Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH METODE PENANGKAPAN IKAN

ALAT BANTU PENANGKAPAN IKAN(LIGHT FISHING)

Disusun oleh : Kelompok 2


Anggota
1. Putri Aqila E1E020003
2. Andi Wildan Ar'Rizky E1E020005
3. Sindi Triani E1E020007
4. Eka Anjar Sari Nasution E1E020010
5. Nova Haryani E1E020014
6. M. RIYANADI E1E020019
7. Arneta Malik E1E020028
8. Gustina E1E020035
9. Agung Ramadhan Putra E1E020041

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah Metode Penangkapan Ikan ini tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan serta masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga
kami dapat menyempurnakan makalah berikutnya.
Makalah ini disesuaikan berdasarkan dengan materi-materi yang ada. Makalah ini
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan kreativitas dalam belajar ilmu Metode
Penangkapan Ikan. Serta dapat memahami nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam berfikir
dan bertindak. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi pihak
yang membutuhkan.

Jambi, 10 Februari 2022

.Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang
1.2 . Tujuan
1.3 . Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tidak diketahui dengan pasti kapan manusia memulai penangkapan ikan dengan
menggunakan alat bantu cahaya (Yami, 1987). Cahaya hanyalah merupakan alat bantu
penangkapan ikan yang berfungsi untuk mengumpulkan ikan dalam suatu areal penangkapan
(catchable area) lalu kemudian ditangkap dengan berbagai jenis alat tangkap.
Penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah
berkembang sedemikian rupa, sehingga tempat-tempat dimana terdapat kegiatan perikanan
hampir dipastikan bahwa didaerah tersebut terdapat lampu yang digunakan untuk usaha
penangkapan ikan. Pada tahun 1950-an jumlah lampu yang digunakan untuk penangkapan
ikan masih sangat terbatas dan terpusat disuatu daerah tertentu (Subani, 1983).
Meskipun demikian di daerah-daerah perikanan Indonesia Timur, khususnya di
tempat tempat dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line dilakukan sekitar
tahun 1949/1950 ditemukan) kurang lebih 500 buah lampu petromaks yang digunakan untuk
penangkapan dimana tempat-tempat lain belum memakainya (Van Vel 1950 dalam Subani
1983).
Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan, daerahnya masih sangat
terbatas dan dilakukan hanya ditepi-tepi pantai dengan menggunakan jaring pantai (beach
seine), serok (scoop net) dan pancing (hand line). Pada tahun 1953 perkembangan
penggunaan lampu untuk tujuan penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan dengan
perkembangan bagan (jaring angkat, lift net) untuk penangkapan ikan. Tetapi sekarang ini
pemanfaatan light fishing tidak hanya terbatas pada daerah pantai, tetapi juga dilakukan pada
daerah lepas pantai yang penggunaannya disesuaikan dengan keadaan perairan seperti alat
tangkap payang, purse seine dan sebagainya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metode Penangkapan Ikan, dan untuk mengetahui alat bantu penangkapan ikan (light
fishing).

1.3 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai tambahan informasi dan bahan kajian
tentang alat bantu penangkapan ikan (light fishing). Bagi mahasiswa sebagai referensi untuk
menambah wawasan dan kiranya menjadi titik acuan pembelajaran bagi kita bersama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. MENGAPA IKAN TERTARIK OLEH CAHAYA


Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal
region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut Phototaxis (Ayodhyoa,
1976; 1981). Dengan demikian, ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaxis,
yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-
ikan yang tidak tertarik oleh cahaya atau menjauhi. Cahaya biasa disebut fotophobi (ada pula
yang menyebutnya sebagai fototaxis negatif seperti Gunarso, 1985).
Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah penyesuaian
intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima cahaya. Dengan demikian,
maka kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya sangat berbeda-beda. Ada
ikan yang senang pada intensitas cahaya yang rendah, tetapi ada pula ikan yang senang
terhadap intensitas cahaya yang tinggi. Namun, ada ikan yang mempunyai kemampuan untuk
tertarik oleh cahaya mulai dari intensitas yang rendah sampai yang tinggi.
Pada ikan diketahui bahwa rangsangan cahaya antara 0,01-0,001 lux, ikan sudah memberikan
reaksi (Laevastu and Hayes, 1991). Ambang cahaya tertinggi untuk mata ikan belum banyak
diteliti, walau banyak diketahui bahwa berbagai jenis ikan laut pada umumnya selalu
berusaha untuk meningkatkan sensitifitasnya. Ikan mempunyai suatu kemampuan yang
mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari dengan kekuatan penerangan
ratusan ribu lux dan dalam keadaan gelap sama sekali (Gunarso, 1985).
Namun demikian, sensitivitas mata ikan laut pada umumnya tinggi. Kalau cahaya biru-hijau
yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30 persen saja, mata ikan mampu
menerimanya sebesar 75 persen, sedangkan retina mata dari beberapa jenis ikan laut dalam
menerimanya sampai 90 persen. Ambang cahaya yang mampu dideteksi oleh mata ikan jauh
lebih rendah daripada ambang cahaya yang dapat dideteksi manusia, sehingga pada umumnya
mata ikan mempunyai tingkat sensitivitas 100 x dari mata manusia. Oleh sebab itu pula, pada
beberapa jenis ikan yang hidup di perairan pantai dapat melihat mangsanya dari kejauhan 100
m sejak pagi sampai sore hari (Woodhed, 1966 dalam Gunarso, 1985).
Cahaya yang masuk ke mata ikan akan diteruskan ke otak pada bagian cone dan rod. Yang
sangat peka terhadap cahaya. Alasan lainnya, adanya cahaya merupakan suatu indikasi
adanya makanan.

