuang ke Digul dan dibebaskan pada tahun 1960. Johannes
Abraham Dimara meninggal di usia 84 tahun, 20 Oktober 2000 di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai