Anda di halaman 1dari 31

Immune-mediated drug toxicity

Vita Olivia Siregar


Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman
Pendahuluan
• Terdapat beberapa klasifikasi terkait dengan peran metabolisme
dalam toksisitas obat, seperti telah dibahas sebelumnya. Salah
satu klasifikasi untuk memudahkan memahami bahasan materi ini
adalah seperti skema di atas
• Terbagi kedalam Type A (reversible) dan Type B (irreversible)

• Proses yang tidak irreversible sebenarnya dapat dikatakan tidak


menyebabkan toksisitas. Pada pasien ADR type A yang reversibel
tidak sepenuhnya mengalami toksisitas. Namun terkait ini tentu
mungkin terdapat pengecualian2 tertentu.
• Disebutkan bahwa akumulasi dari kerusakan2 yang irreversibel
pada level seluler dapat mengarah pada morbiditas dan
mortalitas pasien
• Type A
Adverse effects yang paling banyak /sering terjadi, ditunjukkan
dengan ukuran anak panah yang lebih besar dari type B. berbanding
lurus dengan jumlah obat atau metabolitnya pada jaringan.
Dapat dikatakan toksik namun efeknya tidak irreversibel.

1. Type A1 (terkait dengan aksi farmakologi)


Tergantung pada konsentrasi obat dan dapat terjadi pada level obat
melebihi batas therapeutic window.
Misal :
Anticonvulsan pada kons. Tinggi menyebabkan sedasi & confusion
Antikoagulan pada kons, tinggi menyebabkan waktu pembekuan lama

Pada penurunan level obat, efek farmakodinamik yang berlebihan


dapat mereda
2. Type A2 (tidak terkait aksi obat)

Dalam proses metabolisme obat, memungkinkan metabolit dapat


mengganggu fungsi seluler dengan tidak terkait efek farmakologi,
namun reversibel dan dapat diprediksi. Ini juga terkait dengan dosis
dan banyak obat diabsorbsi.
• Type B

Pada tipe ini dapat dikatakan berpotensi lebih berbahaya dibanding


type A.
Type B1: reaksi irreversibel terkait dengan dosis obat berlebihan
baik akut maupun kronis. Menyebabkan ikatan yang ireversibel pada
jaringan. Prognosis nya dapat terjadi kematian organ/jaringan
Type B2: reaksi imun. Akan dibahas lebih lanjut dan fokus dalam
materi ini
Type B3: disebabkan metabolit reaktif yang dihasilkan dari proses
metabolisme dan berkait dengan kerusakan DNA sehingga mengarah
pada perkembangan neoplasma
How drugs can cause irreversible effects ?

Obat umumnya berinteraksi secara reversibel dengan reseptor,


untuk kemudian memodulasi suatu fungsi tertentu. Jika obat
berinteraksi secara reversibel, maka tidak terjadi kerusakan pada
jaringan, tidak mengubah struksur maupun fungsinya. Interaksi yang
terjadi biasanya ionik reversibel,

Pada interaksi irreversibel, obat hanya bisa jika berikatan secara


kovalen dengan struktur seluler. Untuk itu obat harus dibuat dalam
bentuk yang tidak stabil, sehingga reaktif secara kimia. Terkadang juga
obat diubah menjadi bentuk/metabolit reaktif dan tidak stabil oleh
enzim tertentu, misalnya enzim pada fase 1. Tentu tidak ada obat yang
pada awal pengembangannya diinginkan seperti ini.
Jika terjadi ikatan kovalen yang disebabkan beberapa hal di atas,
maka nasib sel kemudian tergantung pada :

 laju, jumlah dan reaktivitas dari toxin yang terbentuk


 Kemampuan sel sendiri sejauh mana dapat mempertahankan
diri dari toxin reaktif
 Molekul spesifik yang rusak dari sel
 Kemungkinan perbaikan dan pemulihan
 Kerusakan intra maupun ekstra seluler mampu menarik dari
sistem imun atau tidak
Type B2 reactions: Immunotoxicity
basic
Kerja dari sestem imun secara umum antara lain:

