Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Umat Islam Nusantara pada mulanya adalah satu madzab dan


memiliki metode pengambilan hukum yang sama. Dalam bidang fiqih
mengambil Imam Syafi’i, dalam teologi akidah mengambil dari Imam Abu
Hasan al-Asy’ari, dan dalam Tashawuf mengambil Imam Ghazali dan
Juned al- Bagdadi.

Pada tahun 1330 H, mulai muncul berbagai aliran dan pendapat


yang saling bertentangan. Sebagian dari mereka terdapat kaum salaf yang
berpegang teguh kepada ulama salaf dan menganut madzhab yang jelas,
memeangi kitab-kitab mu’tabar, mencintai keluarga Nabi, para sahabat,
tabi’in, para wali, dan orang-orang sholeh dan meminta barakah kepada
mereka baik kletika masih hidup ataupun setelah meninggal, mengamalkan
ziarah kubur, talqin mayit, menyakini syafaat Nabi, manfaat doa dan
tawassul, dan lain-lain.

Ada juga yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan


Rasyid Ridha dan mengambil pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab
al-Nazdi. Mereka mengharamkan yang disunahkan kaum muslimin, yaitu
perjalanan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan selalu menyalahi
pendapat kelompok lainnya. Mereka mencededarai kehormatan ulama dan
menyebarkan faham yang membingungkan di hadapan orang-orang bodoh
dengan tujuan membutakannya dan agar menimbulkan kerusakan dimuka
bumi. Mereka berkata dusta kepada Allah dan mengira telah melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Padahal Allah menyaksikan mereka sebagai
pembohong. Dan menurut saya mereka adalah ahli bidah dan mengikuti
hawa nafsu.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa masyarakat Nusantara harus berpegang pada madzhab


Ahlusunnah wal Jama’ah?
2. Bagaiman Bid’ah bisa muncul di Nusantara?
3. Siapa saja ahli Bid’ah masa kini?
4. Apa itu mukmin dan kafir?
5. Apa sajakah sifat-sifat Allah?
6. Bagaiman bentuk ikhtiar manusia?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Untuk mengetahui mengapa umat islam Nusantara berpegang teguh


kepada madzhab aswaja.
2. Untuk mengetahui bagaimana bid’ah bisa muncul di Nusantara.
3. Untuk mengetahui siapa saja ahli bid’ah masa kini itu.
4. Untuk mengetahui pengertian mukmin dan kafir.
5. Untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
6. Untuk mengentahui bentuk Ikhtiar manusia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. NUSANTARA DAN MADZAB AHLUSUNNAH WAL JAMAAH

Umat Islam Nusantara pada mulanya adalah satu madzab dan


memiliki metode pengambilan hukum yang sama. Dalam bidang fiqih
mengambil Imam Syafi’i, dalam teologi akidah mengambil dari Imam Abu
Hasan al-Asy’ari, dan dalam Tashawuf mengambil Imam Ghazali dan
Juned al- Bagdadi.1
Dalam beragama (Islam) kita sering mendengar ada sebagian
Muslim yang menyatakan bahwa dalam mempelajari dan mengamalkan
ajaran agama kita tidak perlu menganut mazhab imam tertentu karena
cukup langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena
kedangkalan ilmunya maka mereka menyangka bahwa para mujtahid atau
imam mazhab dalam beragama itu tidak berpedoman, melanggar keduanya
atau memahami agama tanpa dalil dan tanpa metode. Jadi, dalam
beragama perlukah kita bermazhab?
Bermazhab itu sangat penting bagi orang beragama agar
pemahaman dan praktik agamanya benar. Karena bermazhab merupakan
metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan
merujuknya pada fiqih mazhab tertentu yang dianut atau upaya
penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul al-mazhab yang
diyakininya. Hakikat kebenaran dalam Islam, khususnya yang berkaitan
erat dengan al-ahkam al-ijtihadiyah (hukum-hukum praktis hasil ijtihad)
akan lebih aman, terjaga, selamat dari kekeliruan pemahaman, jauh dari
ketersesatan dan lebih maslahat apabila dalam beragama umat Islam
bersedia mengikuti dan terikat kepada salah satu dari mazhab yang empat