B. PRINSIP LIGHT FISHING DAN PERISTIWA TERTARIK NYA IKAN


Prinsip penangkapan ikan dengan light fishing adalah menyalurkan keinginan ikan sesuai
dengan nalurinya. Dengan demikian, ikan yang datang disekitar lampu tersebut merupakan
pemanfaatan dari behavior ikan tersebut.

Ayodhyoa (1976; 1981) mengatakan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat
dibagi atas dua macam:
1. Peristiwa langsung, yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Ini tentu
berhubungan langsung dengan peristiwa fototaxis seperti tersebut di atas seperti jenis-
jenis sardinella, kembung, dan layang.
2. Peristiwa tak langsung, yaitu karena ada cahaya maka plankton, ikan ikan kecil dan
sebagainya berkumpul, lalu ikan yang dimaksud datang berkumpul dengan tujuan
“feeding”. Beberapa jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri,
cendro, dan lain-lain.

C. SUMBER DAN LETAK CAHAYA


Pada mulanya sumber cahaya yang digunakan oleh para nelayan hanyalah obor, yang
biasanya digunakan untuk menangkap ikan-ikan di sungai, kemudian berkembang sesuai
dengan perkembangan teknologi, maka para nelayan menggunakan lampu strongkin,
kemudian gas karbit dan listrik. Sampai saat ini nelayan-nelayan purse seine dan bagan
tancap masih banyak yang menggunakan lampu strongkin. Sedangkan berbagai jenis Bagan
Rambo yang beroperasi khususnya di daerah Sulawesi Selatan sudah menggunakan sumber
cahaya dari listrik dengan kekuatan sampai puluhan ribu watt. Contoh gambar lampu.
Menurut Ayodhyoa (1976;1981) bahwa jika dilihat dari letak cahaya maka kita dapat
membedakan antara lampu yang dipergunakan di atas permukaan air (surface lamp) dan
lampu yang dipergunakan di dalam air (under water lamp). Perbedaan antara keduanya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Lampu yang Dinyalakan di Atas Permukaan Air:
a. Memerlukan waktu yang lama untuk mengajak ikan berkumpul.
b. Kurang efisien dalam penggunaan cahaya. Hal ini disebabkan oleh sebagian
dari cahaya akan diserap oleh udara, terpantul oleh permukaan gelombang
yang berubah-ubah, diserap oleh air sebelum sampai pada suatu kedalaman
yang dimaksud, dipantulkan oleh partikel-partikel yang berada dalam air,
sehingga melahirkan sinar sinar baur sebelum sampai ke swimming layer yang
dimaksud.
c. Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan agar ikan
naik kepermukaan air dan dalam masa perenangan ini ikan-ikan tersebut
kemungkinan akan berserakan.
d. Ikan-ikan tersebut sukar untuk berada dalam gerakan tenteram, hal ini diduga
karena akibat gelombang gerakan kapal, sehingga lampu lampu juga ikut
bergerak. Dengan demikian, intensitas cahaya dalam air akan berubah-ubah.
e. Walaupun ikan telah berkumpul, tetapi bersamaan dengan perjalanan waktu
ikan-ikan yang berkumpul itu, kemungkinan akan berserakan lagi.

2. Lampu yang Dinyalakan dalam Air


a. Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit,Karena lampu
diusahakan tempatnya berdekatan dengan tempat ikan.
b. Cahaya dapat diusahakan lebih efisien, karena cahaya tidak ada yang
memantul atau diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat
dipergunakan hampir seluruhnya.
c. Ikan-ikan mendekati lampu, lalu berenang menuju lampu, sampai ikan itu
ditangkap dan ikan tersebut kemungkinan dalam keadaan tenteram.
d. Ikan-ikan yang telah terkumpul jarang untuk berserak lagi. Jika dilihat dari
perbandingan kedua metode tersebut di atas, seolah olah lebih baik jika kita
menggunakan lampu dalam air. Namun perlu dipertimbangkan bahwa struktur
lampu dalam air akan berbeda dengan lampu biasa, misalnya diperlukan
waterlight sehingga tidak kemasukan air, dengan sendirinya pula akan
menggunakan aliran listrik yang berakibat penambahan biaya. Di samping itu,
ikan tidak bisa dilihat dengan mata biasa, maka diperlukan pula alat-alat
tambahan seperti fish finder dan lain-lain sebagainya.

