Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU BUNUH DIRI

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
PERILAKU BUNUH DIRI

A. PENGERTIAN DAN JENIS


1. Definisi
a. Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
(Stuart dan Sundeen, 2006).
b. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian (Gail w. Stuart, 2007)
c. Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, 2005)
d. Bunuh diri adalah ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai
gangguan depresif dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan,1997)
e. Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
2. Jenis
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan perilaku
resiko bunuh diri.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2006) faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah :
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
dan menyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
D. POHON MASALAH
Resiko bunuh diri

Isolasi sosial

Harga diri rendah

Koping keluarga tidak efektif kegagalan perpisahan


E. PENATALAKSANAAN
1. Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri, dengan cara :
a. Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi, sedang, rendah.
b. Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/ gaya hidup, dukungan social
yang tersedia, rencana tindakan yang bisa mengancam kehidupannya, koping
mekanisme yang biasa digunakan.
2. Berikan lingkungan yang aman ( safety) berdasarkan tingkatan resiko , managemen
untuk klien yang memiliki resiko tinggi
a. Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya ditempatkan didekat
ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.
b. Mengidentifikasi dan mengamankan benda – benda yang dapat membahayakan
klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik, sabuk, hanger dan barang
berbahaya lainnya.
3. Membantu meningkatkan harga diri klien
a. Tidak menghakimi dan empati
b. Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya
c. Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang lain
d. Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk klien dengan control impuls
yang rendah
e. Melakukan terapi kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila diindikasikan.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social
a. Informasikan kepada keluarga dan saudara klien bahwa klien membutuhkan
dukungan social yang adekuat
b. Bersama pasien menulis daftar dukungan sosial yang di punyai termasuk jejaring
sosial yang bisa di akses.
c. Dorong klien untuk melakukan aktivitas social
5. Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positip.
a. Mendorong ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif
b. Lakukan pembatasan pada ruminations tentang percobaan bunuh diri.
c. Bantu klien untuk mengetahui faktor predisposisi ‘ apa yang terjadi sebelum anda
memiliki pikiran bunuh diri’
d. Memfasilitasi uji stress kehidupan dan mekanisme koping
e. Explorasi perilaku alternative
f. Gunakan modifikasi perilaku yang sesuai
F. PENGKAJIAN FOKUS
1. Resiko bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
a. Data subjektif
1) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya
2) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli
3) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa
4) Mengungkapkan dirinya tidak berguna
5) Mengkritik diri sendiri
b. Data objektif
1) Merusak diri sendiri
2) Merusak orang lain
3) Menarik diri dari hubungan sosial
4) Tampak mudah tersinggung
5) Tidak mau makan dan tidak tidur
3. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
a. Data subyektif
Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
b. Data obyektif
Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan
kekerasan pada orang-orang disekitarnya.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko bunuh diri
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah (HDR)
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri
Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
a. Perkenalkan diri dengan klien
b. Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.
c. Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.
d. Bersifat hangat dan bersahabat.
e. Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.
2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
Tindakan :
a. Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet, gunting,
tali, kaca, dan lain lain).
b. Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.
c. Awasi klien secara ketat setiap saat.
3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
Tindakan:
a. Dengarkan keluhan yang dirasakan.
b. Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan
keputusasaan.
c. Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana harapannya.
d. Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan, kematian, dan
lain lain.
e. Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan keinginan
untuk hidup.
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
Tindakan:
a. Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
b. Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.
c. Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar sesama,   
keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
Tindakan:
a. Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang menyenangkan setiap
hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku favorit, menulis surat dll.)
b. Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan pentingnya
terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang kegagalan dalam
kesehatan.
c. Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang mempunyai suatu
masalah dan atau penyakit yang sama dan telah mempunyai pengalaman positif
dalam mengatasi masalah tersebut dengan koping yang efektif
Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Tujuan umum : meningkatkan kepercayaan diri pasien
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
c. Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri sendiri dan
keluarga
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan.
b. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
I. DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart and Sudden. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
2. Stuart, GW. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
3. Townsend, Marry C. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri edisi V. Jakarta. EGC
4. Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.
6. Rastirainia. 2009. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawtan Pada Klien Dengan
Perilaku Percobaan Bunuh Diri. Diakses dari situs
http://rastirainia.wordpress.com/2009 tanggal 27 September 2014
7. Kaplan, Harold. (2008). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. PENGERTIAN DAN JENIS


1. Definisi
a. Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
b. Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
c. Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.
2. Jenis-jenis gangguan jiwa
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi/kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia
harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) penampilan tidak rapi
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang.
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4) Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri.
D. POHON MASALAH

Kebersihan tidak adekuat (BAK/BAB, makan, minum dan


berdandan)

Defisit perawatan diri

Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri

Isolasi sosial
E. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan:
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
b. Tindakan Keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri Saudara dapat
melakukan tahapan tindakan yang meliputi:
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki tentu harus
dibedakan dengan wanita.
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
Untuk melatih makan pasien Saudara dapat melakukan tahapan sebagai
berikut:
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Saudara dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai tahapan
berikut:
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
2. Tindakan keperawatan pada keluarga
Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri juga ditujukan untuk
keluarga sehingga keluarga mampu mengarahkan pasien dalam melakukan
perawatan diri.
a. Tujuan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang
perawatan diri.
b. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara perawatan diri yang
baik maka perawat harus melakukan tindakan kepada keluarga agar keluarga
dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar kemampuan pasien
dalam perawatan dirinya meningkat.
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri yaitu :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri :
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri :
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan keterampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien
F. PENGKAJIAN FOKUS
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
a. Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu mandi, tidak bisa melakukan apa-apa
b. Data obyektif
Klien terlihat lebih kurang memperhatikan kebersihan, halitosis, badan bau, kulit
kotor
2. Isolasi Sosial
a. Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi sedih, Komunikasi
verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat tidur, Menolak
berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
3. Defisit Perawatan Diri
a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak – acakan
2) Badan dan pakaian kotor dan bau
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor
5) Kuku panjang dan tidak terawat
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
2. Defisit perawatan diri
3. Isolasi sosial
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa : Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri
Tujuan Khusus    :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
Intervensi :
1. Berikan salam setiap berinteraksi.
2. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
3. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
4. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
5. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
6. Buat kontrak interaksi yang jelas.
7. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
8. Penuhi kebutuhan dasar klien.
TUK II : klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
      Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
2. Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
3. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
4. Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien terhadap
hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
5. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
6. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti kebersihan
diri.
7. Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur), keramas
dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.
TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi :
1. Motivasi klien untuk mandi.
2. Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan
cara memelihara kebersihan diri yang benar.
3. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
4. Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
5. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
6. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.
TUK IV : Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
Intervensi :
1. Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk
mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.
TUK V : Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.
Intervensi :
1. Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK VI : Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Intervensi
1. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
2. Diskusikan bersama keluarga tentang tindakanyang telah dilakukan klien selama
di RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di RS.
3. Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang
telah dialami di RS.
4. Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien.
5. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
6. Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan
diri.
7. Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya:
mengingatkan pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.
 