1
Ngabdurrohman al-Jawi, Risalah Ahlusunnah wal jama’ah, (Jakarta, LTM PBNU dan Pesantren
Ciganjur, 2011, hal 12.

3
(mazhab: al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i atau al-Hanbali), karena para
imam mazhab (mujtahidin) itu telah disepakati para ulama paling memiliki
otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum
Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan merekalah ulama yang diberi
kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran
agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris
ilmu dan amalan para nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan harus kita
hormati2

B. BID’AH DI NUSANTARA

Pembahasan mengenai bid’ah mestinya sudah kita selesaikan sejak


berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada
isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Kata bid’ah
selama ini dipahami secara beragam dan hampir tidak ada kesepakatan
definisi tentangnya. Bidah menjadi semacam bola liar yang bisa ditendang
oleh siapa saja dan menabrak siapa saja. Sialnya, dalam hal ini semangat
melontarkan tuduhan bidah didorong oleh makna sesat yang terkandung di
dalamnya. Bid’ah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka,
begitulah makna hadis di atas. Inilah spirit jahat yang ditangkap oleh
sebagian muslim kemudian digunakan menuduh muslim yang lain. Saya
katakan sebagai spirit jahat karena tuduhan bidah sama artinya dengan
mengharapkan orang lain masuk neraka, berdasarkan hadis tadi.
Banyak ulama yang telah mendefinisikan bidah, namun sekian
definisi yang ada terkesan rumit dan ideologis. Kita perlu memahami kata
bidah secara lebih definitif-konvensional hingga tidak mudah digunakan
sebagai senjata untuk menyerang. Bid’ah bagi saya adalah taqyidu ma
athlaqahu Allahu wa rasuluh wa ithlaqu ma qayyadahu Allahu wa rasuluh

2
https://islam.nu.or.id/post/read/88228/mengapa-kita-harus-bermazhab di akses 14 Oktober
2021.

4
(membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan
membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul). Sesuatu yang
di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling
tegas adalah ibadah. Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi)
oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk
ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas. Karena, pada
dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan
kewajibannya (al-ashlu fî al-‘ibadah haram hatta yadulla al-dalil ‘ala al-
wujub). Dalam hal tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti
perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan
kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan
hukumnya dalam agama. Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan,
dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum
secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang
berstatus hukum mubâh (boleh, boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau
ditinggalkan. Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum
yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fi al-asya’ al-ibahah hatta
yadulla al-dalil ‘ala al-tahrim (segala sesuatu pada dasarnya berhukum
boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).3
Syeikh Abdussalam membagi bid’ah menjadi lima kategori. Dari
kelima kategori ini termasuk bid’ah yang masa kini yang ada di nusantara :
1. Bid’ah yang wajib

Seperti belajar ilmu nahwu, belajar ilmu ghorib al-qur’an dan


sunah yang bisa membantu pemahaman agama.

2. Bid’ah yang haram

3
https://www.nu.or.id/post/read/47293/sedikit-sedikit-bid039ah di akses 15 oktober 2021

5
Mazhab qodariyah (memiliki keyakinan mengingkari
takdir), Jabariyah (melimiki keyakinan bahwa setiap manusia
terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam
perbuatanya0, Dan mujassimah (meliliki keyakinan bahwa Allah
meliliki jasad atau memiliki jisn dan orang-orang mujassimah juga
menyerupakan Allah dengan makhluk dalam penetapan sifat-sifat
Allah.

3. Bid’ah yang sunah

Seperti membangun pesantren dan madrasah.

4. Bid’ah yang makhruh

Menghiasi masjid secara berlebihan

5. Bid’ah yang mubah .

Seperti berjabat tangan setelah sholat.

