DI SUSUN OLEH :
MAHARAT HIPZAN
NIM ( S2221002)
Tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi merupakan salah satu sistem otoritas yang telah ada
dan telah terfregmentasi secara politik. Pada masa pasca kemerdekaan, sistem politik indonesia
belum stabil. Masa transisi dari zaman kolonial ke pasca kolonial banyak sekali diletmatika
terjadi dalam menentukan posisi birokrat di tengah perpolitikan indonesia yang begitu runcing,
sering bergantinya kabinet membawa konsekuensi hanya dalam hitungan bulan. Banyak terjadi
konflik akibat kepentingan masing masing dari beberapa pihak saat itu, Apalagi kekuatan militer
pada saat itu sama kuatnya dengan partai politik. Beberapa kebijakan program dan misi birokrat
pada saat itu sering tidak terselesaikan karena terjadi pemberhentian program dan kebijakan oleh
menteri baru dari pihak partai lain yang menduduki kekuasaan parlemen. Dalam struktur
birokrasi, kursi kursi kekuasaan harus diisi oleh kader kader yang mendukung partai yang
berkuasa pada saat itu. Birokasi pada saat itu mengalami politisasi dan membuat birokrasi seakan
akan hanya sebagai instrumen sebuah politik. Mendiang guru Ilmu Administrasi Publik
Universitas Gajah Mada (UGM) Agus Dwiyanto pernah mengatakan, permasalahan yang di
alami pada awal kemerdekaan yaitu dilematis birokrasi pada tahun 1945 – 1950. Permasalahan
dilematis terkait ialah, mereka bingung harus menempatkan birokrat yang dianggap setia pada
negara namun memiliki keterbatasan keahlian, atau menempatkan birokrat yang dianggap
berhianat pada negara tapi memiliki keahlian yang mumpuni. Orang orang yang dianggap
berhianat ini merupakan orang orang aristokrat yang masih belum mengakui sepenuhnya
kemerdekaan dan kebebasan indonesia dari masa kolonialisme, mereka adalah hasil didikan
orang orang kolonialisme pada saat itu. Dualitas identitas birokasi pada saat itu ialah birokrat
loyal dan penghianat, birokrat penghianat inilah yang melakukan penghakiman semena mena,
sedangkan tugas birokrat ialah menjalankan tugas dari pimipinan sah ketika kemerdekaan.
Permasalahan tersebut terus berlanjut hingga pada saat politik indonesia tidak stabil (1950 –
1955), dimana terjadi pertarungan pemilihan identitas oleh kelompok elit kecil masyarakat antar
partai politik.
Banyak konflik internal terjadi di tubuh birokrasi, dimana partai pada saat itu yang berjumlah
15 ingin menguasai kursi kekuasaan,dengan terbaginya ideologi masing masing partai yaitu
nasionalis, agamis, dan sosialis, semua memperebutkan kekuasaan dengan ideologi mereka
masing masing, terjadi perpecahan pada tiap anggota birokrasi dengan mengatakan siapa
mendukung partai apa, berideologi apa dan mempunyai kepentingan apa. Hingga terjadi lagi
dualitas identitas pada birokasi, namun pada kasus kali ini, tidak hanya pada negara, tetapi juga
menyangkut pada tiap partai yang ada. Dilakukanya tindakan dalam mendukung politik individu
maupun kelompok, fokusnya tidak lagi pada fungsi dan tujuan birokrasi sebenarnya. Hingga
pada puncaknya terjadi pemberontakan salah satu partai, yaitu PKI ( partai komunis indonesia )
atau sekarang di kenal dengan G30S PKI pada tahun 1965. Mereka melakukan kekejaman dan
berniat melakukan kudeta pada pemerintahan hingga menyebabkan 7 pahlawan revolusi tewas.
Hingga pemerintah pada zaman orde baru memiliki niat untuk menuntaskan kejahatan kejahatan
yang dilakukan PKI yang di tuding telah melakukan tindakan keklacauan dan tidak manusiawi
pada beberapa pahlawan negara. Konsekuensinya pada birokrasi adalah terjadinya diskriminasi
pada anggota birokrat yang di anggap sebagai salah satu partisipan PKI yang tersisa, mereka
disingkirkan dari tubuh birokrasi bahkan dengan cara kekerasan.
