Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

HALUSINASI PERSEPTUAL

Oleh :

Ni Kadek Martara Karonia Putri


NIM : 2014901217

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2020/2021
HALUSINASI PERSEPTUAL

I. Kasus (Masalah Utama)


Halusinasi.
II. Pengertian
Menurut Varcarois, Halusinasi dapat dinefinisikan sebagai gangguan
tergantungnya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus.
Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (audio-
hearing voice or sounds), penglihatan (visual-seeing persons or things),
penciuman (olfactory-smelling odors), pengecapan (gustatory-experiencing
tastes).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus atau terjadi persepsi palsu
(Prabowo, 2014).
Menurut Yosep dalam Prabowo (2014), halusinasi terdiri dari beberapa
jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya
1. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama
suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang
membicarakannya apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan
untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan
bayangan yang menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfaktorik)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau
busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum.
4. Halusinasi Pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,
amis, dan menjijikan.
5. Halusinasi perabaan (taktil)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak
enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Halusinasi seksual/ halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan
waham kebesaran terutama mengenai organ – organ.
7. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentukan urine.
8. Halusinasi visceral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya, meliputi:
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis.
Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.
b. Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang
dialaminya seperti dalam mimpi.
III.Proses Terjadinya Masalah

adaptif maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran  Waham


 Persepsi kadang  Halusinasi
akurat menyimpang  Kerusakan
 Emosi illusi emosi
 Pikiran logis
konsisten  Reaksi  Perilaku
dengan  Persepsi
emosional tidak sesuai
pengalaman akurat
berlebihan  Ketidakterat
 Perilaku  kurang
dan Emosi uran isolasi
sosial  konsisten
Perilaku tidak sosial
 Hubungan dengan
sesuai
sosia  pengalaman
Menarik diri
 Perilaku
sosial
 Hubungan
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep
stress adaptasi Stuart, 2007 yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan
presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
1) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain
(NAPZA).
2) Faktor Psikologis : Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi
korban, pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya
kasih sayang dari orang-orang disekitar atau overprotektif.
3) Sosial budaya dan lingkungan : Sebagian besar pasien halusinasi
berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien
memiliki riwayat penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan
anak, pasien halusinasi seringkali memiliki tingkat pendidikan yang
rendah serta pernah mengalami kegagalan dalam hubungan sosial
(perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak, adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya
kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau
tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
pasien serta konflik antar masyarakat.
1) Stress Lingkung
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
2) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapistress (Prabowo, 2014).
3) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan nyata dan tidak.
4) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu
yang lama.
5) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi
dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
6) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
7) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam
dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang
lain individu cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interkasi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien
selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
8) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya
terganggu(Damaiyanti, 2012).

c. Fase-fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan
keparahannya. Ada 4 fase atau proses terjadinya halusinasi berdasarkan
tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan
dirinya. Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat mengalami
ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
1) Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada
pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali
bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2) Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi
menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak
dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernafasan, dan tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
3) Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi
menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.
4) Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang
lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

d. Akibat
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh halusinasi pendengaran pada
klien skizofrenia menurut Suheri (2014) adalah:
1) Perilaku kekerasan baik ditujukan pada diri sendiri maupun orang
lain.
2) Risiko tinggi tindakan bunuh diri.
3) Gangguan interaksi sosial
4) Kerusakan komunikasi verbal dan non verbal.

IV. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain

Gangguan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi sosial: menarik diri

1. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


Data yang perlu dikaji
Perubahan sensori perseptual: halusinasi pendengaran
a. Data Subjektif:
1) Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan
dengan stimulus nyata
2) Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang
nyata
3) Klien mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
4) Klien mendengar seseorang yang sudah meninggal
5) Klien mendengar suara mengancam diri klien atau orang lain
atau suara lain yang membahayakan

b. Data Objektif:

1) Klien mengarahkan telinga pada sumber suara


2) Klien berbicara dan tertawa sendiri
3) Klien marah-marah tanpa sebab
4) Klien menutup telinga
5) Mulut klien komat-kamit
6) Ada gerakan tangan

V. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
c. Isolasi sosial
VI. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Pasien Keluarga
Halusinasi SP I SP I
1. Mengidentifikasi 1. Mendiskusikan
jenis halusinasi pasien masalah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi keluarga dalam merawat
halusinasi pasien pasien
3. Mengidentifikasi 2. Menjelaskan
waktu halusinasi pasien pengertian, tanda dan gejala
4. Mengidentifikasi halusinasi, dan jenis
frekuensi halusinasi halusinasi yang dialami
pasien pasien beserta proses
5. Mengidentifikasi terjadinya
situasi yang 3. Menjelaskan cara-
menimbulkan halusinasi cara merawat pasien
6. Mengidentifikasi halusinasi
respons pasien terhadap
halusinasi
7. Melatih pasien cara
kontrol halusinasi
dengan menghardik
8. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.

SP II SP II
1. Memvalidasi 1. Melatih keluarga
masalah dan latihan mempraktekkan cara
sebelumnya. merawat pasien dengan
2. Melatih pasien cara halusinasi
kontrol halusinasi 2. Melatih keluarga
dengan berbincang melakukan cara merawat
dengan orang lain langsung kepada pasien
3. Membimbing pasien halusinasi
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP III SP III
1. Memvalidasi 1. Membantu keluarga
masalah dan latihan membuat jadual aktivitas di
sebelumnya. rumah termasuk minum
2. Melatih pasien cara obat (discharge planning)
kontrol halusinasi 2. Menjelaskan follow
dengan kegiatan (yang up pasien setelah pulang
biasa dilakukan pasien).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi
masalah dan latihan
sebelumnya.
2. Menjelaskan cara
kontrol halusinasi
dengan teratur minum
obat (prinsip 5 benar
minum obat).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.

VII. Diagnosa Medis


a. Pengertian
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak.
Skizofrenia adalah ganggua jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari
hubungan antar pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi dan
halusinasi (presepsi tanpa ada rangsangan pancaindra) Fugen (2012)
dalam Masriadi (2016). Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat
yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi,
gangguan realitas (halusinasi atau waham), afek tidak wajar atau
tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) serta
mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, dkk 2011).
b. Etiologi
Faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian skizofrenia menurut
Zahnia (2016) antara lain:
a) Faktor Genetik
Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah
dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia dan terutama anak-anak kembar monozigot. Diperkirakan
bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga
lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
b) Auto imunne
Penyakit autoimun merupakan salah satu faktor risiko skizofrenia.
Skizofrenia meningkat pada satu tahun setelah penyakit autoimun
terdiagnosis. Adanya infeksi berat juga meningkatkan risiko
skizofrenia secara signifikan. Peningkatan inflamasi pada penyakit
auto imun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui jalur yang
berbeda.