D. PERSYARATAN-PERSYARATAN DALAM LIGHT FISHING


Pada light fishing tidak semua kondisi dapat dilakukan, tetapi melalui persyaratan-
persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok:

1. Persyaratan Lingkungan.
Persyaratan lingkungan yang terutama adalah malam harus gelap. Ini berhubungan dengan
fase bulan, yaitu bulan terang dan bulan gelap. Light fishing hanya efektif pada malam bulan
gelap. Dengan demikian light fishing sama sekali tidak bisa dioperasikan pada siang hari
(pagi-petang). Dengan kata lain bahwa tidak terdapat cahaya lain di sekitar fishing ground.
Selain itu persyaratan lainnya adalah air sebaiknya jernih atau tidak terlalu keruh, karena
menyebabkan tidak efisiennya cahaya lampu yang digunakan diakibatkan karena daya
tembus cahaya yang sangat kecil. Di samping itu, cuaca dalam keadaan baik dan arus tidak
terlalu kencang. Arus yang terlalu kencang akan mempengaruhi posisi alat tangkap dalam air.
Adanya ikan-ikan preda tor di sekitar lampu dapat pula menyebabkan berkurangnya hasil
tangkapan karena ikan-ikan tersebut mengganggu gerombolan ikan yang sedang berkumpul
pada catchable area.

2. Persyaratan Penangkapan
Selain faktor lingkungan tersebut ada syarat lain yang menentukan keberhasilan
penangkapan. Syarat-syarat tersebut adalah (Ayodhyoa, 1981); (1) Cahaya harus mampu
menarik ikan pada jarak yang jauh baik secara vertikal maupun secara horisontal; (2) Ikan-
ikan tersebut hendaklah ke sekitar sumber cahaya dimana mungkin masih berada pada areal
penangkapan; (3) Setelah ikan berkumpul hendaklah ikan ikan tersebut tetap senang berada di
sana pada suatu jangka waktu tertentu minimum sampai saat fishing gear mulai beroperasi;
(4) Sekali ikan berkumpul hendaklah ikan-ikan tersebut jangan melarikan diri atau
menyebarkan diri.

E. PENGARUH KUALITAS DAN KUANTITAS CAHAYA


Menurut teori Maxwell bahwa cahaya yang dipancarkan adalah dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Kecepatan tersebut adalah 300.000 km/detik. Cahaya tampak (visible light)
mempunyai range frekuensi dari 3,87 x 104 sampai 8,35 x 10¹ Hz yang setara dengan panjang
gelombang antara 7800 – 3600 Angstron (1 A = 10⁰ m).

Intensitas cahaya berarti berbicara kuantitas cahaya. Ting rendahnya intensitas penyinaran
juga akan mempengaruhi jaraknya ikan berkumpul dari sumber cahaya. Sulthan (1985)
mendapatkan bahwa intensitas cahaya yang digunakan pada bagan tancap berpengaruh
terhadap hasil tangkapan pada bulan gelap, di mana makin tingg intensitas cahaya yang
digunakan semakin banyak jumlah hasil tang kapan.
Gambar bentuk dan pressure lampu yang digunakan sebagai sumber cahaya penarik ikan.

Seperti dijelaskan di atas bahwa kualitas cahaya berhubungan erat dengan warna cahaya.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna cahaya yang baik digunakan
pada light fishing adalah biru, kuning, dan merah. Namun, dalam penerapannya tidak
dinyalakan secara bersamaan karena perbedaan sifat warna tersebut. Untuk mengumpulkan
ikan pada jarak yang jauh, baik secara vertikal maupun secara horizontal biasanya digunakan
warna biru karena diabsobsi oleh air sangat sedikit sehingga penetrasinya ke dalam perairan
sangat tinggi. Sebaliknya, untuk mengkonsentrasikan ikan di permukaan air digunakan warna
kuning atau merah karena daya tembusnya kecil.
Najamuddin dkk (1994) menggunakan tiga jenis warna lampu neon, masing-masing merah,
kuning, dan biru yang dipasang dalam air pada alat tangkap purse seine.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lampu neon berwarna kuning memberikan hasil
tangkapan yang lebih besar, dibandingkan dengan warna merah dan warna biru. Sedangkan
ikan layang merupakan ikan yang dominan tertangkap dengan warna cahaya tersebut.
Contoh lampu dalam air.
F. KONSTRUKSI LAMPU SEBAGAI SUMBER CAHAYA

