Anda di halaman 1dari 6

KONSEP DOMESTIC VIOLENCE DALAM WACANA FEMINISME

Oleh: Syamila Karunia


Program Kaderisasi Ulama XIV, Unida Gontor
E-mail: Syamilakarunia1808@gmail.com

Berdasarkan laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Komnasper), dalam dua


tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan.1 Diantara kekerasan tersebut Komnas Perempuan mengklasifikasikannya kedalam
tiga ranah yaitu ranah publik, domestik/privat dan negara. Sebanyak 73,9% dari ketiganya
adalah kekerasan yang terjadi di ranah domestik/privat. Komnasper menjelaskan kekerasan
domestik/privat sebagai kekerasan yang terjadi dalam berbagai bentuk selain kekerasan yang
ada dalam rumah tangga semata.2 Hal itu selaras dengan maksud intimate partner violence3
yang dijelaskan oleh organisasi internasional seperti WHO, Unicef, Cedaw, DCAF, dll.
Dari definisi di atas, setidaknya ada dua problem yang menjadi alasan mendasar
mengapa mengkaji konsep domestic violence menjadi penting. Pertama, karena telah terjadi
semacam perluasan makna pada istilah domestic4 violence5 menjadi intimate partner violence
yang berimbas pada domestivikasi dan normalisasi relasi di luar pernikahan, mengakibatkan
kerusakan urgensi keluarga dalam tatanan masyarakat. Kedua, kerancuan penentuan hukum
pelaku kekerasan, menyebabkan bias nilai baik buruk atau rusaknya objektifitas moral
masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran norma sosial agama.
Jika dilacak secara historis filosofis, problem tersebut berakar pada geneologi ide-ide
feminis radikal yang dewasa ini turut serta memengaruhi pola pikir masyarakat. Disebabkan
karena feminis radikal adalah aliran feminis yang menginginkan pembenahan sistem
ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan baik dalam tataran struktural ataupun kultural 6
yang kemudian menjelma dalam berbagaimacam bentuk konsep termasuk domestic violence.
Maka dalam makalah ini akan dikaji tiga hal, yaitu (1) pandangan feminis terhadap domestic
violence berkaitan dengan ruang lingkup domestic violence—bentuk-bentuk, pola perilaku,
penyebab dan akibat kekerasan domestik—, (2) melacak serta memaparkan geneologi
feminisme pada konsep domestic violence, (3) menjelaskan konsep-konsep kunci dalam
keluarga dalam perspektif Islam sebagai counternya.

Domestic Violence Tinjauan Etimologi dan Terminologi


Istilah Domestic Violence terdiri dari dua suku kata yaitu ‘domestic’ (connected with
the home or family)7 yaitu segala sesuatu yang memiliki kaitan erat dengan rumah atau
keluarga, dan ‘violence’ (hurt or kill somebody)8 menyakiti atau membunuh seseorang. Maka
jika kedua kata tersebut digabungkan, akan muncul satu definisi yaitu “kekerasan yang terjadi
1
Rentang tahun 2018-2019 jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 6% semula
406.178 kasus menjadi 431.471 kasus. Lihat Catahu (Catatan Tahunan) Kekerasan Terhadap Perempuan tahun
2019 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, hal. 1.
2
Lihat Catahu Komnasper 2019, hal. 28-29.
3
Intimate Partner Violence is One of the most common forms of violence against women and includes
physical, sexual, and emotional abuse and controlling behaviours by an intimate partner” lihat Intimate Partner
Violence, Global and Regional Estimates of Violence Against Women World Health Organization (WHO), hal.
1, atau lihat Crowell & Burgess, 1996, atau lihat Freda Adler, Gerhard OW Mueller dan William S. Laufer
(1991). Criminology New York: McGraw-Hill, Inc, hal. 235.
4
connected with the home or family, Lihat dalam Oxfordlearnersdictionary.com
5
hurt or kill somebody Lihat dalam Oxfordlearnersdictionary.com
6
Rosmarie Putnam Tong (2010), Feminist Thought, Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta,
Jalasutra), hal. 67-138.
7
Domestic Oxfordlearnersdictionary.com
8
Ibid.
dalam ranah keluarga”. Secara terminologi banyak pihak 9 yang turut serta mendefinisikan
domestic violence. Komnas Perempuan mendefinisikan domestik violence sebagai tindak
kekerasan yang terjadi dalam berbagai bentuk selain kekerasan yang ada dalam rumah tangga
semata. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut diantaranya adalah kekerasan terhadap istri (KTI),
kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak perempuan berdasarkan usia anak
(KTAP), kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar, kekerasan yang
terjadi pada pekerja rumah tangga, dan ranah personal lainnya 10. Kemudian definisi serupa
dikemukakan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), Unicef, DCAF, dan Cedaw.
Domestic violence or Intimate partner violece is one of the most common forms of
violence against women and includes physical, sexual, and emotional abuse and
controlling behaviours by an intimate partner”.11
“a pattern of assaultive and/ or coercive behaviors, including physical, sexual, and
psychological attacks, as well as economic coercion, that adults or adolescents use
against their intimate partners.”12
The U.S. Department of Justice defines domestic violence as “A pattern of abusive
behavior in any relationship that is used by one partner to gain or maintain power
and control over another intimate partner.13
Sebagian besar orang menganggap kekerasan dalam rumah tangga hanya mencakup
kekerasan di antara pasangan yang sudah menikah saja, meskipun definisi terbaru
memasukkan pasangan sekarang dan mantan pasangan perkawinan dan kencan. Definisi
terluas termasuk serangan fisik, ancaman, pelecehan emosional, pelecehan verbal, pelecehan,
dan penghinaan oleh pasangan intim saat ini atau sebelumnya.14 Dewasa ini istilah ‘Domestic
Violence’ tidak benar benar dipakai untuk menjelaskan suatu istilah yang merujuk pada
pengertian KDRT, menurut Publikasi dari Center for Social Developement and
Humanitarian Affairs of the United Nations menunjukkan bahwa pada tahun 1989 KDRT
masih disebut Family Violence kemudian bergeser maknanya menjadi kekerasan domestik
atau Domestic Violence yang merujuk pada makna Intimate Parter Violence.15

