1. Definisi Kasus
Kusta adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh organisme parasit
intraseluler Obligat M. Leprae. Kuman ini menyerang berbagai bagian tubuh manusia
yakni susunan saraf tepi, lalu menyerang kulit, mukosa, saluran nafas, mata, otot,
tulang, testis dan yang terakhir adalah sistem retikuloendotelial (Dali, 2012). Penyakit
Kusta tergolong pada penyakit kronik. Namun, seiring berjalannya waktu semakin lama
ia berkembang di tubuh manusia, sering kali terjadi kecacatan dan juga komplikasi
sehingga memerlukan penanganan yang cepat. Oleh karena itu diperlukan pengobatan
yang tepat agar tidak memperparah penderita (Nurul dkk, 2018).
Penyakit kusta dikenal memiliki berbagai macam istilah, yakni: Lepra, Hansen,
Hanseniasis, Elephaniasis Graecorum, Satyriasis, Lepra arabum, Leontiasis, Kushta,
Melaats serta Mal de San Lazaro. Diberbagai tempat, kusta memiliki berbagai macam
nama, contohnya Prancis dengan Lepre, Jerman dengan Aussatz, Cina dengan Mafung,
Rusia dengan Prokaza, Arab dengan Judham, Jepang dengan Raibyo dan India dengan
Kushta (Dali, 2012).
Penyakit kusta masih menjadi masalah Kesehatan Masyarakat diberbagai
belahan dunia karena dampak yang ditimbulkan sangatlah lengkap. Masalah tersebut
bukan hanya dari segi medis saja, tetapi juga pada ubtro sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat setempat. Kasus kusta umumya lebih sering terjadi di Negara berkembang
serta sebagian besar orang yang menderita penyakit kusta adalah golongan ekonomi
rendah (Masriadi, 2017).
2. Epidemiologi
Penyakit kusta banyak terdapat di daerah tropis dan ubtropics serta tersebar
diseluruh dunia. Kusta dapat menyerang semua kelompok umur dengan kelompok umur
yang paling beresiko sekitar 40-50 tahun dan menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi
penderitanya dibandingkan dengan perempuan. WHO (World Health Organization)
mencatat bahwa frekuensi penderita kusta di Indonesia menduduki peringkat ketiga
setelah India dan Brazil serta tersebar diseluruh provinsi. Pada tahun 2000, Indonesia
secara nasional berhasil melakukan eliminasi terhadap penyakit kusta, namun
sayangnya pencapaian tersebut hanya berlangsung singkat. Pada tahun 2002 sampai
dengan 2006, terjadi peningkatan kasus baru penderita kusta tepatnya pada tahun 2006
yakni sebanyak 17.921 orang. Provinsi terbanyak dengan kasus penderita kusta baru
pada saat itu adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan
(Masriadi,2017).
B. Gejala Penyakit Kusta
1. Gejala Kusta
Penyakit kusta pada awal terinfeksi tidak tidak mepunyai gejala yang jelas.
Namun seiring dengan berjalanya waktu gejala kusta dapat dirasakan setelah beberapa
tahun berkembang biak dalam tubuh penderita. Berikut ini adalah gejala kusta
Lesi (kelainan kulit) mati rasa
Kelainan pada kulit yang terdapat bercak keputih-putihan atau juga kemerah-
merahan yang mengalami mati rasa hal ini bisa terjadi secara total maupun
sebagian.
Penebalan saraf tepi
Pada penderita kusta akan mengalami penebalan pada saraf tepi dengan
disertai ganguan fungsi saraf yang diakibatkan oleh peredangan kronis.
Ditemukan Bakteri tahan asam (BTA)
Adanya bakteri tahan asam (BTA) pada bagian kerokan pada jaringan kulit
yang menjadi tanda awal dimulainya penyakit kusta.
Sering keluar darah di hidung / mimisan
Bentol Kemerahan
2. Gejala Lanjut
Pada keadaan yang lebih lanjut dan tidak mendapatkan pengobatan yang intensif
penyakit kusta bisa dapat menyebabakan kecatatan
Mata
Tidak bisa tertup bahkan bisa sampai mengalami kebutaan
Tangan
Mengalami mati rasa pada bagian tangan
Lemah
Terasa seperti mati rasa pada telapak kaki
Jari – jari saling melekat atau kiting, menyusut dan putus – putus
Jika penyakit kusta bisa menyerang system saraf manusia, maka akan terjadi
kehilangan rasa seperti rasa sakit bisa terjadi. Hal ini bisa menyebabkan adanya luka
atau cedera yang terdapat pada tangan atau kaki tidak dirasakan lagi oleh penderitanya,
menggakibatkan bisa muncul gejala hilangnya jari tangan atau jari kaki.
