Anda di halaman 1dari 16

HUKUM WARIS ISLAM KARANGAN ABU HASAN

BAB I

BEBERAPA PENGERTIAN DI SEKITAR WARISAN

A. Pengertian dan dal ül.

Faraidl adalah jama' dari Faridlah, yang berarti: "Satu bagian tertentu." Jadi faraidl
berarti: "beberapa bagian tertentu." Untuk -mengetahui, siapa-siapa yang memperoleh bagian
tertentu itu, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Kemudian
baru ditetapkan, siapa di antara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat
bagian.

B. Beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta warisan.

Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan


beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang harus
diselesaikan dan diba ya, adalah:

1. Zakat; apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan
untuk itu lebih dahulu.
2. Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan mayat,
seperti harga kafan, upah menggali kuburan dan sebagainya.
3. Hutang, jika mayat itu ada meninggalkan hutang, maka hu tangrya itu mesti dibayar
lebih dahulu.
4. Wasiat, jika mayat itu ada meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagian dari harta
peninggalannnya diberikan kepada sese orang, maka wasiat inipun harus
dilaksanakan.
C. Sebab-sebab waris mewarisi.

Di dalam hukum Islam telah ditetapkan, bahwa waris mewa. risi terjadi karena:

1. Pertalian kekeluargaan.
2. Perkawinan
3. Hubungan Agama. Hal ini terjadi, apabila orang yang mening gal itu tidak
mempunyai ahli waris. Harta peninggalannya itu diserahkan ke Baitul-Mal untuk
Umat Islam, sebagai warisan.
D. Sebab-sebab tidak mendapat warisan.

Di antara ahli waris ada yang tidak mendapat warisan, karena beberapa sebab:

1. Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari keluar ganya yang dibunuhnya.
2. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama islam.
3. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama islam.
E. Ahli-ahli waris

a. Ahli waris yang laki-laki adalah:

1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, asal saja pertaliannya masih
terus laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek (datuk) dari bapak dan terus ke atas, asal saja per taliannya masih belum putus
dari pihak bapak.
5. Saudara laki-laki kandung.
6. Saudara laki-laki sebapak.
7. Saudara laki-laki seibu.
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung.
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak.
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.
14. Suami.

Jika ahli waris tersebut di atas semuanya ada, mak mendapat warisan dari mereka hanya tiga
saja, yaitu:

1. Anak laki-laki.
2. Suami.
3. Bapak.

Catatan: Cucu laki-laki dari anak perempuan, tidak masuk ke dalam kelompok ahli waris
yang tersebut di atas.

b. Ahli waris yang perempuan adalah:

1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke tasal saja pertaliannya dengan orang
yang meninggal terus laki-laki.
3. Ibu.
4. Nenek (ibu dari ibu),
5. Nenek (ibu dari bapak).
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan sebapak.
8. Saudara perempuan seibu.
9. Isteri
Jika ahli waris yang tersebut di atas semuanya ada, yang mendapat bagian dari mereka hanya
lima saja, yaitu:

1. Isteri
2. Anak perempuan.
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki
4. Ibu.
5. Saudara perempuan kandung.

Catatan: Cucu perempuan dari anak perempuantidak masukkelompok ahli waris yang
tersebut diatas.

Jika ahli waris tersebut di atas semuanya ada, mak mendapat warisan dari mereka hanya tiga
saja, yaitu:

1. Anak laki-laki.
2. Suami.
3. Bapak.
4. Anak Laki-laki.
5. Anak perempuan.

F. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu (Zawil Furudl).


Ahli waris yang tersebut di atas, terbagi kepada dua golong-. an. Sebagian mereka
mendapat bagian tertentu (zawil furudl) dan sebagian lagi, selaku Ashabah (Yang
mendapat semua harta atau semua sisa). Ahli waris yang selaku 'Ashabah, akan
diterangkan kemudian dan ahli waris yang selaku zawil furudl, mereka mendapat
bagian menurut ketentuan-ketentuan yang telah diterangkan di dalam Al-Quran dan
Hadits.

Di antara mereka ada yang mendapat:


a. Seperdua (1/2).
b. Seperempat (1/4). C. Seperdelapan (1/8).
c. Dua pertiga (2/3).
d. Sépertiga (1/3).
e. Seperenam (1/6).
G. Ahli waris yang mendapat semua harta atau semua sisa (Ashabah).

Sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, bahwa ahli waris itu terbagi kepada dua
golongan, ada yang kedudukannya selaku Zawil furudl dan ada yang selaku 'Ashabah.

'Ashabah di dalam bahasa Arab ialah: anak laki-laki. Dan kaum kerabat dari fihak
bapak. Ulama-ulama telah sepakat, bahwa mereka berhak mendapat warisan. Adapun ahli
waris yang berkedudukan selaku 'ashabah tidak berlaku baginya ketentuan yang telah
diterangkan lebih dahulu.
BAB II

PEMBAGIAN HARTA WARISAN

A. Cara Pembagian Harta Warisan

Pada uraian yang telah au sudah diterangkan tentang ke tentuan bagian masing-masing
ahli wars. Di antara mereka ada yang mendapat seperdua (1/2), seperempat (1/4),
sererdelapan (1/8), sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6). Kita lihat, bahwa semua bilangan
tersebut, adalah bilangan pecahan

Cara pelaksanaan pembagiannya demikian jika seorang mendapat sepertiga (1/3) bagian
dan seorang lagi mendapat seperdua (1/2) bagian, maka pertama-tama kita harus mencari
K.P.K. (Kelipatan Persekutuan yang terkecil) dan bilangan itu K.P.K. dari kedua bilangan
itu adalah, enam (6), yaitu satu bilang an yang habis dibagi dengan tiga (3) dan dua (2)

Di dalam istilah Ilmu Faraidl, APX itu dinamakan Asal Masalah Asal Masalah di dalam
faraidl hanya tujuh (7) macam saja, yaitu :

a. Masalah dua (2).


b. Masalah tiga (3).
c. Masalah empat (4).
d. Masalah enam (6)
e. Masalah delapan (8).
f. Masalah dua belas (12).
g. Masalah dua puluh empat (24).

B. Cucu Perempuan tunggal mendapat seperdua (1/2) dan seperenam (1/6).

Soal 1:

Seorang meninggal, ahli warisnya dua orang ibu bapak dan seorang cucu perempuan. Harta
warisan sebanyak Rp.60.000, Berapa bagian masing-masing?

Jawab:

Cucu = 1/2 (karena tidak ada anak perempu. an).

Ibu = 1/6 (karena ada cucu).

Bapak = 'Ashabah (karena tidak ada laki dan cucu laki-laki).

K.P.K. (Asal Masalah) = 6


C. Saudara perempuan tunggal yang seibu sebapak mendapat seperdua(1/2).
Soal 1:

Seorang meninggal, ahli warisnya seorang isteri, ibu dan seorang saudara laki-laki
sekandung. Harta peninggalan se harga Rp. 9.600,- Berapa bagian masing-masing?
Jawab:

Isteri = 1/4x4=1
Saudara Perempuan = 1/2x4=2
Jumlah= 3
Sisa =4-3 =1
Jumlah =4

Isteri = 1/4xRp.10.000,-=Rp.2.500,-

Saudara Perempuan =2/4xRp.10.000,-=Rp. 5.000,-

Sisa =1/4xRp.10.000,-=Rp.2.500,-

Jumlah =Rp.10.000,-

D. Suami mendapat seperdua(1/2) dan seperempat (1/4).


E. Istri mendapat seperempat (1/4) dan seperdelapan (1/8).
F. Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat dua pertiga (2/3) dan selaku
‘Ashabah.
G. Dua orang saudara seibu atau lebih (laki-laki atau perempuan) mendapat sepertiga
(1/3).
H. Saudara perempuan (seorang atau lebih) yang sebapak mendapat seperenam (1/6).
BAB III

PEMBAGIAN WARISAN BAGI BEBERAPA AHLI WARIS

A. Warisan anak dalam kandungan. Anak yang di dalam kandungan, juga mendapat
warisan, dengan ketentuan, apabila waktu dilahirkan dia hidup. Rasulullah SAW,
bersabda:

) ‫ (راه ابردارد‬. ‫ إذا استهل المولود ورث‬،‫قال رسول هللا صلعم‬

Artinya:

"Apabila menangis anak yang baru lahir, maka dia mendapa: warisan." (Hadits riwayar Abu
Daud).

Apabila ada di antara ahli waris yang masih di dalam kan dungan, maka cara pelaksanaan
pembagian warisan dilakukan seperti berikut:

Sebelum harta itu dibagi-bagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus diketahui bagian
yang akan mereka terima. Umpama kan saja anak yang di dalam kandungan itu dilahirkan
hidup dan termasuk di dalam salah satu dari tiga macam keadaan yang dibawah ini:

a) Anak itu laki-laki, seorang atau lebih.

b) Anak itu perempuan, seorang atau lebih.

c) Anak itu kembar, laki-laki dan perempuan.

