Anda di halaman 1dari 43

PANDANGAN HAM MENGENAI HUKUM QISAS DALAM ISLAM

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Seminar Pendidikan
Agama Islam
Dosen Pengampu:

Disusun oleh:

Kelas PKn 2015 B

Fiona Artha Adikusuma NIM 1504236


Ida Khoirunnisa NIM 1503776
Risman Nur Haqim NIM 1504351
Tammy Sri Rahayu NIM 1507233
Dilla Rachma NIM 1400007

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................2
D. Manfaat Penulisan.......................................................................2
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konseptualisasi Hak Asasi Manusia........................................... 3
B. Hak Asasi Manusia dalam Islam................................................10
C. Tindak Pidana yang diancam Pidana Mati.................................13
D. Jarimah Al-Qisas.......................................................................18
BAB III PEMBAHASAN
A. Hasil Temuan.............................................................................23
B. Pembahasan................................................................................24
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan....................................................................................31
B. Saran..........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia adalah hak yang harus didapatkan oleh setiap orang
sebagai manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Wikipedia adalah
prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar
tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak
hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka umumnya dipahami
sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang seseorang secara inheren
berhak karena dia adalah manusia", dan yang "melekat pada semua
manusia" terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau
status lainnya.
Dalam pelaksanaannya, ada banyak macam Hak Asasi Manusia yang
harus didapatkan oleh seseorang dan yang harus dilindungi. Salah satu hak
yang sangat penting untuk didapatkan oleh setiap manusia yaitu hak hidup.
Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan
bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan tidak seharusnya
dibunuh oleh manusia lainnya. Hak untuk hidup merupakan hak mutlak dari
setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa jika seseorang melakukan suatu kesalahan atau
kejahatan maka seseorang tersebut harus menerima hukuman dari
perbuatannya tersebut. Seperti itulah norma serta hukum yang berlaku diantara
manusia. Namun seiring dengan semakin berkembangnya pengetahuan serta
pemahaman mengenai adanya Hak Asasi Manusia, hukuman atau sanksi yang
diterima oleh seseorang dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya
seringkali dibenturkan dengan Hak Asasi Manusia. Bahkan banyak orang
berfikir bahwa dirinya akan terlindungi dari hukum karena adanya Hak Asasi
Manusia.
Salah satu bentuk hukuman yang sering kali dibenturkan dengan Hak
Asasi Manusia yaitu hukuman mati atau dalam Islam disebut dengan hukum
qisas. Menurut sumber Wikipedia, qisas  adalah istilah dalam hukum
islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip
dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan,
hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta
hukuman mati kepada pembunuh. Hal ini sering disalah artikan atau dikaitkan
dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Meskipun dalam agama islam
sendiri, sudah jelas terdapat dalam Al-quran adanya hukuman qisas bagi siapa
saja orang yang membunuh manusia yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai;
1. Bagaimana perbandingan Hak Asasi Manusia di Indonesia dengan Hak
Asasi Manusia dalam Islam?
2. Bagaimana pandangan HAM terhadap hukum Qisas dalam Islam?
3. Bagaimana perbandingan hukum Qisas dalam Islam dengan hukum
pidana mati di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbandingan Hak Asasi Manusia di Indonesia
dengan Hak Asasi Manusia dalam Islam
2. Untuk mengetahui pandangan HAM terhadap hukum Qisas
3. Untuk mengetahui perbandingan hukum Qisas dalam Islam dengan
hukum pidana mati di Indonesia
D. Manfaat
1. Manfaat teoretis
Hasil kajian ini secara teoretis diharapkan mampu menambah
pengetahuan serta wawasan konsep mengenai hukuman Qisas dalam
Islam khususnya dalam perspektif Hak Asasi Manusia.
2. Manfaat Praktis
Hasil kajian ini secara praktis diharapkan dapat menambah wawasan
penulis, pembaca maupun bagi perkembangan ilmu pengetahuan agar
dapat menentukan sikap yang bijak dalam kaitannya dengan
permasalahan hukum qisas dalam pandangan Hak Asasi Manusia.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konseptualisasi Hak Asasi Manusia


HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan
melekat dengan jati diri manusia secara universal. Oleh karena itu, menelaah
HAM, menurut Todung Mulya Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas
kehidupan, sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada
kemanusiaan (Muhtaj, 2005, hlm. 43).
Siapapun manusianya berhak memiliki hak tersebut. Artinya, disamping
keabsahannya terjaga dalam eksistensinya kemanusiaan, juga terdapat
kewajiban yang sungguh-sunggguh untuk dimengerti, dipahami dan
bertanggungjawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada seseorang berarti
bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan
baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistiewaan” yang dimilikinya.
Juga adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa diminta
daripadanya suatu sikap yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada
orang lain. (Muhtaj, 2005, hlm. 43).
Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-
nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia
dalam hubungan sesama manusia. Apapun yang diartikan atau dirumuskan
dengan hak asasi, fenomena tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari
nilai-nilai yang kemudian di kongkretkan menjadi kaidah dan norma (Muhtaj,
2005, hlm. 43-44).
Emerita S.Quito dalam bukunya Fundamental of ethics (dalam Muhtaj,
2005, hlm.44) mengatakan bahwa meskipun hak merupakan kekuatan bagi
pemiliknya, hak lebih menekankan kepada aspek moral. Selengkapnya ia
mengatakan sebagai berikut:
A right is indeed a power, but it is only moral. This means that one cannot
use physical force to enjoy a right. Nor can one exact for another those things
appropriate to one’s state in life by means of force or violence. Right is
reciprocal by nature. One has right that others are bond to recognize and
respetsct. When these right are violated, moral guilty necessarity arises.