C. MACAM-MACAM AHLI BID’AH MASA KINI

Banyak pernyataan maupun ucapan yang senada mengenai siapa


ahli bid’ah itu? Misalnya dari Syaikh Ibnu Qudamah. “Ulama salaf
melarang duduk bergaul dengan ahli bid’ah, melihat kitab-kitab mereka,
atau mendengarkan perkataan mereka”. 4
Lantas, siapa sebenarnya ahli
bid’ah? Pada poin ini banyak orang yang salah paham sehingga
memasukkan orang yang berbeda pendapat dalam masalah fikih sebagai
ahli bid’ah. Salah satunya dalam masalah qunut subuh.
Padahal, pembahasan semacam ini termasuk pembahasan fikih
dan bersifat ijtihadi, sehingga tak heran bila ada mujtahid yang berbeda
pendapat. Justru dalam masalah qunut dan peringatan maulid di atas,

4
Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adabasy-Syar’iyyah, Juz I, halaman 232).

6
banyak sekali imam yang menganjurkannya dengan dasar argumen
masing-masing, sehingga tak layak disebut sebagai bid’ah. Menurut para
imam terdahulu, ahli bid’ah bukan orang yang berbeda pendapat dalam
tataran fikih, tetapi orang yang tersesat dalam urusan akidah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ahli bid’ah sebenarnya mengacu
kepada mereka yang akidahnya menyimpang, bukan mengacu kepada
orang yang melakukan sesuatu yang secara fikih dianggap tak pernah
dilakukan pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Meskipun
perbuatan baru semacam ini masuk dalam kategori bid’ah dalam arti
haram menurut suatu pihak, namun bukan berarti pelakunya boleh disebut
ahli bid’ah, apalagi bila perbuatan tersebut masih diperselisihkan di
kalangan para ulama.5

D. MUKMIN DAN KAFIR

5
https://nu.or.id/ilmu-tauhid/siapakah-ahli-bid-ah-itu-dXVVd di akses 15 Oktober 2021

7
a.) Mukmin

Pengertian orang mukmin adalah orang yang mempercayai adanya Tuhan,


Malaikat, Rasul atau utusan-Nya, kitab-kitab Allah, hari akhir, qadha’ dan qadar-
Nya. Definisi orang mukmin sebagaimana dijelaskan di atas berhubungan dengan
masalah keyakinan apakah seseorang meyakini rukun iman yang enam atau tidak,
dan tidak terkait dengan perilaku.6

Banyak ciri-ciri daripada orang mukmin itu sendiri, berikut kami rangkum
dalam konteks ciri khas dari mukmin yang di ambilkan dari ayat-ayat Al- Qur’an.
Dalam hal tersebut mengutip ayat al Qur’an surat Al Anfal ayat 2-3 yang
mengungkap tanda seorang mukmin. Yang pertama adalah:

ْ َ‫ِإنَّ َما ٱ ْل ُمْؤ ِمنُونَ ٱلَّ ِذينَ ِإ َذا ُذ ِك َر ٱهَّلل ُ َو ِجل‬


‫ت قُلُوبُهُ ْم‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka”. Hanya orang yang beriman jika disebutkan nama
Allah, muncul rasa takut dalam hatinya. Rasa takutnya sebagai bentuk
mengagungkan Allah. Kalimat tauhid, sebagai sebuah kalimat agung, harus
digunakan untuk mengagungkan Yang Maha Agung, tentunya harus dibarengi
dengan pengagungan kepada Allah SWT melalui akhlak yang baik. Kalimat
Tauhid lebih bijak digunakan untuk mengagungkan Allah SWT, menghadirkan
rasa aman kepada orang yang mendengarnya, bukan malah sebaliknya, yaitu
membuat orang takut karena ucapan asma Allah yang diucapkan”.

Yang kedua:

‫ت َعلَ ْي ِه ْم َءايَٰتُهُۥ زَ ا َد ْتهُ ْم ِإي َمٰنًا‬


ْ َ‫َوِإ َذا تُلِي‬

“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)”.