2. Diagnosa 2           : Isolasi sosial
Tujuan Umum     : klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi
Tujuan Khusus    :
TUK I                   : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas
tentang topik, tempat dan waktu.
2. Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
3. Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru,
tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
TUK II                 : Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Intervensi
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri atau mau bergaul
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
TUK  III  : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
- Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
2. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain
4. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang
lain
b. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
TUK  IV  : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Intervensi
1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
2. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
4. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
5. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
6. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
7. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
TUK  IV  : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan
orang lain
Intervensi
1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang
lain
2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang
lain
3. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
3. Diagnosa 3           : Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
Tujuan Umum     : Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus    :
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi :
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
b. Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
c. Melatih pasien makan secara mandiri
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
2) Menjelaskan cara makan yang tertib
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
4) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
d. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
I. DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
2. Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
3. Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
4. Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
5. Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
6. Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
7. Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
8. Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
9. Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
10. Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta :
Prima Medika.
11. Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
12. Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
13. Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri edisi 3. Jakarta. EGC

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
HALUSINASI

A. PENGERTIAN DAN JENIS


1. Definisi
a. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
b. Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi
pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut
terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri
individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata,
yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
c. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2005).
d. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa
melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada
sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2006).
e. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
2. Klasifikasi
a. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang
membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada
suara di sekitarnya.
b. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau
sesuatu yang tidak ada.
c. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang
mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan,
bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
d. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau /
hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
e. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa
ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan
seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
A. Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan
dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak
tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon
dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.

2. Faktor presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
B. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
1. Bicara sendiri.
2. Senyum sendiri.
3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.\
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Tingkatan halusinasi, menurut Stuart (2007), terdiri dari 4 fase :
Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti
peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik
dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita.
Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat,
tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi
yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di
sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap
perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien
sangat membahayakan
C. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH

D. PENATALAKSANAAN
1. Psikofarmako
Psikofarmako adalah terapi dengan menggunakan obat, tujuannya untuk
mengurangi/menghilangkan gejala gangguan jiwa. Berdasarkan khasiat obat yang
tergolong dalam pengobatan psikofarmako antara lain:
a. Clorpromazine (CPZ)
1) Aturan pakai : 3 x 25 mg/hari, kemudian dinaikan sampai dosis optimal.
2) Indikasi : Untuk pengobatan psikosa untuk mengurangi gejala anemis
3) Efek samping : Hipotensi, aritmis kordis, takikardi, penglihatan kabur.
b. Tritopirazine (Stelazine)
1) Aturan pakai : 3 x 1 samapi 5 mg dosis tertinggi 50 mg/hari.
2) Indikasi : Diberikan pada pasien gangguan mental organic dan gejala spikotik
yang menarik.
3) Efek samping : Gejala extrapiramidal.
c. Diazepam
1) Indikasi : Psikoneuronesis anxietas
2) Efek samping : Mengantuk, mual, kadang-kadang konstipasi.
d. Triheksifenidil HCL (Arxne)
1) Indikasi : Berbagai bentuk parkinsonisme
2) Aturan pakai : Hari pertama diberikan 1 mg, hari ke 1 diberikan 2 mg/hari
sehingga mencapai 6-10 mg/hari yang diberikan 3-4 kali pada waktu makan.
e. Amitripilin (Laxori)
1) Indikasi : Dosis awal 75-100 mg/hari, pemulihan 25-75 mg/hari.
2) Aturan pakai : Diberikan pada klien dengan gejala depresi akibat keluhan
somatic.
2. Psikoterapi
Psikoterapi membutuhkan waktu yang relatif lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi ;
memberikan rasa nyaman dan tenang, menciptakan lingkungan yang tenang, bersikap
empati, menerima klien apa adanya, motivasi klien untuk dapat mengungkapkan
perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur.
3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melakukan aktivitas/tugas yang sengaja dipilih dengan maksud
untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang. Terapi
okupasi menggunakan pekerjaan atau kegiatan sebagi media. Pelaksanaan terapi
okupasi sesuai dengan keadaan klien dan jenis kegiatan atau pekerjaan disesuaikan
minat klien.
E. PENGKAJIAN FOKUS
1. Risiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan saya suka marah-marah kesal, tidak mau diganggu dan
pergi tanpa tujuan jika suara-suara itu muncul.
2) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak suka tiduran, gelisah, mondar-mandir, melamun ditempat tidur
dan menyendiri.
2) Klien sering marah-marah tanpa sebab.
2. Perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan saya sering mendengar suara-suara yang mengejek saya.
2) Klien mengatakan suara itu muncul ketika saya merasa bingung dan sendirian.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak berbicara sendiri.
2) Pandangan klien tampak terfokus satu arah.
3) Klien tampak tertawa sendiri.
4) Klien tampak mengarahkan telingan pada sumber suara.
3. Isolasi sosial
a. Data Subjektif
1) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
2) Klien merasa ditolak oleh orang lain.
3) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b. Data Objektif
1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2) Kontak mata klien kurang.
3) Klien tampak sedih, dan leih senang bicara sendiri.
4. Harga Diri Rendah Kronis
a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan rasa bersalah terhadap dirinya.
2) Klien mengatakan sulit untuk bergaul dengan orang lain.
3) Klien mengatakan kurang selera makan.
b. Data Objektif
1) Klien tampak merusak/melukai diri sendiri.
2) Klien tampak menghindari kesenangan yang memberi rasa kepuasan.
3) Klien tampak tidak bisa menerima pujian.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Klasifikasi halusinasi Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri.
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan
halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
b. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara
memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk
digunakan
c. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan
cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
a. Bina Hubungan saling percaya
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Dengarkan ungkapan klien dengan empati
d. Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan
dengan kondisi klien).
e. Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan
halusinasi.
f. Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku
halusinasi.
g. Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan
halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
h. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
i. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami
halusinasi.
j. Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
k. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi
yang sesuai dengan klien.
l. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
m. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi
n. Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
o. Bantu klien menggunakan obat secara benar.
2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
b. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk
bersama.
c. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
d. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
e. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap
dengan keluarga
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Buat kontrak dengan klien.
c. Lakukan perkenalan.
d. Panggil nama kesukaan.
e. Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
f. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya serta
beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau
bergaul/menarik diri.
g. Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang
mungkin jadi penyebab.
h. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
i. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
j. Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap
yang ditentukan.
k. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
l. Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan
m. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
n. Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
o. Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
p. Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
q. Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan cara
keluarga menghadapi.
r. Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
s. Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali
seminggu.
3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
b. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
c. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri pasien mampu membuat perencanaan
yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
d. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan
rencanan
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi
fisik.
b. Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
c. Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan
di rumah sakit.
d. Berikan pujian.
e. Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
f. Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
g. Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
h. Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap
stressor.
i. Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan
perilakunya.
j. Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
k. Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
l. Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
m. Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
n. Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
o. Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya
bukan orang lain
p. Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan
perawat).
q. Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
r. Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
s. Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi
yang ada pada dirinya.
H. DAFTAR PUSTAKA
1. Keliat, Budi Anna dll. (2001). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC: Jakarta.
2. Rasmun, 2000, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga, Jakarta, CV. Agung Seto.
3. Stuart, Gail W. (2007) Buku  Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
4. Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. Setiono, Wiwing. 2013. Laporan Pendahuluan gangguan persepsi. Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-gangguan-
persepsi.html pada hari sabtu 27 September 2014.
6. Nasution, S. S. (2003). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perubahan
sensoro Persepsi : Halusinasi. Dibuka pada website
http://www.nersgun.multiply.multiply content.com /27 September 2014.
7. Izzudin. (2006). Analisis Pengaruh Faktor Personality terhadap Asuhan
Keperawatan pada Perawat Rawat Inap RSJ dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Diambil pada tanggal 27 September 2014 dari http://eprints.undip.ac.id/
8. Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press;
2005. p. 63-9.
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
HARGA DIRI RENDAH