Untuk membedakan hak alami (natural law) dan hak hukum (legal rights),
Audi lebih lanjut mengatakan:
Legal rights are advantegous position under the law of society. Other
species of institutional rights are conferred by the rules of privete
organizations, of the morals code of a society, or even some game. These who
identity natural rights with moral rights, but some limit natural right to our
most fundamental rights and contrast them with ordinary moral rights
(Muhtaj, 2005, hlm. 44).
Dari pernyataan ini, secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa hak hukum
(legal rights) merupakan hak seseorang dalam kapasitasnya sebagai subjek
hukum yang secara legal tercantum dalam hukum yang berlaku. Sementara
hak alami (natural rights ) merupakan hak manusia into to. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa hak hukum lebih menekankan sisi legalitas formal,
sedangkan hak alami menekankan sisi alamiah manusia ( naturally human
being ). Yang terakhir ini disebut juga dengan hak yang tak terpisahkan dari
dimensi kemanusiaan manusia (inalienable rights) (Muhtaj, 2005, hlm. 45).
Walaupun keduanya terlihat ada perbedaan, namun tidak berarti keduanya
terpisah. Hak alami membutuhkan legalitas formal untuk dapat berlaku dan
diberlakukan secara konkret dalam kehidupan. Begitu juga sebaliknya hak
hukum harus memiliki kerangka fundamental berupa nilai–nilai filosofis
(Muhtaj, 2005, hlm. 45).
Penting pula dipahami bahwa meskipun hak alami (natural rights) bersifat
fundamental dan berlaku universal, perkembangan kepemilikan hak tersebut
ternyata mengalami perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini lebih diakibatkan
oleh unsur status. Audi memberikan uraiannya tentang hal tersebut
sebagaimana ungkapannya:
Thus, rights are also clasified by status. Civil rights are those one
posessesses as a citizen human right are posessessed by vituc of being
human. Presumatly women rights, parent’s rights,and the rights of
blacks as such analogous.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa melekat pada status tertentu. Kalau
status itu berubah atau berganti, maka hak mengalami perubahan atau
pergantian. Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan bahwa hak akan berbeda
ketika status bergeser dan oleh karena status berbeda ketika dihadapkan pada
pihak yang berbeda, maka hak itu terkait dengan pihak mana orang itu
berhadapan dan berinteraksi (Muhtaj, 2005, hlm. 46).
1. Hak Perspektif Barat
Konsepsi HAM dikalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak
(right) pada Yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika viateori
hukum alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan
sebagai berikut: the concept of right arose in roman jurisprudence and
was extended to etihics via natural law theory. Just as positive law
makers, confers legal legal rights, so the natiral confers natural rights
(Muhtaj, 2005, hlm. 46).
Secara ringkas, uraian berikut akan menggambarkan kronologis
konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara yuridis-formal
Perkembangan berikut juga menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada
masyarakat Barat. Tonggak-tonggak sosialisasinya adalah sebagai berikut,
pertama, dimulai, yang paling dini, oleh munculnya “Perjanjian Agung”
(Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari
pemberontakan pada Baron terhadap Raja John (Saudara Raja Richard
Berhati singa, seseorang pemimpin tentara salib). Isi pokok dokumen itu
ialah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak miliki dan
kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat (Muhtaj, 2005, hlm. 47).
Kedua, keluarnya Bill of Rigtht pada 1628, yang berisi penegasan
tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk
melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan,
menyiksa dan mengirimkan tentara kepada siapapun, tanpa dasar hukum.
Ketiga Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776, yang
memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan
kebebasaan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta
keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-
ketentuan dasar tersebut (Muhtaj, 2005, hlm. 47).
Keempat, deklarasi Hak-hak manusia dan warga negara (declaration
des droits de I’Homme et du citoyen/ declaration of the right of man and
of the Citeizen) dari Perancis pada 4 Agustus 1789 dengan titik berat
kepada lima hak asasi pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte),
persamaan (egalite), keamanan (securite), dan perlawanan terhadap
penindasan (resistence a Ioppression). Kelima deklarasi universal tentang
Hak-Hak Asasi Manusia (universal declaration of human rights/UDHR)
pada 10 Desember 1948 yang memuat pokok pokok tentang kebebasan,
persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak
kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama). Deklarasi itu
ditambah beberapa instrumen lainnya yang datang susul menyusul, telah
memperkaya umat manusia tentang hak-hak asasi manusia, dan menjadi
bahan rujukan yang tidak mungkin diabaikan (Muhtaj, 2005, hlm. 48).
Dari perkembangan historis di atas, dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan filosofis yang tajam baik dari segi nilai maupun orientasi. Di
Inggris menekan pada pembatasan raja, di Amerika Serikat mengutamakan
kebebasan individu, di Perancis memprioritaskan egalitarisme persamaan
kedudukan dihadapan hukum (equality before the law). Di Rusia tidak
diperkenalkan hak individu tetapi hanya mengakui hak sosial dan kolektif
(Muhtaj, 2005, hlm. 48).
Sementara itu, PBB merangkum berbagai nilai dan orientasi karena
UDHR (Universal Declaration of Human Rights) sebagai konsensus dunia
setelah mengalami Perang Dunia II, yang mengeluarkan pengakuan
prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan demokrasi sebagai
mana diformulasikan dalam Mukaddimah Atlantic Charter 1945 (Muhtaj,
2005, hlm. 48).
Begitupun UDHR/DUHAM (Universal Declaration of Human
Rights/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dipandang sebagai
puncak konseptualisasi HAM sejagat, apa yang tertuang didalamnya
dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM adalah termasuk
kedalam generasi pertama dari empat generasi HAM yang ada. Cirinya
yang terpenting adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada
bidang hukum dan politik. Sangat wajar dikarenakan beberapa hal, yakni
realitas politik global pasca perang dunia II, dan adanya keinginan kuat
negara-negara baru untuk menciptakan tertib hukum dan politik yang baru
(Muhtaj, 2005, hlm. 49).
Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat
global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang
melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam sidang
umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah covenant
(persetujuan), yakni Internasional Covenant on Economic, Social and
cultural Rights, dan Internasional Covenant civil and political rights
(Muhtaj, 2005, hlm.49).
Perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan kearah
kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum
dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan
pembangunan (the rights of development). Inilah generasi ketiga HAM.
Munculnya generasi keempat HAM ini dipelopori oleh negara-negara
dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang
dikenal dengan Declaration of the basic of Asia People and Government
(Muhtaj, 2005, hlm. 49).
2. HAM Perspektif Islam
Islam dan Barat, menurut A.K. Brohi (dalam Muhtaj, 2005, hlm. 49)
sebenarnya mengupayakan tercapainya pemeliharaan HAM dan
kemerdekaan fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan
terletak pada pendekatan yang digunakan.
Menurut Supriyanto Abdi, setidaknya terdapat tiga varian pandangan
tentang hubungan Islam dan HAM, baik yang dikemukakan para sarjana
atau pemikir Muslim sendiri, yakni pertama menegaskan bahwa Islam
tidak sesui dengan gagasan dan konsepsi HAM modern. Kedua
menyatakan bahwa Islam menerima semangat kemanusiaan HAM modern
tetapi, pada saat yang sama, menolak landasan sekulernya dan mengganti
dengan landasan Islami. Ketiga menegaskan bahwa HAM modern adalah
khasanah landasan kemanusiaan universal dan Islam (bisa dan seharusnya)
memberikan landasan normatif terhadapnya (Muhtaj, 2005, hlm. 49).
3. Ham Perspektif Konstitusi Indonesia
a. UUD 1945
Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum
dasar yang tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia
Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun
istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam
UUD 1945, baik dalam pembukaan, batang tubuh maupun
penjelasannya, yang dikemukakan bukanlah HAM, tetapi hanyalah hal
dan kewajiban warga negara (Muhtaj, 2005, hlm. 50).
Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD
Kilat”, yang karenanya harus dilakukan perubahan pada saat
Indonesia merdeka. Jelas kelihatan bahwa pengaturan HAM berhasil
dirumuskan dalam UUD 1945. Itu artinya bahwa jauh sebelum
lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia ternyata lebih awal
telah memberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan
penegakan HAM di Indonesia (Muhtaj, 2005, hlm. 50).
b. KONSTITUSI RIS 1949
Dalam konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapat dalam
bagian V yang berjudul “Hak-hak dan kebebasan–kebebasan dasar
manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 Pasal dari mulai Pasal 7
sampai dengan Pasal 33. Eksistensi manusia secara tegas dinyatakan
pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang diakui sebagai
manusia “. Selain itu hak atas perlindungan hukum juga termuat
dalam Pasal 13 ayat (1). “Setiap orang berhak, dalam persamaan
sepenuhnya, mendapat perlakuan jujur dalam perkaranya oleh hakim
yang tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan
kewajibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan
hukuman yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak” (Muhtaj,
2005, hlm. 50).