Hal ini menjadi bukti keimanan seseorang ketika Al Qur’an dibaca baik oleh
dirinya ataupun orang lain, ia dapat mengambil manfaat dengan bertambahnya
rasa iman. Ayat Al Qur’an harus menjadi prioritas utama dalam diri kaum
6
https://jabar.nu.or.id/detail/ciri-mukmin-dalam-al-qur-an di akses 17 oktober 2021

8
muslimin, menjadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai motivasi untuk lebih
meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Yang ketiga:

‫َو َعلَىٰ َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُون‬

“Dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. Orang yang beriman akan
menyandarkan segala urusannya hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Di
saat kita diberi cobaan saat ini berupa Pandemi yang hampir keseluruhan penjuru
dunia. Tentu sangat berpengaruh semua sendi ekonomi, sosial hingga politik, oleh
karena itu hanya satu jalan kita, yaitu kembali kepada Allah SWT.

Menyandang segala urusan disaat sulit seperti ini hanya kepada Allah SWT,
Tawakal dan terus ikhtiar berusaha untuk keluar dari keadaan yang melanda kita
semua.

Yang keempat:

َّ ‫ٱلَّ ِذينَ يُقِي ُمونَ ٱل‬


َ‫صلَوٰة‬

“(yaitu) Orang-orang yang mendirikan shalat”. Orang yang beriman akan


mendirikan shalat secara sempurna, baik shalat yang hukumnya wajib maupun
yang dianjurkan. Shalat adalah sarana mediasi seorang hamba yang ingin
berkomunikasi dengan Allah SWT.7

Yang kelima:

َ‫َو ِم َّما َرزَ ْقنَٰهُ ْم يُنفِقُون‬

“Dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka”. Seorang
dikatakan beriman ketika ia menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT. Kondisi
saat ini adalah melatih diri kita untuk kembali kepada Allah SWT, disaat-saat sulit
seperti inilah Allah SWT menguji kepada hamba-Nya untuk bertawakal dan
mendermakan hartanya dalam keadaan sulit. Kalau mendermakan harta dalam
keadaan lapang, itu hal bisa. Disaat inilah kondisi paling ditunggu-tunggu oleh

7
Ibid.

9
Allah SWT agar kita selalu memperhatikan lingkungan bersama, bagaimana
tetangga kita, kondisi sosial dan ekonomi, mari saling membantu satu sama lain.

‫ك هُ ُم ٱ ْل ُمْؤ ِمنُونَ َحقًّا‬


َ ‫ُأو۟لَٰ ِٓئ‬

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. Seorang yang


benar-benar beriman, dan akan mendapatkan derajat disisi Allah SWT sebagai
golongan ahli surga yang diakui di hadapan Allah SWT.

b.) Kafir

Telah maklum bahwa agama Islam terpecah menjadi sekian banyak golongan
keyakinan (firqah) dari masa ke masa. Berbagai macam golongan keyakinan
tersebut ada yang dianggap benar dan tak bermasalah meskipun mempunyai nama
beraneka ragam, semisal golongan Asy’ariyah (pengikut konsep teologi Imam
Abu Hasan al-Asy’ari), golongan Maturidiyah (pengikut konsep teologi Imam
Abu Manshur al-Maturidi) dan Thahawiyah (pengikut konsep teologi Imam at-
Thahawi). Kesemua nama tersebut hanyalah sekedar perbedaan nama tokoh yang
dijadikan guru utama, tetapi ajarannya tidak berbeda kecuali dalam perincian-
perincian yang memang ijtihadiyah yang sama sekali tak berujung pada
penyesatan. Sama seperti dalam dunia fiqih dikenal mazhab empat yang
sebenarnya tak berbeda kecuali dalam perincian yang bersifat ijtihadiyah. 8

Semuanya sepakat menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pijakan utama.


Di sisi lain, ada kelompok yang dianggap sebagai golongan sesat oleh Ahlusunnah
wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah), seperti misalnya: Syi’ah, Khawarij,
Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Mujassimah, Musyabbihah, dan lain sebagainya.
Mereka dianggap sebagai kelompok menyimpang oleh mayoritas umat Islam
dalam lintas sejarah.