Ruang Lingkup Domestic Violence


Selain di mata hukum, kekerasan domestik mendapatkan perhatian secara sosiologis.
Secara praktiknya kekerasan domestik merupakan suatu pola perilaku sistematis yang
menunjukan kekuasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan melibatkan
berbagai taktik paksaan berupa pelecehan fisik dan non-fisik.16 Pola perilaku sistematis ini
9
Pihak yang dimaksud disini adalah; WHO, Cedaw, Unicef, DCAF, dan Komnas Perempuan.
10
Catahu Komnasper 2019, hal. 28-29.
11
lihat Intimate Partner Violence, Global and Regional Estimates of Violence Against Women World
Health Organization (WHO), hal. 1
12
Schechter, S., & Edelson, J. (1999). Effective intervention in domestic violence and child
maltreatment cases: Guidelines for policy and practice. Reno, NV: National Council of Juvenile and Family
Court Judges, hal. 122–123.
13
Office of Violence Against Women, U.S. Department of Justice. (2017). Domestic violence
[webpage]. Retrieved from https://www.justice.gov/ovw/ domestic-violence
14
Albert R. Robert, (2002) Handbook of Domestic Violence Intervention Strategies..., (Oxford
University Press) hal. 23.
15
“Intimacy of marital, cohabitional, or parent-child relationship sets family violence apart...” Lihat
Freda Adler, Gerhard OW Mueller dan William S. Laufer (1991). Criminology New York: McGraw-Hill, Inc,
hal. 235.
16
Flood, M., “He hits, she hits: Assessing debates regarding men’s and women’s experience of
domestic violence,” Australian Domestic and Family Violence Clearinghouse seminar, Sydney, (6 December
disebut oleh Domestic Abuse Intervention Project (DAIP) sebagai mekanisme pola Power
and Control17atau ketidakidealan relasi pada suatu hubungan, pola ini mulai dikembangkan
pada awal tahun 1990 yang kemudian digunakan di seluruh dunia untuk memproyeksikan ciri
atau kategori kekerasan yang terjadi di ranah domestik. Pola ini berkaitan dengan motif
kekerasan pelaku yang hendak menunjukan, menegasakan serta mempertahankan dominasi
dan kendali atas pasangan intimnya.18 Dalam ilutrasinya DAIP mengkategorisasikan pola
perilaku Power and Control ke dalam 8 jenis diantaranya adalah Coersion and Threats,
Intimidation, Emotional Abuse, Isolation, Denying and Blaming, Using Children, Male
Privilage, dan Economic Abuse.19 pola perilaku ini terjadi dalam tataran yang kompleks, tidak
hanya pada tingkat individu, melainkan keluarga, komunitas, dan sosial masyarakat.
Domestic Violence dalam Wacana Feminisme
Berawal dari satu hipotesis feminis tentang tidak idealnya relasi laki-laki dan
perempuan. kekerasan di ranah domestik merupakan suatu keniscayaan jika ketimpangan
gender masih eksis dalam suatu hubungan. Ketimpangan gender terjadi ketika masculinity20
mendominasi21 kehidupan daripada feminin22. Maskulin selalu mengandung stereotip yang
disandarkan pada kaum laki-laki dengan sifatnya: independen, otonom, ambisi, agresif,
mampu mengontrol keadaan, dan berorientasi linear progresif. Sedangkan feminin
sebaliknya, istilah itu selalu bersandar pada kaum perempuan yang segala sifatnya merupakan
kebalikan dari maskulin seperti; keterikatan, dependen, berkorban, pengasuh, tidak mampu
mengontrol keadaan, dan orientasinya sirkular. Karena semua sifat itulah yang kemudian
menjadi kendala utama untuk mencapai kesetaraan gender, akibatnya kekerasan dalam ranah
domestik dapat dipastikan akan selalu terjadi. 23 Itulah mengapa feminis radikal menolak
eksistensi institusi keluarga dalam tatanan kehidupan.24 Bukan hanya itu, pengaruh ideologi
marxis pun sangat kental, dengan konsep kapitalnya berhasil mengkonsepsi pikiran
masyarakat tentang manusia utuh dan sempurna adalah ia yang mampu menghasilkan kapital-
kapital sebagai syarat pemenuhan kebutuhan pribadi.25 Laki-laki dengan seluruh
maskulinitasnya mampu produktif menghasilkan materi sedangkan perempuan, karena tugas
domestiknya membuat dirinya kontraproduktif, secara automatis karena itulah kedudukan