1 Perkembangan Tipe Lampu yang Digunakan


Subani (1983), melaporkan berbagai tipe dan sumber cahaya lampu yang pergunakan di
Indonesia sebagai berikut:
a. Oncor atau obor
Merupakan alat bantu tradisional yang palin sederhana. Bahannya dibuat dari sepotong
bambu (2-3 m) kemudian diisi dengan minyak tanah (kerosene) dan bahan bakarnya diberi
sumbu. Selain itu ada pula bahannya dibuat dari kaleng bekas yang bersisi kurang lebih 2-5
liter minyak tanah, kemudian diberi sumbu. Perkembangan selanjutnya bahan bakar yang
digunakan ada yang menggunakan karbit yang dimasukkan kedalam kaleng dan setelah
mengalami reaksi sederhana menghasilkan gas yang dapat dinyalakan melalui sumbu pipa
yang agak panjang.

Pada waktu penangkapan, obor tersebut ditempatkan dibagian atas salah satu sisi perahu yang
penempatannya diatur sedemikian rupa sehingga sebagian besar cahaya yang dipancarkan
terbias kedalam air. Pada tahun 1950-an dan sebelumnya banyak digunakan di selat Bali,
tetapi sekarang tidak dijumpai lagi (Subani, 1983). Kelemahan dari obor ini adalah bahwa
cahaya yang dihasilkan mudah bergerak gerak atau berubah-ubah bila sedikit saja tertiup oleh
angin, lebih lagi jika turun hujan maka praktis tidak dapat berfungsi lagi. Penetrasi cahaya
didalam air yang selalu berubah-ubah ternyata dapat menimbulkan efek-efek negatif untuk
penangkapan karena sifat kawanan ikan yang telah berkumpul dibawah sinar bisa berubah
menjadi liar karena terkejut

b. Lampu Petromaks
Ada dua jenis lampu yang biasa digunakan oleh nelayan yaitu lampu petromaks dengan bola
gelas terletak dibagian atas. Lampu jenis ini tempat minyaknya berada di bagian atas atau
kadang-kadang terpisah dan untuk menyalakannya maka bahan bakar minyaknya
dihubungkan dengan pipa kecil dengan jalan memompakan udara kedalamnya. Tipe lampu
ini banyak dipergunakan di Indonesia Bagi an Timur pada tahun 1950-an. Lampu petromaks
biasa yang tersebar di seluruh Indonesia, terutarna penangkapan dengan mengguna-kan
bagan. Lampu petromaks umumnya mempunyai kecepatan cahaya 200 lilin atau lebih 200
watt (Subani, 1983).

c. Lampu Listrik
Penggunaan lampu yang bersumber dari tenaga listrik untuk perikanan di Indonesia telah
dilaporkan oleh Subani (1972) Dilaporkan bahwa nelayan indonesia yang tergolong skala
kecil (small scale fish ery) belum banyak yang memakainya, namun telah banyak digunakan
oleh perikanan industri. Dilihat dari cara penggunaannya, pemakaian lampu yang bersumber
dari tenaga listrik lebih mudah, efektif dan efisien, sebab bisa ditempatkan baik di atas
permukaan maupun di ba wah permukaan air, Begitu pula kedalaman penempatan lampu
dapat diatur sesuai dengan keinginan pemakai.

Gambar konstruksi lampu permukaan air

Sebagai pembanding dapat dikemukanan bahwa penggunaan cahaya listrik dalam skala
industri penangkapan ikan pertama kali dipergunakan di Jepan pada tahun 1900 untuk
menarik perhatian berbagai jenis species ikan dan berkembang dengan pesat setelah perang
dunia II. Di Norwegia berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni soviet baru pada tahun 1948
(Nikonorov, 1975).
Berbagai jenis lampu digunakan oleh nelayan pada light fishing. Mulai dari yang sederhana
sampai yang lebih modern. Di Indonesia, nelayan tradisional menggunakan lampu strongkin
(pressure lamp). Hal ini sangat mudah operasionalnya karena hanya menggunakan minyak
tanah sebagai bahan bakar dan mantle sebagai sumbu. Sumbu ini jika rusak harus langsung
diganti dengan sumbu yang baru. Kelemahan lainnya adalah kaca yang digunakan biasanya
jika terlalu panas atau terlalu dingin apabila kena air maka bisa langsung pecah. Selain itu,
jenis lain yang dapat dijadikan sebagai sumber cahaya bukan lagi menggunakan minyak
tanah sebagai bahan bakar propana atau butana, yang ditampung dalam tabung.

