HALUSINASI PERSEPTUAL
Oleh :
adaptif maladaptif
c. Fase-fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan
keparahannya. Ada 4 fase atau proses terjadinya halusinasi berdasarkan
tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan
dirinya. Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat mengalami
ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
1) Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada
pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali
bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2) Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi
menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak
dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernafasan, dan tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
3) Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi
menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.
4) Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang
lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
d. Akibat
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh halusinasi pendengaran pada
klien skizofrenia menurut Suheri (2014) adalah:
1) Perilaku kekerasan baik ditujukan pada diri sendiri maupun orang
lain.
2) Risiko tinggi tindakan bunuh diri.
3) Gangguan interaksi sosial
4) Kerusakan komunikasi verbal dan non verbal.
b. Data Objektif:
V. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
c. Isolasi sosial
VI. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Pasien Keluarga
Halusinasi SP I SP I
1. Mengidentifikasi 1. Mendiskusikan
jenis halusinasi pasien masalah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi keluarga dalam merawat
halusinasi pasien pasien
3. Mengidentifikasi 2. Menjelaskan
waktu halusinasi pasien pengertian, tanda dan gejala
4. Mengidentifikasi halusinasi, dan jenis
frekuensi halusinasi halusinasi yang dialami
pasien pasien beserta proses
5. Mengidentifikasi terjadinya
situasi yang 3. Menjelaskan cara-
menimbulkan halusinasi cara merawat pasien
6. Mengidentifikasi halusinasi
respons pasien terhadap
halusinasi
7. Melatih pasien cara
kontrol halusinasi
dengan menghardik
8. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP II SP II
1. Memvalidasi 1. Melatih keluarga
masalah dan latihan mempraktekkan cara
sebelumnya. merawat pasien dengan
2. Melatih pasien cara halusinasi
kontrol halusinasi 2. Melatih keluarga
dengan berbincang melakukan cara merawat
dengan orang lain langsung kepada pasien
3. Membimbing pasien halusinasi
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP III SP III
1. Memvalidasi 1. Membantu keluarga
masalah dan latihan membuat jadual aktivitas di
sebelumnya. rumah termasuk minum
2. Melatih pasien cara obat (discharge planning)
kontrol halusinasi 2. Menjelaskan follow
dengan kegiatan (yang up pasien setelah pulang
biasa dilakukan pasien).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi
masalah dan latihan
sebelumnya.
2. Menjelaskan cara
kontrol halusinasi
dengan teratur minum
obat (prinsip 5 benar
minum obat).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
c) Faktor Psikososial
Faktor psikososial terdiri atas interaksi pasien dengan keluarga dan
masyarakat. Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan
keluarga, misalnya pola asuh orang tua yang terlalu menekan pasien,
kurangnya dukungan keluarga terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga didukung
oleh dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di
masyarakat menjadikan faktor stressor yang menekan kehidupan
pasien. Ketika tekanan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama
sehingga mencapai tingkat tertentu, maka akan menimbulkan
gangguan keseimbangan mental pasien dan salah satunya adalah
timbulnya gejala skizofrenia.
c. Klasifikasi Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) skizofrenia dibagi menjadi 5 kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya didominasi hal-
hal berikut:
a) Skizofrenia tipe Hebefrenik disebut juga disorganized type, ditandai
dengan gejala-gejala:
1) Inkoherensi, yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat
dimengerti maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang
diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
2) Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi.
3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menunjukan
rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
4) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistemik (terpecah-pecah)
tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.
5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak
terorganisir sebagai suatu kesatuan.
6) Berperilaku aneh, seperti menyeringai sendiri, menunjukan
gerakan-gerakan aneh, pengucapan kalimat berulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan
sosial.
b) Skizofrenia tipe Katatonik, dengan ditandai gejala-gejala, seperti:
1) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau
aktivitas spontan sehingga Nampak seperti “patung” atau diam
membisu.
2) Negativisme Katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya
tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakan dirinya.