8
https://islam.nu.or.id/post/read/95257/menurut-aswaja-sejauh-mana-menganggap-kafir-
diperbolehkan di akses 17 oktober 2021

10
Pertanyaannya kemudian, apakah golongan-golongan teologis yang berbeda
dengan mayoritas ulama tersebut dianggap kafir? Siapakah di antara aliran sesat
yang layak dikafirkan dan siapakah yang tak layak dikafirkan tetapi hanya
dianggap salah dalam hal aqidah?
Perlu diketahui bahwa sejarah mencatat Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja:
Asy’ariyah-Maturidiyah) sebagai golongan yang paling toleran terhadap semua
golongan di luar mereka. Hanya Aswaja sajalah yang dengan tegas menyatakan
bahwa mayoritas golongan di luar mereka tidaklah kafir meskipun mempunyai
keyakinan yang berbeda dengan Aswaja. Jadi, Siapakah golongan yang dapat
dihukumi kafir? Jawabannya adalah yang dianggap kafir hanyalah seseorang yang
mengingkari pengetahuan yang telah umum bagi Tuhan, misalnya mengingkari
bahwa Tuhan itu ada, tak berawal, Maha-Kekal, Maha-Melihat, Maha-Mendengar,
Maha-Mengetahui terhadap hal-hal detail dan seterusnya. Demikian juga orang
yang mengingkari adanya kenabian dan adanya alam akhirat. Pengingkaran
terhadap pengetahuan umum seperti ini tidaklah dimiliki oleh umat Islam, baik
yang terpelajar maupun yang bodoh, sehingga relatif sulit ditemukan adanya
orang atau golongan yang divonis kafir secara mutlak.

E. SIFAT-SIFAT ALLAH.

a. Sifat wajib Allah9


 Wujud (ada) kebalikannya Adam (tidak ada)
 Qidam (terdahulu) >< Huduts (baru)
 Baqo’ (kekal) >< Fana (binasa)
 Mukholafatulil Khawadisi (berbeda dengan makhluknya) ><
Mumatsalatu lil khawaditsi (ada yang menyamai)
 Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) >< Ihtiyaju lighairihi
(memerlukan yang lain)
 Wahdaniyyah (esa/satu) >< Ta’adud (berbilang)
 Qudrat (berkuasa) >< Ajzun (lemah)
 Iradat (berkehendak) >< Karohah (terpaksa)
9
KH. Muhyiddin Abdusshomad, Terjemah dan Syarh ‘Aqidah al-‘Awam, Surabaya, 2009

11
 Ilmu (mengetahui) >< Jahlun (bodoh)
 Hayat (hidup) >< Mautun (mati)
 Sama’ (mendengar) >< Shamamun (tuli)
 Bashor (melihat) >< ‘Ama (buta)
 Kalam (berfirman) >< Bakamun (bisu)
 Qodiron (maha berkuasa) >< ‘Ajiyan (zat yang lemah)
 Muridan (maha menghendaki) >< Karihan (zat yang terpaksa)
 Aliman (maha mengetahui) >< Jahilan (zat yang sangat bodoh)
 Hayyan (maha hidup) >< Mayyitan (zat yang mati)
 Sami’an (maha mendengar) >< Ashama (zat yang tuli)
 Bashiron (maha melihat) >< ‘Ama (zat yang buta)
 Muttakaliman (maha berfirman) >< Abkama (zat yang bisu)

b. Sifat Jaiz Allah


Sifat Jaiz Allah hanya ada satu yaitu “fi’lu kulli munkinin au
tarkuhu”, artinya Allah itu berwenang untuk menciptakan dan berbuat
sesuatu atau tidak sesuai dengan kehendaknya.

F. Ikhtiar manusia

Usaha menjadi salah satu hal yang harus dilakukan oleh seluruh umat
manusia untuk meraih apa yang diinginkan. Hanya saja, ada juga yang penting
dari sekadar usaha, yaitu berdoa. Doa menjadi salah satu ikhtiar dalam meraih
keinginan. Doa menjadi salah satu bukti tidak kuasanya seorang hamba tanpa
disertai kehendak dari Tuhan. Bahkan, doa bisa menjadi bahan peningkatan
spiritualitas untuk mendekatkan diri pada Allah. 10

Banyak teks-teks Al-Qur’an dan hadist yang memerintahkan umat Islam


untuk berdoa, di antaranya:

‫َوقَا َل َربُّ ُك ُم ا ْدعُونِي َأ ْستَ ِجبْ لَ ُك ْم‬


10
https://islam.nu.or.id/post/read/129893/iman-al-ghazali--berdoa-bukan-berarti-tak-rela-
dengan-takdir

12
Artinya, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Aku perkenankan bagimu’.” (QS. Ghafir: 60)

Dalam sebuah hadist, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

ِ ْ‫ت َواَألر‬
‫ض‬ ِ ‫اَل ُّدعَا ُء ِسالَ ُح ْال ُمْؤ ِم ِن َو ِع َما ُد الدِّي ِن َونُو ُر ال َّس َما َوا‬

Artinya, “Doa adalah senjata orang mukmin, pilar agama Islam, dan
cahaya langit dan bumi.” (HR. Al-Hakim)

Dua dalil naqli di atas menjadi bukti bahwa berdoa merupakan ikhtiar
penting yang harus dilakukan seorang hamba. Bahkan, doa juga merupakan
ibadah bagi umat Islam. Setiap perintah yang Allah perintahkan, maka
mengerjakannya merupakan ibadah. Sedangkan ibadah tidak selalu tentang
shalat, puasa, sedekah, zakat, dan lainnya. Berdoa juga bagian dari ibadah.
Dalil di atas juga menjadi bukti untuk menolak pemahaman-pemahaman
keliru yang menganggap bahwa berdoa akan mengeluarkan seseorang dari rela
terhadap takdir yang Allah tentukan. Tentu tidak demikian, doa sama sekali
tidak menjadi sebuah media untuk menolak takdirnya. Imam al-Ghazali
menanggapi pernyataan-pernyataan demikian, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin
disebutkan:

‫ت َأ ْسبَابِهَا َوال َّس ْع ُي‬


ُ ‫ت َأ ْهلِهَا َو َم ْق‬ ِ ‫ك َك َراهَةُ ْال َم َعا‬
ُ ‫صي َو َم ْق‬ َ ِ‫ َو َك َذل‬.‫ضا‬ َ ‫َواَل ي ُْخ ِر ُج‬
َ ِّ‫صا ِحبَهُ ع َْن َمقَ ِام الر‬
‫فِي ِإ َزالَتِهَا‬

‫ضهُ َأ ْيضًا‬
ُ ِ‫ُوف َوالنَّ ْه ُي َع ِن ْال ُم ْن َك ِر اَل يُنَاق‬
ِ ‫بِاَأْل ْم ِر بِ ْال َم ْعر‬

Artinya, “Doa tidak mengeluarkan orang dari maqam rela terhadap takdir.
Begitu juga membenci maksiat, benci kepada pelakunya, kepada sebabnya,
dan usaha untuk menghilangkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar, semua
itu tidak bertentangan dengan maqam rela terhadap takdir.” 11

Semua yang terjadi di muka bumi ini merupakan kepastian Allah sejak
zaman azali. Mulai dari kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia, menderita, susah,

11
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Bairut, Darul Ma’rifah: 2010), juz IV, hal 351

13
senang, taat, maksiat dan lain sebagainya. Tentu seorang muslim harus rela
dengannya. Jika semuanya merupakan kepastian Allah, membenci atau
menghindar dari semuanya menunjukkan membenci kepastian Allah.
Benarkah demikian? Lantas bagaimana cara menyikapi dua dalil yang sama-
sama menjadi perintah? Meyakini semua kejadian merupakan kepastian
Allah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Demikian pula rela dengan semua
kejadian tersebut. Adapun berdoa merupakan perintah Allah kepada semua
makhluk-Nya. Karenanya, dua hal ini menjadi rancu bagi pemikiran-
pemikiran yang tidak memahami ilmu agama, utamanya ilmu yang membahas
akan takdir dan doa.