G. JENIS-JENIS ALAT TANGKAP YANG MENGGUNAKAN ALAT BANTU


CAHAYA
Berbagai jenis alat tangkap mulai dari yang tradisional sampai pada alat tangkap modern
telah memanfaatkan cahaya sebagai alat bantu. Alat tangkap berupa bagan tancap di
sepanjang perairan Sulawesi Selatan menggunakan lampu strongkin (pressure lamp) sebagai
sumber cahaya. Begitu pula alat tangkap purse seine yang beroperasi pada malam hari
tersebar luas di Perairan Indonesia merupakan alat tangkap yang memanfaatkan cahaya
sebagai alat bantu, sedangkan bagaimana cara kerja pressure lamp dapat dilihat pada gambar
Perkembangan Penelitian Light Fishing di Indonesia
Perkembangan penelitian light fishing di Indonesia selama 25 tahun terakhir dapat
dikemukakan beberapa hasil-hasil sebagai berikut:
Sulthan (1985) melaporkan hasil penelitiannya terhadap penggunaan intensitas cahaya
(jumlah lampu) terhadap hasil tangkapan pada bagan tancap di perairan Kabupaten Selayar
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian nya menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang digunakan
pada bagan tancap berpengaruh terhadap hasil tangkapan pada bulan gelap, dimana makin
tinggi intensitas cahaya yang digunakan maka semakin banyak jumlah hasil tangkapan.
Selanjutnya Herutomo (1995) melakukan pene litian mengenai pengaruh intensitas warna
cahaya terhadap hasil tang kapan cumi-cumi pada perikanan bagan tancap di Perairan
Suradadi, Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya putih
memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan cumni cumi, dimana cahaya putih
memberikan hasil tangkapan terbaik dibandingkan dengan cahaya biru dan merah. Diduga
karena ikan ikan lebih senang mendekati cahaya alami seperti bulan dan matahari.
Selanjutnya dikatakan bahwa cahaya biru digunakan sebagai pemikat dan pengumpul cumi-
cumi agar berada di bawah sumber cahaya, akan tetapi dengan tingkat penetrasi yang tinggi
justru mampu merangsang hadirnya jenis ikan predator ke arah sumber cahaya. Hadirnya
ikan predator ini justru akan menyebabkan cumi-cumi yang semula telah terkumpul di bawah
lampu akan menyelamatkan diri dan menghilang ke daerah yang gelap. Cahaya merah
dengan daya tembus yang rendah, tampaknya kurang efektif digunakan sebagai pengumpul
cumi cumi dalam suatu area yang luas.
Dalam hubungannya dengan kuat penerangan cahaya, penggunaan 4,6 dan 8 unit lampu tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (Heru tomo, 1995). Efendy (1998), melaporkan bahwa
berat hasil tangkapan total yang diperoleh pada bagan tancap di perairan Teluk Awur Jepara
Jawa Tengah dipengaruhi oleh jumlah lampu, dimana setiap penam bahan jumlah lampu
terjadi peningkatan hasil tangkapan, namun tidak ada perbedaan yang nyata antara 4 dan 5
unit lampu. Selanjutnya dilaporkan bahwa berdasarkan analisis deskriptif terhadap hasil
tangkapan menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan dominan untuk setiap jumlah
lampu tidak sama. Penggunaan 2 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan yaitu udang
rebon, 3 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan teri, 4 unit lampu menghasilkan
tangkapan dominan ikan tembang dan 5 unit lampu menghasilkan tangkapan dominan ikan
layur.

