Anda di halaman 1dari 3

Korupsi Benih Lobster

Sumber:

https://www.kompas.tv/article/126394/kronologi-edhy-prabowo-terjerat-kasus-suap-ekspor-
benih-lobster-hingga-ditetapkan-tersangka?page=3

 Kronologi:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Kelautan dan


Perikanan, Edhy Prabowo, sebagai tersangka usai ditangkap di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten, pada Rabu (25/11/2020).

Kasus ini berawal dari Menteri Edhy Prabowo yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor
53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas atau Due Diligence Perizinan Usaha
Perikanan Budidaya Lobster pada tanggal 14 Mei 2020.

Dalam keputusannya, Edhy Prabowo menunjuk staf khususnya Andreau Pribadi Misanta
sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence itu dan Safri sebagai Wakil
Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence.

“Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang
diajukan oleh calon eksportir benur,” kata Nawawi saat konferensi persnya di Jakarta pada
Rabu (25/11/2020) malam.

Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal kegiatan ekspor benih lobster atau benur. Oleh
Safri, Sarjito diberitahu bahwa keperluan ekspor benur hanya dapat melalui PT Aero Citra
Kargo atau PT ACK sebagai forwarder.

Namun ada syaratnya yang harus dipenuhi yaitu terdapat biaya angkut jika hendak
melakukan kegiatan ekspor benih lobster, yakni sebesar Rp 1.800 per ekor.

Sarjito pun menyanggupi syarat tersebut. Ia kemudian melalui PT DPP melakukan transfer
sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total senilai Rp 731.573.564.

Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri atas Amri dan Ahmad Bahtiar
yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.

Karena ekspor benur hanya melalui satu pintu, PT ACK lantas menerima uang yang diduga
dari beberapa perusahaan yang akan melakukan kegiatan ekspor benur tersebut.

Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga dari beberapa perusahaan eksportir
benur, selanjutnya uang tersebut ditarik dan dimasukkan ke rekening Amri dan Ahmad
Bahtiar. Masing-masing dengan total senilai Rp 9,8 miliar.

Selanjutnya, pada 5 November 2020 diduga Ahmad Bahtiar mentransfer uang sebesar Rp 3,4
miliar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih. Ainul merupakan staf istri Menteri
KKP Iis Rosyati Dewi.
Uang sebanyak itu lantas digunakan untuk keperluan Edhy Prabowo, istrinya Iis Rosyati
Dewi, Safri, dan Andreau Pribadi Misanta.

Adapun keperluan yang dimaksud yakni sebesar Rp 750 juta digunakan Edhy Prabowo dan
istrinya Iis Rosyati Dewi untuk berbelanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika
Serikat pada tanggal 21 sampai 23 November 2020.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo diduga juga menerima uang senilai 100.000 dolar
dari Suharjito. Uang itu diterima melalui Safri dan Amiril Mukminin. Juga Rp 436 juta
melalui stafsusnya yaitu Safri dan Andreau Misanta.

Selain Edhy Prabowo, KPK juga telah menetapkan tersangka kepada 6 orang lainnya. Mereka
antara lain Safri selaku Stafsus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta juga Stafsus Menteri
KKP, Siswadi Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Kemudian, Ainul Faqih Staf istri Menteri KKP, Amiril Mukminin dan Suharjito Direktur PT
Dua Putra Perkasa (PT DPP) selaku pemberi suap.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo diduga juga menerima uang senilai 100.000 dolar
dari Suharjito. Uang itu diterima melalui Safri dan Amiril Mukminin. Juga Rp 436 juta
melalui stafsusnya yaitu Safri dan Andreau Misanta.

Selain Edhy Prabowo, KPK juga telah menetapkan tersangka kepada 6 orang lainnya. Mereka
antara lain Safri selaku Stafsus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta juga Stafsus Menteri
KKP, Siswadi Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Kemudian, Ainul Faqih Staf istri Menteri KKP, Amiril Mukminin dan Suharjito Direktur PT
Dua Putra Perkasa (PT DPP) selaku pemberi suap.

Atas perbuatannya itu, keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a
atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 Faktor Penyebab di Tindak Pidana


Melakukan penggelapan uang atau Korupsi ekspor benih lobster

 Penyelesaian:
Atas perbuatannya itu, keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1)
huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal
13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

 Dampak/Akibat Korupsi Ekspor Benih Lobster


Mengancam keanekaragaman hayati ekosistem laut, Ancam Kepunahan Lobster

Anda mungkin juga menyukai