J. PENGERTIAN DAN JENIS


3. Definisi
a. Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri atau
cita – cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia. (Budi Ana Keliat,
2009).
b. Harga diri rendah adalah perilaku negatif terhadap diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung maupun tak
langsung. (Towsend, M.C. 2011).
c. Gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult &
videbeck, 2009).
d. Harga diri rendah adalah perilaku negatif terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tak langsung. (Scultz dan Videback, 2009).
e. Harga diri rendah adalah keadaan ketika individu mengalami evaluasi diri negatif
mengenai diri atau kemampuan diri. (Lynda Juall Carpenito-Moyet, 2007)
2. Jenis
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dan dapat terjadi secara :
a. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan, dicerai suami,
putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu (korban perkosaan,
dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba). Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri
rendah, karena :
a. Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang sembarangan,
pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis, pemasangan kateter,
pemeriksaan perneal).
b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/
sakit/ penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan.
b. Kronik
Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/
dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan
menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptive. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronis atau
pada klien gangguan jiwa. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab HDR adalah
kegagalan tumbuh kembang, misalnya sering disalahkan, kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima dalam kelompok (Yosep, 2007)
Tanda dan Gejalanya :
a. Data subjektif : mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan orang lain dan
mengungkapkan malu dan tidak bisa bila diajak melakukan sesuatu.
b. Data objektif : tampak ketergantungan pada orang lain, tampak sedih dan tidak
melakukan aktivitas yang seharusnya dapat dilakukan, wajah tampak murung.
K. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi :
a. Faktor predisposisi gangguan citra tubuh
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan
perkembangan atau penyakit)
3) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi tubuh
4) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterpi, transplantasi
b. Faktor predisposisi gangguan harga diri
1) Penolakan dari orang lain
2) Kurang penghargaan
3) Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu
dituntut dan tidak konsisten
4) Persaingan antar saudara
5) Kesalahan dan kegagalan yang berulang
6) Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan

c. Faktor predisposisi gangguan peran


1) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi
dan keadaan sehat sakit
2) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan
secara terus menerus yang tidak terpenuhi
3) Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang harapan peran
yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai
4) Peran yang terlalu banyak
d. Faktor predisposisi gangguan identitas diri
1) Ketidak percayaan orang tua pada anak
2) Tekanan dari teman sebaya
3) Perubahan dari struktur sosial
2. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus terjadinya gangguan konsep diri bisa timbul dari sumber internal
maupun eksternal klien, yaitu :
a. Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang
mengancam kehidupannya.
b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana
individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga jenis transisi peran :
c. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang berkaitan dengan
pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu
atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan penyesuaian diri.
d. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambahnya atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
e. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh : Kehilangan bagian tubuh. Perubahan
bentuk, ukuran, panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.
L. MANIFESTASI KLINIS
Ada 10 cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri rendah (Stuart dan
Sundeen, 2006)
1. Mengejek dan mengkritik diri sendiri
2. Merendahkan atau mengurangi martabat diri sendiri
3. Rasa bersalah atau khawatir
4. Manisfestasi fisik : tekanan darah tinggi, psikosomatik, dan penyalahgunaan zat.
5. Menunda dan ragu dalam mengambil keputusan
6. Gangguan berhubungan, menarik diri dari kehidupan sosial
7. Menarik diri dari realitas
8. Merusak diri
9. Merusak atau melukai orang lain
10. Kebencian dan penolakan terhadap diri sendiri
M. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH
Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

Gangguan citra tubuh


N. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005,hal.231).
2. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat
b. Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil
c. Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif
maupun gejala negative skizofrenia
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kogbiti
e. Tidak menyebabkan kantuk
f. Memperbaiki pola tidur
g. Tidak menyebabkan habituasi, adikasi dan dependensi
h. Tidak menyebabkan lemas otot.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh
dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama
(typical) dan golongan kedua (atypical).Obat yang termasuk golongan generasi pertama
misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk
generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan
aripiprazole.
Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksudmeliputi :
1) Chlorpromazine ( CPZ ) : 3 x100 mg
a) Indikasi
Untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dam melakukan kegiatan rutin.
b) Cara kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap di otak khususnya sistem
ekstra piramidal.
c) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran yang disebabkan CNS
Depresi.
d) Efek samping
(1) Sedasi
(2) Gangguan otonomik (hypotensi, antikolinergik / parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra okuler meninggi, gangguan irama jantung).
(3) Gangguan ekstra piramidal ( distonia akut, akatshia, sindrom parkinsontremor,
bradikinesia rigiditas ).
(4) Gangguan endokrin ( amenorhoe, ginekomasti ).
(5) Metabolik ( Jaundice )
(6) Hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka pan
2) Halloperidol ( HP ) : 3 x 5 mg
a) Indikasi
Penatalasanaan psikosis kronik dan akut, gejala demensia pada lansia, pengendalian
hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada anak-anak.
b) Cara kerja
Halloperidol merupakan derifat butirofenon yang bekerja sebagai antipsikosis kuat
dan efektif untuk fase mania, penyebab maniak depresif, skizofrenia dan sindrom
paranoid. Di samping itu halloperidol juga mempunyai daya anti emetik yaitu
dengan menghambat sistem dopamine dan hipotalamus. Pada pemberian oral
halloperidol diserap kurang lebih 60–70%, kadar puncak dalam plasma dicapai dalam
waktu 2-6 jam dan menetap 2-4 jam. Halloperidol ditimbun dalam hati dan ekskresi
berlangsung lambat, sebagian besar diekskresikan bersama urine dan sebagian kecil
melalui empedu.
c) Kontra indikasi
Parkinsonisme, depresi endogen tanpa agitasi, penderita yang hipersensitif terhadap
halloperidol, dan keadaan koma.
d) Efek samping
Pemberian dosis tinggi terutama pada usia muda dapat terjadi reaksi ekstapiramidal
seperti hipertonia otot atau gemetar. Kadang-kadang terjadi gangguan percernaan
dan perubahan hematologik ringan, akatsia, dystosia, takikardi, hipertensi, EKG
berubah, hipotensi ortostatik, gangguan fungsi hati, reaksi alergi, pusing,
mengantuk, depresi, oedem, retensio urine, hiperpireksia, gangguan akomodasi.
3) Trihexypenidil ( THP ) : 3 x 2 mg
a) Indikasi
Semua bentuk parkinson (terapi penunjang), gejala ekstra piramidal berkaitan
dengan obat-obatan antipsikotik.
b) Cara kerja
Kerja obat-obat ini ditujukan untuk pemulihan keseimbangan kedua
neurotransmiter mayor secara alamiah yang terdapat di susunan saraf pusat
asetilkolin dan dopamin, ketidakseimbangan defisiensi dopamin dan kelebihan
asetilkolamin dalam korpus striatum. Reseptor asetilkolin disekat pada sinaps untuk
mengurangi efek kolinergik berlebih.
c) Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini atau antikolonergik lain, glaukoma, ulkus peptik
stenosis, hipertrofi prostat atau obstruksi leher kandung kemih, anak di bawah 3
tahun, kolitis ulseratif.
d) Efek samping
Pada susunan saraf pusat seperti mengantuk, pusing, penglihatan kabur,
disorientasi, konfusi, hilang memori, kegugupan, delirium, kelemahan, amnesia,
sakit kepala. Pada kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, hipertensi, takikardi,
palpitasi. Pada kulit seperti ruam kulit, urtikaria, dermatitis lain. Pada
gastrointestinal seperti mulut kering, mual, muntah, distres epigastrik, konstipasi,
dilatasi kolon, ileus paralitik, parotitis supuratif. Pada perkemihan seperti retensi
urine, hestitansi urine, disuria, kesulitan mencapai atau mempertahankan ereksi.
Pada psikologis seperti depresi, delusu, halusinasi, dan paranoid.
3. Psikosomatik
a. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples.
Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis, 2005).
b. Keperawatan
Biasanya yang dilakukan yaitu Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana
pengobatan untuk skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan
klien.Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial.Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal.Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata. (Kaplan dan Sadock,1998).
c. Therapy aktivitas kelompok
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan
Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling
relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah
therapyaktivitas kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan
terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil
diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian
masalah.(Keliat dan Akemat,2005).
O. PENGKAJIAN FOKUS
1. Menarik diri
a. Data Obyektif :
 Apatis, ekspresi sedih, efek tumpul.
 Komunikasi kurang atau tidak ada.
 Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
 Berdiam diri dikamar/ tempat terpisah ; klien kurang mobilisasi.
 Menolak berhubungan dengan orang lain.
 Tidak melakukan kegiatan sehari- hari.
b. Data Subyektif
 Klien mengatakan lebih suka sendiri daripada berhubungan dengan orang lain.
2. Harga diri rendah.
a. Data Obyektif :
 Perasaan malu terhadap diri sendiri.
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik diri).
 Merendahkan martabat.
 Gangguan hubungan social, menarik diri, lebih suka sendiri.
 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
 Menciderai diri akibat harga diri rendah serta tatapan yang suram.
b. Data Subyektif
 Klien mengatakan : saya tidak bisa, tidak mampu, bodoh, tidak tahu apa-apa.
 Klien megungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
3. Gangguan citra tubuh
a. Data Obyektif :
 Menolak melihat, menyentuh bagian tubuh yang berubah.
 Menolak penjelasan perubahan tubuh.
 Persepsi negative terhadap perubahan tubuh.
 Mengungkapkan keputusasaan.
 Mengungkapkan ketakutan.
b. Data Subyektif
 Klien mengatakan malu terhadap dirinya sendiri.
P. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Harga diri rendah
3. Gangguan citra tubuh
Q. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1: Isolasi sosial: menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
dengan cara :
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
a) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
c) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
d) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Tindakan :
a) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
c) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain
d) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
e) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
f) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
g) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang
lain
h) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain
i) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial\
Tindakan:
a) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
 Klien – Perawat
 Klien – Perawat – Perawat lain
 Klien – Perawat – Perawat lain – Klien lain
 Klien – Keluarga atau kelompok masyarakat
c) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Tindakan:
a) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan
orang lain
b) Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain.
c) Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
 Salam, perkenalan diri
 Jelaskan tujuan
 Buat kontrak
 Eksplorasi perasaan klien
b) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
 Perilaku menarik diri
 Penyebab perilaku menarik diri
 Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
 Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
 Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien
minimal satu kali seminggu
 Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga
2. Diagnosa II : harga diri rendah.
Tujuan umum: Kien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.
Tujuan khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1) Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip komunikasi terapeutik:
a) Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g) Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b) Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c) Utamakan memberi pujian yang realistik.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4) Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.
b) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
c) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b) Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat klien dengan
harag diri rendah.
b) Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat.
c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah.

