Anda di halaman 1dari 44

H UBUNG AN S ELF STIG MA DENG AN P RO SES

P EMULIH AN O RANG DENG AN G ANG G UAN JIWA


( O DG J) DI K ECAMATAN CIWARU
TAH UN 2022

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Pada Program Studi Ilmu Keperawatan

Oleh

EDAH JUBAEDAH
CKR0180012

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KUNINGAN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

PROPOSAL

H UBUNG AN S ELF STIG MA DENG AN P RO SES


P EMULIH AN O RANG DENG AN G ANG G UAN JIWA
DI K ECAMATAN CIWARU TAH UN 2022

Telah Diajukan Oleh

EDAH JUBAEDAH
CKRO180012

Kuningan, Desember 2021


Telah disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Abdal Rohim, S.Kp.,MH Ns,. Heri Hermansyah,S.Kep.,M.KM


NIK. NIK.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang dikaitkan dengan

kebahagiaan, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimis, dan harapan.

Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stres baik lingkungan

internal maupun eksternal, dibuktikan dengan pikiran, perasaan dan tingkah

laku yang tidak sesuai (Alfiandi, Jannah, & Tahlil, 2019). Kesehatan jiwa

merupakan suatu keadaan individu yang secara mandiri menyadari

kemampuannya dan mampu mengembangkan kemampuan tersebut baik

secara fisik, mental, spiritual juga sosial sanggup mengatasi tekanan sehingga

individu tersebut dapat bekerja secara produktif serta memberikan kontribusi

bagi masyarakat sekitar (Hothasian, Suryawati, & Fatmasari, 2019).

Kesehatan mental merupakan komponen mendasar dari definisi

kesehatan. Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk

menyadari potensi mereka, mengatasi tekanan kehidupan yang normal,

bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitas mereka

(Ayuningtyas, Misnaniarti, & Rayhani, 2018). Jika 10% dari populasi

mengalami masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian karena

termasuk rawan kesehatan jiwa (WHO, 2017). Masalah gangguan kesehatan

jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang cukup serius. Satu

dari empat orang didunia yang mengalami masalah mental atau sekitar 450
juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan

mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa

(Anggraini,2015).

Prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia menurut (WHO), (World

Health Organitation) pada tahun 2019 terdapat 264 juta orang mengalami

depresi, 45 juta orang menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami

demensia, dan 20 juta orang jiwa mengalami skizofrenia. Gangguan jiwa

merupakan suatu penyakit yang dapat terjadi karena gangguan pola perilaku

yang berkaitan dengan stress pada suatu fungsi kehidupan manusia. Kejadian

gangguan jiwa sekarang didunia sudah menjadi permasalahan yang sangat

serius dan sangat mengkhwatirkan karena 1 dari 4 orang didunia pernah

mengalami gangguan mental dan sekarang berkisar 450 juta orang diseluruh

dunia pernah menderita gangguan jiwa, dan 8 dari 10 penderita gangguan

mental itu tidak mendapatkan perawatan (Masita,Buanasari, & Silolonga,

2019).

Data Riskesdas 2018 menunjukan prevalensi gangguan mental

emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk

usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 6.1% dari jumlah penduduk indonesia.

Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti zkizofrenia mencapai

sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1.7 per 1.000 penduduk. Berdasarkan

data yang didapatkan dari kepala seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Tidak Menular (P2PTM) dan Kesehatan Jiwa (KESWA) . Dinkes jabar Arief

mengungkapkan pada tahun 2017 sebanyak 11.360 warga jawa barat


mengalami gangguan jiwa berat, sementara Tahun 2018 ada 16.714 penderita

ODGJ dan pada Tahun 2019 orang yang mengalami gangguan jiwa ibarat

fenomena gunung es tampak sedikit namun ternyata yang tidak terlihat lebih

banyak lagi (Dinkes Jabar, 2017).

Stigma diri adalah salah satu tantangan psikologis yang dapat

diperburuk oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik (Girma et al., 2014). Penelitian

yang dilakukan oleh (Mak & Cheung, 2012) memaparkan stigma mengacu

pada individu yang menginternalisasi stigma dari masyarakat. Tiga respon

psikologis yang saling terkait yaitu kognisi stigmatisasi (persepsi kompetensi

dan nilai lebih rendah dari rekan-rekan mereka karena internalisasi stigma),

afektif (perasaan malu, putus asa, dan malu sebagai akibat dari status

stigmatisasi diinternalisasi), dan behavior (reaksi perilaku sebagai akibat dari

stigma yang diinternalisasi seperti penarikan diri dan fitnah).

Mashiach-Eizenberg, Hasson-Ohayon, Yanos, Lysaker, dan Roe (2013)

menyebutkan Skizofrenia dengan stigma diri negatif memunculkan harapan

(hope) yang rendah, mengakibatkan rendahnya harga diri dan kemampuan diri

sehingga secara langsung berhubungan dengan proses pemulihan berupa

penurunan kesadaran atau tilik diri terhadap penyakit yang selanjutnya sangat

berdampak pada kualitas hidup pasien Skizofrenia. Penelitian Sibitz, et al.

(2011) tentang pengaruh social network, stigma diri dan dukungan dengan

kualitas hidup pasien Skizofrenia di Austria, menyatakan ada hubungan yang

signifikan antara stigma diri dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia dengan

arah hubungan negatif, apabila stigma diri tinggi maka kualitas hidup rendah.
Proses labeling dan support system yang rendah dapat menyebabkan

terjadinya stigma diri yang tinggi pada pasien Skizofrenia sehingga

menyebabkan perasaan malu, berkurangnya semangat hidup, perasaan tidak

berdaya dan kualitas hidup yang rendah (Eizenberg, et al., 2013). Perasaan

negatif dapat menghambat proses pemulihan pasien Skizofrenia sehingga

diperlukan program terapi individu yang dapat mengurangi stigma di

kelompok dan komunitas guna meningkatkan kualitas hidup pasien

Skizofrenia (Hill & Startup, 2013).

Study Pendahuluan yang dilakukan peneliti di Dinas Kesehatan

Kabupaten Kuningan didapatkan data bahwa pada tahun 2021 terdapat 2.367

orang mengalami gangguan jiwa yang tersebar di seluruh kecamatan yang

berada di kabupaten kuningan, sedangkan untuk kecamatan Ciwaru sendiri

terdapat sejumlah 103 orang dengan gangguan jiwa. 7 dari 10 orang gangguan

jiwa pernah mengalami diskriminasi dan takut berinteraksi dengan orang lain,

sedangkan 3 responden lainnya mengalami semangat hidup dalam menjalani

kehidupan sehari-hari (Dinas Kesehatan Kab. Kuningan, 2021).