c. UUDS 1950
Ketentuan HAM diatur pada bagian V (hak-hak dan kebebasan-
kebebasan dasar manusia) dari mulai Pasal 7 sampai Pasal 33.
Menariknya pemerintah juga memiliki kewajiaban dasar kontitusional
yang diatur sedemikian rupa pada bagian VI (asas-asas dasar), Pasal
35 sampai dengan Pasal 43. Kewajiabn dasar ini dapat dilihat,
misalnya pada Pasal 36 yang berbunyi “penguasa memajukan
kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan
syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan yang baik,
pencegah dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan
persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak
yatim-piatu (Muhtaj, 2005, hlm. 50).
d. Kembali kepada UUD 1945
Pasca keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959, praktis hukum dasar
ketatanegaraan Indonesia mengalami set-back. Dekrit tersebut
menjadi dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang
terkandung dalam UUD 1945. Oleh karena itu, pengaturan HAM
adalah sama dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945 (Muhtaj,
2005, hlm. 51).
e. Amandemen UUD 1945
Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan
kedua UUD 1949 tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan
adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam
sebuah Bab tersendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai
Pasal 28 A sampai dengan 28 J. Penegasan HAM kelihatan menjadi
semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28 A yang
berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemajuan lain dapat juga
dilihat pada Pasal 28 I yang berbunyi :
“Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” (Muhtaj, 2005, hlm.
51).
B. Hak Asasi Manusia dalam Islam
HAM yang dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori:
a) HAM dasar yang telah diletakan oleh Islam bagi seseorang sebagai
manusia
b) HAM yang dianugrahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang
berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi, dan lain-lainnya yang mereka
miliki. Hak-hak khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-
anak, dan lainnya merupakan beberapa contoh dari kategori hak-hak ini
(Hussain, 1996, hlm. 59).
HAM dasar yang telah diletakan oleh Islam bagi seseorang sebagai
manusia, antara lain :
1. Hak Hidup
Firman Allah mengenai adanya hak hidup ini diantaranya: “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu (sebab) yang benar (al-Isra :33). Hak yang
pertama kali dianugrahkan Islam diantara HAM lainnya adalah hak untuk
hidup dan menghargai hidup manusia. Al-quran menganggap pembunuhan
terhadap seorang manusia adalah sama dengan pembunuhan terhadap
seluruh umat manusia. Islam telah meletakan dengan jelas kasus-kasus dan
situasi ketika hidup manusia boleh dibinasakan. Penghabisan nyawa
manusia tanpa adanya konsep yang diajarkan Islam (diperbolehkan dalam
Islam) dianggap sebagai dosa terbesar setelah politisme (Hussain, 1996,
hlm. 60).
Islam menganugrahkan hak hidup ini kepada setiap manusia dari ras,
bangsa, maupun agama manapun ia berasal. Diriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad Saw, bersabda: “Seseorang yang membunuh orang yang di
bawah perjanjian (seorang warga negara nonmuslim dalam negara Islam)
tidak akan merasakan surga walau hanya mencium wanginya”. Islam
memerintahkan umatnya untuk menghormati hak ini walaupun terhadap
bayi yang masih di rahim ibunya. Rasulullah Saw sendiri pernah menunda
hukuman mati terhadap seorang wanita karena untuk melindungi hak
hidup si bayi yang masih dalam kandunganya (Hussain, 1996, hlm. 60).
2. Perlindungan kehormatan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah
kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…” (al-Hujurat:
11). Hak penting lainnya yang dianugrahkan Islam kepada manusia adalah
berupa perlindungan kehormatan. Kaum muslimin dilarang untuk saling
menyerang kehormatan orang lain dengan cara apapun, hal ini
disampaikan Rasulullah Saw pada kesempatan khutbah Haji Wada’nya.
Kaum muslimin terikat untuk menjaga kehormatan orang lain. Seseorang
yang mengganggu kehormatan orang lain dapat dihukum oleh pengadilaan
Islam jika terbukti (Hussain, 1996, hlm. 63).
3. Keamanan Kemerdekaan Pribadi
Agama Islam telah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat dipenjarakan kecuali dia telah dinyatakan bersalah dalam suatu
pengadilan hukum terbuka. Tak ada seorang pun yang dapat ditahan tanpa
melalui proses hukum yang telah ditentukan. Dalam negara Islam tidak
ada seorangpun yang dapat dipenjarakan kecuali dia telah diadili dalam
suatu pengadilan hukum. Hak kebebasan pribadi ini berlaku bagi semua
orang (Hussain, 1996, hlm. 66).
4. Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang
Agama Islam mengakui hak individu seseorang bahwa dia tidak dapat
ditahan atau dipenjarakan atas tindak kejahatan dan pelanggaran orang
lain. Al-quran telah menegaskan hal ini secara eksplisit. Setiap orang itu
bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Jika ada orang lain tidak ikut
dalam tindakannya itu, maka dia tidak dapat dianggap bertanggungjawab
meskipun dia kerabat dekat pelakunya. Para kerabat dekat dari seorang
tertuduh atau seorang yang terbukti bersalah tidaklah dapat dihukum
disebabkan pelakunya sebagaimana terjadi dalam masyarakat-masyarakat
lain (Hussain, 1996, hlm. 69).

5. Hak untuk Memprotes kelaliman


Islam telah menganugerahkan hak bagi seluruh umat manusia untuk
mengecam kezaliman pemerintah. Al-quran telah menegakan akan hal
tersebut. Nabi Muhammad Saw, juga menganggap protes terhadap
penguasa lalim itu sebagai jihad yang paling baik. Rasulullah
memperingatkan kaum muslimin akan konsekuensi jika diam terhadap
kezaliman. Sayidina Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw, telah bersabda “jika seseorang melihat kemungkaran, maka dia harus
menghentikan dengan tangannya, dan jika tidak mungkin maka dengan
kata-katanya, dan jika ini pun tidak mungkin maka (paling tidak)
membencinya dengan sepenuh hati dan inilah keadaan iman yang paling
lemah” (Hussain, 1996, hlm. 70).
6. Persamaan Hak dalam Hukum
Agama Islam menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata
Allah, yang menciptakan manusia dari asal yang sama dan kepada-Nyalah
semua harus taat dan patuh. Masalah superior manusia yang berkenaan
dengan asal mula manusia kembali ditekankan bahwa agama Islam tidak
mengakui adanya hak istimewa yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan,
ataupun halangan buatan lainnya yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.
Agama Islam menganggap bahwa semua manusia itu sama dan merupakan
anak keturunan dari nenek moyang yang sama (Hussain, 1996, hlm. 86).
7. Hak Mendapatkan Keadilan
“...dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu…(as-
Syura: 15). Hak ini adalah suatu hak yang sangat penting dimana agama
Islam telah menganugerahkannya kepada setiap orang sebagai umat
manusia. Sesungguhnya agama Islam telah datang ke dunia ini untuk