3. Diagnosa II: Gangguan Citra Tubuh.


Tujuan umum: klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan
meningkat harga dirinya.
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan tujuan
interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat
dan topik pembicaraan)
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
4) Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan:
1)Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2)Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi pujian
yang realistis
3)Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan


Tindakan:
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2) Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
d. Klien dapat menetapkan/merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki
Tindakan:
1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
3) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan:
1) Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
2) Beri pujian atas keberhasilan klien
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f.Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan:
1)Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
2)Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
3)Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
4)Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
R. DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall. (2003). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC:   Jakarta.
2. Keliat, Budi Anna dll. (2001). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC: Jakarta.
3. Schultz dan Videback. (2009). Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5th edition. Lippincott-
Raven Publisher: Philadelphia.
4. Stuart and Sundeen (2006), ”Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa”, alih bahasa Hapid
AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Townsend. (2011). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing a Pocket Guide for Care Plan
Construction. Edisi V. Jakarta : EGC
6. Atom. 2013. Laporan Pendahuluan Harga Diri Rendah. Diunduh dari
http://asuhankeperawatan4u.blogspot.com/2012/06/laporan-pendahuluan-harga-diri-
rendah.html pda hari sabtu, 27 September 2014
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
ISOLASI SOSIAL

A. PENGERTIAN
1. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
2. Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme
individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari
interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009). 
3. Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima sebagai
perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau mengancam
(Wilkinson, 2007).
4. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend, 2011).
5. Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna
Kelliat, 2006 ).
6. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin, 1993 dikutip Budi Kelliat, 2009).
7. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat,2009).
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku isolasi
sosial, antara lain :
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi sampai
dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga mempunyai masalah
respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat
mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama
dengan tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yng lebih tepat
tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaboratif
dapat mengurangi masalah respon sosial menarik diri.
b. Faktor biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Genetik
merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak,
seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini merupakan
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang
cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat dapat terjadi karena mengadopsi
norma, perilaku dan sitem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
Harapan yang tidak realistis terhadap hubungn merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini (Stuart dan Sudden, 2006)
2. Faktor Presipitasi
Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang menarik
diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dario berbagai stressor antara lain:
a. Stressor sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gaangguan dalam membina
hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya stabilitas unit keluarga,
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di
rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan kemampuan
untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan seseorang mengalami gangguan
hubungan (menarik diri) (Stuart and Sundeen, 2006)
c. Stressor intelektual
1) Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk berbagai pikiran
dan perasaan yang mengganggu pengembangan hubungan dengan orang lain.
2) Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan kesulitan dalam
menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan orang lain akan
persepsi yang menyimpang dan akan berakibat pada gangguan berhubungan
dengan orang lain.
d. Stressor fisik
1) Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang menarik diri
dari orang lain
2) Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu sehingga
mengakibatkan menarik diri dari orang lain.
C. MANIFESTASI KLINIS
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial :
1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak memperlihatkan kebersihan
5. Tidak ada dan tidak memperhatikan kebersihan
6. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
7. Mengisolasi diri
8. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
9. Asupan makanan dan minuman terganggu
10. Retensi urin dan feses
11. Aktivitas menurun
12. Kurang energi (tenaga)
13. Rendah diri
14. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin (khususnya pada posisi tidur)
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan
intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi
dan risiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan
orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh
terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri.
Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut
berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif). Peranan keluarga cukup besar
dalam mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem
pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung
seseorang memiliki harga diri rendah.
D. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medis (Dalami, dkk, 2009)
Isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka
jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan adalah :
1) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana arus
listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan
dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan
kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon
bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia
dalam otak.
Indikasi :
a) Depresi mayor
(1) Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak ada perhatian
lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan berat badan yang berlebihan
dan adanya ide bunuh diri yang menetap.
(2) Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau memberikan respon
membaik pada ECT.
(3) Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan antidepresan
atau klien tidak dapat menerima antidepresan.
b) Maniak
Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang lain atau terapi
lain berbahaya bagi klien.
c) Skizofrenia
Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi bermanfaat pada
skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh.
2) Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati,
menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan
perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur kepada klien.
3) Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang (Dalami, dkk.,
2009).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Modalitas Keperawatan yang dilakukan adalah:
1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
a) Pengertian
TAK merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama (Keliat,
2004)
b) Tujuan
Membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah
perilaku yang destruktif dan maladaptif. (Keliat, 2004)
c) Terapi aktivitas kelompok yang digunakan untuk pasien dengan isolasi sosial
adalah TAK Sosialisasi dimana klien dibantu untuk melakukan sosialisasi
dengan individu yang ada di sekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan
secara bertahap dari interpersonal, kelompok dan massa (Keliat, 2004).
c. Prinsip Perawatan Isolasi Sosial
1) Psikoterapeutik
a) Bina hubungan saling percaya :
(1) Buat kontrak dengan pasien memperkenalkan nama perawat pada waktu
interaksi dan tujuan.
(2) Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk
menunjukan penghargaan yang tulus.
(3) Jelaskan pada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan
diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
b) Berkomunikasi dengan pasien secara jelas dan terbuka
(1) Bicarakan dengan pasien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah
yang sederhana.
(2) Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraan dengan perawat.
(3) Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
(4) Tunjukan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan perasaannya.
c) Kenal dan dukung kelebihan klien
Tunjukkan dan cari penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien,
cara menceritakan perasaannya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya.
(1) Bahas dengan klien tentang koping yang konstruktif.
(2) Dukung koping klien yang konstruktif.
(3) Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.
d) Bantu klien mengurangi ansietasnya ketika hubungan interpersonal
(1) Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
(2) Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
(3) Temani klien beberapa saat dengan duduk di sampingnya.
(4) Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
(5) Libatkan klien dalam aktifitas kelompok.
2) Pendidikan kesehatan
a) Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan klien selain kata-kata
seperti menulis, menangis, menggambar, berolahraga atau bermain musik.
b) Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
c) Jelaskan dan anjurkan pada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan
dengan klien.
d) Anjurkan kepada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam kegiatan di
masyarakat.
3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
a) Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakan
secara mandiri.
b) Bimbing klien berpakaian yang rapi.
c) Batasi kesempatan untuk tidur, sediakan sarana informasi dan hiburan seperti
majalah, surat kabar, radio dan televisi.
d) Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.
4) Lingkungan terapeutik
a) Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain
di lingkungan.
b) Cegah agar klien tidak berada di dalam ruang sendiri dalam jangka waktu
yang lama.
c) Beri rangsangan sensorik seperti suara musik, gambar hiasan di ruangan
(Nursing Poltekes, 2012).
F. PENGKAJIAN FOKUS
Menurut Towsend.M.C dan Carpenito L.J Isolasi sosial: menarik diri sering
ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut: kurang spontan, apatis, ekspresi
wajah tidak berseri, tidak memperhatikan kebersihan diri, komunikasi verbal kurang,
menyendiri, tidak peduli lingkungan, asupan makanan terganggu, retensi uriendan feses,
aktivitas menurun, posisi baring seperti feses, menolak berhubungan dengan orang lain.
1. Data Subyektif
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subyektif
adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak
tahu”.
2. Data obyektif
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan:
a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
b. Menghindar dari orang lain (menyindir), klien tampak dari orang lain, misalnya
pada saat makan.
c. Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/ perawat
d. Tidak ada kontk mata, klien lebih sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar/ tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
f. Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau
pergi jika diajak bercakap-cakap.
g. Tidak melakukan kegatan sehari-hari. Artinya perawatn diri dan kegiatan rumah
tangga sehari-hari tidak dilakukan.
h. Posisi janin pada saat tidur.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial
2. Kerusakan komunikasi verbal
3. Sindroma kurang perawatan diri
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1 : Isolasi sosial
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi
halusinasi
Tujuan Khusus :
b. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
h) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
i) Perkenalkan diri dengan sopan
j) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
k) Jelaskan tujuan pertemuan
l) Jujur dan menepati janji
m) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
n) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
e) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
g) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
h) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Tindakan :
j) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
k) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
l) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain
m) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
n) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
o) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain
p) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
q) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
r) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial\
Tindakan:
h) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
i) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :
 Klien – Perawat
 Klien – Perawat – Perawat lain
 Klien – Perawat – Perawat lain – Klien lain
 Klien – Keluarga atau kelompok masyarakat
j) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
k) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
l) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu
m) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
n) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang
lain
Tindakan:
d) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain
e) Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain.
f) Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan
perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
c) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
 Salam, perkenalan diri
 Jelaskan tujuan
 Buat kontrak
 Eksplorasi perasaan klien
d) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
 Perilaku menarik diri
 Penyebab perilaku menarik diri
 Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
 Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
 Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk
klien minimal satu kali seminggu
 Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga
2. Diagnosa 2 : Kerusakan komunikasi verbal
Tujuan jangka pendek :
Pasien dapat menunjukkan kemampuan untuk bertahan pada 1 topik, menggunakan
ketepatan kata, melakukan kontak mata intermiten selama 5 menit dengan perawat
selama 1 minggu.
Tujuan jangka panjang :
Pasien dapat menunjukkan kemampuan dalam melakukan komunikasi verbal dengan
perawat dan sesama pasien dalam suatu lingkungan sosial dengan cara yang sesuai /
dapat diterima.
Kriteria hasil yang diharapkan :
a. Pasien dapat berkomunikasi dengan cara yang dapat dimengerti dan diterima
orang lain.
b. Pesan non verbal pasien sesuai dengan verbalnya.
c. Pasien dapat mengakui bahwa disorganisasi pikiran dan kelainan komunikasi
verbal terjadi pada saat adanya peningkatan anxietas.
Intervensi Keperawatan :
a. Gunakan teknik validasi dan klarifikasi untuk mengerti pola komunikasi pasien..
Rasional : Teknik ini menyatakan kepada pasien bagaimana ia dimengerti oleh
orang lain, sedangkan tanggung jawab untuk mengerti ada pada perawat.
b. Pertahankan konsistensi perawat yang bertugas
Rasional : Memudahkan rasa percaya dan kemampuan untuk mengerti tindakan
dan komunikasi pasien.
c. Jelaskan kepada pasien dengan cara yang tidak mengancam bagamana perilaku
dan pembicaraannya diterima dan mungkin juga dihindari oleh orang lain.
d. Jika pasien tidak mampu atau tidak ingin bicara (autisme), gunakan teknik
mengatakan secara tidak langsung.
Rasional : Hal ini menyampaikan rasa empati, mengembangkan rasa percaya dan
mendorong pasien mendiskusikan hal-hal yang menyakitkan dirinya.
e. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien sampai pola komunikasi yang
memuaskan kembali.
Rasional : Kenyamanan dan keamanan pasien merupakan prioritas keperawatan. 
3. Diagnosa 3 : Sindroma kurang perawatan diri
Tujuan jangka pendek :
Pasien dapat mengatakan keinginan untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
dalam 1 minggu.
Tujuan jangka panjang :
Pasien mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri dan
mendemonstrasikan suatu keinginan untuk melakukannya.
Kriteria hasil yang diharapkan :
a. Pasien makan sendiri tanpa bantuan.
b. Pasien memilih pakaian yang sesuai, berpakaian merawat dirinya tanpa bantuan.
c. Pasien mempertahankan kebersihan diri secara optimal dengan mandi setiap hari
dan melakukan prosedur defekasi dan berkemih tanpa bantuan.
Intervensi keperawatan :
a. Dukung pasien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai tingkat
kemampuan pasien.
Rasional : Keberhasilan menampilkan kemandirian dalam melakukan aktifitas
akan meningkatkan harga diri.
b. Dukung kemandirian pasien, tapi berikan bantuan saat pasien tidak dapat
melakukan beberapa kegiatan.
Rasional : Kenyamanan dan keamanan pasien merupakan prioritas dalam
keperawatan.
c. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuannya mandiri.
Rasional : Penguatan positif akan meningkatkan harga diri dan mendukung
pengulangan perilaku yang diharapkan.
d. Perlihatkan secara konkret, bagaimana melakukakn kegiatan yang menurut pasien
sulit melakukannya.
Rasional : Penjelasan harus sesuai dengan tingkat pengertian yang nyata.
e. Buat catatan secara terinci tentang makanan dan cairan.
Rasional : Informasi yang penting untuk mendapatkan gambaran nutrisi yang
adekuat.
f. Berikan makanan kudapan dan cairan diantara waktu makan.
Rasional : Pasien mungkin tidak mampu mentoleransi makanan dalam jumlah
besar pada saat makan dan membutuhkan penambahan diluar waktu makan.
g. Jika pasien tidak makan karena curiga dan takut diracuni, berikan makanan
kaleng dan biarkan pasien sendiri yang membukanya, atau disajikan dalam
kekeluargaan.
Rasional : Pasien dapat melihat setiap orang makan dari hidangan yang sama.
h. Tetapkan jadwal defekasi dan berkemih, bantu pasien ke kamar mandi sesuai
jadwal, sampai pasien mampu melakukan tanpa bantuan orang lain.Dukung
kemandirian pasien, tapi berikan bantuan saat pasien  tidak mampu melakukan
beberapa kegiatan.
I. DAFTAR PUSTAKA
1. Townsend M. C,  (2011). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri,
Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan , Edisi V. Jakarta : EGC.
2. Anna Budi Keliat, S.Kp. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..
3. Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).
Jakarta : fajar Interpratama.
4. Stuart and Sundeen (2006), ”Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa”, alih bahasa
Hapid AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Carpenito, Lynda Juall (2009) Diagnosis Keperawatan : Aplikasi Pada Praktis Klinis
Edisi 9. Jakarta : EGC.
6. Direja, Ade Herman Surya (2011) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
7. Keliat, Budi Anna (2005) Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 3. Jakarta : EGC.
8. Stuart, Gail W. (2007) Buku  Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
9. Nursing Poltekes. (2012) “Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial”. (Online), (http://
keperawatanpoltekkes26.blogspot.com/2012/01/asuhan-keperawatan-isolasi-
sosial.html, diakses pada 27 September 2014).
10. Setiono, Wiwing (2013) Laporan Pendahuluan Isolasi sosial. Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-isolasi-sosial.html
pada hari sabtu, 27 September 2014
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