Berdasarkan dari masalah yang sudah diuraikan diatas, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian terkait apakah ada hubungan Self Stigma dengan

Proses Pemulihan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kecamatan Ciwaru Kabupaten

Kuningan Tahun 2022.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka merumuskan permasalahan diatas

yaitu : apakah ada hubungan self stigma dengan proses pemulihan pada orang

dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kecamatan Ciwaru tahun 2022.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan self stigma

dengan proses pemulihan gangguan jiwa di Kecamatan Ciwaru Tahun

2022.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui self stigma pada orang dengan gangguan jiwa

(ODGJ) di Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan Tahun 2022.

2. Untuk Mengetahui Proses Pemulihan pada orang dengan gangguan

Jiwa (ODGJ) di Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan Tahun 2022.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi hubungan antara self stigma

dengan proses pemulihan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di

Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan Tahun 2022.

1.4 Mamfaat Penelitian

1.4.1 Mamfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai hubungan self stigma dengan proses pemulihan orang dengan


gangguan jiwa (ODGJ) di Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan Tahun

2022 serta juga di harapkan sebagai sarana pengembangan ilmu

pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku perkuliahan.

1.4.2 Mamfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Mamfaat bagi peneliti yaitu menambah wawasan terhadap suatu

penelitian, dan diharapkan penelitian ini dapat bermamfaat bagi

pembaca penelitian ini dan bisa untuk menambah wawasan keilmuan

terutama pada terutama pada keilmuan kesehatan jiwa.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya mengenai

hubungan self stigma dengan proses pemulihan orang dengan gangguan

jiwa (ODGJ) di Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan Tahun 2022.

Sebagai acuan dalam mengembangkan ilmu kesehatan jiwa bagi peserta

didik khususnya Prodi Ilmu Keperawatan Stikkes Kuningan. Data hasil

dari proses dapat menjadi dasar atau data yang mendukung untuk

penelitian selanjutnya.

3. Bagi Lahan Penelitian

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam

penilaian self stigma dengan proses pemulihan gangguan jiwa.


Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No. Penelitian

1. Judul Stigma diri dengan harga diri pada keluarga

penderita retardasi mental

Peneliti Hartatik 2021

Subjek Sampel dalam penelitian ini adalah anggota

keluarga dari penderira retardasi mental di desa

Sidoharjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo

Provinsi Jawa Timur Indonesia yang berjumlah 58

orang yang dipilih dengan tehnik purposive

sampling

Metode Penelitian ini menggunakan metode analitik

observasional dengan pendekatan cross sectional.

Hasil Analisis bivariat hubungan stigma diri dengan harga

diri didapatkan nilai p=0.000 dan nilai r=-0.412. Hal

ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara stigma

diri dengan harga diri, semakin tinggi stigma diri

maka semakin rendah harga diri penderita retardasi

mental.

2. Judul Daya tilik diri (Self Insight), Harga diri (self

esteem) dan stigma diri (self stigma) serta kualitas

hidup pasien skizofrenia di klinik jiwa RS Jiwa


Daerah Jambi

Peneliti Daryanto dan Wittin Khairani 2020

Subjek Populasi penelitian adalah seluruh keluarga pasien

Skizofrenia yang berkunjung di Poliklinik Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi tahun 2016

sebanyak 3795 orang, sampel dipilih sebanyak 115

responden menggunakan teknik acak sederhana

Metode Metode yang digunakan adalah deskriftif korelasi

dengan pendekatan cross sectional.

Hasil Hasil penelitian diketahui nilai rerata kualitas hidup

pasien adalah 79,08. Daya Tilik Diri berkorelasi

negative dengan kualitas hidup pasien skizofrenia (P

value 0,009 < a 0,05). Adanya korelasi antara

Harga Diri dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia

(P Value 0,037< a 0,05). Adanya korelasi negative

antara Stigma diri dengan Kualitas Hidup pasien

Skizofrenia (P Value 0,038).

3. Judul Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia dipersepsikan

melalui stigma diri

Peneliti Ice Yulia Wardani dan Fajar Aprilia Dewi 2018

Subjek sampel 92 responden

Metode Desain penelitian ini adalah descriptive corelative

dengan pendekatan cross sectional


Hasil Ada hubungan antara stigma diri dengan kualitas

hidup pasien Skizofrenia dengan korelasi negatif (r=

-0,568, p= 0,00). Level stigma diri termasuk

kedalam klasifikasi stigma tinggi dan klasifikasi

kualitas hidup yang rendah.

4. Judul Peran kader kesehatan dalam mendukung proses

recovery pada ODGJ : Literatur Review

Peneliti Mery Tania, Suryani, Tati Hernawati

Subjek Kader Kesehatan

Metode Analisis Artikel

Hasil Hasil dari tinjauan literature ini yakni pengalaman

dari peran yang dijalankan kader kesehatan dalam

penangan odgj mengalami beberapa hambatan

terutama dalam menurunkan stigma masyarakat

terhadap odgj tetapi, kader kesehatan tetap

melaksanakan tugasnya dengan gigih dalam

mendukung odgj terutama dalam proses recovery.

5. Judul Dukungan Keluarga dalam proses pemulihan orang

dengan gangguan jiwa (ODGJ)

Peneliti Suhermi S. 2019

Subjek Subyek penelitian 34 orang di Wilayah Kerja

Puskesmas Pampang, yang ditentukan dengan

teknik total sampling.


Metode Metode yang digunakan adalah deskriftif korelasi

dengan pendekatan cross sectional.

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan

keluarga terhadap ODGJ adalah baik (91,2%),

proses pemulihan pasien adalah pulih=50% dan

tidak pulih=50%. Hasil uji hipotesis menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan proses pemulihan ODGJ (p-

value=1,000).

Berdasarkan keaslian yang telah di jelaskan pada Tabel 1.1 perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah :

1. Pada penelitian Hartatik 2021 hasil penelitian menunjukan terdapat

hubungan stigma diri dengan harga diri dengan kekuatan sedang pada

keluarga retardasi mental, penelitian ini fokus pada salah satu anggota

keluarga yang merawat penderita retardasi mental.

2. Pada penelitian Daryanto dan Wittin Khairani 2020 fokus meneliti variabel

daya tilik diri, harga diri dan stigma diri dengan kualitas hidup pasien

skizofrenia.