Pengaruh perbedaan kecepatan arus dan warna cahaya lampu terhadap tingkah laku ikan bilis
(Corica goniognathus) di perairan Muara Pingai Koto Singkarak, telah dilakukan oleh Nur et
al. (1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memberikan kecepatan arus dan
warna cahaya lampu yang berbeda berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan bilis.
Kecepatan arus yang disukai oleh ikan bilis adalah 18 cm/detik dan 6 cm/detik. Sedangkan
warna cahaya yang paling disukai adalah warna biru dan hijau. Selanjutnya dikatakan bahwa
jika dilihat dari pengaruh interaksi antara kedua perlakukan menunjukkan bahwa ikan bilis
lebih menyukai kecepatan 18 cm/detik dengan memakai cahaya lampu hijau. Selanjutnya
Linting dan Wijo priono (1993) melaporkan hasil penelitian tentang penggunaan warna
cahaya yang disukai ikan hias di Perairan Citereup Jawa Barat dengan menggunakan lampu
bawah air berkekuatan 120W. Perlakuan warna yang diberikan adalah warna merah, kuning
dan biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya warna biru memberikan hasil
tangkapan yang lebih banyak, sedangkan waktu penangkapan terbaik adalah pukul 19.00-
21.00.
Juniarti (1995) melakukan suatu studi tentang uji coba pengoperasian bagan apung dengan
bouke ami di perairan Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi, Jawa Barat. Pada penelitian ini juga
dicobakan lampu bawah air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengoperasian bagan
apung dengan sistem bouke ami bagi nelayan bagan dapat memberikan pengalaman baru bagi
nelayan bagan dan secara teknis nelayan dapat melaksanakan metode operasi yang
diterapkan. Dengan digunakannya lampu bawah air yang dikombinasikan dengan 3 unit
lampu petromaks memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan dibanding kan
dengan penggunaan 3 unit lampu petromaks. Dengan menggunakan lampu bawah air nelayan
mengakui bahwa tanda-tanda keberadaan ikan lebih cepat muncul.
Penelitian tentang teknik pencahayaan pada perikanan bagan terhadap hasil tangkapan di
Perairan Teluk Palu, Sulawesi Tengah telah dilaporkan oleh Masyahoro (1998). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa grid kombinasi perlakuan intensitas dengan warna cahaya
tidak memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan, dengan demikian perlu upaya
peningkatan intensitas yang dikombinasikan dengan warna cahaya yang lebih sesuai untuk
memperoleh hasil tangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara intensitas 3500
lux dengan cahaya biru merupakan pilihan yang terbaik untuk penangkapan ikan kembung
lelaki (Rastralliger kanagurta). Faktor intensitas cahaya lebih dominan memberikan pengaruh
terhadap hasil tangkapan daripada faktor warna cahaya, sehingga penting untuk dicermati
dalam penerapannya.
Studi tentang sebaran cahaya lampu pada pengoperasian bagan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti Baskoro (1999), Holil (2000), Nadir (2000) dan Ta'alidin (2000). Pada bagan
rakit dengan 4 unit lampu petromaks, pada kedalaman 14 m intensitas cahaya tinggal 0,1 lux
(Baskoro, 1999), sedangkan pada bagan rambo pada kedalaman yang sama dapat mencapai
24 lux dan pada kedalaman 20 m, intensitas cahaya masih berkisar 3-5 lux (Nadir, 2000).
Ta'alidin (2000) melaporkan bahwa distribusi penetrasi cahaya lampu petromaks mencapai 9
m pada pusat bagan, 8 m di tengah bagan dan 6 m di sudut bagan. Sedangkan apabila lampu
petromaks dikombinasikan dengan lampu listrik maka penetrasi cahaya mencapai kedalaman
11 m di pusat dan tengah bagan dan 12 m di sudut bagan. Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil
tangkapan bagan apung dengan menggunakan lampu petromaks dan menggabungkan lampu
petromaks dengan lampu listrik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah berat
maupun komposisi jenis hasil tangkapan, dimana peng gabungan antara lampu petromaks
dengan lampu listrik memberikan hasil tangkapan yang lebih baik.