menegakan keadilan. Umat Islam diperintahkan supaya menjunjung tinggi
keadilan meskipun kepentingan mereka sendiri dalam bahaya (Hussain,
1996, hlm. 90).

C. Tindakan Pidana yang Diancam Pidana Mati


1. Pengertian Tindak Pidana
Perkataan “Pidana” berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam bahasa
Belanda disebut “Straf”, dan dalam bahasa inggris disebut “Penalty”,
artinya “Hukuman”. Sedangkan, menurut istilah R.Soesilo
mendefinisikan “Tindak Pidana” sebagai “Sesuatu perbuatan yang
dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila dilakukan atau
diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam
dengan pidana (Anshari, 1982, hlm.20).
Dari definisi tersebut, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum, baik
berupa pelanggaran terhadap larangan, maupun pengabaian terhadap
kewajiban, yang diancam dengan hukuman berdasar Undang-Undang
(Anshari, 1982, hlm. 20).
2. Pengertian Pidana Mati
Apabila perkataan “Pidana” berarti “Hukuman”, sebagaimana yang
dikatakan Prof. Subekti, SH. dan Tjitrosoedibio dalam bukunya “Kamus
Hukum”, maka “Pidana Mati” berarti suatu hukuman yang dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana dengan menghabisi nyawanya (Anshari,
1982, hlm. 21).
Pidana Mati merupakan suatu hukuman yang paling berat dari sekian
banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, sebab
hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Apabila hukuman tersebut
dilaksanakan, maka berakhirlah riwayat terhukum (Anshari, 1982,
hlm.21).
Karena itu, ancaman hukuman ini hanya diberikan pada tindak pidana
yang berat, sesuai dengan hukuman tersebut. Sebab apabila tidak, berarti
keadilan tidak akan terwujud (Anshari, 1982, hlm. 21).
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana yang Diancam Pidana Mati
Menurut ajaran Islam, kejahatan yang diancam dengan Pidana Mati,
sebagaimana yang diterangkan Al-quran dan Hadits, seluruhnya lima
macam:
1. Pembunuhan
2. Perzinaan
3. Perampokan
4. Pemberontakan
5. Murtad
Kejahatan pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang sangat
dimurkai Allah Swt, dan merupakan dosa besar, sehingga dengan tegas
Allah Swt menentukan hukumannya, yaitu hukuman mati, yang dalam
bahasa Al-quran disebut “Qishash”. Hal tersebut berdasar firman Allah
Swt, dalam surat Al-Baqarah ayat 178 dan hadist Rasulullah Saw, yang
artinya; “Dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah Saw Bersabda
“Tidak dihalalkan darahnya seorang muslim yang mengakui bahwasanya
tidak ada Tuhan selain Allah dan aku ini adalah utusan-Nya, kecuali
disebabkan salah satu tiga macam; 1. Duda/janda yang berzina, 2. Yang
(dihukum mati karena) membunuh orang, memisahkan diri dari jamaah
(murtad)” (Anshari, 1982, hlm. 22-23).
Disamping masalah pembunuhan, dalam hadits tersebut, juga
disebutkan masalah perzinaan dan murtad, yang keduanya juga halal
darahnya, artinya bisa dihukum mati. Sedangkan, persoalan perampokan,
ditegaskan Allah Swt. Dalam surat Al-Maidah ayat 33, yang artinya;
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).”
(Anshari, 1982, hlm. 23)
Dalam ayat tersebut jelas dikatakan bahwa orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya, maksudnya perampok yang merampok
dan membunuh korbannya, diancam dengan hukuman bunuh dan disalib.
Untuk kejahatan pemberontakan terhadap pemerintah muslim yang sah,
dalam surat Al-Hujurat Allah berfirman “Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adil lah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.” (Anshari, 1982, hlm. 24)
Dalam ajaran Islam, kejahatan pembunuhan yang diancam pidana
mati tidaklah semua jenis pembunuhan, tapi hanya terhadap pembunuhan
sengaja. Oleh sebab itulah, dalam perkara pembunuhan ini, Islam
mengklasifikasi kepada tiga macam;
1. disengaja betul-betul
2. Tersalah semata-mata
3. Seperti senagaja
Bahkan lebih dari itu, pembunuhan sengaja pun bisa tidak di qishas
(dipidana mati), apabila ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh
tersebut. Peranan ahli waris dalam hal ini sangat besar, tetapi sekalipun
dimaafkan, pembunuhan dibebani kewajiban membayar denda (diyat) dan
kafarat. Pembunuhan karena tersalah semata-mata tidak dihukum qisash,
tetapi diwajibkan bayar denda ringan. Denda ini dibebankan kepada
keluarga pembunuh, boleh diangsur selama tiga tahun. Tiap tahun dibayar
sepertiga dari jumlah diyat tersebut. Sedangkan, untuk sanksi
pembunuhan seperti sengaja (syibhul ‘amd) juga tidak dikenai qisash,
hanya wajib denda (diyat) berat yang dibebankan kepada keluarganya
dalam jangka waktu tiga tahun (Anshari, 1982, hlm 24-25).
Terkecuali diyat-diyat tersebut, karena jiwa manusia sangat
dihormati dan dihargai oleh Islam, dan menghilangkannya berarti
menyangkut tiga hak: hak Allah, hak terbunuh, dan hak ahli waris
terbunuh, maka bagi pembunuh diwajibkan membayar kafarat, sebagai
penebus dosa kepada Tuhan (Anshari, 1982, hlm. 25).
Sedangkan, zina yang dilakukan oleh orang yang tidak muhshan
(perawan), tidak diancam hukuman mati, hanya dihukum dera. Pidana
mati terhadap pelaku kejahatan zina ini disebut “Rajam”, yaitu dengan
menenggelamkan penzina ke dalam tanah sebatas dada, kemudian
dilempar dengan batu sampai meninggal dunia. Kejahatan ketiga ialah
perampokan, kejahatan ini diancam dengan pidana mati, bahkan lebih
berat lagi, bukan hanya dihukum mati begitu saja, tapi juga disalib, sesuai
dengan kadar kejahatannya (Anshari, 1982, hlm. 25).
Perampok yang diancam dengan pidana mati dan disalib adalah
perampok yang merampok harta dan membunuh korbannya. Sedangkan,
bagi perampok yang hanya mengambil harta korban, tanpa
membunuhnya, tidak diancam pidana mati. Ancaman pidana mati untuk
kejahatan perampokan ini berbeda-beda, sesuai dengan kadar kejahatan
yang dilakukan (Anshari, 1982, hlm. 26).
Berdasarkan surat Al-Maidah ayat 33, maka hukuman bagi perampok
ada empat tingkatan:
1. dibunuh dan disalib
2. Dibunuh, tanpa disalib
3. Dipotong tangan dan kakinya bersilang
4. Diasingkan/dibuang dari tempat kediamannya.
Tindak pidana keempat adalah pemberontakan yang dilakukan untuk
menumbangkan penguasa yang sah, hanya disebabkan latar belakang
politis. Sedangkan, penguasa tersebut adalah pemimpin pemerintahan
Islam. Untuk pemberontak, berdasarkan surat Al-Hujurat ayat 93,
diancam hukuman mati dengan diperangi. Kecuali apabila mereka
kembali kepada Allah, dalam arti taat kepada penguasa dan tidak
melakukan pemberontakan lagi (Anshari, 1982, hlm. 26).
Tindak pidana kelima yang juga diancam pidana mati adalah murtad,
yaitu orang yang keluar dari agama Islam. Rasulullah Saw secara tegas
mengatakan; “Barangsiapa yang mengubah agamanya, maka bunuhlah
dia.”. Murtad bisa dalam bentuk perbuatan, bisa dengan sebab perkataan
dan bisa pula dengan sebab keyakinan apabila ditinjau dari segi akibat
yang berhubungan dengan masyarakat, ada murtad yang memusuhi kaum
muslimin dan ada pula yang tidak (Anshari, 1982, hlm. 26-27).