Birokrasi saat orde lama ditandai dengan adanya perubahan yang sangat signifikan pada
sistem perpolitikan indonesia. Sempat terjadi perubahan pada negara dimana yang awalnya ialah
negara kesatuan berdasarkan UUD 1945 dirubah menjadi negara federal atau serikat berdasarkan
konstitusi RIS pada tahun 1950. Pemerintah pernah menggunakan sistem parlemen atau
multipartai yang mengakibatkan adanya pergantian kabinet kabinet dengan tempo yang sangat
cepat. Namun sayangya pada masa pemerintahan berdasar pada sistem parlemen, keadaan
birokrasi indonesia saat itu menjadi cacat, tidak profesional dan tidak berjalan bagaimana
mestinya, diakibatkan adanya pergantian kekuasaan dengan dangat cepat karena partai politik
yang menguasai birokrasi.
2. BIROKRASI PADA ERA ORDE BARU
Berbeda dengan masa orde lama, di masa orde baru inilah puncak dari kekacauan pada
birokrasi, dimana pemerintahan pada zaman ini menerapkan sistem sentralisme birokrasi, pada
zaman ini birokrasi terjebak pada sistem pengembang kultur organisasi yang bersifat vertikal-
paternalistik. Kepercayaan masyarakat pada birokrasi saat itu malahan menurun akibat pelayanan
yang buruk terhadap masyarakat. Kasus ini bisa dilihat pada praktik birokrasi mendapat nilai
merah. Berdasarkan survey dari The World Competitivenes YearBook (1999), birokrasi
indonesia pada saat itu berada di urutan paling bawah bersama dengan negara negara yang
birokrasinya juga di bawah. Namun dibalik itu semua, ada beberapa kenikatan identitas birokrasi
pada zaman orde lama yang perlu kita bahas.
Kemantapan birokrasi ditandai dengan dibentuknya birokrasi secara hierarki dari
pemerintah pusat hingga rukun tetangga untuk menyampaikan tugas yang harus dijalankan dari
pemerintah paling tinggi. Dwiyanto pun pernah menyebutkan, bahwa politik praktis
mendapatkan kewenangan untuk menjalankan dan mengatur negara bersama dengan militer. Saat
itu pun birokrasi pemerintahan menjadi salah satu dari 3 pilar kekuasaan selain militer dan partai
golkar. Birokrasi saat itu menjadi salah satu alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Pada masa orde baru, pegawai saat itu sangat dimanjakan dengan adanya uang penisuan
dan jaminan hari tua bagi pegawai negeri. Hal ini merupakan sebuah bukti perdulinya negara
kepada para pegawai birokratnya. Program ini bahkan sudah dibuat pada masa awal orde baru
dan telah diformalkan dengan UU No. 19 tahun 1969. Saat itu pekerjaan ini merupakan
pekerjaan terpandang dimata masyarakat, hingga menjadi cita cita bagi setiap sosial. Tidak
mengherankan pada saat ini, jumlah staff dan pegawai negeri berjumlah sangat banyak, pada
tahun 1980, jumlah staff dan anggota yaitu berjumlah 2.074.000. sedangkan pada tahun 1993,
jumlah staff dan anggota bejumlah 4.009.000. yang mana sebelumnya hanya berjumlah 400.000
orang.
Namun sayangnya perekrutan anggota anggota birokrasi pada saat itu tanpa di dahului
seleksi kepentingan kebutuhan dan profesionalitas, anggota saat itu tidak lain dipilih hanya untuk
kepentingan partai politik semata untuk menguasai kedudukan. Kesetiaan birokrat saat itu
ditujukan pada pemerintah dan negara. Politik penyeragaman juga mulai diberlakukan di
birokrasi pemerintahan. Politik penyeragaman yang awalnya ditujukan untuk partai golkar,
menyebabkan kesamaan pada birokrat.
Birokrat pada masa itu hanya mementingkan diri sendiri, mereka hanya fokus pada diri
mereka yang akan mendapat jaminan oleh negara karena merupakan pegawai negara,
penyebabnya ialah pada saat itu, ketika ada birokrat tunggal dan tidak mendukung partai golkar,
mereka akan dihakimi, dianggap sebagai pembangkang dan hukumannya adalah pemecatan bagi
birokrat. Seolah birokrat pada saat itu merupakan pekerjaan yang sangat terjamin dan merupakan
pilihan terbaik, asalkan mematuhi apa yang diperintahkan mereka akan aman bahkan menikmati
identitas mereka meskipun kesannya terlihat dijajah. Sikap anggota birokrat pada saat itu sangat
dijaga ketat dan dikendalikan lewat aturan tertib. Aturan ini mulai didengungkan sejak tahun
1980, melalui peraturan pemerintah No 30 Tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negeri
sipil.