3) Kekakuan (rigidity) Katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap
kaku tehadap semua upaya untuk menggerakan dirinya.
4) Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik, yang
nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan
dari luar.
5) Sikap Tubuh Katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar.
c) Skizofrenia tipe Paranoid, menunjukan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Waham kejar atau waham kebesaran, waham cemburu juga sering
ditemukan.
2) Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.
3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang
tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar atau berdebat dan
tindak kekerasan.
d) Skizofrenia tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) yang tidak menonjol. Misalnya
alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi, penarikan
diri dari pergaulan sosial, tingkah laku yang eksentrik, pikiran tidak
logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
e) Skizofrenia tipe Tidak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukan dalam tipe-tipe yang sudah diuraikan,
hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkohorensi
atau tingkah laku kacau.
d. Penatalaksanaan Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) pengobatan skizofrenia antara lain:
a) Psikofarmaka
Pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi penghantar saraf
(neurotransmitter) yaitu sel-sel susunan saraf pusat pada otak
merupakan pelepasan zat dopamine dan serotin yang mengakibatkan
gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena
itu, obat psikofarmaka ditujukan pada gangguan fungsi
neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan.
Masing-masing jenis obat psikofarmaka meiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing selain efek samping. Terdapat obat
psikofarmaka yang lebih berkhasiat menghilangkan gejala negatif
skizofrenia daripada gejala postif skizofrenia atau sebaliknya, ada juga
yang lebih cepat menimbulkan efek samping dan lain sebagainya.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar di pasaran yang
hanya bisa diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan
kedua (atypical). Adapun contoh obat jenis golongan pertama dengan
nama generic, antara lain: chlorpromazin HCL, trifluoperazine HCL,
thioridazine HCL, dan haloperidol. Contoh obat golongan kedua
dengan nama generic antara lain: risperidone, paliperidone, clozapine,
quetiapine, olanzapine dan aripiprazole.
b) Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan apabila penerita dengan terapi
psikofarmaka sudah mencapai tahap yang mana kemampuan menilai
(Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri
(insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan penderita
masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Ada banyak macam psikoterapi, biasanya diberikan sesuai
kebutuhan dan latar belakang sebelum sakit (Pramorbid), misalnya:
1) Psikoterapi suportif
Memberikan dorongan atau motivasi agar penderita tetap semangat
dan tidak putus asa dalam menghadapi penyakitnya.
2) Psikoterapi Re-edukatif
Memberikan pendidikan ulang untuk memperbaiki kesalahan
pendidikan masa lalu agar dapat mengubah pola pendidikan masa
lalu dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap
dunia luar.
3) Psikoterapi Re-konstruktif
Memperbaiki kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
4) Psikoterapi Kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif yang rasional sehingga
penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
5) Psikoterapi Psiko-dinamik
Menganalisis dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang
dapat menjelaskan seorang jatuh sakit dan upaya dalam mencari
jalan keluarnya. Terapi ini diharapkan penderita mampu
memahami kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dan
mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan baik.
6) Psikoterapi Perilaku
Memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku
yang adaptif.
7) Psikoterapi Keluarga
Dengan terapi ini diharapkan dapat memulihkan hubungan yang
terjalin yaitu penderita dengan keluarganya.
c) Terapi psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri,
mandiri, dan tidak menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika
Aditama
Hawari, D. (2014). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Edisi
3)
Keliat, Budi Anna (2016). Principles and Practies of Phsychiatri Nursing.
(Stuart, Gail W.) Singapore: Elsevier. (Buku asli diterbitkan pada tahun
(2013)
Keliat, Budu Anna.2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
Saktian, Yusuf. 2016. Laporan Pendahuluan Halusinasi. Diakses melalui:
https://www.academia.edu/28333404/LAPORAN_PENDAHULUAN_HA
LU SINASI pada 1 Desember 2020.
Stuart dan Sundeen .1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. E disi 3. EGC.Jakarta