4. Proses Pengadilan
Dalam pengadilan masalah pidana mati, pada dasarnya sama saja
dengan pengadilan perkara pidana lainnya. Untuk ini melalui tiga tahap:
1. tahap pemeriksaan
2. Tahap persidangan
3. Tahap penetapan putusan.
Perkara pidana mati dapat diperiksa dan disidang, dengan adanya
pengakuan pelaku tindak pidana, kesaksian, pengaduan pihak korban,
atau bukti-bukti lainnya. Tertuduh yang diajukkan ke muka sidang
haruslah benar-benar orang yang memenuhi syarat dan layak diadili.
Seorang anak yang belum sampai umur atau kurang ingatan (gila) tidak
bisa diajukan ke pengadilan (Anshari, 1982, hlm. 27).
Demikian juga hakim yang menyidang perkara tersebut, harus benar-
benar memenuhi syarat-syaratnya, antara lain: Islam, baligh, berakal,
laki-laki, adil, mengetahui hukum Islam dan aturan-aturan lainnya yang
disepakati dan disahkan, serta tidak ada hubungan keluarga.
Sidang dalam masalah pidana mati harus terbuka untuk umum, tidak
boleh dilakukan tertutup, agar jalannya persidangan dapat diikuti
masyarakat, dan keadilan hakim dalam memutuskan perkara dapat
diketahui. Sebab apabila hakim tidak adil atau salah memutuskan, berarti
menyangkut jiwa manusia (Anshari, 1982, hlm. 27-28).
5. Eksekusi Pidana Mati
Dalam perkara pidana ini, yang bertugas melaksanakan eksekusi
pidana mati tersebut adalah petugas pemerintah. Meskipun dalam perkara
pembunuhan, peranan ahli waris korban sangat besar, namun dalam
eksekusi pidana mati tidak bisa dilaksanakan oleh ahli waris tersebut.
Kecuali apabila mendapat ijin dari pemerintah yang berkuasa.
Cara-cara eksekusi bermacam-macam: ada yang dilakukan dengan
rajam, khusus untuk penzina, ada yang dilakukan dengan dipotong leher
(dipancung), disalib atau dengan cara lain yang mematikan. Semua itu
haruslah dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai manusiawi
(Anshari, 1982, hlm. 28).
Pemerintah merupakan wakil rakyat dan sekaligus wakil Tuhan
untuk menjalankan hukum-Nya di muka bumi sebagai wakil rakyat
pemerintah berkewajiban membela hak-hak rakyat. Maka apabila
pemerintah melaksanakan eksekusi pidana mati terhadap pelaku
kejahatan, berarti ia telah menunaikan tugasnya untuk menegakkan
keadilan di muka bumi. Karenanya, pemerintah yang melakukan itu tidak
bisa dituntut, selama pelaksanaan dilakukan atas dasar kebenaran.
Demikian pula sebagai wakil Tuhan, dilaksanakannya pidana mati,
berarti pemerintah telah melaksanakan tugasnya menegakkan hukum
Tuhan di bumi (Anshari, 1982, hlm. 28).
6. Hikmah Pidana Mati
Dalam pidana mati terdapat beberapa hikmah yang dapat diambil.
Diantara hikmah itu adalah, bahwa dalam pidana mati terdapat unsur
pendidikan dan pengajaran. Dalam Pidana Mati mengandung nilai-nilai
ibadah dan padanya ada jaminan kelangsungan hidup umat manusia.
Dengan pidana mati pula dapat dicegah meluasnya kejahatan dan
akan terwujud keamanan dan ketentraman masyarakat. Sebagai akibat
dilaksanakannya pidana mati itu adalah gugurnya hak Allah dan hak
hamba. Dengan demikian bagi pelaku kejahatan, terlepas dari siksa api
neraka di akhirat kelak, asal saja ia bertobat lebih dahulu (Anshari, 1982,
hlm. 29).
D. Jarimah Al-Qisas (Pembunuhan)
Secara harfiah Qisas artinya memotong atau membalas. Qisas yang
dimaksud dalam hukum pidana islam adalah pembalasan setimpal yang
dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Diat
artinya denda dalam bentuk benda atau harta, sesuai dengan ketentuan, yang
harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban, sebagai sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan (Furqan, 2002, hlm. 339).
Pihak yang pertanggungjawaban atau sanksi hukumnya diserahkan kepada
manusia, dalam arti bahwa manusia sebagai subjek hukum diberikan
kewenangan untuk memilih beberapa alternatif yang diajukan (Furqan, 2002,
hlm.339).
Ibnu Rusyd, mengelompokan Qisas menjadi dua yaitu qisas an-nafs
(pembunuhan) dan qisas ghair an-nafs (bukan pembunuhan). Dimaksud Qisas
an-nafs yaitu Qisas yang membuat korbannya meninggal. Qisas ghairy an-
nafs yaitu qisas yang berkaitan dengan pidana pencederaan, melukai, namun
korbannya tidak sampai meninggal. Kelompok pertama disebut al-gatlu dan
kelompok yang kedua disebut al-jirah (pecederaan) (Furqan, 2002, hlm. 340).
1. Pembunuhan
Dilihat dari sifat perbuatannya, tidak pidana dalam syariat Islam
dikelompokan menjadi: ‘amd (disengaja), khata’ (tidak disengaja), dan
syibhu amd (semi disengaja) (Furqan, 2002, hlm.340).
Pembunuhan disengaja yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan alat yaitu
benda, atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh. Perbuatan
yang semi disengaja dilakukan oleh seseorang dengan tujuan mendidik
misalnya guru yang memukul penggaris ke kaki seorang muridnya, tiba-
tiba muridnya yang dipukul itu meninggal, maka perbuatan guru tersebut
dinyatakan syibhu amd (semi disengaja). Seseorang yang menebang pohon,
tiba-tiba pohon yang di tebangnya tumbang dan menimpa orang yang lewat
lalu dengan tiba-tiba meninggal, maka perbuatan orang tersebut dikatakan
sebagai pembunuhan tidak disengaja (Furqan, 2002, hlm. 340).
Ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang delik pidana pembunuhan
yaitu, firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu Qisash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapatkan satu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada pemberi maaf dengan cara yang baik pula.
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih (Furqan, 2002, hlm. 341).
Pada ayat lain Allah berfirman yang artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seseorang mukmin
yang lain, kecuali kaena tersalah (tidak disengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal ia mukmin, maka (hendaknya si pembunuh) memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin, dan jika ia (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada
perjanjian (damai) antara-mereka dengan kamu, maka (hendaklah
sipembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa
yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (sipembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mebunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan adzab yang besar baginya (Furqan, 2002, hlm.341-342).
a. Sanksi Hukum
Dari ayat-ayat Al-quran yang dikutip di atas, maka sanksi hukum
atas delik pembunuhan berikut:
1) Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga
korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan yaitu: qisas,
yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korbannya,
atau diat yaitu pembunuh harus membayar denda, sejumlah 100
unta, atau 200 ekor sapi, atau 1000 ekor kambung, atau bentuk lain
seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak
keluarga korban, bukan kepada pemerintah, atau pihak keluarga
memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat
(Furqan, 2002, hlm. 342)
2) Terhadap pelaku pembunuhan yang tidak disengaja pihak
keluarganya diberika pilihan yaitu: pelaku membayar diat, atau
membayar kifarah (memerdekakan budak yang mukmin, jika tidak
mampu, ia (pelaku) diberi hukuman moral yaitu berpuasa selama
dua bulan berturut turut), atau pihak keluarga memaafkannya
(Furqan, 2002, hlm. 342).
b. Hikmah dan tujuan hukum
Syariat Islam diturunkan untuk kemaslahatan hidup manusia, yang
menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Nyawa
seseorang adalah mahal, karena itu harus dijaga dan dilindungi. Tentang
ketentuan hukum qishas, mempunyai relevansi kuat dalam upaya
melindungi manusia, sehingga para pelaku kriminal timbul kejeraan,
lantaran harus menanggung beban yang bakal menimpa dirinya jika ia
melakukannya, dikemukakan dalam Al-Quran yang artinya: Dan dalam
qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
berakal supaya kamu bertaqwa” (Furqan, 2002, hlm. 342-343).
Sisi lain yang dapat dipetik dari sanksi pidana pembunuhan
seagaimana tersebut bahwa pihak keluarga korban diberikan hak
otonomi sepenuhnya untuk memilih hukuman yang bakal dikenakan
terhadap pelakunya. Hal ini mempunyai relevansi kuat dengan
pertimbangan psikologi keluarga. Betapa menderitanya pihak keluarga
lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih karena dibunuh
seseorang. Pihak keluarga korban sedikit banyak mengetahui
kepribadian anggota keluarganya. Jika mereka mengetahui bahwa yang
dibunuh adalah salah satu orang yang akhlaknya kurang baik atau
kurang terpuji tentu mereka akan memaklumi apabila ia dibunuh oleh
seseorang. Dengan demikian ia tidak akan dendam kepada
pembunuhannya bahkan kemungkinan besar memaafkan pelakunya
(Furqan, 2002, hlm. 343).
2. Jirah (Pencederaan)
Jirah artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan di
sengaja atau tidak disengaja untuk melukai atau mencederai orang lain.
Tentang delik ini, dalam Al-quran dikemukakan sebagai berikut: “Dan