2012) hal. 2.
17
Power and Control adalah representasi dari Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan,
hal ini merupakan akar penyebab kekerasan domestik, resiko terjadinya kekerasan selalu terkait dengan sejauh
mana ketidaksejajaran gender diekspresikan, baik di tingkat individu, hubungan keluarga, komunitas, atau
masyarakat. Lihat Nenad Galic Ed., (2016), Practise Guide: Domestic Violence, (Sarajevo, a Centre for Security
Development and the rule of Law (DCAF)), hal. 10.
18
Hal ini dijelaskan pula dalam versi lain seperti dalam tipologi Johnson lihat: Michael P. Johnson,
Conflict and Control: Gender Symmetry and Asymmetry in Domestic Violence, Violence Against Women 12, no.
11 (November 2006), hal. 1003-1018. Atau lihat Catahu 2019 Komnasper, hal 13
19
Nenad Galic Ed., Practise Guide... hal. 10.
20
Lihat dalam Rowen Chapman dan Jonathan Rutherford Ed., (2014) Male Order: Menguak
Maskulinitas, Terj. Fitria Mayasari, (Yogyakarta: Jalasutra) hal. 6-11.
21
Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy mengemukakan bahwa “Patriarchy is indispinsable for
an analysis of gender inequality”, yaitu sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang memosisikan
laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan. Lihat Sylvia
Walby, Theorizing Patriarchy. (Cambridge: 1991) hal. 5.
22
Sigmound De’Beauvoir, (1989), The Second Sex, (New York; Knopf). hal. 455-500.
23
Ratna Megawangi, (2001) Membiarkan Berbeda, (Bandung; Mizan) hal. 111-112.
24
Notes from the Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga
formalisasi untuk menindas perempuan juga dianggap sebagai institusi yang melahirkan kapitalisme. Lihat
dalam Mansour Faqih...(et a.), Membincang Feminisme: Diskursus gender perspektif Islam, (1996, Surabaya;
Risalah Gusti) hal. 224-226.
25
Rosmarie Putnam Tong (2010), Feminist Thought... hal.
perempuan ter-subordinasi. Oleh karena itu untuk pemenuhan haknya, 26 perempuan harus
masuk ke dalam dunia laki-laki bahkan mengadopsi maskulinitas yang ada pada laki-laki agar
mampu bersaing dan kedudukannya setara.
Relasi tidak ideal itu berakibat pada solusi-solusi ekstrim, seperti normalisasi
relasi/hubungan selain institusi keluarga.27 Seperti hubungan sejenis yang ditawarkan Elsa
Diglow (1977) ia berteori bahwa hubungan homoseksual dirasa perlu agar tidak tejadinya
relasi yang saling mendominasi, menurutnya menjadi lesbian adalah hubungan yang paling
baik dan telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. 28 Selain itu
Martha Shelley (1970) berkata bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai
perempuan mandiri.29 Hal ini menuai pro kontra karena akibat yang ditimbulkan lebih luas
lagi, seperti misalnya minus demografi30 yang timbul di negara-negara maju Amerika Serikat,
Finlandia, Korea Selatan, sebagian besar perempuan di negara tersebut memutuskan untuk
tidak memiliki anak seumur hidupnya. Kemudian akibatnya lebih luas lagi, jika relasi selain
pernikahan diafirmasi dalam hukum negara atau norma, hal ini berkaitan dengan hak privat 31
yang menyertainya, hak privat adalah hak yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat oleh
orang lain, maka inilah yang dimaksud dengan pelanggaran-pelanggaran norma/agama—
seperti pelegalan dan perlindungan LGBT, kohabitasi, atau disorientasi seksual—dan
kerancuan dalam hukum. Hukum akan rancu memandang mana yang baik dan benar,
sederhananya kelompok disorientasi seksual akan dilindungi hukum sedangkan yang
‘mengganggu’ dalam hal ini memberantas akan dipenjarakan karena telah dianggap mengusik
ha privat seseorang.
Keluarga dan Peran Domestik dalam Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa melalui definisi domestic
violence, telah dileburkan maknanya pada makna lain yaitu intimate partner violence.
Akibatnya keberadaan keluarga tidak dianggap penting dalam struktur masyarakat,
komponen-komponen keluarga direduksi. Seperti contohnya qawwam/kepala keluarga oleh
kaum feminis dianggap negatif karena ia laki-laki dengan masculinity nya berkesempatan
menindas kaum perempuan, sebaliknya dengan rabbat al-bayt/ibu rumah tangga dengan