Kusta dikelompokan bedasarkan 6 jenis tingkat keparahannya, yaitu:
Intermediate leprosy, ditemui dengan adanya lesi datar yang seperti berwarna
pucat atau lebih cerah dibandingkan dengan warna kulit disekitarnya yang
terkadang bisa juga sembuh dengan sendirinya
Tuberculoid leprosy, ditemui dengan adanya beberapa lesi datar yang terkadang
bisa juga berukuran besar, mati rasa, dan disertai dengan adanya pembesaran
pada sistem syaraf
Borderline tuberculoid leprosy, ditemui dengan adanya beberapa lesi yang
berukuran lebih kecil atau sebaliknya lebih banyak dari tuberculoid leprosy
Mid-borderline leprosy, ditemui dengan banyak lesi kemerahan, yang menyebar
secara acak dan asimetris, mati rasa, serta pembengkakan kelenjar getah bening
Borderline lepromatous leprosy, ditemui dengan adanya lesi yang jumlahnya
cukup banyak bisa berbentuk datar, benjolan, nodul, dan terkadang mati rasa
Lepromatous leprosy, ditemui dengan adanya lesi yang tersebar dengan simetris,
pada umumnya lesi yang mucul mengandung banyak bakteri, dan disertai
dengan rambut rontok, gangguan saraf, serta kelemahan pada anggota gerak
C. Patofisiologi Kusta
1. Pengamatan
E. Upaya Pencegahan dan Pengobatan
2. Pengobatan Kusta
Penyakit kusta dapat di obati menggunakan obat kombinasi MDT ((multi drugs
therapy), yaitu pengobatannya lebih dari satu macam obat antibiotic yang di
rekomendasikan anatara lain seperti: rifampisin, dapson dan klofazimin. obat ini di
berikan sesuai dengan jenis penyakit kusta yang di derita, yaitu: kusta
kering/paucibacillary leprosy (PB) dan kusta basah /multibasiler leprosy (MB).
MDT telah menjadi standart untuk pengobatan kusta sejak tahun 1982. Rejimen
yang di rekomendasikan meliputi kombinasi rifampisin , dapson dan klofazimin.
Rifampisin merupakan agen bakterisida paling efektif terhadap mycrobacterium leprae,
bisa membunuh 99.9% dari organisme dengan dosis tunggal. Sehingga dapat di berikan
dengan dosis yang lebih kecil, pasien yang sudah mendapatkan terapi tidak menular
dalam 1 sampai 2 minggu.
Pasien dengan penyakit paucibacillary umumnya diberikan terapi ganda selama
6 bulan, sedangkan kusta multibasiler umumnya membutuhkan 2 tahun terapi triple,
meskipun saat ini WHO menyampaikan bahwa 1 tahun triple therapy sudah cukup di
sarankan tindak lanjut selama 5 sampai 10 tahun setelah pengobatan selesai. Uji klinis
terbaru juga menilai kemampuan dosis tunggal terapi (dengan rifampisisn, ofloksasin
dan minosiklin) untuk pengobatan tunggal lesi kusta paucibacillary. Untuk reaksi pada
tipe 1 sebaiknya dikelola dengan prednisone dengan 40 hingga 60 mg untuk setiap
harinya di ikuti dengan dosis tapering sekali begitu reaksi meroda sampai beberapa
bulan. Jika terdapat kerusakan saraf di berikan terapi kortikosteroid 3 sampai 6 bulan.
Reaksi tipe II/ (ENI). Paling baik di tangani dengan prednisone atau thalidomide,
masing-masing kelebihan dan kekurangan. Thalidomide dengan dosis 300 sampai
400mg setiap hari untuk mengontrol reaksi ENI. Dalam beberapa awal terapi, di
lanjutkan dosis pemeliharaan 100mg perhari selama diperlukan.
G. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Andareto.Obi. (2015). Penyakit menular di sekitar anda. Jakarta selatan: Pustaka ilmu
Semesta
Chayatin. N. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba
Medika.
Dali M Amirudin. 2012. Penyakit Kusta: Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Brilian
Internasional
Nurul H Afif dkk. 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga
University Pers.
Susmiati. 2021. Sosial Capital sosial Praktis Menurunkan Stigma & Stress Psikologis
Pengobatan Kusta. Siduarjo: Zifatama Jawara.