kami telah menetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasanya
jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada Qisas. Barang siapa
yang melepaskan hak qisasnya maka itu adalah kifarah atau penebus
baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim (Furqan,
2002, hlm. 343-344).
Dari ayat tersebut dapat dipetik bahwa terhadap pidana pembunuhan
yang parsial dalam arti hanya melukai atau mencederai, maka sanksi
terhadap pelakunya yaitu qisas yang sebanding dengan perbuatannya, jika
seseorang melakukan tindak kejahatan terhadap orang lain, misalnya
menusuk pisau ke bagian kaki, maka pelakunya dikenakan hukuman yaitu
kakinya di tusuk pisau sesuai yang membuat ia menderita sebagaimana
orang lain menderita karena perbuatan yang ia lakukan, atau pihak korban
memaafkan orang yang melukainya itu. Tentang hal ini, seperti
dikemukakan dalam ayat bahwa mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, dan lain sebagainya (Furqan, 2002, hlm. 344).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Hasil Temuan
1. Perbandingan HAM di Indonesia dengan HAM menurut Islam
Berdasarkan hasil wawancara kami kepada Dr. Muhammad Halimi,
M.Pd, beliau menyebutkan bahwa hakikatya HAM di Indonesia dengan HAM
dalam perspektif Islam itu tidak dapat di samakan, karena HAM Indonesia itu
merupakan Hak-Hak yang diciptakan oleh manusia, sedangkan dalam Islam
itu tidak ada yang dinamakan HAM, namun terdapat hak-hak yang telah
ditentukan oleh Allah Swt, dan juga sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. H.
Ayat Dimyati, M.Ag yang merupakan wakil ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Jawa Barat, beliaupun mengatakan terdapat HAM dalam Islam, hanya
saja, HAM secara islam timbul dari nilai dasar potensi diri manusia. Berbeda
dengan HAM di Indonesia yang pada hakikatnya HAM yang dibuat oleh
manusia, dan menimbulkan banyak kalkulasi untung dan ruginya.
2. Pandangan HAM terhadap Hukum Qisas dalam Islam
Sebagaimana yang dikatakan oleh narasumber dari Wakil Ketua MUI
Jawa barat, beliau menyatakan bahwa hukum dalam Al-quran itu pilihan, asal
betul-betul yang tadinya berbuat keburukan harus berobat betul, karena pada
dasarnya dari hukum dunia itu bisa lari dan tidak tertangkap. Tapi hukuman
Allah itu lebih kejam. Hal tentang Pertaubatan di jelaskan dalam surat Al-
furqon ayat 71.
3. Perbedaan antara Hukuman Mati di Indonesia dengan Hukuman
Qisas
Menurut Dr. Muhammad Halimi, M.Pd, Hukum itu ditetapkan pasti ada
hikmah dibalik itu, berdasarkan dalam Al-quran: untuk mu hukum qisas itu
ada untuk kehidupan tetapi hanya untuk orang yang berfikir. Hal tersebut
harus dipahami, mengapa dalam qisas ada kehidupan? Orang yang di hukum
qisas itu tidak sembarangan, tidak semua orang yang membunuh itu dihukum
qisas. Ada tiga kriteria orang membunuh:
a. Membunuh sengaja, orang yang disebut sengaja membunuh, orang
yang telah memiliki niat untuk membunuh, orang mukallaf membunuh
orang yang darahnya tidak boleh di bunuh (yang darahnya terlindungi)
bukan orang yang memang harus dibunuh. Syarat: orang yang
membunuh berakal, baligh, punya niat membunuh.
b. Membunuh seperti sengaja
Orang mukallaf yang membunuh orang yang darahnya tidak halal
dengan alat yang tidak mungkin untuk membunuh secara adat, secara
umum. contoh: Orang memukul seseorang dengan lidi sehingga
menyebabkan orang yang di pukul itu meninggal (lidi itu alat yang
tidak mungkin).
c. Membunuh tidak sengaja
Orang yang tidak memiliki niat membunuh tetapi ada yang terbunuh.
Drs. H. Ayat Dimyati, M.Ag yang merupakan wakil ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Jawa Barat, mengatakan bedanya hukum qisas
dan hukum mati di Indonesia, jika dalam Islam qisas dilaksanakan
langsung hanya jeda beberapa hari, jika di Indonesia harus menunggu si
pembunuh di kumpulkan hingga menjadi banyak dan baru di tembak mati,
perbedaan lainnya di hukum islam ada pemaafan tetapi di Indonesia
walaupun sudah di maafkan, apabila pengadilan memutuskan untuk
menghukum mati maka tetap di hukum mati.
B. Pembahasan
1. Perbandingan HAM di Indonesia dengan HAM menurut Islam
Berdasarkan hasil wawancara kami kepada Dr. Muhammad Halimi, M.Pd,
beliau menyebutkan bahwa hakikatya HAM di Indonesia dengan HAM dalam
perspektif Islam itu tidak dapat di samakan, karena HAM Indonesia itu
merupakan Hak-Hak yang diciptakan oleh manusia, sedangkan dalam Islam
itu tidak ada yang dinamakan HAM, namun terdapat hak-hak yang telah
ditentukan oleh Allah Swt. Namun dalam hal ini sedikit berbeda dengan yang
dikatakan oleh Hussain (1996) dalam bukunya yang berjudul “Hak Asasi
Manusia”, dalam halam 59 beliau mengatakan bahwa dalam islam itu terdapat
HAM yang dijamin dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori:
1. HAM dasar yang telah diletakan oleh Islam bagi seseorang sebagai
manusia.
2. HAM yang dianugrahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda
dalam situasi tertentu, status, posisi, dan lain-lainnya yang mereka miliki.
Hak-hak khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak,
dan lainnya merupakan beberapa contoh dari kategori hak-hak ini.
Walaupun hal ini berbeda dengan yang dikatakan oleh Dr. Halimi, M.Pd,
tetapi yang perlu kita garis bawahi, HAM yang dikatakan oleh Hussain itu
hakikatnya sepaham dengan Dr Halimi, M. Pd, karena HAM yang dikatakan
buku tersebut adalah yang sudah terjamin dalam Al-quran, yang dalam berarti
HAM tersebut adalah yang telah di tentukan oleh Allah Swt. Dalam hal ini
apabila ada seseorang yang melanggar HAM, maka ancaman atau
hukumannya diperoleh di dunia sesuai dengan ketentuan Allah, melainkan
juga di Akhirat yang akan dibalas dengan adzab yang pedih oleh Allah Swt.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Drs. H. Ayat Dimyati, M.Ag yang
merupakan wakil ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jawa Barat,
beliaupun mengatakan terdapat HAM dalam Islam, hanya saja, HAM secara
islam timbul dari nilai dasar potensi diri manusia. Berbeda dengan HAM di
Indonesia yang pada hakikatnya HAM yang dibuat oleh manusia, dan
menimbulkan banyak kalkulasi untung dan ruginya. HAM yang berlaku di
Indonesia merupakan hasil ratifikasi dari PBB, yang dalam hal ini juga
terdapat berbagai pengaruh dari berbagai negara di luar Islam (meskipun
dalam hal ini Indonesia tidak seluruhnya meratifikasi). HAM di Indonesia
sendiri tercantup dalam Pasal 28 A-J Undang-Undang Dasar 1945, serta
diperinci kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM, apabila terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia maka pelanggaran tersebut termasuk dalam ranah Hukum Pidana.
Menurut Supriyanto Abdi, setidaknya terdapat tiga varian pandangan
tentang hubungan Islam dan HAM, baik yang dikemukakan para sarjana atau
pemikir Muslim sendiri. Yakni pertama menegaskan bahwa Islam tidak
sesuai dengan gagasan dan konsepsi HAM modern. Kedua menyatakan bahwa
Islam menerima semangat kemanusiaan HAM modern tetapi, pada saat yang
sama, menolak landasan sekulernya dan mengganti dengan landasan Isalmi.
Ketiga menegaskan bahwa HAM modern adalah khasanah landasan
kemanusiaan universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan
normatif terhadapnya (Muhtaj, 2005, 49).
2. Pandangan HAM terhadap Hukum Qisas dalam Islam
HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan
melekat dengan jati diri manusia secara universal. Hak mendasar yang
dimaksud adalah hak yang melekat ada pada setiap diri manusia. Hak-hak
asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang
kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam
hubungan sesama manusia.
HAM yang dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori: a). HAM dasar yang telah diletakan oleh Islam bagi
seseorang sebagai manusia, b). HAM yang dianugrahkan oleh Islam bagi
kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi, dan lain-
lainnya yang mereka miliki. Hak-hak khusus bagi non muslim, kaum wanita,
buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya merupakan beberapa contoh dari
kategori hak-hak ini (Hussain, 1996, hlm. 59).
Firman Allah mengenai adanya hak hidup ini diantaranya: “Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan suatu (sebab) yang benar (al-Isra: 33). HAM dalam Islam memuat
berbagai aspek yang diperhatikan diantaranya adalah Hak untuk hidup,
perlindungan kehormatan, keamanan kemerdekaan pribadi, perlindungan dari
hukuman penjara yang sewenang-wenang, hak untuk memprotes kelaliman,
persamaan hak dalam hukum, hak mendapatkan keadilan dan lain-lain.
Islam mengatur berbagai aspek kehidupan apalagi hal yang mendasar yang
disebut HAM (Hak Asasi Manusia), berdasarkan pandangan beberapa
narasumber yang kami temui bahwa hukum Qisas yang dilakukan pada orang-
orang yang melakukan pembunuhan. Pada dasarnya dilakukan agar tidak