3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ice Yulia Wardani dan Fajar Aprilia

Dewi Perbedaannya adalah meningkatkan kualitas hidup pasien, fokus

penelitian ini pada pasien skizofrenia dengan stigma diri .


4. Pada penelitian yang dilakukan Suhermi.S 2019 hasil penelitian tidak ada

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan pemulihan

klien gangguan jiwa, fokus penelitian ini pada anggota keluarga dan klien

dengan gangguan jiwa.

5. Pada penelitian yang dilakukan Mery Tania, suryani, Tati Hernawati 2019

hasil penelitian ini fokus pada petugas kesehatan masyarakat (kader)

kesehatan dalam mendukung proses recovery pada gangguan jiwa dengan

cara pendidikan kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Jiwa

2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa merupakan suatu perubahan pada fungsi jiwa yang

menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan

penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melsanakan peranan

sosial (Keliat, 2012). Sedangkan menurut UU RI NO.18 Tahun 2014

menjelaskan bahwa gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang

mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang

termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku

yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam

menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

American Psychiatric Association (APA) menjelaskan gangguan jiwa

atau penyakit mental adalah kondisi kesehatan yang melibatkan perubahan

emosi, pemikiran atau perilaku (atau kombinasi dari semuanya). Penyakit

mental berhubungan dengan kesusahan atau masalah yang berfungsi dalam

kegiatan sosial, pekerjaan atau keluarga.

PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III,

gangguan jiwa merupakan sebuah sindrom yang di tandai dengan perubahan

perilaku seseorang selalu berkaitan dengan gejala seperti penderitaan

(distress) atau hendaya (impairment), selain itu fungsi psikologik dan

perilaku tidak selalu terletak dalam hubungan antara orang tersebut


melainkan bisa dengan masyarakat. (Muslim, 2002; dalam Maramis, 2010

dalam A.H Yusuf 2015).

Ada 4 kriteria gangguan umum menurut (Videbeck dalam Nasir, 2011 )

adalah sebagai berikut :

a. Tidak merasa puas hidup di dunia.

b. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.

c. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.

d. Tidak terjadi pertumbuhan personal

Menurut (Keliat dkk dalam Prabowo 2014) mengatakan ada juga ciri

dari gangguan jiwa yang dapat diidentifikasi yaitu Mengurung diri, tidak

kenal orang lain, marah tanpa sebab, bicara kacau dan tidak mampu

merawat diri.

Jadi dari beberapa definisi gangguan jiwa di atas, dapat disimpulkan

bahwa gngguan jiwa adalah suatu kumpulan dari keadaan yang tidak normal

baik pada mental maupun fisik sehingga berakibat pada perubahan pada

fungsi jiwa individu atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

2.1.2 Etiologi Gangguan Jiwa

Gejala utama pada individu yang mengalami gangguan jiwa yaitu

terjadi gangguan dalam kejiwaanya, akan tetapi banyak faktor yang juga

menyebabkan itu terjadi seperti somatogenik (dalam diri indivu), sosiogenik

(di lingkungan), dan psikogenik (dalam psikis individu), (Maramis, 2010

dalam Yusuf 2015). Ada beberapa yang tidak memiliki penyebab yang jelas
mengapa bisa mengalami gangguan jiwa, namun hal itu tidak terlepas dari

faktor faktor yang ada.

Penyebab gangguan jiwa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

saling mempengaruhi menurut Yusuf (2015) yaitu sebagai berikut:

a. Faktor somatic organobiologis atau somatogenik.

1) Neurokimia

2) Nerofisiologis

3) Neurianatomi

4) Faktor pre dan perinatal

5) Tingkat kematangan dan perkembangan organik

b. Faktor sosio-budaya (Sosiogenik) :

1) Sistem pola asuh anak

2) Perumahan kota lawan pedesaan.

3) Nilai-nilai yang terjadi

4) Pengaruh keagamaan dan pengaruh sosial.

5) Kestabilan keluarga.

6) Masalah kelompok, seperti ketidak mempuan untuk mencapai

pendidikan

7) Tingkat ekonomi.

c. Faktor psikologik (Psikogenik).

1) Peran ayah.

2) Interaksi ibu dan anak.

3) Inteligensi.
4) Saudara kandung yang mengalami persaingan.

5) Hubungan pekerjaan, permainan, masyarakat dan keluarga.

6) Depresi, kecemasan, rasa malu atau rasa salah mengakibatkan

kehilangan.

7) Keterampilan, kreativitas dan bakat.

8) Adanya perkembangan dan pola adaptasi

Dari ketiga faktor diatas, terdapat beberapa penyebab lain mengenai

gangguan jiwa diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Genetika. Faktor ini sangat berpengaruh sebab Individu atau angota

keluarga yang yang mengalami gangguan jiwa cenderung memiliki

resiko tinggi untuk menurunkan dan tidak bisa dipungkiri untuk

memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa juga (Yosep,

2013).

2) Sebab biologik.

a) Temperamen. Individu yang terlalu sensitif biasanya memiliki

masalah dalam emosi dan kejiwaan yang memiliki

kecendrungan untuk mengalami gangguan kejiwaan.

b) Jasmaniah. Penyidik lain pernah menyinggung bahwa bentuk

tubuh seorang bisa berhubungan dengan gangguan jiwa, namun

hal ini masih perlu kejelasan lebih lanjut.

c) Keturunan. Individu yang mengalami gangguan kejiwaan

biasanya diturunkan, hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor

lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.


d) Penyakit atau cedera pada tubuh. Penyakit terminal atau

mengancam nyawa dapat menyebabkan individu yang

mengalami cemas berlebihan dan bisa menyebabkan harga diri

rendah (Yosep, 2013).

3) Sebab psikologik. Pengalaman mengalami frustasi terhadap

keberhasilan maupun kegagalan yang dialami akan mewarnai sikap,

sifat dan kebiasaannya dikemudian hari (Yosep, 2013).

4) Stress. Stress yang berkelanjutan dan tidak mendapatkan jalan

tengah, atau psikososial yang terjadi secara terus menerus bisa

menyebablan gejala menifestasi seperti peraan kehilangan,

kebodohan, kemisikan dan bahkan bisa mengalami isolasi sosial

(Yosep, 2013).