Anggota birokrat mulai diatur dengan formal terhadap berbagai sanksi. Salah satu
semboyan di kemukakan pada para pegawai negeri yaitu “Birokrat akan berkinerja jika dirinya
disiplin”. Dengan kata lain jika mereka tidak berkinerja dengan baik jika mereka tidak
berdisiplin. Beberapa poin pada aturan dan kebijakan ini, bisa diartikan bahwa sikap ini dapat
menguatkan identitas birokrat bahwa birokrat yang patuh merupakan birokrat yang loyal dan
patuh pada negara, bahkan dengan poin ini, para birokrtat dituntut harus setia dan mengutamakan
kepentingan negara di banding kepentingan individu atau kelompok.
Gerakan disiplin nasional (GDN) merupakan gerakan yang dibentuk pada hari
kebangkitan nasional Tahun 1995 ini, merupakah tahan lanjutan dari sikap disiplin tersebut,
organisasi ini di bentuk dan di masukkan ke dalam krida kedua dari Panca Krida Kabinet
Pembangunan VI yang bunyinya : “meningkatkan disiplin nasional yang dipelopori oleh aparatur
negara menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam memberikan
pelayanan kepada masyrakat.
Kepatuhan dan loyalitas menjadi identitas birokrat pemerintahan indonesia mendorong
sikap otokritik pada parlemen dalam tubuh birokrasi dalam bekerja pada saat itu, mereka
melakukan tugas dan tindakan hanya berdasar pada keputusan pimpinan tertinggi melalui Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Keterkaitannya adalah birokrasi kembali pada konsep
patron-klien seperti masa foedalisme, yakni bawahan bekerja hanya untuk menyenangkan atasan.
Posisi birokrasi ditengah masyarakat saat itu telah mengontrol masyarakat dengan dalih
demi stabilitas sosial, namun faktanya berbalik, masyarakat susah beenapas dan terkekang oleh
kebijakan yang dibuat birokrasi karena kuatnya dukungan militer dan partai.
3. DILEMA BIROKRASI ERA REFORMASI
Pada masa awal reformasi banyak masyarakat mengharapkan birokrasi dapat berevolusi
menjadi lembaga yang dapat melayani publik dengan baik dam dapat bekerja dengan
profesional. Masyarakat pada era sebelumnya tidak dapat berbuat apa apa menyangkut birokrasi,
kini menjadi lebih berani dan terbuka dalam menyuarakan suatu pendapat, beberapa media pun
ikut terbit, media mulai bermnunculan di era awal reformasi ini, para jurnalis kini mendapat
angin segar yang mana sebelumnya banyak sekali media yang terpaksa di bungkam dan hening
karena tidak adanya kebebasan dalam menyuarakan berita berita soal sistem parlemen pada saat
itu.
Pemerintah pada saat itu terlihat mulai merombak beberapa sistem yang ada sebelumnya,
mereka mulai memikirkan tuntutan dari rakyat, salah satunya ialah merombak sistem anggaran
yang awalnya pengeluaran menyesuaikan dengan pemasukan atau berbasis berimbang, kini
diubah menjadi berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja ini dimaksudkan pengeluaran harus
berdasarkan perencanaan kinerja, bisa diisyaratkan bahwa birokrasi mulai mendahulukan
kepentingan sosial. Namun sayangnya program di awal era reformasi tersebut tidak bisa
diwujudkan dengan mudah, pasalnya, banyaknyakeluhan masyarakat menjadi salah satu alasan
kandasnya program ini,
Pendisiplinan perilaku pada era orde baru masih melekat pada anggota tubuh birokrat dan
masih belum sepenuhnya hilang dari identitas mereka meskipun berbagai tuntutan dan keluhan
dari masyarakat, mereka cenderung masih menggunakan sistem sentralisasi vertikal yaitu patuh
dan tunduk pada perintah atasan, mereka lebih memilih menatap ke atas di bandingkan
mendengarkan keluhan dari bawah, takut salah dan menghormati atasan secara berlebihan masih
terlihat terang di sikap para birokrat. Namun ada beberapa birokrat yang sadar akan posisinya
sebagai pelayan masyarakat, dan mulai memikirkan cara maupun solusi di tengah banyaknya
tuntutan dan keluhan yang terjadi di tengah masyarakat
Identitas birokrat pada awal reformasi masih terbagi loyal – penghianat, patuh
pembangkang dan juga aktif – pasif. Mereka terkadang masih berpikir bahwa dia tidak
merasakan apa yang dkerjakannya. Walaupun pada saat itu, telah ada transparasi terhadap kinerja
birokrasi, mereka masih tetap tunduk dan hanya beritndak berdasarkan perintah atasan, bahkan
sering terjadi kebingungan dan dilema ketika tuntutan dari masyarakat dan atasan datang secara
bersamaan.