S. PENGERTIAN DAN JENIS


4. Definisi
a. Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (Fitria, 2009).
b. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba dkk, 2008).
c. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat,
membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-
maki orang disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain,
bahkan membakar rumah.
d. Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau
perampasan hak
e. Menurut Townsend (2011), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
f. Menurut Stuart dan Sundden (2006), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
g. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2003).
5. Jenis
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi
terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi,
wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun,
pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat
diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku
dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu
dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk
mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga
untuk pengembangan diri klien.
c. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan
T. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan  perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif.
Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan
dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam
menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

U. MANIFESTASI KLINIS
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
a. Fisik
i. Muka merah dan tegang
ii. Mata melotot/ pandangan tajam
iii. Tangan mengepal
iv. Rahang mengatup
v. Postur tubuh kaku
vi. Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
V. POHON MASALAH
W. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
2. Psikofarmaka
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan
hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada keadaan
amuk.
3. Psikosomatik
a. Terapi konvulsi kardiasol, dengan menyuntikkan larutan kardiazol 10% sehingga timbul
konvulsi
b. Terapi koma insulin, dengan menyuntikkan insulin sehingga pasien menjadi koma,
kemusian dibiarkan 1-2 jam, kemudian dibangunkan dengan suntikan gluk
X. PENGKAJIAN FOKUS
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subyektif :
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika    sedang kesal
atau marah.
c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Obyektif :
a. Mata merah, wajah agak merah.
b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri
sendiri/orang lain.
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d. Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan
a. Data Subyektif :
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika    sedang kesal
atau marah.
c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Obyektif ;
a. Mata merah, wajah agak merah.
b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d. Merusak dan melempar barang-barang.
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
a. Data Subyektif:
a. Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data Obyektif:
a. Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
Y. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Perilaku kekerasan
2. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
3. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Z. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Resiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum : Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang   dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah
raga, memukul bantal / kasur.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
d. Secara spiritual : berdoa, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi
kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
a. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).
b. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan
waktu).
c. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Diagnosa II Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
Tujuan umum: Kien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.
Tujuan khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1) Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip komunikasi terapeutik:
a) Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g) Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b) Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c) Utamakan memberi pujian yang realistik.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4) Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.
b) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
c) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b) Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat klien dengan
harag diri rendah.
b) Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat.
c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah.

Diagnosa III   : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan umum : Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan khusus :                                                       
1. Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
2. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
3. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya
4. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang baik
Tindakan :
a. Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang laain dan lingkungan
b. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
1) Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
2) Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
3) Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
5) Merencanakan yang dapat pasien lakukan
c. Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
2) Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara penyelesian masalah
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik
AA. DAFTAR PUSTAKA
1. Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
2. Keliat, B. A. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
3. Stuart and Sundeen (2006), ”Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa”, alih bahasa Hapid
AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Townsend C. Mary , 2011, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi V, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC ; Jakarta.
5. Nita, Fitria. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Penerbit Buku : Salemba Medika. Jakarta.
6. Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
7. Berkowitz, Leonard. (2003).  Emotional Behavior. Buku Kesatu Terj. Hartatni WoroSusiatni.
Jakarta: Penerbit PPM
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

Diajukan guna memenuhi tugas pendalaman keperawatan jiwa pendidikan Strata I


Keperawatan di STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Oleh :
ZAENAL ABIDIN
NIM. 10/1797/PR/0151

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2014
WAHAM
BB. PENGERTIAN DAN JENIS
1. Definisi
a. Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Aziz R, dkk, 2003).
b. Waham adalah kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan dengan isi
pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Atau kepercayaan yang telah
terpaku/terpancang kuat dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan
kenyataan tetapi tetap dipertahankan. Jika disuruh membuktikan berdasar akal
sehatnya, tidak bias. Atau disebut juga kepercayaan yang palsu dan sudah tidak
dapat dikoreksi (Baihaqi, 2007).
c. Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta
dan keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah nabi yang
menciptakan biji mata manusia”) atau bias pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak
mungkin, contoh masyarakat di surge selalu menyertai saya kemanapun saya
pergi”) dan tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang
jelas untuk mengoreksinya (Purba dkk, 2008).
2. Jenis Waham
a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “saya ini
pejabat departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya tambang emas”.
b. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurka hidup saya
karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.
c. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh, “kalau saya
mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setip hari”.
d. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengataka bahwa ia sakit kanker.)
e. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia/meniggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kadaan nyata. Misalnya, “Ini kana
lam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”
f. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
g. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di luar
dirinya.
3. Tingkatan
a. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik maupun
psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status
sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita.
Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi
kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana
tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat
berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat
pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh
rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
b. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal
dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya,
saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang
canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap
memasang self ideal  yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat
jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system
semuanya sangat rendah.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakan
adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi
menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan
menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak
kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat
karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi  tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih
sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang
). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan
cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang
dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
CC. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya waham yang dijelaskan oleh Towsend
(2011) adalah :
a. Teori Biologis
Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
waham:
1) Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu
kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan
yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
2) Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizofrenia mungkin pada kenyataannya merupakan suatu kecacatan sejak
lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu
kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang
menderita skizofrenia.
3) Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamin neurotransmiter
yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala peningkatan aktivitas yang
berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi pada
psikosis.
b. Teori Psikososial
a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (2011) menggambarkan
perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam
anak akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansielas dan
suatu kondsi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan yang
saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-anak. Anak
harus meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan anak dan masuk
ke dalam masa dewasa, dan dimana dimasa ini anak tidak akan mamapu
memenuhi tugas perkembangan dewasanya.
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan
menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak
menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dari orang
tua dan tidak mampu membentuk rasa percaya terhadap orang lain.
c. Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego
yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling
mempengaruhi antara orang tua, anak. Karena ego menjadi lebih lemah
penggunaan mekanisme pertahanan ego pada waktu kecemasan yang ekstrim
menjadi suatu yang maladaptif dan perilakunya sering kali merupakan
penampilan dan segmen id dalam kepribadian.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan neurobiologis yang maladaptif termasuk
gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi informasi dan
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
b. Stres Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stres yang berinterasksi dengan
sterssor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.
c. Pemicu Gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif
berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti : gizi
buruk, kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkungan yang penuh
kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stres gangguan dalam
berhubungan interpersonal, kesepain, tekanan, pekerjaan, kemiskinan, keputusasaan
dan sebagainya.
DD. MANIFESTASI KLINIS
1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresi
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktifitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsive
i. Curiga
2. Fisik
a. Higiene kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. BB menurun
EE. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH

Resiko tinggi mencederai


Kerusakan komunikasi diri, orang lain dan
verbal lingkungan

Perubahan isi pikir :


waham

Gangguan konsep diri :


harga diri rendah

FF. PENATALAKSANAAN
Menurut Harnawati (2008) penanganan pasien dengan gangguan jiwa waham antara lain :
1. Psikofarmalogi
a. Litium Karbonat
a. Farmakologi
Litium Karbonat adalah jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi
gangguan bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Sejak disahkan oleh “Food and
Drug Administration” (FDA). Pada 1970 untuk mengatasi mania akut litium masih
efektif dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan bipolar. Meski demikian,
efek samping yang dilaporkan pada gangguan litium cukup serius. Efek yang
ditimbulkan hampir serupa dengan efek mengkonsumsi banyak garam, yakni
tekanan darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena itu, selama
penggunaan obat ini harus dilakukan tes darah secara teratur untuk menentukan
kadar litium.
b. Indikasi
Mengatasi episode waham dari gangguan bipolar. Gejala hilang dalam jangka waktu
1-3 minggu setelah minum obat litium juga digunakan untuk mencegah atau
mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar dengan riwayat mania.
c. Dosis
Untuk tablet atau kapsul immendiate rease biasanya diberikan 3 dan 4 kali sehari,
sedangkan tablet controlled release diberikan 2 kali sehari interval 12 jam.
Pemberian dosis litium harus dilakukan hati-hati dan individual, yakni berdasarkan
kadar dalam serum dan respon klinis. Untuk menukar bentuk tablet dari immediate
release maka diusahakan agar dosis total harian keduanya tetap sama.
Control jangka panjang : kadar serum litium yang diinginkan adalah 0,6-1,2 mEq/L.
dosis bervariasi per individu,tapi biasanya berkisar 900mg-1200mg per hari dalam
dosis berbagi. Monitor dilakukan setiap bulan, pasien yang supersensitive biasanya
memperlihatkan tanda toksik pada kadar serum dibawah 10mEq/L.
d. Efek Samping
Insiden dan keparahan efek samping tergantung pada kadar litium dalam serum.
Adapun efek yang mungkin dijumpai pada awal terapi. Misalnya tremor ringan pada
tangan, poliuria nausea, dan rasa haus. Efek ini mungkin saja menetap selama
pengobatan.
e. Contoh obat
Berbentuk tablet ataupun kapsul immediate release dan tablet controlled release.
f. Mekanisme kerja
Menghambat pelepasan serotonin dan mengurangi sensitivitas dari reseptor
dopamine.
b. Haloperidol
a. Farmakologi : Haloperidol merupakan obat antipsikotik (mayor tranquiliner)
pertama dari turunan butirofenon. Mekanisme kerjanya yang pasti tidak diketahui.
b. Indikasi : Haloperidol efektif untuk pengobatan kelainan tingkah laku berat pada
anak-anak yang sering membangkang an eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk
pengobatan jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih disertai kelainan tingkah laku seperti : impulsive, sulit memusatkan
perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan frustasi.
c. Dosis
i. Dewasa
Gejala sedang : 0,5-2mg, 2 atau 3 kali sehari
Gejala berat : 3-5mg, 2 atau 3 kali sehari
Untuk mencapai diperlukan dosis control yang cepat, kadang-kadang diperlukan
dosis yang lebih tinggi. Pasien usia lanjut atau labil :1/2-2 mg, 2 atau 3 kali
sehari. Pasien yang tetap menunjukkan gejala yang berat atau adekuat perlu
disesuaikan dosisnya. Dosis harian sampai 100mg mungkin diperlukan pada
kasus-kasus tertentu untuk mencapai respon optimal. Jarang sekali haloperidol
diberikan dengan dosis diatas 100mg untuk pasien berat yang resisten.
ii. Anak-anak
Haloperidol tidak boleh diberikan pada anak-anak usia kurang dari 3tahun. Pada
anak-anak dengan usia 3-12 tahun (berat badan 15-40kg). obat mulai diberikan
dengan dosis terkecil (0,5mg sehari). Jika perlu dosis dapat ditingkatkan sebesar
5-7 hari sampai tercapai efek terapi yang diinginkan. Dosis total dapat dibagi
yaitu 2 atau 3 kali sehari.
Kelainan psikotik : 0,05-0,15mg/kg/hari.
d. Efek samping
i. Susunan saraf pusat
Gejala ekstrapiramidal, diskinesia Tardif, distonia tardif, gelisah, cemas,
perubahan pengaturan temperature tubuh, agitasi, pusing. Depresi, lelah, sakit
kepala, mengantuk, bingung, vertigo, kejang.
ii. Kardivaskuler
Takikardi, hipertensi/hipotensi, kelainan EKG (gelombang T abnormal dengan
perpanjangan repolarisasi ventrikel), aritmia.
iii. Hematologik : Timbul leucopenia dan leukositosis ringan.
iv. Hati : Gangguan fungsi hati
v. Kulit
Makulopapular dan akneiform, dermatitis kontak, hiperpigmentasi alopesia.
vi. Endokrin dan metabolic
Laktasi, pembesaran payudara, martalgia, gangguan haid, amenore, gangguan
seksual, nyeri payudara, hiponatremia.
vii. Saluran cerna : Anoreksia, konstipasi, diare dan mual muntah.
viii. Mata : Penglihatan kabur
ix. Pernapasan : Spasme laring dan bronkus.
x. Saluran genitourinaria : Retensi urin.
e. Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap haloperidol atau komponen lain formulasi, penyakit
Parkinson, depresi berat SSP, supresi sumsum tulang, penyakit jantung atau
penyakit hati berat, koma.
f. Mekanisme kerja
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak.
Menekan pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular
Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolism basal. Temperature
tubuh, tonus vasomotor dan emesis.
c. Karbamazepin
a. Farmakologi
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang psikomotor, serta
neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak berhubungan dengan obat
antikonvulsan lain maupun obat-obat lain yang digunakan untuk mengobati nyeri
pada neuralgia trigeminal.
b. Indikasi
Karbamazepin diindikasikan sebagai obat antikonvulsan yaitu jenis :
i. Kejang parsial dengan symptom atologi komplek (psikomotor, lobus temporalis)
pasien dengan jenis kejang ini menunjukkan perbaikan yang lebih besar
dibandingkan jenis yang lain.
ii. Pola kejang campuran termasuk jenis diatas dan kejang parsial maupun kejang
umum yang lain. Kejang jenis petitmal tampaknya tidak efektif diobati dengan
karbamazepin.
iii. Neuralgia trigeminal
Karbamazepin diindikasikan untuk pengobatan nyeri akibat neuralgia trigeminal
murni. Obat ini bukan merupakan analgesic dan tidak boleh diberikan untuk
mengobati sakit/nyeri.
c. Dosis
i. Dewasa dan anak-anak : diatas 12tahun
Dosis awal : 200mg 2x sehari untuk tablet/ 1 sendok teh 4x1 hari suspense
(400mg sehari). Umumnya dosisnya tidak melebihi 1000mg sehari pada anak
usia 12-15 tahun dan 1200mg sehari pada diatas 15tahun.
ii. Anak usia 6-12tahun
Dosis awal : 100mg 2 kali sehari, untuk tablet atau ½ sendok teh 4x1 hari.
Untuk suspense (200mg sehari), umumnya dosis tidak melebihi 1000mg
sehari.
iii. Neuorologi trigeminal
Dosis awal pada hari pertama diberikan 100mg 2x1 hari untuk tablet atau ½
sendok teh 4x1 hari untuk suspense dengan dosis total 200mg x 1 hari. Dosis
ini dapat ditingkatkan sampai 200mg sehari dengan peningkatan sebesar
100mg tiap 12jam untuk tablet /50mg (setengah sendok teh) 4x 1 hari untuk
suspense, hanya jika diperlukan untuk obat nyeri. Jangan melebihi dosis
1200mgx 1 hari.
d. Efek samping
Efek samping paling berat terjadi pada system liemopoetik, kulit dan kardivaskular.
Efek samping yang paling sering timbul yang terutama terjadi pada awal terapi
adalah pusing, ngantuk, mual, dan muntah.
Contoh obat:
a) Tegritol (ciba)
b) Temporal (orion)
c) Karbamazepin (generic)
e. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap karbamazepin, antidepresan trisiklik, atau komponen
sediaan, depresi sumsum tulang belakang.
f. Mekanisme kerja
Selain sebagai antikonvulsan, karbamazepin mempunyai efek sebagai
antikolinergik, antineuralgik, antideuritik, pelemas otot, antimanik, antidepresif
dan antiariunia. Menekan aktifitas senralis nucleus pada thalamus/menurunkan
jumlah stimulasi temporal yang menyebabkan neural discharge dengan cara
membatasi influks ion natrium yang menembus membran sel atau mekanisme lain
yang belum diketahui, menstimulasi pelepasan ADH untuk mereabsorbsi air, secara
kimiawi terkait dengan antidepresan trisiklik.
2. Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik low potensial
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi untuk pengamanan
pasien. Hal ini berkaitan dengan penggunaan obat anti psikotik untuk pasien waham.
Dimana pedoman penggunaan antipsikotik adalah:
a. Tentukan target symptom
b. Antipsikosis yang telah berhasil masa lalu sebaiknya tetap digunakan
c. Penggantian antipsikosis baru dilakukan setelah penggunaan antipsikosis yang lama 4-6
minggu
d. Hindari polifarmasi
e. Dosis maintenans adalah dosis efektif terendah.
Contoh obat antipsikotik adalah:
a. Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone).
a. Pilihan awal Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg.
b. Keuntungan : angka keberhasilan tinggi, ekstra pyramidal symptom minimal.
c. Kerugian : harganya mahal