5) Sebab sosio kultural.

a) Pola asuh anak, hubungan orang tua dengan anak sangat

berpengaruh dalam pembentukan psikologi anak. Seorang anak

yang dibesarkan didalam lingkungan yang tidak ramah akan

menciptakan seorang anak dengan kepribadian pendiam dan tak

mudah untuk bergaul dan cenderung untuk menarik diri.

b) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi,

dalam masyarakat kebutuhan akan semakin meningkat dan

persaingan semakin meningkat. Membuat orang melakukan

pekerjaan tanpa lelah atau bekerja keras hanya untuk bisa

mendapatkannya dan jumlah orang yang ingin memiliki sebuah


pekerjaan namun lahan pekerjaan tidak ada, imbasnya pada

jumlah pengangguran yang terus meningkat (Yosep, 2013).

c) Sistem nilai, perbedaan etika kebudayaan dan perbedaan sistem

nilai moral antara masa lalu dan sekarang akan sering

menimbulkan masalah kejiwaan.

6) Perkembangan psikologik yang salah. Ketidak matangan individu

gagal dalam berkembang lebih lanjut. Individu yang memiliki tempat

lemah dan disorsi ialah individu yang gagal dalam mencapai

integrasi kepribadian yang normal dan mengembangkan sikap atau

pola reaksi yang tidak sesuai (Yosep, 2013).

2.1.3 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Buku Dasar – Dasar Keperawatan Jiwa (Nasir & Muhith, 2011)

menjelaskan beberapa tanda dan gejala gangguan jiwa, diantaranya:

a. Gangguan Kognitif

Kognitif adalah suatu proses mental dimana seorang individu

menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya, baik

lingkungan dalam maupun lingkungan luar. Proses kognitif meliputi

beberapa hal seperti sensasi dan presepsi, perhatian, ingatan, asosiasi,

pertimbangan, pikiran, dan kesadaran.

b. Gangguan Perhatian

Perhatian adalah pemusatan dan konsentrasi energi, menilai dalam

suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu rangsangan.

c. Gangguan Ingatan
Ingatan adalah kesanggupan untuk mencatat, menyimpan,

memproduksi isi, dan tanda-tanda kesadaran.

d. Gangguan Asosiasi

Asosiasi adalah proses mental yang dengannya suatu perasaan, kesan,

atau gambaran ingatan cenderung untuk menimbulkan kesan atau

gambaran ingatan respons atau konsep lain, yang sebelumnya berkaitan

dengannya.

e. Gangguan Pertimbangan

Pertimbangan adalah suatu proses mental untuk membandingkan atau

menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja dengan

memberikan nilai- nilai untuk memutuskan maksud dan tujuan dari

suatu aktivitas.

f. Gangguan Pikiran

Pikiran umum adalah meletakkan hubungan antara berbagai bagian dari

pengetahuan seseorang.

g. Gangguan kesadaran

Kesadaran adalah kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan

dengan lingkungan, serta dirinya melalui panca indra dan mengadakan

pembatasan terhadap lingkungan serta dirinya sendiri.

h. Gangguan kemauan

Kemauan adalah suatu proses dimana keinginan-keinginan

dipertimbangkan yang kemudian diputuskan untuk dilaksanakan sampai

mencapai tujuan.
i. Gangguan Emosi dan Afek

Emosi adalah suatu pengalaman yang sadar dan memberikan pengaruh

pada aktivitas tubuh serta menghasilkan sensasi organik dan kinestik.

Afek adalah kehidupan perasaan atau nada perasaan emosional

seseorang, menyenangkan atau tidak, yang menyertai suatu pikiran,

biasa berlangsung lama dan jarang disertai komponen fisiologis.

j. Gangguan Psikomotor

Psikomotor adalah gerakan tubuh yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa.

2.1.4 Masalah Keperawatan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

a. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

Harga diri rendah ialah individu yang merasa dirinya tidak berharga

dan tidak berarti didunia sehingga terus mengevaluasi negatif terhadap

dirinya sendiri secara terus menerus (SDKI,2017). Harga diri rendah

yang terus menerus akan mengakibatkan hal yang tidak di inginkan

dan berdampak pada timbulnya respon maladaptif.

b. Gangguan Persepsi Sensoris : Halusinasi

Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori dimana tidak ada

rangsangan stimulus dari luar, gangguan persepsi sensori dapat terjadi

pada seluruh sistem panca indra. Halusinasi merupakan suatu gejala

gangguan jiwa dimana seseorang yang mengalaminya akan

mengakibatkan berubahnya persepsi sensori berupa suara,

pengelihatan, berabaan dan penciuman. Seseorang yang merasakan

stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Yusuf,Rizky & Hanik,2015)


Jenis halusinasi menurut Baradero, Mary dan Anastasia (2016)

sebagai berikut :

1) Halusinasi pendengaran

Individu yang mengalami gangguan ini biasanya ditandai dengan

sering mendengar suara suara, yang isi suara tersebut dapat

berupa ajakan perintah atau hanya sebatas omongan. Namun,

sangat beresiko apabila dari isi suara tersebut mengajak untuk

berbuat kejahatan seperti, mengajak membunuh, atau mengaykiti

diri si penderita.

2) Halusinasi penglihatan

Sebuah rangsangan virtual, dimana individu yang mengalami

melihat sesuatu yang orang normal tidak bisa melihat. Dapat

berupa wujud seseorang atau gambar abstrak.

3) Halusinasi penghidung

Biasanya penderita akan merasa mencium sesuatu yang tidak

sedap seperti, bau amis darah, bau fases atau bau bauan yang lain.

4) Halusinasi perabaan

Penderita yang mengalami halusinasi perabaan akan merasa

dirinya seperti sedang diraba oleh seseorang atau mengalami

nyeri dan ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.

5) Halusinasi gustatory

Merasakan ada sesuatu yang tidak sedap didalam tubuh individu

yang mengalaminya.
6) Halusinasi kenestetik

Penderita seolah olah dapat merasakan fungsi tubuhnya sedang

bergerak seperti merasakan denyut darah melalui pembuluh darah

dan arteri, mencerna makananan, atau membentuk urin.

7) Halusinasi kinestetik

Sensasi gerakan sambil berdiri tak bergerak.

c. Isolasi Sosial

Isolasi Sosial merupakan ketidak mampuan untuk membina saling

percaya terhadap orang lain, dan kecendrungan segan untuk terbuka.