Perhatikan lebih dahulu bagian masing-masing ahli waris menurut kemungkinan (a), (b) dan
kemungkinan (c). Untuk se mentara, tiap-tiap ahli waris diperbolehkan mengambil bahagian
nya menurut jumlah yang paling sedikit, di antara kemungkinan yang tersebut di atas.-
Selanjutnya, jika ada kemungkinannya ter dinding (terhijab) oleh anak yang di dalam
kandungan itu, maka dia belum di perbolehkan menerima warisan.

1. Serupa bagian ahli waris dengan cara (al dan (b) (dium pamakan masih hidup
atau sudah meninggal).

Contoh:

Seorang meninggal, ahli warisnya: isti, dua orang anak la ki-laki dan seorang di antaranya
hilang. Isteri tetap mendapat seperdelapan (1/8), walaupun anak yang hilang itu diumpa
makan hidup atau meninggal. Oleh sebab itu bagian isteri langsung diberikan.

2. Tidak serupa bagian ahli waris dengan cara (a) dan (b).

Contoh:

Seorang meninggal, ahli warisnya: ibu, dua orang sauda ra laki-laki dan seorang di antaranya
hilang. Ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, apabila saudara laki laki yang hilang itu
diumpamakan meningga!. Dan ibu men dapat seperen am (1/6), apabila saudara yang hilang
itu di umpamakan hidup, karena dengan adanya dua orang saudara laki-laki, bagian ibu
berubah dari sepertiga (1/3) menjadi seperenam (1/6). Oleh sebab itu kepada ibu hanya boleh
dr berikan yang seperen am (1/6) bagian itu lebih dahulu.

3. Ahli waris terdinding (terhijab) pada salah satu dari dua cara itu (pembagian
"a" dan "b".

Contoh:

Seorang meninggal, ahli warisnya: anak laki-laki yang hilang dan paman yang sekandung
dengan bapak. Paman tidak mendapat bagian, karena terdinding olehnya dan paman
mendapat bagian selaku 'Ashabah apabila anak itu diumpa makan meninggal. Jadi sebelum
ada kepastian tentang hidup matinya, paman belum boleh menerima warisan itu.

4. Hak waris atas kematian yang beruntun.

Apabila orang orang yang saling mewarisi sekaligus mening gal, tidak diketahui siapa di
antara mereka yang meninggal lebih dahulu, dan siapa yang belakangan.

5. Menetapkan hidup atau mati seseorang.

Untuk menetapkan hidup seseorang. dilakukan dengan salah satu cara dari tiga cara berikut:
Dengan melihat dan menyaksikan, bahwa orang itu masih hidup.

a. Dengan keterangan sekurang-kurangnya oleh dua orang


b. saksi yang dapat dipercaya. Dengan memperhubungkan kepada hukum Gang hidup,
c. yaitu kepada usia rata-rata manusia pada umumnya
6. Hak waris anak zina.

Anak zina, dia diperhubungkan dengan bunya, tidak dengan laki-laki yang berzina dengan
ibunya itu. Dia tidak berhak mene ruma warisan dari laki-laki itu; demikian juga laki-laki
tersebut tidak berhak menerima warisan dari padanya.

Anak zina hanya waris mewarisi dengar. keluarga dan pihak ibunya saja. Saudaranya anak)
dari ibunya itu, hanya dipandang sebagai saudara seibu dan waris mewarisi sebagai saudara
seibu, lain bapak.

7. Hak waris anak yang tidak diakui.

Dalam masyarakat kita mungkin pemah terjadi, bahwa se orang bapak tidak mengakui anak
yang dilahirkan oleh isterinya sebagai anak kandungnya karena dengan tuduhan, bahwa anak
itu adalah sebagai hasi: dari hubungan isterinya dengan laki-laki lain. Kalau terjadi hal yang
semacam ini, maka hak waris mewa risi hanya antara anak itu dengan ibunya itu saja, tidak
dengan bapak yang tidak mengakuinya itu. Selain dengan ibunya hubung an waris mewarisi,
juga ada dengan keluarga dari pihak ibunya itu. (perhatikan status anak zina dalam
hubungannya dengan ibu nya dan keluarga ibunya itu).
BAB IV