menimbulkan dendam bagi keluarga korban. Hukum Qisas juga bisa tidak
terjadi ketika keluarga korban memaafkan pelaku atau orang yang membunuh
korban. Hal ini menunjukan bahwa pada dasarnya ketika berbicara tentang
hukum Islam ini merupakan pilihan hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh
narasumber dari Wakil Ketua MUI Jawa barat, beliau menyatakan bahwa
hukum dalam Al-quran itu pilihan, asal betul-betul yang tadinya berbuat
keburukan harus berobat betul, karena pada dasarnya dari hukum dunia itu
bisa lari dan tidak tertangkap. Tapi hukuman Allah itu lebih kejam. Hal
tentang Pertaubatan di jelaskan dalam surat Al-furqon ayat 71.
Hak Asasi Manusia yang kita kenal di Indonesia yang tertulis dalam UU
No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada perkembangannya
merupakan hasil meratifikasi dari konvensi PBB yang pada dasarnya
merupakan konsep HAM dari barat yang tumbuh dari negara-negara liberal.
Pandangan narasumber berkenaan dengan hal ini yaitu HAM Islam itu
merupakan HAM yang mengedepankan nilai dasar potensi diri manusia, dan
itu tumbuh bukan dari kalkulasi untung rugi. Kalau HAM yang ada di
Indonesia banyaknya mengedepankan untung rugi, sedangkan kalau HAM
dalam islam adalah nilai kemanusiaan.
Pada prinsipnya hukum qisas ini dalam Islam merupakan hukuman bagi
pelaku pembunuhan atau kesalahan dan hukum qisas ini bisa tidak dilakukan
apabila keluarga iklas atau memaafkan pelaku dengan ketentuan pelaku tetap
membayar denda. Jika berkenaan dengan hukum qisas ini merupakan
pelanggaran HAM atas hak hidup orang maka perlu kita sadari bahwa adanya
hukum qisas ini merupakan akibat pelaku yang melanggar HAM sendiri
dengan menghilangkan nyawa korban dan ini merupakan hukum Allah Swt.
3. Perbedaan antara Hukuman Mati di Indonesia dengan Hukuman
Qisas
Menurut Furqan (2002) Secara harfiah Qisas artinya memotong atau
membalas. Qisas yang dimaksud dalam hukum pidana Islam adalah
pembalasan setimpal yang dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi
atas perbuatannya. Menurut ajaran Islam, kejahatan yang diancam dengan
Pidana Mati, sebagaimana yang diterangkan Al-quran dan Hadits, seluruhnya
lima macam:
1. Pembunuhan
2. Perzinaan
3. Perampokan
4. Pemberontakan
5. Murtad
Kejahatan pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang sangat
dimurkai Allah Swt, dan merupakan dosa besar, sehingga dengan tegas Allah
Swt menentukan hukumannya, yaitu hukuman mati, yang dalam bahasa Al-
quran disebut “Qishash”. Hal tersebut berdasar firman Allah Swt, dalam surat
Al-Baqarah ayat 178 dan hadist Rasulullah Saw, yang artinya; “Dari Ibnu
Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah Saw bersabda “Tidak dihalalkan darahnya
seorang muslim yang mengakui bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah dan
aku ini adalah utusan-Nya, kecuali disebabkan salah satu tiga macam: 1.
Duda/janda yang berzina, 2. Yang (dihukum mati karena) membunuh orang,
memisahkan diri dari jamaah (murtad)” (Anshari, 1982, hlm. 22-23).
Di samping masalah pembunuhan, dalam hadits tersebut, juga disebutkan
masalah perzinaan dan murtad, yang keduanya juga halal darahnya, artinya
bisa dihukum mati. Sedangkan, persoalan perampokan, ditegaskan Allah Swt
dalam surat Al-Maidah ayat 33 yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya)” (Anshari, 1982, hlm. 23).
Dalam ayat tersebut jelas dikatakan bahwa orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya, maksudnya perampok yang merampok dan membunuh
korbannya, diancam dengan hukuman bunuh dan disalib. Untuk kejahatan
pemberontakan terhadap pemerintah muslim yang sah, dalam surat Al-Hujurat
Allah berfirman “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua
golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang main, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adil lah, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Anshari, 1982, hlm. 23)
Menurut Dr. Muhammad Halimi, M.Pd, Hukum itu ditetapkan pasti ada
hikmah dibalik itu, berdasarkan dalam Al-quran: untuk mu hukum qisas itu
ada untuk kehidupan tetapi hanya untuk orang yang berfikir. Hal tersebut
harus dipahami, mengapa dalam qisas ada kehidupan? Orang yang di hukum
qisas itu tidak sembarangan, tidak semua orang yang membunuh itu dihukum
qisas. Ada tiga kriteria orang membunuh:
1. Membunuh sengaja, orang yang disebut sengaja membunuh, orang yang
telah memiliki niat untuk membunuh, orang mukallaf membunuh orang yang
darahnya tidak boleh di bunuh (yang darahnya terlindungi) bukan orang yang
memang harus dibunuh. Syarat: orang yang membunuh berakal, baligh, punya
niat membunuh.
2. Membunuh seperti sengaja
Orang mikallaf yang membunuh orang yang darahnya tidak halal dengan
alat yang tidak mungkin untuk membunuh secara adat, secara umum. contoh:
Orang memukul seseorang dengan lidi sehingga menyebabkan orang yang di
pukul itu meninggal (lidi itu alat yang tidak mungkin).
3. Membunuh tidak sengaja
Orang yang tidak memiliki niat membunuh tetapi ada yang terbunuh
Kalau orang yang sengaja membunuh, hukumannya di qisas, yang berhak
meminta untuk dibunuh adalah dari pihak keluarga korban, tetapi yang berhak
untuk memutuskan adalah pengadilan. Apabila pihak keluarganya tidak
meminta untuk dibunuh, kemudian si pelaku dibunuh, itu tidak bisa. Jadi ada
beberapa cara, ketika keluarganya mengharapkan dibunuh kembali, maka
pelaku di hukum qisas, namun Al-quran menyatakan jangan berlebihan,
misalnya jika orang terbunuh dengan cara tertembak satu kali, maka si pelaku
di hukum qisas nya dengan hukum qisas tembak sekali, jangan berkali-kali,
namun apabila dengan sekali tembak pelaku tidak mati, ya itu mungkin
rahasia Allah Swt. Maka Al-Quran menyatakan bahwa memaafkan itu lebih
baik, apabila ingin di hukum Qisas maka hukuman itu harus sesuai dengan apa
yang ia perbuat (jangan berlebihan).
Drs. H. Ayat Dimyati, M.Ag yang merupakan wakil ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Jawa Barat, Mengatakan bedanya hukum qisas dan hukum
mati di Indonesia, jika dalam Islam qisas dilaksanakan langsung hanya jeda
beberapa hari, jika di Indonesia harus menunggu si pembunuh di kumpulkan
hingga menjadi banyak dan baru di tembak mati, perbedaan lainnya di hukum
islam ada pemaafan tetapi di Indonesia walaupun sudah di maafkan, apabila
pengadilan memutuskan untuk menghukum mati maka tetap di hukum mati.
Berbeda dengan tindakan yang dijatuhi Qisas dalam Islam diantaranya
(pembunhuhan, perzinahan, perampokan, pemberontakan dan murtad), di
Indonesia sendiri cukup banyak tindakan-tindakan pidana yang bisa dijatuhi
pidana mati seperti: terorisme, korupsi, penyalahgunaan narkotika,
pelanggaran berat hak asasi, dan berbagai tindakan yang tercantum dalam
KUHP, perbedaan lain yaitu dalam segi teknis Qisas dalam islam dilakukan
dengan berbagai cara ada yang dilakukan dengan rajam, khusus untuk
penzina, ada yang dilakukan dengan dipotong leher (dipancung), disalib atau
dengan cara lain yang mematikan sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukan, sedangkan di Indonesia hukuman mati dilaksanakan dengan cara
ditembak mati yang dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil
(Brimob) sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
1. Pada dasarnya Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia dan yang ada
dalam islam tidak jauh berbeda. Jika Hak Asasi Manusia dalam islam
merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Allah Swt. Dalam
kaitannya dengan harkat dan martabat sebagai makhluk Allah yang
mempunyai akal yang sempurna dibandingkan dengan yang lain. Hak
Asasi Manusia dalam Islam merupakan anugrah yang diberikan oleh Allah
Swt. dan tidak dapat diganggu keberadaannya, sedangkan Hak Asasi
Manusia di Indonesia merupakan campuran dari hak-hak dari Islam dan
hak-hak yang dibuat oleh manusia. Dalam hal ini di Indonesia Hak Asasi
Manusia diratifikasi dari Piagam PBB.
2. Hukum Qisas dalam perspektif Hak Asasi Manusia dapat dilihat dari
bagaimana hukum qisas itu dapat dijatuhkan pada seseorang. Karena pada
dasarnya hukum qisas itu dijatuhkan pada seseorang untuk dijadikan
hukuman atas perbuatannya, karena hukum qisas dijatuhkan kepada
seseorang jika seseorang tersebut membunuh manusia lain. Artinya
seseorang tersebut telah melanggar HAM orang lain dan karenanya tidak
dapat disalahkan jika hukuman itu dikenakan kepadanya meskipun dalam
perspektif HAM hal itu melanggar hak untuk hidup.
3. Perbedaan hukum qisas dan hukum mati yang ada di Indonesia, jika
hukum qisas dilakukan beberpa hari setelah seseorang itu membunuh
orang lain, sedangkan hukuman mati di Indonesia dilaksanakan jika telah
diadili oleh pengadilan yang adil dan menunggu untuk hal-hal yang lain
sebelum hukuman itu dilaksanakan. Selain itu dalam hukum qisas, ada