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Isolasi sosial ialah suatu

keadaan dimana indvidu tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi

dengan orang lain dan merasa dirinya tidak diterima oleh masyarakat

atau ditolak, merasa kesepian serta tidak ada kemampuan untuk

membina hubungan saling percaya dengan orang lain. (Dermawan &

Rusdi, 2013)

d. Defisit Perawatan Diri

Defisit perawatan diri adalah kemampuan dasar yang dimiliki

individu untuk melengkapi kebutuhannya sesuai kondisi

kesehatannya. (Damaiyanti dan Iskandar, 2012). Jenis-jenis defisit

perawatan diantaranya: (Nanda, 2017)

1) Defisit perawatan diri: Mandi

2) Defisit perawatan diri: Perawatan Ganti Pakaian

3) Defisit perawatan diri: Makan dan Minum


4) Defisit perawatan diri: Eliminasi

e. Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan (PK) adalah keadaan dimana individu melakukan

tindakan kekerasan yang dapat membahyakan orang lain serta

dirinya sendiri. Dalam rentang respon yang tidak bisa menahan atau

mengontrol amarahnya. (Keliat,dkk, 2011:180).

Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab perilaku kekerasan

menurut Keliat,dkk (2011:180) yaitu:

1) Akan hilangnya harga diiri yang menyebabkan individu

tersebut mengalami harga diri rendah. Tidak banyak pada kasus

harga diri rendah menyebabkan perilaku kekeraan. Namun

dalam kenyataannya bisa saja terjadi, karena merasa tidak

dihargai oleh sekelilingnya.

2) Frustasi, seseorang yang mengalami frustasi cenderung akan

mengalami gangguan kejiwaan, karena ketidak berfungsi secara

optimal proses berfikir individu tersebut.

3) Pada dasarnya manusia ingin memiliki penghargaan salah

satunya diakui oleh lingkungannya. Jika tidak mendaptkan

sebuah pengakuan atau penghargaan dapat menimbulkan

perilaku kekerasan.

f. Gangguan Proses Pikir: Waham

Waham merupakan suatu keyakinan yang menyimpang yang

ditandai dengan kepercayaan yang berlebihan pada dirinya tanpa


adanya tanda yang jelas untuk diyakinkan. Adapun Jenis waham

menurut Permenkes RI ,2017 diantaranya:

1) Waham Kejar

Individu mengatakan dirinya sedang dikejar dan merasa ditipu

oleh seseorang yang tidak tau berasal dari mana.

2) Waham Somatik

Keyakinan terhadap dirinya bahwa memiliki penyakit

mematikan, seperti luka yang tidak kunjung sembuh atau

penyakit lain yang tidak benar adanya.

3) Waham Kebesaran

Keyakinan terhadap dirinya bahwa ia memiliki sesuatu yang

orang lain tidak punya. Seperti ia meyakini bahwa dirinya

seorang milliader, seorang ratu kecantikan dan bahkan

menganggap dirinya memiliki kekuasaan.

4) Waham Agama

Suatu keyakinan yang dianut penderita dalam hal agama yang

berlebihan. Seakan akan dirinya adalah tuhan.

5) Waham Dosa

Keyakinan bahwa ia telah berbuat dosa atau kesalahan yang

besar, yang tidak dapat diampuni atau bahwa ia bertanggung

5awab atas suatu ke5adian yang tidak baik, misalnya kecelakaan

keluarga, karena pikirannya yang tidak baii.

6) Waham Pengaruh
Individu yang mengalami yakin bahwa dirinya sedang

dikendalikan oleh orang lain.

7) Waham Curiga

Individu yang mengalami hal ini berekspetasi bahwa seolah olah

ada orang lain mengikutinya atau merasa dirinya sedang di

awasi.

8) Waham Nihilistik

Keyakinan klien bahwa dirinya sudah meninggal dan tidak ada di

dunia.

9) Delusion of reference

Suatu pikiran yang salah terhadap orang lain, seolah olah

pemikiran dirinya sama dengan pemikiran orang lain.

2.1.5 Dampak Gangguan Jiwa

a. Bagi diri sendiri

dampak ekonomi yang di timbulkan berupa hilangnya hari produktif

untuk mencari nafkah bagi penderita, merasa diasingkan, takut

bersosialisasi.

b. Bagi keluarga

1) Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita

gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita

tersebut dan menyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama

episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang


terjadi pada mereka cintai. Pada proses awal, keluarga akan

melindungi orang yang sakit dari orang lain dan menyalahkan

dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat

diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada

ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan

yang bermakna dengan keluarga yang tidak mendukung orang

yang sakit.

Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk

mengatasi penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat

pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga

menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk

memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut.

Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau

kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan

normal.

2) Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua

dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap

penderita tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal

lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman

untuk mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. Hasil

stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari, Tidak


mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari

aktif berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

3) Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan

tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan,

menakutkan dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada

obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi.

Anggota keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki.

Keluarga dapat menjadi marah marah, cemas, dan frustasi karena

berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas yang

sebelumnya penderita lakukan.

4) Kelelahan dan Burnout

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang

yang dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin

mulai merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan

orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun

seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari

perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota

keluarga mungkin merasa benar-benar di luar kendali. Hal ini bisa

terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang

ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu

dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak boleh


merasa letih, karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti

untuk selalu men-support penderita.

5) Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki

penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang

untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari

kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus.

Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati,

tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang

yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita

memiliki potensi berkurang secara substansial bukan sebagai

yang memiliki potensi berubah.

6) Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu banyak

pekerjaan, dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak

memiliki sistem pendukung yang sedang berlangsung. Oleh

karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka harus

menjaga diri secara fisik, mental dan spiritual yang sehat.

Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi anggota

keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang

luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan

mereka tidak boleh diabaikan (Psyhologymania, 2012).

c. Bagi masyarakat
Di mana dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan, pengucilan

dan diskriminasi.

2.2 Proses Pemulihan

2.2.1 Definisi Proses Pemulihan

Menurut Substance Abuse and Mental Service Administratiom

(SAMHSA) sebuah badan milik pemerintah Amerika Serikat, pengertian

dari pemulihan adalah suatu perubahan dimana seseorang meningkat

kesehatan dan kesejahteraannya, hidup sesuai arah kehidupan yang

dipilihnya, dan berjuang mencapai tujuan hidup sesuai dengan seluruh

kemampuan yang dipunyainya.

Pemulihan adalah suatu proses atau perjalanan panjang, bukan suatu

tujuan, tapi suatu proses yang selalu bergerak dan dinamis. Pemulihan

adalah suatu proses perubahan dari kurang sehat dan tersandera oleh gejala

gangguan jiwa, menuju suatu keadaan yang lebih sehat dan sejahtera. Pulih

bukan berarti sembuh, karena seseorang yang sudah pulih bisa kembali jatuh

sakit. Pulihnya penderita gangguan jiwa adalah seperti pulihnya seseorang

yang menderita diabetes. Mereka sewaktu waktu bisa kambuh, gula

darahnya bisa kembali meningkat. Penderita tekanan darah tinggi yang

sudah terkontrol, juga bisa kambuh dan tekanan darahnya kembali menjadi

tinggi dan tidak terkontrol. Kesehatan jiwa seseorang perlu terus dijaga dan

ditingkatkan menuju ke keadaan yang lebih baik.