Penelitian selanjutnya tentang light fishing adalah penggunaan solar cell system seperti
dilaporkan oleh Holil (2000). Solar cell system pada pengoperasian bagan apung adalah salah
satu aplikasi dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Proses transformasi energi dalam
solar cell system dilakukan melalui konversi fotovoltaik oleh sel surya. Cahaya listrik yang
dibangkitkan digunakan untuk memikat atau menarik perhatian ikan. Beberapa keuntungan
dari pengoperasian solar cell system antara lain sumber energi yang digunakan tersedia
melimpah dan cuma cuma, sistem mudah diinstalasi sehingga kapasitasnya dapat diperbesar,
perawatannya mudah, bekerja secara otomatis dan kehan dalan sistemnya tinggi. Jumlah
energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah modul foto voltaik 50 Wp, yaitu berkisar 140-
180 W atau rata-rata 160 W jam perhari. Jumlah waktu yang digunakan untuk pengoperasian
bagan rata rata 10 jam per trip. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk peng operasian bagan
apung dengan 3 unit lampu petromaks diduga setara dengan intensitas 4200 W jam lampu
TL. Dalam hal ini pengoperasian dua unit solar cell system untuk pembangkit energi bagan
maksimal menurut rekomendasi BPPT hanya menghasilkan simpanan energi 320 W jam per
hari. Untuk mendapatkan jumlah energi yang setara dengan unit lampu petromaks diperlukan
26 modul fotovoltaik. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada perikanan bagan apung
berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Dengan demikian pengoperasian solar cell
system pada perikanan bagan apung dikatakan belum efektif (Holil, 2000).
Penelitian tentang pengaruh penggunaan lampu petromaks dan lampu neon (TL) bawah air
terhadap hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) dengan mini purse seine di
perairan Pulau Mandangin, Sampan Madura telah dilakukan oleh Mahfud (1995). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbedaan sumber cahaya antara lampu petromaks dan lampu
neon bawah air warna biru berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kembung,
dimana lampu neon bawah air lebih baik dari lampu petromaks. Hal ini diduga karena cahaya
lampu petromaks yang masuk ke Perairan hanya sedikit, sehingga kurang menarik ikan
kembung terutama yang berada jauh dari lampu. Selanjutnya dikatakan bahwa analisis
deskriptif pada ukuran panjang ikan kembung tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok.
Penelitian terhadap pengopersian purse seine yang menggunakan cahaya dan rumpon sebagai
pemikat ikan serta dideteksi dengan sonar di perairan Pekalongan telah dilakukan oleh
Sutyawan (1999). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbedaan waktu setting di
lokasi fishing ground yang sama tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
Perbedaan waktu setting hanya berpengaruh terhadap jenis ikan yang tertangkap, dimana
pada malam hari jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan adalah selar bentong dan
kembung, sedangkan pada dini hari adalah semar dan japuh. Selanjutnya dikatakan bahwa
perbedaan kedalaman fishing ground berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan
dimana selar bentong mendominasi pada fishing ground dengan kedalaman 41-50 m, 51-60
m dan 81-90 m. Hasil tangkapan pada kedalaman 71-80 m didominasi oleh semar.
Penelitian mengenai pengaruh intensitas cahaya dan ukuran mata jaring terhadap selektivitas
payang oras bagi penangkapan cumi-cumi di Lombok Timur, telah dilakukan oleh Amin et
al. (2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jumlah lampu petromaks
ternyata memberikan hasil tangkapan yang berbeda dimana hasil tangkapan dengan 5 unit
petromaks lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan 3 dan 7 unit lampu, sedangkan
bobot hasil tangkapan cumi-cumi kedua payang oras uji tidak berbeda nyata.
Iskandar et al. (2001) telah melakukan penelitian mengenai analisis hasil tangkapan bagan
bermotor pada tingkat pencahayaan yang berbeda di perairan Teluk Semangka Lampung
memperoleh kesimpulan bahwa sebaran kepadatan ikan bertambah dengan bertambahnya
waktu pencahayaan dimana sebaran ikan terkonsentrasi di kolom perairan pada kedalaman
10,0-15,2 m serta 20,0-25,2 m. Selanjutnya dikata kan bahwa sebaran nilai target strength
ikan di lokasi penangkapan berkisar -50- (-26) dB.
Tupamahu et al. (2001), melakukan penelitian terhadap komparasi adaptasi retina ikan
tembang (Sardinella fimbriata) dan ikan selar (Selar crumenopthalmus) yang tertarik dengan
cahaya lampu di Pelabuhan Ratu. Hasil penelitiannya antara lain menunjukkan bahwa ikan
tembang terakumulasi pada zona iluminasi 10- 100 lux, sedangkan ikan selar antara 100 lux
sampai 200 lux. Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tem bang teradaptasi penuh pada malam
hari sedangkan ikan selar men jelang pagi hari.
Sudirman et al (2001a) melakukan penelitian terhadap pola iluminasi cahaya bawah air pada
dua tipe bagan yaitu bagan rambo dan bagan rakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
kedalaman 8 m iluminasi cahaya pada bagan rambo mencapai 47 lx sedangkan pada bagan
rakit mencapai 0,1 lx. Ditambahkan bahwa rata-rata tangkapan pada bagan rambo setiap trip
sebesar 397 kg sedangkan pada bagan rakit sebanyak 30 kg per trip. Penelitian terhadap
pengaruh pola iluminasi cahaya dalam air terhadap hasil tangkapan pada bagan dengan
menggunakan generator listrik di perairan Sumatera Barat telah dilakukan oleh Baskoro et al.
(2002) menunjukkan bahwa penggunaan lampu dengan menggunakan tudung plastik
memiliki daya tembus yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan tudung