asas pemaafan artinya jika pihak keluarga memaafkan seseorang yang
telah membunuh anggota keluargannya maka hukum qisas tidak dapat
dijatuhkan, sedangkan hukuman mati di Indonesia tidak ada pemaafan
kecuali adanya tahapan-tahapan dalam hukum misalnya mengajukan
banding dan lain-lain artinya hukuman itu mau tidak mau harus
dilaksanakan.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak, lebih terpercaya, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Penulis mengharapkan adanya kajian lain yang lebih
mendalam mengenai hukum qisas dalam perspektif islam agar dapat
menentukan sikap.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, NH (1982). Pidana Mati Menurut Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Furqan, A. (2002). Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen
Agama RI
Hussain, SS. (1996). Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Muhtaj, ME. (2005). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup
LAMPIRAN
A. Instrumen Wawancara
4. Bagaimana hukum Qisas dalam islam?
5. Bagaimana perbedaan hukum Qisas dengan hukuman mati di Indonesia?
6. Apakah Undang-Undang HAM Indonesia sudah sesuai dengan HAM
islam?
7. Jika hukum qisas ditegakan di Indonesia, Apakah melanggar Undang-
Undang atau HAM yang ada di Indonesia?
8. Bagaimana perspektif HAM dalam islam?
9. Apakah hukum Qisas melanggar HAM secara universal?
10. Bagaimana hukumnya jika hukum Qisas itu tidak dilaksanakan oleh umat
islam?
11. Apakah ada fatwa MUI yang berkenaan dengan hukum Qisas?
B. Jawaban Wawancara
1. Dosen Hukum Islam : Dr. Halimi, M.Pd
Hukum itu ditetapkan pasti ada hikmah dibalik itu, berdasarkan
dalam Al-Quran: dalam untuk mu hukum Qisas itu ada untuk kehidupan
tetapi hanya untuk orang yang berfikir. Hal tersebut harus dipahami,
mengapa dalam Qisas ada kehidupan? Orang yang di hukum Qisas itu
tidak sembarangan, tidak semua orang yang membunuh itu dihukum
Qisas. Ada tiga kriteria orang membunuh:
a. Membunuh sengaja, orang yang disebut sengaja membunuh, orang
yang telah memiliki niat untuk membunuh, orang mukallaf membunuh
orang yang darahnya tidak boleh di bunuh (yang darahnya terlindungi)
bukan orang yang memang harus dibunuh. Syarat: orang yang
membunuh berakal, baligh, punya niat membunuh.
b. Membunuh seperti sengaja
Orang mikallaf yang membunuh orang yang darahnya tidak halal
dengan alat yang tidak mungkin untuk membunuh secara adat, secara
umum. contoh: Orang memukul seseorang dengan lidi sehingga
menyebabkan orang yang di pukul itu meninggal (lidi itu alat yang
tidak mungkin).
c. Membunuh tidak sengaja
Orang yang tidak memiliki niat membunuh tetapi ada yang terbunuh
Kalau orang yang sengaja membunuh, hukumannya di Qisas, kata
Allah mengapa harus di bunuh kembali? Siapa yang berhak untuk
membunuh? Yang berhak meminta untuk dibunuh adalah dari pihak
keluarga korban, tetapi yang berhak untuk memutuskan adalah pengadilan.
Kalau misalnya keluarganya tidak meminta untuk dibunuh, terus si pelaku
dibunuh, itu tidak bisa. Jadi ada beberapa cara, ketika keluarganya
mengharapkan dibunuh kembali, maka pelaku di hukum Qisas, namun Al-
Quran menyatakan jangan berlebihan, misalnya jika orang terbunuh
dengan cara tertembak satu kali, maka si pelaku di hukum Qisasnya
dengan hukum Qisas tembak sekali, jangan berkali-kali, namun apabila
dengan sekali tembak pelaku tidak mati, ya itu mungkin rahasia Allah Swt.
Maka Al-Quran menyatakan bahwa memaafkan itu lebih baik, apabila
ingin di hukum Qisas maka hukuman itu harus sesuai dengan apa yang ia
perbuat (jangan berlebihan). Jadi orang merdeka dengan orang merdeka,
apabila orang merdeka membunuh hamba sahaya itu tidak usah dibunuh,
kalau orang hamba sahaya membunuh orang merdeka itu hukumannya
setengah, hamba dengan hamba, perempuan dengan perempuan, kalau
laki-laki membunuh perempuan, hukumannya lain lagi.
Kalau disebut melanggar HAM, ya tidak melanggar HAM kalau
memang melebihi hukum yang ditetapkan maka hal tersebut melanggar
HAM. Jadi kita jangan terprofokasi oleh hukum-hukum orang nonMuslim,
karena itu konsepnya konsep luar. Dalam islam itu tidak ada yang di sebut
HAM, memang pasti ada HAM tetapi tidak seperti HAM buatan manusia.
Nah sekarang apabila menyebutkan bahwa Hukum Qisas itu melanggar
HAM, maka apakah pelaku yang membunuh itu tidak menlanggar HAM?
Ya sudah pasti melanggar HAM. Apabila ada seseorang yang dibunuh,
apakah tidak menimbulkan rasa dendam bagi keluarga korban? pasti
meimbulkan rasa dendam, namun apabila pelaku tersebut telah di hukum
Qisas maka, rasa dendam tersebut akan hilang.
Apabila hukum Qisas tidak dilaksanakan, pelaku dapat membayar Denda
kepada pihak keluarga, sesuai apa yang ditentukan pengadilan, pihak
keluargapun bisa meminta kerugian, namun untuk persetujuannya tetap
pihak pengadilan yang memutuskan.
4. Wakil Ketua MUI : Dr. H. Ayat Dimyati, M.Ag
a. Hukum qishah itu dalam islam termasuk klasifikasi hukum qishah
namanya yang melaksanakan negara, tetapi itu sebagian kecil dari
hukum islam seperti hukum pidana, ada hukum qishas, hukum
perdata, hukum muamalat, hukum fiqih jinayat yang salah satunya
hukum qishas, hukum jinayat itu di Indonesia dinamakan hukum
pidana tapi dalam islam dinamakan fiqih jinayat. Qishah dalam islam
itu tidak di jatuhkan jika adanya pintu kelanjutan dalam islam itu,
yaitu pintu maaf dari keluarga si terbunuh, jika keluarga si terbunuh
memaafkan, hukum qishah tidak akan dilaksanakan tetapi diganti
dengan diat yaitu contohnya membayar dengan 100 ekor unta, atau
yang lainnya. Qishas tentang pembunuhan "kutiba alaikum fil qishah
fill qatla " ada dalam Al-baqarah.
b. Bedanya hukum qishas dengan hukum mati di Indonesia, jika di islam
membunuh mati di bunuh lagi langsung hanya jeda beberapa hari, jika
di Indonesia menunggu si pembunuh di kumpulkan hingga menjadi
banyak dan baru di tembak mati, perbedaan lainnya di hukum islam
ada pemaafan tetapi di indonesia walaw sudah di maafkan tetap di
hukum mati. Al-baqarah ayat 180 tentang pemaafan, ada 3 nilai yang
ada di dalam islam itu yang pertama ketuhanan, yang kedua nilai
kemanusiaan.
c. HAM islam itu adalah HAM nilai dari dasar potensi dari diri
manusia itu tumbuhnya bukan dari kalkulasi untung rugi, kalau HAM
yang ada di Indonesia untung rugi banyaknya, kalau HAM dalam
islam adalah nilai kemanusiaan seperti surat Al-alaq ayat 1-5 yang
bersi nilai kemanusiaan. Kesalahan besar indonesia itu pada saat
komunis G30SPKI, itu kesalahan besar hukumanya, di tiadakan hak-
haknya sampai keturunan-keturunannya contoh hak bersekolah. Tapi
di dalam islam musuh musuh itu di maafkan jika islam menang dan
itu yang di contohkan nabi Muhammad Saw.
d. Jika hukum qishas di tegakan di Indonesia ya tergantung MPR DPR
yang memusyawarahkan hukum itu, kalau masih belum bisa
melanggar siapa yang paling punya nilai kemanusiaan? Ya hukum
Tuhan, justru jika seseorang memaafkan kesalahan orang lain itu
pintu syurga itu akan terbuka untuk mendapatkan anugrah ketaqwaan,
harus di hukum, tapi keikhsanan bisa di maafkan.
e. Dalam sejarah ada cerita bahwa karena kesadaran si pembunuh itu,
oleh keluarga korban di jadika saudaranya. Jika yang di bunuh adalah
ayahnya maka si penjahat itu di anggap saudara dan di angkat
menjadi ayahnya tetapi diat harus tetap di bayarkan, saking indahnya
kerukunan di dalam agama islam .
f. Jaminannya jelas sekali itu pemilik hukum Allah Swt, penjamin
kemanusiaannya Allah langsung bukan manusia bukan orang bukan
penguasa. Penguasa itu tidak bisa, hanya sebagai pelaksana dalam arti
hukum Tuhan. Bukan masalah melanggar atau tidak cita cita
hukumnya sampai tidak sama atau tidak, sejajar tidak dengan hukum
Tuhan? Di dalam islam ada nilai kemanusiaan yang bisa menjamin
orang banyak.
g. Iya dalam Al-quran itu pilihan, jadi asal betul-betul yang tadinya
berbuat keburukan ya harus berobat betul, karena hukum dunia itu
bisa lari dan tidak tertangkap. Tapi hukuman Allah itu lebih kejam.
Pertaubatan di jelaskan dalam surat Al-furqon ayat 71.
h. Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan
hukum Islam. Meski baru sebatas hukum islam bermasyarakat saja
yang diterapkan. Seharusnya bisa lebih maksimal penerapannya
apabila Pemerintah pusat mau membantu dan keep support atas
penerapan hukum islam tersebut. Terdengar kabar bahwa ada
beberapa draft hukum yang keluar dengan revisi disana-sini. Seperti
hukum potong tangan bagi pencuri, yang ditolak aplikasinya karena
bertentangan dengan hak asasi manusia dan toleransitas
bermasyarakat yang sudah lama dianut Indonesia. Makanya di Arab
itu sangat aman sekali bawa uang dengan keresekpun tidak akan ada
yang berani mencuri, bahka putri dari Raja Salman pun pernah di
rajam, padahal dia anak raja tapi tetap di lakukan hukuman rajam
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai