Mukmin Dan Kafir Aswaja1
Mukmin Dan Kafir Aswaja1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PEMBAHASAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ngabdurrohman al-Jawi, Risalah Ahlusunnah wal jama’ah, (Jakarta, LTM PBNU dan Pesantren
Ciganjur, 2011, hal 12.
3
(mazhab: al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i atau al-Hanbali), karena para
imam mazhab (mujtahidin) itu telah disepakati para ulama paling memiliki
otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum
Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan merekalah ulama yang diberi
kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran
agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris
ilmu dan amalan para nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan harus kita
hormati2
B. BID’AH DI NUSANTARA
2
https://islam.nu.or.id/post/read/88228/mengapa-kita-harus-bermazhab di akses 14 Oktober
2021.
4
(membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan
membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul). Sesuatu yang
di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling
tegas adalah ibadah. Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi)
oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk
ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas. Karena, pada
dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan
kewajibannya (al-ashlu fî al-‘ibadah haram hatta yadulla al-dalil ‘ala al-
wujub). Dalam hal tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti
perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan
kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan
hukumnya dalam agama. Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan,
dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum
secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang
berstatus hukum mubâh (boleh, boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau
ditinggalkan. Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum
yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fi al-asya’ al-ibahah hatta
yadulla al-dalil ‘ala al-tahrim (segala sesuatu pada dasarnya berhukum
boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).3
Syeikh Abdussalam membagi bid’ah menjadi lima kategori. Dari
kelima kategori ini termasuk bid’ah yang masa kini yang ada di nusantara :
1. Bid’ah yang wajib
3
https://www.nu.or.id/post/read/47293/sedikit-sedikit-bid039ah di akses 15 oktober 2021
5
Mazhab qodariyah (memiliki keyakinan mengingkari
takdir), Jabariyah (melimiki keyakinan bahwa setiap manusia
terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam
perbuatanya0, Dan mujassimah (meliliki keyakinan bahwa Allah
meliliki jasad atau memiliki jisn dan orang-orang mujassimah juga
menyerupakan Allah dengan makhluk dalam penetapan sifat-sifat
Allah.
4
Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adabasy-Syar’iyyah, Juz I, halaman 232).
6
banyak sekali imam yang menganjurkannya dengan dasar argumen
masing-masing, sehingga tak layak disebut sebagai bid’ah. Menurut para
imam terdahulu, ahli bid’ah bukan orang yang berbeda pendapat dalam
tataran fikih, tetapi orang yang tersesat dalam urusan akidah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ahli bid’ah sebenarnya mengacu
kepada mereka yang akidahnya menyimpang, bukan mengacu kepada
orang yang melakukan sesuatu yang secara fikih dianggap tak pernah
dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Meskipun
perbuatan baru semacam ini masuk dalam kategori bid’ah dalam arti
haram menurut suatu pihak, namun bukan berarti pelakunya boleh disebut
ahli bid’ah, apalagi bila perbuatan tersebut masih diperselisihkan di
kalangan para ulama.5
5
https://nu.or.id/ilmu-tauhid/siapakah-ahli-bid-ah-itu-dXVVd di akses 15 Oktober 2021
7
a.) Mukmin
Banyak ciri-ciri daripada orang mukmin itu sendiri, berikut kami rangkum
dalam konteks ciri khas dari mukmin yang di ambilkan dari ayat-ayat Al- Qur’an.
Dalam hal tersebut mengutip ayat al Qur’an surat Al Anfal ayat 2-3 yang
mengungkap tanda seorang mukmin. Yang pertama adalah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka”. Hanya orang yang beriman jika disebutkan nama
Allah, muncul rasa takut dalam hatinya. Rasa takutnya sebagai bentuk
mengagungkan Allah. Kalimat tauhid, sebagai sebuah kalimat agung, harus
digunakan untuk mengagungkan Yang Maha Agung, tentunya harus dibarengi
dengan pengagungan kepada Allah SWT melalui akhlak yang baik. Kalimat
Tauhid lebih bijak digunakan untuk mengagungkan Allah SWT, menghadirkan
rasa aman kepada orang yang mendengarnya, bukan malah sebaliknya, yaitu
membuat orang takut karena ucapan asma Allah yang diucapkan”.
Yang kedua:
8
muslimin, menjadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai motivasi untuk lebih
meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Yang ketiga:
“Dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. Orang yang beriman akan
menyandarkan segala urusannya hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Di
saat kita diberi cobaan saat ini berupa Pandemi yang hampir keseluruhan penjuru
dunia. Tentu sangat berpengaruh semua sendi ekonomi, sosial hingga politik, oleh
karena itu hanya satu jalan kita, yaitu kembali kepada Allah SWT.
Menyandang segala urusan disaat sulit seperti ini hanya kepada Allah SWT,
Tawakal dan terus ikhtiar berusaha untuk keluar dari keadaan yang melanda kita
semua.
Yang keempat:
Yang kelima:
“Dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka”. Seorang
dikatakan beriman ketika ia menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT. Kondisi
saat ini adalah melatih diri kita untuk kembali kepada Allah SWT, disaat-saat sulit
seperti inilah Allah SWT menguji kepada hamba-Nya untuk bertawakal dan
mendermakan hartanya dalam keadaan sulit. Kalau mendermakan harta dalam
keadaan lapang, itu hal bisa. Disaat inilah kondisi paling ditunggu-tunggu oleh
7
Ibid.
9
Allah SWT agar kita selalu memperhatikan lingkungan bersama, bagaimana
tetangga kita, kondisi sosial dan ekonomi, mari saling membantu satu sama lain.
b.) Kafir
Telah maklum bahwa agama Islam terpecah menjadi sekian banyak golongan
keyakinan (firqah) dari masa ke masa. Berbagai macam golongan keyakinan
tersebut ada yang dianggap benar dan tak bermasalah meskipun mempunyai nama
beraneka ragam, semisal golongan Asy’ariyah (pengikut konsep teologi Imam
Abu Hasan al-Asy’ari), golongan Maturidiyah (pengikut konsep teologi Imam
Abu Manshur al-Maturidi) dan Thahawiyah (pengikut konsep teologi Imam at-
Thahawi). Kesemua nama tersebut hanyalah sekedar perbedaan nama tokoh yang
dijadikan guru utama, tetapi ajarannya tidak berbeda kecuali dalam perincian-
perincian yang memang ijtihadiyah yang sama sekali tak berujung pada
penyesatan. Sama seperti dalam dunia fiqih dikenal mazhab empat yang
sebenarnya tak berbeda kecuali dalam perincian yang bersifat ijtihadiyah. 8
8
https://islam.nu.or.id/post/read/95257/menurut-aswaja-sejauh-mana-menganggap-kafir-
diperbolehkan di akses 17 oktober 2021
10
Pertanyaannya kemudian, apakah golongan-golongan teologis yang berbeda
dengan mayoritas ulama tersebut dianggap kafir? Siapakah di antara aliran sesat
yang layak dikafirkan dan siapakah yang tak layak dikafirkan tetapi hanya
dianggap salah dalam hal aqidah?
Perlu diketahui bahwa sejarah mencatat Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja:
Asy’ariyah-Maturidiyah) sebagai golongan yang paling toleran terhadap semua
golongan di luar mereka. Hanya Aswaja sajalah yang dengan tegas menyatakan
bahwa mayoritas golongan di luar mereka tidaklah kafir meskipun mempunyai
keyakinan yang berbeda dengan Aswaja. Jadi, Siapakah golongan yang dapat
dihukumi kafir? Jawabannya adalah yang dianggap kafir hanyalah seseorang yang
mengingkari pengetahuan yang telah umum bagi Tuhan, misalnya mengingkari
bahwa Tuhan itu ada, tak berawal, Maha-Kekal, Maha-Melihat, Maha-Mendengar,
Maha-Mengetahui terhadap hal-hal detail dan seterusnya. Demikian juga orang
yang mengingkari adanya kenabian dan adanya alam akhirat. Pengingkaran
terhadap pengetahuan umum seperti ini tidaklah dimiliki oleh umat Islam, baik
yang terpelajar maupun yang bodoh, sehingga relatif sulit ditemukan adanya
orang atau golongan yang divonis kafir secara mutlak.
E. SIFAT-SIFAT ALLAH.
11
Ilmu (mengetahui) >< Jahlun (bodoh)
Hayat (hidup) >< Mautun (mati)
Sama’ (mendengar) >< Shamamun (tuli)
Bashor (melihat) >< ‘Ama (buta)
Kalam (berfirman) >< Bakamun (bisu)
Qodiron (maha berkuasa) >< ‘Ajiyan (zat yang lemah)
Muridan (maha menghendaki) >< Karihan (zat yang terpaksa)
Aliman (maha mengetahui) >< Jahilan (zat yang sangat bodoh)
Hayyan (maha hidup) >< Mayyitan (zat yang mati)
Sami’an (maha mendengar) >< Ashama (zat yang tuli)
Bashiron (maha melihat) >< ‘Ama (zat yang buta)
Muttakaliman (maha berfirman) >< Abkama (zat yang bisu)
F. Ikhtiar manusia
Usaha menjadi salah satu hal yang harus dilakukan oleh seluruh umat
manusia untuk meraih apa yang diinginkan. Hanya saja, ada juga yang penting
dari sekadar usaha, yaitu berdoa. Doa menjadi salah satu ikhtiar dalam meraih
keinginan. Doa menjadi salah satu bukti tidak kuasanya seorang hamba tanpa
disertai kehendak dari Tuhan. Bahkan, doa bisa menjadi bahan peningkatan
spiritualitas untuk mendekatkan diri pada Allah. 10
12
Artinya, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Aku perkenankan bagimu’.” (QS. Ghafir: 60)
ِ ْت َواَألر
ض ِ اَل ُّدعَا ُء ِسالَ ُح ْال ُمْؤ ِم ِن َو ِع َما ُد الدِّي ِن َونُو ُر ال َّس َما َوا
Artinya, “Doa adalah senjata orang mukmin, pilar agama Islam, dan
cahaya langit dan bumi.” (HR. Al-Hakim)
Dua dalil naqli di atas menjadi bukti bahwa berdoa merupakan ikhtiar
penting yang harus dilakukan seorang hamba. Bahkan, doa juga merupakan
ibadah bagi umat Islam. Setiap perintah yang Allah perintahkan, maka
mengerjakannya merupakan ibadah. Sedangkan ibadah tidak selalu tentang
shalat, puasa, sedekah, zakat, dan lainnya. Berdoa juga bagian dari ibadah.
Dalil di atas juga menjadi bukti untuk menolak pemahaman-pemahaman
keliru yang menganggap bahwa berdoa akan mengeluarkan seseorang dari rela
terhadap takdir yang Allah tentukan. Tentu tidak demikian, doa sama sekali
tidak menjadi sebuah media untuk menolak takdirnya. Imam al-Ghazali
menanggapi pernyataan-pernyataan demikian, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin
disebutkan:
ضهُ َأ ْيضًا
ُ ُِوف َوالنَّ ْه ُي َع ِن ْال ُم ْن َك ِر اَل يُنَاق
ِ بِاَأْل ْم ِر بِ ْال َم ْعر
Artinya, “Doa tidak mengeluarkan orang dari maqam rela terhadap takdir.
Begitu juga membenci maksiat, benci kepada pelakunya, kepada sebabnya,
dan usaha untuk menghilangkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar, semua
itu tidak bertentangan dengan maqam rela terhadap takdir.” 11
Semua yang terjadi di muka bumi ini merupakan kepastian Allah sejak
zaman azali. Mulai dari kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia, menderita, susah,
11
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Bairut, Darul Ma’rifah: 2010), juz IV, hal 351
13
senang, taat, maksiat dan lain sebagainya. Tentu seorang muslim harus rela
dengannya. Jika semuanya merupakan kepastian Allah, membenci atau
menghindar dari semuanya menunjukkan membenci kepastian Allah.
Benarkah demikian? Lantas bagaimana cara menyikapi dua dalil yang sama-
sama menjadi perintah? Meyakini semua kejadian merupakan kepastian
Allah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Demikian pula rela dengan semua
kejadian tersebut. Adapun berdoa merupakan perintah Allah kepada semua
makhluk-Nya. Karenanya, dua hal ini menjadi rancu bagi pemikiran-
pemikiran yang tidak memahami ilmu agama, utamanya ilmu yang membahas
akan takdir dan doa.
Dari uraian di atas sangat penting kiranya memahami semua takdir Allah
dan segala kepastiannya, serta ikhtiar seorang hamba, baik doa dan usaha
lainnya, dengan segala kemungkinan yang bisa Allah ubah kapan saja sesuai
dengan kehendak-Nya. Memahami perbedaan keduanya akan memberi
pemahaman bahwa kebaikan dan kejelekan sumbernya dari Allah. Hanya saja,
kebaikan merupakan kehendak Allah yang diridhai, sedangkan kejelekan
adalah kehendak Allah yang dimurkai. Begitupun perihal doa. Berdoa bukan
berarti menunjukkan seorang hamba tidak rela dengan takdir Allah. Secara
14
personal, orang harus memasrahkan semuanya kepada Allah dan rela dengan
takdir-Nya. Namun di sisi lain, sebagai hamba juga mempunyai hak untuk
meminta apa yang ia inginkan kepada Tuhan-Nya. 12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Karena kedangkalan dan keterbatasan ilmu pengetahuan kita, maka,
berpegang teguh pada madzhab itu sangat di perlukan terlebih pada
madzhab Aswaja. Karena dalam mencapai sebuah hukum memerlukan
ijtihad dari para mujtahid.
12
https://islam.nu.or.id/post/read/129893/iman-al-ghazali--berdoa-bukan-berarti-tak-rela-
dengan-takdir di akses 20 0ktober 2021
15
2. Berbicara mengenai bid’ah sepertinya tiada habisnya, banyak golongan
yang salah dalam ,menafsiri bid’ah, Dan menganggap semua bid’ah itu
sesat dan masuk neraka namun kenyataannya juga ada bid’ah yang
muncul dan itu ada dasarnya dan tidak bertentangan dengan akidah islam.
3. Tradisi di nusantara seperti yasinan, tahlilan, ziarah makam dst. Tidak
bisa dikatakan itu bid’ah yang sesat karena pada dasarnya mempunyai
dasar yang tidak bertentangan. Lalu siapa ahli bid’ah itu? Dia yang
menyimpang dari akidah dan membuat hukum baru, dialah yang disebut
sebagai ahli bid’ah masa kini.
4. Orang mukmin dapat didefinisikan sebagai orang yang taat perintah
Allah SWT dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang kafir ialah orang
yang ingkar dan tidak mempercayai Allah sebagai tuhan.
5. Tidak bisa kita jika ingin melihat wujud Allah, namun, kita dapat
mengetahuinya dengan mempercayai sifat Allah 20, sifat mustahil 20 dan
1 sifat jaiz.
6. Hidup tidak pernah lepas dari yang namanya takdir, semua sudah di
atur dan di takdirkan kepada kita, namun, kita sebagai manusia wajib
untuk berikhtiar dengan cara berdoa, memohon agar sesuatu yang buruk
pada kita bisa menjadi sesuatu yang baik.
B. Saran
16