c) Faktor Psikososial
Faktor psikososial terdiri atas interaksi pasien dengan keluarga dan
masyarakat. Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan
keluarga, misalnya pola asuh orang tua yang terlalu menekan pasien,
kurangnya dukungan keluarga terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga didukung
oleh dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di
masyarakat menjadikan faktor stressor yang menekan kehidupan
pasien. Ketika tekanan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama
sehingga mencapai tingkat tertentu, maka akan menimbulkan
gangguan keseimbangan mental pasien dan salah satunya adalah
timbulnya gejala skizofrenia.
c. Klasifikasi Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) skizofrenia dibagi menjadi 5 kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya didominasi hal-
hal berikut:
a) Skizofrenia tipe Hebefrenik disebut juga disorganized type, ditandai
dengan gejala-gejala:
1) Inkoherensi, yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat
dimengerti maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang
diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
2) Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi.
3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menunjukan
rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
4) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistemik (terpecah-pecah)
tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.
5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak
terorganisir sebagai suatu kesatuan.
6) Berperilaku aneh, seperti menyeringai sendiri, menunjukan
gerakan-gerakan aneh, pengucapan kalimat berulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan
sosial.
b) Skizofrenia tipe Katatonik, dengan ditandai gejala-gejala, seperti:
1) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau
aktivitas spontan sehingga Nampak seperti “patung” atau diam
membisu.
2) Negativisme Katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya
tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakan dirinya.
3) Kekakuan (rigidity) Katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap
kaku tehadap semua upaya untuk menggerakan dirinya.
4) Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik, yang
nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan
dari luar.
5) Sikap Tubuh Katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar.
c) Skizofrenia tipe Paranoid, menunjukan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Waham kejar atau waham kebesaran, waham cemburu juga sering
ditemukan.
2) Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.
3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang
tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar atau berdebat dan
tindak kekerasan.
d) Skizofrenia tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) yang tidak menonjol. Misalnya
alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi, penarikan
diri dari pergaulan sosial, tingkah laku yang eksentrik, pikiran tidak
logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
e) Skizofrenia tipe Tidak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukan dalam tipe-tipe yang sudah diuraikan,
hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkohorensi
atau tingkah laku kacau.
d. Penatalaksanaan Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) pengobatan skizofrenia antara lain:
a) Psikofarmaka
Pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi penghantar saraf
(neurotransmitter) yaitu sel-sel susunan saraf pusat pada otak
merupakan pelepasan zat dopamine dan serotin yang mengakibatkan
gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena
itu, obat psikofarmaka ditujukan pada gangguan fungsi
neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan.
Masing-masing jenis obat psikofarmaka meiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing selain efek samping. Terdapat obat
psikofarmaka yang lebih berkhasiat menghilangkan gejala negatif
skizofrenia daripada gejala postif skizofrenia atau sebaliknya, ada juga
yang lebih cepat menimbulkan efek samping dan lain sebagainya.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar di pasaran yang
hanya bisa diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan
kedua (atypical). Adapun contoh obat jenis golongan pertama dengan
nama generic, antara lain: chlorpromazin HCL, trifluoperazine HCL,
thioridazine HCL, dan haloperidol. Contoh obat golongan kedua
dengan nama generic antara lain: risperidone, paliperidone, clozapine,
quetiapine, olanzapine dan aripiprazole.
b) Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan apabila penerita dengan terapi
psikofarmaka sudah mencapai tahap yang mana kemampuan menilai
(Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri
(insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan penderita
masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Ada banyak macam psikoterapi, biasanya diberikan sesuai
kebutuhan dan latar belakang sebelum sakit (Pramorbid), misalnya:
1) Psikoterapi suportif
Memberikan dorongan atau motivasi agar penderita tetap semangat
dan tidak putus asa dalam menghadapi penyakitnya.
2) Psikoterapi Re-edukatif
Memberikan pendidikan ulang untuk memperbaiki kesalahan
pendidikan masa lalu agar dapat mengubah pola pendidikan masa
lalu dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap
dunia luar.
3) Psikoterapi Re-konstruktif
Memperbaiki kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
4) Psikoterapi Kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif yang rasional sehingga
penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
5) Psikoterapi Psiko-dinamik
Menganalisis dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang
dapat menjelaskan seorang jatuh sakit dan upaya dalam mencari
jalan keluarnya. Terapi ini diharapkan penderita mampu
memahami kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dan
mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan baik.
6) Psikoterapi Perilaku
Memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku
yang adaptif.
7) Psikoterapi Keluarga
Dengan terapi ini diharapkan dapat memulihkan hubungan yang
terjalin yaitu penderita dengan keluarganya.
c) Terapi psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri,
mandiri, dan tidak menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika
Aditama
Hawari, D. (2014). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Edisi
3)
Keliat, Budi Anna (2016). Principles and Practies of Phsychiatri Nursing.
(Stuart, Gail W.) Singapore: Elsevier. (Buku asli diterbitkan pada tahun
(2013)
Keliat, Budu Anna.2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
Saktian, Yusuf. 2016. Laporan Pendahuluan Halusinasi. Diakses melalui:

https://www.academia.edu/28333404/LAPORAN_PENDAHULUAN_HA
LU SINASI pada 1 Desember 2020.
Stuart dan Sundeen .1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. E disi 3. EGC.Jakarta

Yosep,I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung :


Refika Aditama.
Zahnia, Siti & Dyah Wulan Sumekar. (2016). Kajian Epidemiologi Skizofrenia.
Lampung: Medical Journal of Lampung University. Diakses pada 1
Desember 2020 melalui:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/904
Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan
Jiwa Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.

Anda mungkin juga menyukai