Perspektif UU No 1/1974

Di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2
perkawinan didefinisikan sebagai:

"Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia
berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan Yang Maha Esa.
Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani
tetapi juga memiliki unsur batin/rohani."7

Perspektif KHI

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa
perkawinan dalam hukum Islam adalah, Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT. yang terdapat pada surah an-
Nisa'ayat 21 yang artinya:

Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Prinsip-Prinsip Perkawinan

Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang di pandang cukup prinsip dalam UU perkawinan
adalah:

1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa


Indonesia dewasa ini. Undang-undang perkawinan menampung di dalamnya segala
unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman
adalah ter penuhinya aspirasi wanita yang menuntut ada nya emansipasi, di samping
perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa
implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan
perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling bantu-
membantu serta saling lengkap-me lengkapi. Kedua, masing-masing dapat
mengembang kan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-
istri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga
bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara bangsa
Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial point ng hampir
menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu perkawinan harus memenuhi
administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah).
5. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka
peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilaku kan oleh pribadi-pribadi yang telah
matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
BAB V

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Perspektif Fikih

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha. Sebagai
konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan
mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang
termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa jadi sebagian ulama menyebutnya
sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebutnya sebagai syarat.

Sebagai contoh Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al-ijab dan
al-qabul di mana tidak akan ada nikah tanpa keduanya.' Sayyid Sabiq juga menyimpulkan
menurut fuq:ha, rukun nikah terdiri dari al-Ijab dan al-Qabul, sedangkan yang lain
termasuk ke dalam syarat.

Menurut Hanafiah, nikan itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan
dengan sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan
kesaksian. menurut Syafi'iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut
sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka
ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Menurut Malikiyyah, rukun
nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami-istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak
saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam
detailnya. Malikiyyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan syafi'i
menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.

Di dalam UUP dan KHI kebingunan dalam me mosisikan apa yang disebut rukun dengan
apa yang disebut syarat juga jelas kelihatan. A Rafiq lebih memilih judul syarat-syarat
perkawinan pada bab V di dalam bukunya, walaupun dengan mengutip Kholil Rahman,
akhirnya pembahasannya ditujukan kepada syarat-syarat yang mengikuti rukun-rukunnya.
Achmad Kuzari memilih sub judul unsur-unsur akad nikah ketimbang rukun atau syarat.³
Muhammad Baqir al-Habsyi memilih menggunakan judul rukun dan persyaratan akad
nikah di dalam bukunya. Idris Ramulyo juga menggunakan judul rukun dan syarat yang
sah menurut hukum Islam, walaupun ketika bicara tentang UUP ia menggunakan kata
syarat.

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu
memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun
perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat syarat dari rukun tersebut.
1). Calon suami, syarat-syaratnya:

1. Beragama Islam.

2. Laki-laki.

3. Jelas orangnya.

4. Dapat memberikan persetujuan.

6. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2). Calon Istri, syarat-syaratnya:

1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.

2. Perempuan.

3. Jelas orangnya.

4. Dapat dimintai persetujuannya.

5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

3) Wali nikah, syarat-syaratnya.

1. Laki-laki.

2. Dewasa.

3. Mempunyai hak perwalian.

4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

4). Saksi Nikah.

1. Minimal dua orang laki-laki.

2. Hadir dalam ijab qabul.

3. Dapat mengerti maksud akad.

4. Islam.

5. Dewasa.
5). Ijab Qabul, syarat-syaratnya.

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan

dari kedua kata tersebut.

4. Antara ijab dan qabul bersambungan.

5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah.

7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
atau wakil nya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.

Perspektif UU No 1/1974

Berbeda dengan perspektif Fikih, UU No 1/1974 tidak mengenal adanya rukun


perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-
syarat perkawinan. Di dalam Bab II pasal 6 ditemu kan syarat-syarat perkawinan sebagai
berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum setahun harus
mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendak nya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
inampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan
tidak menentukan lain.
BAB VI

PENDAHULUAN PERKAWINAN: PEMINANGAN, SYARAT DAN AKIBAT


HUKUMNYA

Perspektif Fikih

Tujuan perkawinan sebagaimana yang diisyaratkan oleh teks suci dan Undang-undang dapat
diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut sejak proses
pendahuluannya (muqaddimat ai-zawaj) berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan oleh agama. Di antara proses yang akan dilalui itu adalah peminangan atau
disebut dengan khitbah.

Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan.


Ulama fikih men definisikannya dengan, menyatakan keinginan pihak laki laki kepada pihak
wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan
ini. Di dalam kitab-kitab fikih khithali diterjemahkan dengan pernyataan keinginan untuk
menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas (izhar al-rughbat fi al-zawaj bi imraatin
muayyana!" atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya. Adakalanya
pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas (sarik) dan
dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).

Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon
mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya.
Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting. Ajaran Islam ternyata
menganjurkan untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah seperti, kecantikan wajah,
keserasian, kesuburan dan kesehatan tubuh. Bahkan ada hadis Rasul yang memerintahkan
untuk menikah wanita yang subur (al-walud). Fikih Islam telah menetapkan bahwa wanita
yang akan dipinang tersebut:

1. Wanita yang dipinang tidak istri orang.

2. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.

3. Wanita yang dipinang tidak dalam masa 'iddah raj'i (al-Baqarah, 2: 228).

4. Wanita yang dalam masa iddah wafat hanya dapat dipinang dengan sindiran (kinayah) (al-
Baqarah/2: 235).

5. Wanita dalam masa iddah ba'in sughra dapat dipinang oleh bekas suaminya.

6.Wanita dalam masa iddah ba'in kubra boleh dipinang oleh bekas suaminya setelah kawin
dengan laki-laki lain, di dukhul dan telah bercerai.

Perspektif UU No 1/1974
Di dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin karena peminangan tidak
dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi tidak ada implikasi hukum dari sebuah
peminangan. Tentu saja ini berbeda dengan hukum Islam, kendati peminangan tidak dapat
disebut dengan peristiwa hukum yang tidak menimbulkan hak dan kewajiban tetapi peristiwa
peminangan itu tetap menimbulkan implikasi moral. Atas dasar ini pula mengapa
peminangan itu walaupun tidak memiliki implikasi hukum tetap diberikan aturan-aturan
moral yang tegas

Perspektif KHI.

Berbeda dengan UU No 1/1974, Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengapresiasi dengan


cukup luas peminangan ini. Seperti yang terlihat dalam pasal. bab 1 huruf a, peminangan
didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma'ruf). Peminangan ini dapat dilakukan
langsung ataupun melalui perantara yang dapat dipercaya.
BAB VII

PUTUSNYA PERKAWINAN DAN TATA CARA PERCERAIAN

Akad Perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan
suci (inisagan galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan
demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan itu harus
dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam
Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.

Perspektif Fikih

Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid)
atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang
telah ditentukan.²

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjut nya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Definisi yang
agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayat al Akhyar yang menjelaskan talak sebagai
sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah
Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang
talak itu berdasarkan al-kitab, hadis, ijma' ahli agama dan ahli sunnah.

1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri.

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa
terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat
mengganggu keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini al-Qur'an memberi
tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian.

Allah SWT. befirman di dalam surah an-Nisa: 4/43 yang artinya:

Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuz. nya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri
dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
Berangkat dari surah an-Nisa': 4/34 al-Qur'an memberikan opsi sebagai berikut:

a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma'ruf agar ia segera diperbuatnya. sadar terhadap
kekeliruan yang

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukum an psikologis bagi istri dan dalam
kesendiriannya

tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik
dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang
tidak membahayakan si istri seperti betisnya.*

2. Nusyuz suami terhadap istri

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi dapat juga datang dari
suami. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri saja.
Padahal al-Qur'an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam al-
Qur'an surah an-Nisa' ayat 128.1

3. Terjadinya syiqaq

Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu pihak yang
melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan
yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya
disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.

Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq. Dalam
penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam
dan terus-menerus antara suami istri.

Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui
beberapa proses.

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyahı), yang menimbulkan saling tuduh-
menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan
tuduhan yang didakwakan, dengan cara li'an seperti telah disinggung di muke. Li'an
sesungguhnya telah memasuki "gerbang putusnya" perkawinann, dan bahkan untuk selama-
lamanya. Karena akibat li'an adalah terjadinya talak ba'in kubra. "

Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur'an adalah dalam rangka antisipasi agar nusyuz
dan syiqaq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan terjadinya perceraian. Bagaimanapun
juga perceraian merupakan sesuatu yang dibenci oleh ajaran agama. Kendat: demikian
apabila berbagai cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan
jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing masing.

Anda mungkin juga menyukai