Proses awal timbulnya atau pemicu mulainya pemulihan berbeda

antara satu orang dengan lainnya. Dr Patricia Deegan, psikolog klinis yang
menderita skizofrenia dan beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa

menceritakan bahwa proses pemulihan pada dirinya dimulai ketika pada

suatu hari dia bersedia diajak berbelanja ke supermarket. Waktu itu

tugasnya hanyalah membawakan tas belanjaan. Tugas yang sangat ringan.

Sebelumnya, dia selalu menolak ajakan untuk ikut pergi berbelanja ke

supermarket. Kebetulan, petugas kesehatan dimana dia dirawat tidak pernah

bosan mengajaknya pergi ke super market hingga suatu hari, tanpa alasan

yang jelas, dia mau menerima ajakan tersebut. Sejak saat itu, timbul dalam

dirinya keinginan untuk pulih.

2.2.2 Pendukung Pemulihan Jiwa

Menurut dr. Gunawan Setiadi, MPH (2012) pendukung pemulihan jiwa

sebagai berikut:

a. Kesehatan

Agar bisa pulih, penderita gangguan jiwa harus sehat fisiknya. Mampu

mengatasi atau mengendalikan penyakit atau gejala penyakit yang

dideritanya, dan mempunyai cukup informasi sehingga bisa memilih

segala sesuatu yang akan mendukung kesehatan fisik dan jiwanya.

Termasuk disini adalah terbebas dari kecanduan alkohol maupun obat

bius. Penderita gangguan jiwa juga seperti orang pada umumnya,

mereka juga bisa terkena penyakit fisik. Penyakit fisik penderita

gangguan jiwa juga perlu dirawat dan disembuhkan. Penderita

gangguan jiwa yang mempunyai penyakit fisik berat lebih sulit untuk

bisa pulih dari sakit jiwanya.


b. Perumahan

Rumah atau tempat tinggal yang aman dan stabil sangat mendukung

proses pemulihan dari gangguan jiwa. Penderita gangguan jiwa tidak

harus punya rumah sendiri, tetapi, adanya tempat tinggal yang aman

dan stabil sangat penting bagi pemulihan jiwa seseorang. Aman dan

stabil disini berarti terbebas dari kekhawatiran dari diusir sehingga

mereka harus hidup menggelandang dijalanan. Mereka yang hidup

menggelandang dijalanan akan sangat sulit untuk bisa pulih kembali

karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang aman dan stabil.

c. Komunitas

Penderita gangguan jiwa perlu mempunyai jaringan kekerabatan atau

pertemanan yang mendukung dan bisa memberikan harapan,

kehangatan serta persaudaraan. Mereka yang hidupnya menyendiri

atau terisolasi akan lebih mudah untuk kembali kambuh penyakitnya.

Komunitas tersebut bisa diciptakan dengan mengikuti beberapa

kegiatan sosial di masyarakat, seperti : kegiatan pengajian, olah raga,

arisan, atau kegiatan yang terkait dengan hobi.

2.2.3 Prinsip Dasar Pemulihan Jiwa

Menurut dr. Gunawan Setiadi, MPH (2012) prinsi dasar pemulihan jiwa

sebagai berikut :

1. Pemulihan muncul dari timbulnya harapan

Adanya kesadaran bahwa mereka bisa pulih dan mempunyai masa

depan yang lebih baik dibandingkan keadaan sekarang merupakan


pendorong dan motivator pemulihan. Harapan bisa tumbuh dan

diperkuat oleh dukungan keluarga, teman, penderita yang telah pulih,

tenaga kesehatan maupun relawan gangguan jiwa. Adanya harapan

merupakan pendorong proses pemulihan.

2. Dorongan untuk pulih berasal dari dalam diri seseorang

Konsep pemulihan berbeda dengan konsep rehabilitasi. Dalam

rehabilitasi, penderita bersikap pasif, yaitu minum obat sesuai petunjuk

dokter dan melakukan kegiatan seperi yang diperintahkan oleh para

perawat jiwa. Pemulihan gangguan jiwa tidak akan bisa terjadi hanya

dengan rajin minum obat dan menuruti perintah orang lain. Agar bisa

pulih, penderita harus mempunyai dorongan untuk sembuh dan

memiliki

keinginan untuk memperbaiki hidupnya.

3. Pemulihan memerlukan dukungan kelurga, teman dan masyarakat luas.

Dukungan terhadap proses pemulihan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Penderita yang telah pulih bisa membantu memotivasi dan

mendampingi penderita gangguan jiwa lainnya. Keluarga yang

anggotanya telah pulih bisa membantu keluarga lain yang masih

berjuang membantu pemulihan anggota keluarganya yang sakit. Para

karyawan atau pensiunan bisa menjadi relawan jiwa. Lembaga sosial

dan keagamaan bisa mendirikan pusat pusat pemulihan, lapangan

kerja, pelatihan kerja.

4. Pemulihan didasarkan pada penghormatan (respek).


Penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa akan

membantu proses pemulihan. Dilain pihak, diskrimasi dan penghinaan,

menjadikan penderita gangguan jiwa sebagai bahan olok olok, akan

menghalangi atau mempersulit proses pemulihan. Keluarga dan

masyarakat perlu menerima segala keterbatasan penderita gangguan

jiwa dan membantunya agar bisa berkontribusi dalam kehidupan

bermasyarakat.

2.2.4 Peranan keluarga, pelayanan kesehatan jiwa dan masyarakat

Menurut dr. Gunawan Setiadi, MPH (2012)

1. Suasana dan pelayanan yang menumbuhakan harapan dan optimisme.

Keluarga, pemberi pelayanan kesehatan jiwa dan anggota masyarakat

perlu memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa

menumbuhkan dan mendukung tumbuhnya harapan dan optimisme.

Harapan dan optimisme akan menjadi motor penggerak pemulihan dari

gangguan jiwa. Dilain pihak, kata kata yang menghina, memandang

rendah dan menumbuhkan pesimisme akan bersifat melemahkan

proses pemulihan.