aluminium. Selanjutnya dikatakan bahwa total hasil tangkapan dengan menggunakan tudung
aluminium lebih banyak dibandingkan dengan
Penelitian light fishing dilakukan oleh Suherman (2002), pada alat tangkap mini purse seine
di Laut Jawa menunjukkan bahwa penggunaan lampu neon 8, 12 dan 16 unit tidak
memperlihatkan hasil tangkapan yang signifikan. Dengan demikian intensitas cahaya
optimum untuk berbagai jenis ikan masih sulit untuk disimpulkan.
Penelitian light fishing dilakukan oleh Sudirman dkk (2003) pada alat tangkap bagan rambo
melaporkan bahwa terjadi distribusi ikan di bawah bagan dimana ikan teri cenderung
dipermukaan air sebaliknya ikan-ikan seperti kembung, layang, selar berada pada iluminasi
rendah pada kedalaman 20-30 m. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa iluminasi cahaya pada
permukaan air mencapai 140 lux dan 0,5-1 lux pada kedalaman 30 m.
Penelitian light fishing di Indonesia selanjutnya lebih berkembang lagi, tidak hanya terbatas
pada alat dan hasil tangkapannya tetapi juga mekanisme tertariknya ikan oleh cahaya atau hal
yang berhubungan dengan tingkah laku ikan terhadap cahaya. Sampai berapa lama waktu
pencahayaan baru dilakukan penarikan jaring. Hal ini telah dilakukan oleh Sudirman dkk
(2004a; 2004b). Hasil penelitian menunjukkan bah wa setiap jenis ikan berbeda responnya
terhadap cahaya. Ikan teri merespon cahaya secara cepat, sehingga pengangkatan jaring 4-5
kali dalam semalam dapat dilakukan. Selanjutnya ikan teri lebih cenderung pada iluminasi
cahaya yang tinggi.
Berbeda halnya respon ikan teri pada bagan rambo, pada ikan layang, dimana respon
terhadap cahaya relatif lambat, dengan kata lain membutuhkan waktu yang lama untuk
teradaptasi sempurna dengan cahaya. Dengan demikian membutuhkan waktu pencahayaan
yang lebih lama baru dilakukan pengangkatan jaring. Selanjutnya diperoleh informasi bahwa
ikan layang lebih menyenangi iluminasi yang rendah.
Haruna (2008) melakukan penelitian pada bagan terapung di Maluku tengah dengan hasil
peneltian sebabagi berikut: Iluminasi cahaya bawah air secara vertikal yang terdeteksi pada
bagan perahu di Perairan Maluku Tengah mencapai kedalaman 21 m dan secara horizontal
sampai pada jarak 12 m iluminasi cahaya mencapai 0,1-3 lux dari pusat cahaya lampu
penarik ikan. Sebaran kedalaman ikan sebelum dan sesudah tengah malam berada di dalam
dan di luar areal iluminasi cahaya pada kisaran 3,5-62 m dan 2,7-50 m kemudian dari waktu
ke waktu naik kepermukaan perairan. Pemilihan zona iluminasi cahaya oleh ikan sebelum
tengah malam adalah 8-1,5 lux di kedalaman 10-15 m, sesudah tengah malam naik ke
permukaan di kedalaman 5-15 m iluminasi 70-1,5 lux, dan setelah terjadi pengurangan
iluminasi cahaya ikan berada di kisaran kedalaman 8-1,8 lux.. Persentase hasil tangkapan
pada periode sesudah tengah malam 74,3% lebih besar dibandingkan sebelum tengah malam
25,7% dan didominasi oleh jenis ikan layang (Decapterus sp) serta ukuran panjang ikan
sesudah tengah malam lebih besar dibandingkan sebelum tengah malam.
Penelitian selanjutnya, aspek-aspek light fishing tidak hanya mengarah kepada aspek lampu
semata, tetapi sudah mengarah kepada hasil tangkapan yang dihubungkan dengan kelestarian
sumberdaya perikanan, khususnya pada parikanan pantai. Sebagai contoh dapat dikemukakan
bahwa, informasi terakhir mengenai light fishing pada perikanan bagan dilaporkan oleh
Sudirman dan Musbir (2009), yang memaparkan dampak negatif bagan dan alat tangkap yang
menggunakan cahaya terhadap sumberdaya perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bagan rambo berdampak negatif terhadap ikan kembung dan layang karena banyaknya ikan
yang belum matang gonad (immature fish) tertangkap dengan bagan. Demikian hal alat
tangkap purse seine yang menggunakan alat bantu cahaya dalam proses penangkapannya,
banyak ikan-ikan kecil ang tertangkap yang sesungguhnya belum layak tangkap. Penelitian
terakhir mengenai bagan tancap dilakukan oleh Sudirman dkk (2010), tentang perbaikan
tingkat keramal an lingkungan bagan tancap melalui perbaikan selektivitas mata jaring.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Light fishing adalah alat bantu penangkapan ikan yang menggunakan lampu yang
terpasang pada struktur di atas air atau di bawah air yang ditangguhkan untuk menarik ikan
dan anggota rantai makanan mereka ke daerah tertentu untuk memanennya.
Cahaya sebagai alat bantu penangkapan ikanPemanfaatan cahaya sebagai alat bantu
penangkapan ikan sesungguhnya sangat berkaitan dengan upaya nelayan dalam memahami
perilaku ikan dalam merespon perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya.Hampir semua
ikan menggunakan matanya dalam aktivitas hidupnya, seperti memijah, mencari makan, dan
menghindari serangan ikan besar atau binatang pemangsa lainnya Secara umum, respon ikan
terhadap sumber cahaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bersifat phototaxis
positif (ikan yang mendekati datangnya arah sumber cahaya) dan bersifat phototaxis negatif
(ikan yang menjauhi datangnya arah sumber cahaya).
Dengan demikian, cahaya telah memberikan andil yang besar dalam pemanfaatan
sumber daya perikanan. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
diharapkan dapat membantu pengembangan light fishing ke arah yang lebih maju lagi.

3.2 Saran
Adapun saran penyusun dalam pembuatan makalah ini agar kiranya bagi pambaca
dapat memberikan kontribusi pemikiran yang bermanfaat,baik berupa saran maupun kritik
yang bersifat membangun sehingga makalah ini akan mendekati kesempurnaan sehingga
dapat dijadikan salah satu referensi bagi penggunanya.
DAFTAR PUSTAKA

Sudirman, H. Achmar, Mallawa. 2012. Teknik Penangkapan Ikan.

Anda mungkin juga menyukai