Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian

Definisi Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan
kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai
banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes Mellitus
ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu
meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik
(Anonim, 2000).

Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang sebagai suatu penyebab
utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini akan merupakan beban yang besar bagi
pelayanan kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui komplikasi-komplikasinya. Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang 7 terjadi kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban
yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ
dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006).

B. Gejala Diabetes

Mellitus Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam
hari dan berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks
menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas 4
kg (Anonim, 2000). Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang
bertalian. Diabetes mellitus terutama NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), bisa tanpa
gejala, sehingga sering didiagnosis berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin atau
uji glukosa dalam urin. 8 Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko yang berubah
secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya
obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini
berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2
(Gustaviani, 2006).

C. Klasifikasi Diabetes Mellitus

1) Diabetes Mellitus mencakup 3 sub kelompok diagnostik, yaitu :

a) Diabetes Mellitus tipe I (Insulin dependent) : DM jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak
dan dewasa muda, namun demikian dapat juga ditemukan pada setiap umur. Destruksi sel-sel
pembuat insulin melalui mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya hampir seluruh insulin
endogen. Pemberian insulin eksogen terutama tidak hanya untuk menurunkan kadar glukosa
plasma melainkan juga untuk menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan mempertahankan
kehidupan.

b) Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent) : DM jenis ini biasanya timbul pada umur lebih
40 tahun. Kebanyakan pasien DM jenis ini bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja insulin
dapat ditemukan pada banyak kasus. Produksi insulin biasanya 9 memadai untuk mencegah
KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat. Insulin eksogen dapat digunakan untuk
mengobati hiperglikemia yang membandel pada para pasien jenis ini.

c) Diabetes Mellitus lain (sekunder) : Pada DM jenis ini hiperglikemia berkaitan dengan penyebab
lain yang jelas, meliputi penyakit-penyakit pankreas, pankreatektomi, sindroma cushing,
acromegaly dan sejumlah kelainan genetik yang tak lazim.

2) Toleransi Glukosa yang terganggu merupakan klasifikasi yang cocok untuk para penderita yang
mempunyai kadar glukosa plasma yang abnormal namun tidak memenuhi kriteria diagnostik.

3) Diabetes Mellitus Gestasional : istilah ini dipakai terhadap pasien yang menderita hiperglikemia
selama kehamilan. Ini meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena
dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Suyono, 2006). Pada pasien-
pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah persalinan (Anonim, 1995).

D. Komplikasi Diabetes Mellitus

1) Komplikasi Akut

a) Hipoglikemia

Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar glukosa darah
turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral
yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena 10 aktivitas fisik yang
berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Hipoglikemia
merupakan komplikasikomplikasi yang tersering dan paling serius pada terapi insulin.
Keparahan dan lamanya hipoglikemia bisa diperkirakan dari dosis, aktivitas puncak dan lama
aksi jenis insulin yang diberikan secara S.C (Anonim, 1995).

1) Hipoglikemia ringan Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi,
tremor, takikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.

2) Hipoglikemia Sedang Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi
pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,
confuse, penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak
terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda, dan
perasaan ingin pingsan.

3) Hipoglikemia Berat Fungsi sitem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat
sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain 11 untuk mengatasi Hipoglikemia yang
dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang,
sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan kesadaran.

b) Diabetes Ketoasidosis

KAD timbul sebagai akibat insufisiensi insulin yang berat (biasanya dengan bertambah
buruknya kebutuhan dasar) dank arena adanya kelebihan hormone yang pengaruhnya
berlawanan dengan insulin (misalnya glucagon). Predisposisi KAD merupakan ciri khas pada
DM tipe 1 dan dapat merupakan gejala yang mendorong pasien konsultasi ke dokter.
Meskipun demikian KAD dapat terjadi pada setiap pasien DM yang mengalami stress cukup
berat. Bila pasien di diagnosis KAD maka perlu dicari penjelasannya, misalnya penghentian
terapi insulin, terkena stress yang menaikkan dasar insulin. Terapi KAD hendaknya mencakup
juga:

1. Pemulihan cairan tubuh, dengan pengelolaan elektrolit yang tepat

2. Penormalan kembali asidosis dan ketosis yang parah, dan

3. Pengedalian glukosa plasma. KAD sering timbul denagan didahului oleh penurunan berat
badan, poliuria dan polidipsia. Gejalanya meliputi muntah-muntah dan nyeri perut yang
khas samar-samar dan tanpa menunjukkan tempatnya (Anonim, 1995).

c) Sindrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK) Sindrom ini timbul terutama pada
pasien dengan DM tipe 2 atau jenis lain. Pada pasien dengan sindroma ini maka hiperglikemia
berat dan dehidrasi dapat timbul tanpa disertai ketoasidosis. SHHNK dpat terjadi sebagai
gejala sisa terhadap stress berat dan dapat terjadi setelah “stroke” atau pemasukan hidrat
arang yang berlebihan. Patogenesis SHHNK biasanya meliputi gangguan ekskresi glukosa oleh
ginjal jadi pada umumnya didahulukan oleh insufisiensi ginjal azotemia prerenal. Karena
kebutuhan insulin dasar tidak terganggu maka tidak terjadi produksi keton yang berlebihan
(Anonim, 1995).

2) Komplikasi Kronik

Komplikasi kronik dari diabetes melitus dapat menyerang semua sistem organ tubuh. Kategori
komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit makrovaskuler,
mikrovaskuler, dan neurologis.

a) Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes.
Perubahan aterosklerotik ini serupa degan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal
bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi
yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat
terjadi tergantung pada lokasi lesi aterosklerotik. 13 Aterosklerotik yang terjadi pada
pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner.
Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan
stroke infark dengan jenis TIA (Transient Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang
terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif
arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer.
b) Komplikasi Mikrovaskeler
(1) Retinopati Diabetik Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah
kecil pada retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari
berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler.
(2) Nefropati Diabetik Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal
akan mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin.
Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan
tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.
(3) Neuropati Diabetikum Neuropati adalah komplikasi kronik yang paling umum pada
diabetes mellitus lanjut usia. Mekanisme yang mendasari 14 perkembangan neuropati
adalah hiperglikemia yang disebabkan metabolik yang jalur polyol dari saraf tepi
(Prabhu, 2009)
e. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus
1) Terapi Non Farmakologi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan
bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :
menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar
glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas resseptor insulin, memperbaiki
system koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
1) Kadar glukosa darah mendekati normal,
 Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
 Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl (3) Kadar Hb AlC < 7%
2) Tekanan darah < 130/80 mmHg 3) Profil lipid
 Kolesterol LDL < 100 mg/dl (
 Kolesterol HDL > 40 mg/dl 15
 Trigliserida < 150 mg/dl
 Berat badan senormal mungkin Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini
lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola
kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik,
dan faktor usia (Soebardi, 2006).
2) Terapi Farmakologi
a) Terapi dengan Insulin Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda
dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi kombinasi
yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal
dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun
aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa,
prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat
menjadi masalah bagi penderita diabetes pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk
menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed
atau predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar
individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin
dan frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes melitus
memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan insulin kerja singkat
untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan
insulin kerja sedang (Anonim, 2000).
b) Obat Antidiabetik Oral
1. Sulfonilurea
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD generasi kedua yaitu glipizid dan
gliburid sebab resorbsi lebih cepat, karena adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga
resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi dan hipoglikemia lebih
rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah. Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya
tidak aktif sedangkan 18 metabolit gliburid bersifat aktif (Djokomoeljanto, 1999). Glipizide dan
gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek atau metabolit tidak aktif yang
lebih sesuai digunakan pada pasien diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain
merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga memiliki tambahan efek
ekstrapankreatik (Chau dan Edelman, 2001).
2. Golongan Biguanid Metformin
pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika digunakan tanpa obat lain,
namun harus digunakan secara hati-hati pada pasien lanjut usia karena dapat menyebabkan
anorexia dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia harus memeriksakan kreatinin
terlebih dahulu. Serum kretinin yang rendah disebakan karena massa otot yang rendah pada
orangtua. Metformin tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin.
3. Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase, suatu enzim pada lapisan sel
usus, yang mempengaruhi digesti sukrosa dan karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi
absorb karbohidrat dan menghasilkan penurunan peningkatan glukosa postprandial
(Soegondo, 1995). Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan obat yang lain, obat
tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut usia yang mengalami diabetes 19 ringan.
Efek samping gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi mereka
yang menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada dosis tinggi, tetapi hal tersebut
tidak menjadi masalah klinis (Chau dan Edelman, 2001).
4. Thiazolidinediones
Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat meningkatkan efek
insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha reseptor. Rosiglitazone telah terbukti aman dan
efektif untuk pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia. Namun, harus dihindari
pada pasien dengan gagal jantung. Thiazolidinediones adalah obat yang relatif mahal tetapi
obat tersebut sangat berguna bagi pasien lanjut usia (Chau dan Edelman, 2001).  

Anda mungkin juga menyukai