2. Memberdayakan penderita gangguan jiwa.

Semua pihak (keluarga, pemberi jasa pelayanan kesehatan jiwa dan

masyarakat) perlu memberdayakan penderita gangguan jiwa dengan

memberikan informasi (tentang penyakitnya, teknik mengatasi gejala,

mencegah kambuh, dan meningkatkan kehidupanya), memberikan

dukungan (psikologis dan sumber daya, seperti: alat musik bila dia
memerlukannya, binatang peliharaan atau kebun), membantu

membangun jaringan pertemanan dan kekerabatan. Dalam jangka

panjang, penderita gangguan jiwa perlu menerapkan pola hidup sehat,

termasuk didalamnya adanya pekerjaan atau kegiatan yang bermakna.

3. Pendekatan menyeluruh

Upaya untuk membantu pemulihan gangguan jiwa perlu dilakukan

dengan upaya yang menyeluruh, yang meliputi: pemberian pelayanan

medis (pengobatan); dukungan psikososial oleh tenaga profesioanl

(dokter atau psikolog), keluarga, teman, relawan jiwa dan masyarakat

menciptakan suasana yang mendukung pemulihan; dan penerimaan

masyarakat untuk mereka terlibat kembali dalam kegiatan sosial

ekonomi di masyarakat. Pemulihan sulit terjadi bila hanya dengan

membawa penderita berobat atau konsultasi psikologi sebulan sekali.

Diantara waktu konsultasi, selama tinggal dirumah, penderita hanya

dibiarkan saja melamun tanpa kegiatan yang bermakna.

4. Dukungan spiritual

Membantu pemulihan gangguan jiwa bukan pekerjaan mudah yang

bisa diselesaikan dalam waktu 1-2 bulan saja. Pemulihan gangguan

jiwa merupakan proses panjang yang memerlukan kesabaran dan

ketekunan. Agar proses pemulihan bisa berjalan lebih mudah dan

lancar, perlu adanya pertolongan dari Allah. Untuk itu, keluarga dan

teman perlu banyak berdoa, berdzikir, sholat sunat (utamanya sholat


tahajud) dan sedekah. Kegiatan kegiatan tersebut akan mendekatakan

keluarga kepada Allah dan mempermudah terkabulnya doa.

2.3 Self Stigma

2.3.1 Pengertian Self Stigma

Menurut KBBI, stigma memiliki arti sebagai karakteristik negatif

yang melekat pada individu karena pengaruh akan lingkungannya. Lucksted

dan Drapalski (2015) menyatakan jika stigma diri ialah gabungan dari

sebagian prasangka serta stereotype orang lain mengenai individu dengan

masalah psikologis menjadi keyakinan tentang diri sendiri.

Menurut Corrigant dan Rao (2012), stigma diri juga sering disamakan

dengan penerimaan diri yang negatif, yang mana pengakuan seseorang

bahwa publik memiliki prasangka buruk dan akan memberikan stigma

terhadap mereka. Secara khusus, mereka akan merasakan devaluasi atau

merendahkan diri.dan diskriminasi yang menyebabkan menurunnya harga

diri dan afikasi diri (keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya

dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai

hasil tertentu).

Hal inilah yang kemudian menjadi tahap pertama dari model stigma

diri. Proses menginternalisasi stigma publik atau masyarakat yang terjadi

melalui serangkaian tahap yang berturut-turut mengikuti satu sama lain

menjadi tahap awal dari pembentukan self-stigma atau stigma diri. Pada

umumnya, orang dengan kondisi yang tidak diinginkan ini sadar akan

fenomena yang ada di masyarakat tentang kondisi mereka. Dengan


demikian tahap ini disebut dengan tahap Kesadaran (Awareness). Orang ini

kemudian setuju bahwa stereotip negatif tentang mereka di masyarakat itu

benar, tahap ini disebut dengan tahap Persetujuan (Agreement).

Selanjutnya, orang tersebut setuju bahwa stereotip ini berlaku untuk dirinya

sendiri atau disebut degan tahap Aplikasi (Apply). Hal ini menyebabkan

kerugian, penurunan harga diri dan self-efficacy atau efikasi diri yang

signifikan, sehingga tahap ini menjadi tahap akhir stigma diri yang disebut

Kerugian (Harm) (Corrigan dan Reo (2012)).

2.3.2 Penyebab Terjadinya Self Stigma

Menurut Dunion & McArthur (2011) terdapat hal-hal yang menyebabkan

terjadinya stigma diri, yaitu:

a. Society, stereotip yang diyakini oleh masyarakat luas mengenai

kesehatan mental merupakan penyebab munculnya self-stigma.

Individu yang memiliki masalah kesehatan mental mempercayai jika

stigma tersebut dipercaya oleh masyarakat sehingga individu merasa

dianggap lebih rendah sehingga menimbulkan rasa malu dan rasa

bersalah.

b. Local comunity, suatu komunitas lokal yang diyakini memberikan

konstribusi dalam terbentuknya stigma diri.

c. Using Service, diyakini jika seseorang yang mendapatkan bantuan atau

layanan psikologis akan merasa dijauhi oleh rekannya sehingga adanya

stigma tersebut membuat orang merasa engga untuk menggunakan

layanan.
d. Medical profession/diagnosis, jika individu mendapatkan diagnosis

mengenai kesehatan mental yang buruk akan berdampak pada

munculnya self-stigma serta dapat menurunkan harapan individu.

e. The Individual, kesadaran akan pandangan seseorang mengenai orang

lain baik dari penampilan maupun perilaku merupakan indikator yang

mendorong individu berperilaku normal.

f. Family, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan jika reaksi

keluarga sangat mempengeruhi stigma diri. Seseorang akan merasa jika

kurangnya pemahaman serta dukungan dari keluaha dapat

menyebabkan meraka merasa kurang berharga dan memiliki perasaan

negatif terhadap diri sendiri.

g. The Worksplace, seseorang akan merasa bahwa sikap dari rekan kerja

mengakibatkan mereka menjadi ragu akan kemampuan yang dimiliki.