4. MILITER PADA ERA ORDE LAMA
Militer merupakan suatu organisasi atau lembaga yang harus ada di tiap negara, mengingat
tiap negara mempunyai pertahannan masing masing, indonesia juga perlu akan hal itu, sehingga
menjadi bagian dari usaha untuk mempertahankan kedamaian negara. Lahirnya militer di
indonesia di tandai dengan kemerdekaan indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebagaimana
layaknya militer berdiri, militer indonesia berdiri sendiri tanpa ada campur tangan dari
pemerintahan maupun partai politik, mereka melemngkapi persenjataan dan mengorganisir
dirinya sendiri. Hal ini terjadi akibat adanya sikap enggan dari pemerintah sipil waktu itu untuk
membentuk tentara, karena adanya keinginan dan partisipasi yang kuat dari pemuda pemuda
indonesia dan para petinggi yang ingin berusaha untuk menciptakan kedamaian dan pertahanan
negara yang baru saja di prok;amirkan. Pada awal pembentukan, para pemimpin non profesional
jepang beranggapan bahwa keterlibatan militer dalam perpolitikan tidak menjadi masalah yang
besar, mereka berpendapat bahwa tidak maslah jika militer ingin mencolek beberapa
perpolitikan. Namun hal tersebut bertolak belakakang dengan pemuda pemuda yang merupakan
lulusan akademis belanda mendoktrin bahwa tentara harus bersikap netral atau tidak memihak
terhadap politik.
Pada peristiwa 17 Oktober 1952, bisa dibilang merupakan keterlibatan pertama dan
terkakhir militer campur tangan ulang tentara dalam perpolitikan indonesia, pada saat itu terjadi
aksi demonstrasi yang sangat besar terhadap parlemen dengan aksi massa sejumlah 7.000 orang.
Diakibatkan oleh mosi Manai Shopiaan, sekretaris jendral PNI yang di anggap telah
mencapuri urusan kemiliteran. Akibat dari permasalahan ini, Kolonel Bambang Supeno akhirnya
dipecat dari posisinya. Dengan adanya campur tangan orang non militer atau sipil kedalam
kemiliteran, dianggap merusak citra diri korps militer, dan bisa berindikasi terjadinya kudeta
karena ketidakpuasan tersebut, akhirnya peristiwa ini pun gagal terjadi karen tidak pernah di
setujui oleh presiden Soekarno, dan peristiwa ini terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi
militer untuk kembali ke ranah politik.
5. MILITER ERA ORDE BARU
Saat era orde baru, ABRI merupakan pertahanan terkuat yang dimiliki Presiden Soeharto,
Soeharto menempatkan personil personil ABRI di bagian bagian vital melalui doktrin dwifungsi
ABRI. Tujuannya agar militer dapat menguasai dinamika pemerintahan orde baru.
Karena besarnya peran militer dalam mmerebut kemerdekaan negara, mereka merasa
bahwa mereka berhak berpartisipasi dalam perpolitikan. Konsep dwifungsi ABRI yang di
gagaskan oleh A.H. Nasution pada dasarna militer hanya sebagai penjaga kestabilan negara,
namun pada masa orde baru, militer di ikutsertakan dalam usaha untuk mengontrol serta
dinamisator negara. Namun terjadi dominasi angkatan darat pada dwifungsi ABRI baik dalam
maupun luar. Biasanya, dwifungsi abri dikuasai oleh angkatan darat karena beberapa faktor,
yaitu Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berasal dari AD, jumlah personil AD
paling dominan, kesiapan diri, serta mempunyai komando teritorial yang luas, kejadian ini
menyebabkan konflik konflik internal dalam ABRI, namun ada yang memandangnya sebagai
ketidak adilan.
https://birokratmenulis.org/mengukir-wajah-birokrat-indonesia-bagian-2-identitas-
birokrat-di-era-orde-lama-dan-orde-baru/
M. Rizal Expert Writer Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu
Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada
https://id.scribd.com/doc/284157178/Relasi-Antara-Militer-Dan-Politik-Di-Masa-Orde-
Lama
http://library.fis.uny.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=896
https://gemapembaharuan.com/2020/07/04/sejarah-politik-era-pemerintahan-orde-lama-
dan-orde-baru/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/01/151016869/kondisi-politik-masa-orde-
baru?page=all
Buku Indonesia Beyond Soeharto karya Donald K. Emerson yaitu Negara, Ekonomi,
Masyarakat dan Transisi (2001)
https://gemapembaharuan.com/2020/07/04/perkembangan-politik-pemerintahan-di-masa-
reformasi/
https://www.balairungpress.com/2018/11/dwifungsi-dan-transformasi-bisnis-militer-
pasca-reformasi/