b. Tipikal (chlorpromazine, haloperidol), chlorpromazine 25-100mg


1) Keuntungan : harganya relatif lebih murah, efektif untuk mmenghilangkan gejala
positif.
2) Kerugian : angka keberhasilan rendah, efek samping pyramidal (gejala mirip
Parkinson, distonia akut, akathisia, tardive dyskinesia, (pada 24% pasien),
neuroleptic malignant syndrome, dan hyperprolactinaemia) kurang efektif untuk
menghilangkan gejala negative.
3. Penarikan diri high potensial
Selama seseorang mengalami waham. Dia cenderung menarik diri dari pergaulan dengan
orang lain dan cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya sendiri).
Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham adalah penarikan diri high
potensial. Hal ini berarti penatalaksanaannya ditekankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan kecanduan morfin biasanya
dialami sesaat sebelum waktu yang dijadwalkan berikutnya, penarikan diri dari lingkungan
sosial.
4. ECT tipe katatonik
Electro Convulsive Terapi (ECT) adalah sebuah prosedur dimana arus listrik melewati otak
untuk memicu kejang singkat. Hal ini tampaknya menyebabkan perubahan dalam kimiawi
otak yang dapat mengurangi gejala penyakit mental tertentu, seperti skizofrenia katatonik.
ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang parah atau jika obat-obatan tidak membantu
meredakan katatonik episode.
5. Psikoterapi
Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien waham, namun psikoterapi juga
penting. Psikoterapi mungkin tidak sesuai untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu
berat untuk terlibat dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah. Yang
termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi
supportif.
GG. PENGKAJIAN FOKUS
1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
a. Data subjektif
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada seseorang,
klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal, atau marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak mampu
mengendalikan diri
b. Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara menguasai,
ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar barang-barang.
2. Kerusakan komunikasi : verbal
a. Data subjektif : klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
b. Data objektif : Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang
didengar dan kontak mata kurang
3. Perubahan isi pikir : waham ( ………….)
a. Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
b. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung
4. Gangguan harga diri rendah
a. Data subjektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
b. Data objektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative tindakan, ingin
mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup
HH. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi verbal
c. Perubahan isi pikir : waham(……………..)
II. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
a. Tujuan umum : Klien tidak terjadi kerusakan komunikasi verbal
b. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Rasional : hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksinya
Tindakan :
1) Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
2) Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
3) Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat
akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan
keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
4) Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Rasional : dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan
memudahkan perawat untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat
bagi klien dari pada hanya memikirkannya
Tindakan :
1) Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
2) Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan
saat ini yang realistis.
3) Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari - hari dan perawatan
diri).
4) Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi


Rasional : dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat
dapat merencanakan untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan
kebutuhan kien tersebut sehungga klien merasa nyaman dan aman
Tindakan :
1) Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
2) Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah).
3) Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
4) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan
memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
5) Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.

4. Klien dapat berhubungan dengan realitas


Rasional : menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih
benar dari pada apa yang dipikirkan klien sehingga klien dapat
menghilangkan waham yang ada
Tindakan :
1) Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
2) Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
3) Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Rasional : Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan mempengaruhi
proses penyembuhan dan memberikan efek dan efek samping obat
Tindakan :
1) Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat.
2) Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
3) Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
4) Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
6. Klien dapat dukungan dari keluarga
Rasional : dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien akan mambentu
proses penyembuhan klien
Tindakan :
1) Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala
waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
2) Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga
Diagnosa Keperawatan 2: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Tujuan Umum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
2) Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
3) Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
4) Beri perhatian dan penghargaan : teman klien walau tidak menjawab.
b. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
1) Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2) Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
3) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
c. Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
2) Observasi tanda perilaku kekerasan.
3) Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
d. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
1) Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
2) Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
3) Tanyakan “apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?”
e. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
1) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
3) Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
f. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Tindakan :
1) Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
2) Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah
raga, memukul bantal / kasur.
3) Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
4) Secara spiritual : berdo’a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi
kesabaran.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
1) Bantu memilih cara yang paling tepat.
2) Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
3) Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
4) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
5) Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
h. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga.
2) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
i. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
1) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping)
2) Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan
waktu).
3) Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Diagnosa Keperawatan 3: Perubahan isi pikir : waham ( …….. )
Tujuan umum : Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan
meningkat harga dirinya.
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan tujuan
interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat
dan topik pembicaraan)
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
4) Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2) Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi
pujian yang realistis
3) Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2) Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
d. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki
Tindakan :
1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
3) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan


Tindakan :
1) Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
2) Beri pujian atas keberhasilan klien
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang adA
Tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
2) Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
4) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
JJ. DAFTAR PUSTAKA
2. Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo.
2003
3. Baihaqi, M. (2007). Psikiatri Konsep Dasar Dan Gangguan - Gangguan. Bandung: Refika
Aditama.
4. Keliat, B. A. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
5. Townsend M.C. (2011). Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri; pedoman untuk
pembuatan rencana keperawatan. Edisi V.Jakarta: EGC
6. Setiono, Wiwing. 2013. Laporan Pendahuluan Waham . Diunduh dari
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-waham.html pada hari
sabtu, 27 September 2014

Anda mungkin juga menyukai