2.3.3 The Stage Model of Self Stigma

Corrigan dan Rao (2012) mengatakan apabila stigma diri ditentukan

berdasarkan empat konstruk, yaitu:

a. Awarness, seseorang yang memiliki kondisi tertentu akan menyadari

stereotip masyarakat akan individu dengan masalah psikologis. Hal ini

ditampakkan dengan masyarakat memiliki kepercayaan jika individu

yang memiliki masalah psikologis merupakan pribadi yang lemah.

b. Agreement, kondisi dimana seseorang tidak hanya sadar akan stereotip

yang ada namun juga setuju serta ikut mempercayai stereotip yang

dipegang oleh masyarakat. Bisa dilihat ketika individu mengatakan


serta mempercayai kebeneran akan individu dengan masalah psiologis

merupakan pribadi yang lemah.

c. Application, tahap dimana individu yang telah mempercayai dan setuju

akan stereotip yang ada akan menginternalisasi stereotip itu kedalam

dirinya sendiri. Hal ini ditampakkan ketika individu menyatakan jika

saya merupakan individu dengan masalah psikologos sehingga saya

juga orang yang lemah.

d. Harm or Hurt, tahap ini merupakan akibat dari proses internalisasi

stereotip sehingga mengakibatkan penurunan yang substansial terhadap

harga diri maupun efikasi diri. Individu mulai memegang nilai jika ia

merupakan pribadi yang lemah dan tidak mampu serta tidak layak.

2.3.4 Dampak Stigma Diri

Dalam studi yang telah dilakukan oleh Dunion dan McArthur (2012)

menyebutkan jika stigma diri memberikan dampak yang negatif pada

kehidupan seseorang. Dampak yang ditimbulkan oleh stigma diri adalah

sebagai berikut:

a. Menurunnya harapan yang dimiliki, hal ini berkaitan dengan

menurunnya harapan yang dimiliki oleh orang dengan masalah

psikologis. Mereka yang di diagnosis cenderung akan menghilangkan

harapan mereka mengenai masa depan.

b. Rendahnya kepercayaan diri dan harga diri, hal ini mencakup perasaan

tidak berharga dan merasa akan gagal. Individu akan cenderung merasa

jika mereka tikak memiliki harga diri lagi serta merasa tidak memiliki
keterampilan dalam melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan

sebelumnya. Penurunan harga diri ini mampu memunculkan perasaan

negatif yang dapat membuat individu merasa hidupnya telah gagal.

c. Perubahan perilaku, hal ini berkaitan akan hilangnya kepercayaan diri

individu yang membuat seseorang merasa ragu serta khawatir akan

tidankan yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Hal ini membuat

harapan individu terhadap kemampuan dirinya menurun dan merasa

kurang berharga.

d. Penarikan diri dan isolasi sosial. Individu akan cenderung menarik diri

dari lingkungan, hal ini individu lakukan guna melingdungi dirinya

sendiri dari persepsi orang lain tentang dirinya. Hal ini tentu

menyebabkan individu kurang mendapat dukungan serta teralienasi dari

masyarakat.

e. Dilema akan keterbukaan. Cukup banyak individu merasa tidak

memiliki kemampuan bahkan engga terbuka atas masalah psikologis

yang mereka miliki, hal ini disebabkan karena mereka takut mendapat

stigma sosial jika orang lain mengetahui masalah psikologis mereka.

Namun disisi lain individu juga khawatir jika mereka tidak terbuka

tentang masalah yang dihadapi dapat menimbulkan konsekuensi yang

berat. Hal ini yang membuat individu dengan gangguan psikologis

mengalami dilema apakah mereka akan terbuka atau menutup diri akan

masalah psikologisnya.
2.4 Kerangka Teori

Gangguan Jiwa

Faktor Penyebab

Faktor predisposisi (perkembangan, Faktor predisposisi (perkembangan,


sosiokultural,biokimia, psikologik, sosiokultural,biokimia, psikologik,
genetik) genetik)

Skizofrenia : harga diri rendah, halusinasi, isolasi sosial,


defisit perawatan diri, perilaku kekerasan waham)

Dampak bagi diri


Dampak bagi diri
sendiri hilangnya Dampak bagi keluarga masyarakat adanya
produktivitas pencarian, yaitu penolakan, stigma, penolakan, pengucilan
merasa diasingkan takut prustasi diskriminasi
bersosialisasi

Adanya Self Stigma Society, Local Berdampak menurunnya


Community, Using harapan, rendahnya
Service, Medical percaya diri, perubahan
diagnosis, individu, perilaku, isolasi sosial,
Faktor Penyebab familly dilema keterbukaan

Proses Pemulihan
Gangguan Jiwa

Peran keluarga,
Pendukung pemulihan Prinsip dasar pemulihan
pelayanan kesehatan
jiwa jiwa
dan masyarakat

Gambar 2.4
Kerangka Teori
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL, DEFINISI OPERASIONAL,

DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Menurut Notoatmdjo (2018) Kerangka konsep adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang akan diukur maupun diamati dalam

suatu penelitian. Sebuah kerangka konsep haruslah dapat memperlihatan

hubungan antara variabe-variabel yang aan diteliti. Kerangka konsep yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

Variabel Terikat
Proses Pemulihan ODGJ

Variabel Bebas 1. Genetik


2. Biologik
Self Stigma ODGJ
3. Psikologic
4. Sosio Kultural

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional

Menurut V. Wiratna Sujarweni (2018). Definisi Operasional adalah

variabel penelitian dimaksudkan untuk memahami arti setiap variabel

penelitian sebelum dilakukan analisis. Definisi operasional dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur
Ukur
Independent

1. Proses Proses Kuesioner Wawancara 1. Baik = Ordinal


mean
Pemulihan perubahan
(15,3)
Gangguan dari kurang 2. Tidak
Baik <
Jiwa sehat dari
mean
(ODGJ) gangguan (15,37)
jiwa, menuju
keadaan
yang lebih
sehat dan
sejahtera
Depedent

2. Self Penerimaan Kuesioner Wawancara 1. Rendah Ordinal


= mean
Stigma diri negatif, (59,94)
2. Tinggi
Orang bahwa orang
< mean
dengan lain (59,94)

Gangguan memiliki

Jiwa pransangka

buruk

tentang

dirinya yang

memberikan

stigma pada

mereka
Tabel 3.2
Definisi Operasional

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam suatu penelitian adalah jawaban sementara penelitian,

patokan dengan dalil sementara, yang kebenarannya akan di buktikan dalam

penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2012). Terdapat dua macam hipotesa nol

(Ho) dan hipotasa alternative (Ha). Secara umum hipotesa nol (Ho)

diungkapkan sebagai tidak terdapatnya hubungan (signifikan) secara dua

variabel. Hipotesa alternative (Ha) menyatakan ada hubungan antara dua

variabel atau lebih.

Dalam penelitian ini hipotesa yang akan di rancang oleh peneliti adalah:

Ha : Ada hubungan antara Self Stigma dengan proses pemulihan orang

Dengan gangguan jiwa di Kecamatan Ciwaru tahun 2022.

Ho : Tidak ada hubungan antara self stigma denga proses pemulihan orang

dengan gangguan jiwa

Anda mungkin juga menyukai