Tentu menjadi bumerang bagi orang-orang yang terlalu mengedepankan


semua takdir Allah dengan segala ketentuannya, dan melupakan kehendak
Allah dengan segala otoritas terhadap kepada-Nya. Menurut Imam al-
Ghazali, bisa jadi akan muncul dua sikap berbeda dalam menyikapi satu hal.
Misalnya ketika menemukan pelaku maksiat. Di satu sisi, semua pekerjaan
yang dilakukan olehnya merupakan ketentuan, kehendak, dan ikhtiar Allah,
maka siapa pun harus rela dengan kejadian itu sembari memasrahkan
semuanya pada Allah. Namun di sisi lain, melihat bahwa aktor yang berperan
dalam pekerjaan itu adalah seorang hamba yang dengan melakukan maksiat
itu artinya ia menjadi orang yang dimurkai Allah, maka dari sisi ini siapa pun
harus membenci perbuatan maksiatnya itu disertai dengan upaya untuk
menghilangkannya.

Dari uraian di atas sangat penting kiranya memahami semua takdir Allah
dan segala kepastiannya, serta ikhtiar seorang hamba, baik doa dan usaha
lainnya, dengan segala kemungkinan yang bisa Allah ubah kapan saja sesuai
dengan kehendak-Nya. Memahami perbedaan keduanya akan memberi
pemahaman bahwa kebaikan dan kejelekan sumbernya dari Allah. Hanya saja,
kebaikan merupakan kehendak Allah yang diridhai, sedangkan kejelekan
adalah kehendak Allah yang dimurkai. Begitupun perihal doa. Berdoa bukan
berarti menunjukkan seorang hamba tidak rela dengan takdir Allah. Secara

14
personal, orang harus memasrahkan semuanya kepada Allah dan rela dengan
takdir-Nya. Namun di sisi lain, sebagai hamba juga mempunyai hak untuk
meminta apa yang ia inginkan kepada Tuhan-Nya. 12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Karena kedangkalan dan keterbatasan ilmu pengetahuan kita, maka,
berpegang teguh pada madzhab itu sangat di perlukan terlebih pada
madzhab Aswaja. Karena dalam mencapai sebuah hukum memerlukan
ijtihad dari para mujtahid.

12
https://islam.nu.or.id/post/read/129893/iman-al-ghazali--berdoa-bukan-berarti-tak-rela-
dengan-takdir di akses 20 0ktober 2021

15
2. Berbicara mengenai bid’ah sepertinya tiada habisnya, banyak golongan
yang salah dalam ,menafsiri bid’ah, Dan menganggap semua bid’ah itu
sesat dan masuk neraka namun kenyataannya juga ada bid’ah yang
muncul dan itu ada dasarnya dan tidak bertentangan dengan akidah islam.
3. Tradisi di nusantara seperti yasinan, tahlilan, ziarah makam dst. Tidak
bisa dikatakan itu bid’ah yang sesat karena pada dasarnya mempunyai
dasar yang tidak bertentangan. Lalu siapa ahli bid’ah itu? Dia yang
menyimpang dari akidah dan membuat hukum baru, dialah yang disebut
sebagai ahli bid’ah masa kini.
4. Orang mukmin dapat didefinisikan sebagai orang yang taat perintah
Allah SWT dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang kafir ialah orang
yang ingkar dan tidak mempercayai Allah sebagai tuhan.
5. Tidak bisa kita jika ingin melihat wujud Allah, namun, kita dapat
mengetahuinya dengan mempercayai sifat Allah 20, sifat mustahil 20 dan
1 sifat jaiz.
6. Hidup tidak pernah lepas dari yang namanya takdir, semua sudah di
atur dan di takdirkan kepada kita, namun, kita sebagai manusia wajib
untuk berikhtiar dengan cara berdoa, memohon agar sesuatu yang buruk
pada kita bisa menjadi sesuatu yang baik.
B. Saran

Demikian makalah ini dibuat , semoga dengan adanya makalah ini


memperluas wawasan kita mengenai bid’ah. Diharapkan kritikan dan
masukan yang dapat membangun makalah ini agar lebih baik lagi.

16

Anda mungkin juga menyukai