seluruh feminitasnya dituduh lemah, selalu bergantung dan tak berdaya. Pun dengan
kehadiran thifl/anak didudukan pada posisi sifatnya opsional saja. Akibatnya cita-cita yang
diharapkan dari membangun keluarga seperti sakinah (bahagia), mawaddah (cinta), dan
rahmah (menyayangi) sulit untuk terwujud. Berbeda dengan Islam, Islam mengatur relasi
antar anggota keluarga dengan masing-masing peran agar terciptanya keseimbangan dan
kebahagian dalam berkeluarga. qawām32 ditujukan pada laki-laki bukan semata-mata
maknanya hanya pemimpin yang berkuasa mengeksploitasi atau diskriminasi melainkan pada
26
Berkaitan dengan doktrin John locke tentang natural right (hak asasi manusia), bahwa setiap
manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, medapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari
kebahagiaan. Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda,... hal. 119.
27
Relasi diluar pernikahan adalah relasi seperti; Kohabitasi, pasangan kencan, LGBTQ, Kelompok
disorientasi seksual seperti bestialitas, fetisisme, phedofilia, dsb. (cari sumbernya) (kohabitasi mah udah ada,
tinggal cari sisanya)
28
Gidlow, elsa, Lesbianism as a Liberating Force (1977), dalam Lilian Faderman (1981)., Surpassing
the Love of Men; Romantic Friendship adn Love Between Women from The Renaissance to The Present. New
York: Morrow.
29
Martha Shelley, “Notes of a Radical Lesbian”. Dalam Morgan R. (ed.), (1970), Sisterhood is
Powerful: An Anthology of Writting from Women’s Liberation Movement. New York: Vintage,
30
Menurunnya populasi ditandai dengan jumlah angka kematian lebih tinggi daripada angka kelahiran
(sumbernya cari)
31
Hak Privat adalah kebebasan atau keleluasaan pribadi, lihat KBBI di kbbi.kemendikbud.go.id.
32
Q.S. An-Nisa [4]: 34
suatu tanggung jawab yang mesti diemban olehnya. Tanggung jawab suami adalah sebagai
pemimpin, pelaksana tugas dan pelindung 33, suami/kepala rumah tangga diberi pembebanan
mengurusi kehidupan (tadbir al-ma’ash) keluarganya.34
Begitu pula dengan rabbat al-bayt ia bukan perempuan dengan simbol ketertindasan
ataupun objek kekerasan, karena pada dasarnya ia adalah pemelihara, dalam hal ini, al-
Sya’rawi mengatakan bahwa Istri mesti menjadi tempat kembali yang tenang bagi suaminya,
setelah suaminya melaksanakan tanggung jawabnya sebagai qawām, beliau menjelaskan
kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Masculinity
bukan kebalikan dari feminin yang hadirnya menimbulkan perselisihan yang tiada arti.
Maskulinitas dan feminitas adalah dua kebutuhan yang saling melengkapi, layaknya
kehadiran siang dan malam keduanya merupakan fenomena alam yang diterima semua orang,
semua orang tidak bisa membuat perbandingan antara siang dan malam mana yang lebih
baik. Dengan demikian, keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang saling
membutuhkan.
Pun sama halnya kehadiran anak di tengah-tengah keluarga, anak dipandang sebagai
suatu amanah karena denganya dapat mewujudkan maqashid as-syari’ah yaitu hifdzhu an-
nasl (menjaga keturunan). Adanya anak sejak dalam kandungan telah disertai dengan
kewajiban dan haknya, orang tua dalam hal ini adalah dua orang yang diberi amanah
memiliki kewajiban untuk memenuhi hak anak sesuai fitrahnya seperti mendapatkan
pendidikan dan perlindungan35, dan perlakuan baik. Sebaliknya anak pun dibebankan
kewajiban untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.36
Dari relasi yang serasi, bukan suatu kemustahilan jika sakinah37 didapatkan, diantara
anggota keluarga dapat mengaktualisasikan rasa kasih sayang, bekerja sama dalam
melakukan suatu urusan, menyayangi dan melindungi satu sama lain. Dalam mencapai
kebahagiaan ada satu syarat yang tidak dapat dilewatkan yaitu anfusikum azwaja, maksudnya
laki-laki ataupun perempuan harus menikahi pasangannya38—laki-laki menikahi perempuan
begitu pula sebaliknya—tidak berlaku kebahagian ini jika menikahi sesama jenis seperti
halnya hubungan LGBT atupun lintas jenis seperti bestialitas39 ataupun fetisisme40, meskipun
demikian bukan berarti hubungan heteroseksual di luar pernikahan seperti kohabitasi ataupun
partner kencan akan bahagia, melainkan kebahagiaan hakiki hanya akan didapatkan jika
melewati jalur pernikahan yang dilindungi norma dan hukum agama.
Kesimpulan
Domestic Violence harus tetap pada makna asalnya yaitu kekerasan yang dilakukan
dalam ranah keluarga/rumah tangga. Agar tidak terjadi bias nilai baik buruk atau rusaknya
objektifitas moral masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran norma sosial agama. Dalam
33
Muhammad bin Jarir al-Tabari (1999), Jami’ al-Bayan fī Ta`wīl al-Qur’an (Dar al-Thayyibah), hal.
106.
34
Sayyid Qutb (1412), Fi Zilal al-Qur’an (Beirut: Dar al-Syaruq), hal. 218.
35
Q.S. At-Tahrim [66]: 6
36
Q.S. Lukman [31]: 14
37
Q.S. ar-Ruum [30]: 21
38
Lihat: Muhammad Quraish Shihab (2004), Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati) hal. 118
39
Bestiality: sexual relations between a human being and lower animal (Hubungan seksual antara
manusia dan hewan), Lihat Meriam Webster Dictionary Since 1828.
40
Fetisisme (berasal dari kata fetishism yang artinya benda sakti), adalah kepercayaan akan adanya
kekuatan sakti dalam benda tertentu dan segala aktivitas untuk mempergunakan benda-benda sakti semacam itu
dalam ilmu gaib. Lihat Hasan Shaadily, Ensiklopedia Indonesia, Jilid 3. (Jakarta: Ichtiar Baru dan Van Hoeve),
Biasanya, istilah ini digunakan untuk menunjukkan dorongan seksual yang ditujukan kepada benda-benda milik
jenis kelamin.
konteks ini Islam memberikan tawaran solusi yang sesuai dengan nature manusia berupa
konsep-konsep kunci dalam keluarga berisi penegasan peran masing-masing anggota
keluarga bersifat serasi relasi bukan untuk merendahkan dan menghinakan melainkan
bertujuan menciptakan kemaslahatan dan kebahagiaan.
Daftar Pustaka
1. Albert R. Robert, (2002) Handbook of Domestic Violence Intervention Strategies...,
(Oxford University Press)
2. Catahu (Catatan Tahunan) Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2019 oleh Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
3. Flood, M., “He hits, she hits: Assessing debates regarding men’s and women’s
experience of domestic violence,” Australian Domestic and Family Violence
Clearinghouse seminar, Sydney, (6 December 2012)
4. Freda Adler, Gerhard OW Mueller dan William S. Laufer (1991). Criminology New
York: McGraw-Hill
5. Gidlow, elsa, Lesbianism as a Liberating Force (1977), dalam Lilian Faderman
(1981)., Surpassing the Love of Men; Romantic Friendship adn Love Between Women
from The Renaissance to The Present. New York: Morrow.
6. Intimate Partner Violence, Global and Regional Estimates of Violence Against
Women World Health Organization (WHO)
7. Mansour Faqih...(et a.), Membincang Feminisme: Diskursus gender perspektif Islam,
(1996, Surabaya; Risalah Gusti)
8. Martha Shelley, “Notes of a Radical Lesbian”. Dalam Morgan R. (ed.), (1970),
Sisterhood is Powerful: An Anthology of Writting from Women’s Liberation
Movement. New York: Vintage,
9. Meriam Webster Dictionary Since 1828.
10. Michael P. Johnson, Conflict and Control: Gender Symmetry and Asymmetry in
Domestic Violence, Violence Against Women 12, no. 11 (November 2006)
11. Muhammad bin Jarir al-Tabari (1999), Jami’ al-Bayan fi Ta`wil al-Qur’an (Dar al-
Thayyibah)
12. Muhammad Quraish Shihab (2004), Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati)
13. Office of Violence Against Women, U.S. Department of Justice. (2017). Domestic
violence [webpage]. Retrieved from https://www.justice.gov/ovw/ domestic-violence
14. Oxfordlearnersdictionary.com
15. Ratna Megawangi, (2001) Membiarkan Berbeda, (Bandung; Mizan)
16. Rosmarie Putnam Tong (2010), Feminist Thought, Terj. Aquarini Priyatna
Prabasmoro, (Yogyakarta, Jalasutra)
17. Rowen Chapman dan Jonathan Rutherford Ed., (2014) Male Order: Menguak
Maskulinitas, Terj. Fitria Mayasari, (Yogyakarta: Jalasutra)
18. Sayyid Qutb (1412), Fi Zilal al-Qur’an (Beirut: Dar al-Syaruq)
19. Schechter, S., & Edelson, J. (1999). Effective intervention in domestic violence and
child maltreatment cases: Guidelines for policy and practice. Reno, NV: National
Council of Juvenile and Family Court Judges
20. Sigmound De’Beauvoir, (1989), The Second Sex, (New York; Knopf).
21. Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy. (Cambridge: 1991)

Anda mungkin juga menyukai