1. Deteksi non-self atau bahan asing

2. Menginisiasi respon tepat untuk menghancurkan non-self tersebut

3. Fungsi regulasi

4. Fungsi memori
• Kebanyakan permasalahan pada sistem imun muncul karena
kegagalan dalam mengenali self dan non-self
• Tergantung pada bobot molekul, < 1000-2000 dalton
seharusnya tidak dianggap self oleh imun. Mikroorganisme
dapat lebih besar mencapai > 20000 dalton
• Sistem imun dapat mengenali molekul kecil sebagai non-self
jika molekul tersebut berikatan dengan protein lain yang lebih
besar (hapten). Jadi awalnya molekul kecil yang tidak
imunogenik, ketika berikatan atau terjadi haptenasi dengan
molekul lebih besar dapat bersifat imunogenik.
• Setelah hapten dikenali oleh sistem imun sebagai non-self,
maka sistem imun dapat menginisiasi dari berbagai bentuk
perlawanan/penghancuran
Skema metabolisme obat menjadi metabolit reaktif hingga menimbulkan
respon imun yang mengarah pada toksisitas
• Di atas adalah skema metabolisme obat menjadi bentuk
metabolit reaktif secara kimia lalu berikatan secara kovalen
pada protein (haptenasi), kemudian dikenali sebagai non-self
oleh sistem imun, menyebabkan toksisitas.
• contoh pada kasus allergic hepatitis terdapat beberapa fase
untuk mencapai toksisitas oleh sistem imun:
1. Aktivasi metabolit dari xenobiotic/obat menjadi metabolit
reaktif untuk dapat membentuk hapten dengan protein
hepatoseluler
2. Presentasi antigen dan pengenalan oleh imun untuk
menghasilkan respon antibodi dan seluler
3. Serangan respon imun pada hapten hepatosit menyebabkan
cedera pada hati
• Hipotesis lain terkait terjadinya reaksi alergi akibat
penggunaan obat adalah keterkaitan interaksi farmakologi.
• Dimana metabolit reaktif dapat menyebabkan kerusakan
seluler dan menginduksi munculnya sinyal yang dianggap
berbahaya oleh imun. Sehingga dikenali oleh APC untuk
selanjutnya menimbulkan respon imun.
Immune reactions

 Reaksi tidak dapat diduga dan tidak terprediksi

 Organ ataupun jaringan yang terkena sering tidak berkaitan

dengan target farmakologi obat

 Efeknya bisa parah, mengancam jiwa, serangan timbulnya

cepat

 Efeknya dapat menyebabkan kerentanan pada pajanan

berulang
Respon imun yang dimediasi oleh obat

 Anaphylaxis
 Anticonvulsant hypersensitivity syndrom
 Haemolytic anaemia
 Aplastic anaemia
 Agranulocytosis
 Site-directed drug-mediated immune responses
 Hepatic immunotoxic reactions
 Skin-directed immunotoxicity-sulphonamides
Anaphylaxis
Berbagai jenis xenobiotic dapat memicu timbulnya respon ini, sebagaimana
contoh obat yakni Penicillins, NSAIDS dan beberapa obat dengan pemberian IV.
Gejala yang timbul:
 Edema laring/ pembengkakan tenggorokan
 Kesulitan bernafas/gejala asma
 Ruam
 Muntah
 Diare
 Pingsan
Progresnya jika memburuk dapat mempengaruhi tekanan darah, denyut nadi dan
dapat menyebabkan kematian
Penyebab:

Paparan antigen memicu timbulnya imunoglobulin E (IgE) oleh


limfosit B melalui serangkaian mekanisme.
IgE kemudian mengikat antigen mengakibatkan rilisnya sitokin dan
mediator inflamasi, akibat aktivasi dari reseptor sel mast dan
basofil.
Paparan antigen kemudian terus menyebabkan keluarnya antibodi
dan menyebabkan kerusakan dan reaksi imun yang menyeluruh.
Anticonvulsant hypersensitivity syndrome

• Terjadinya tidak secepat reaksi anaphylaxis, terjadi dalam


2-12 pekan setelah terapi
• Umumnya pasien mengalami demam berkepanjangan, ruam pada
tubuh, muka, bibir, hingga yang terparah liver failure

• Dapat dilihat pada beberapa obat, fenitoin, fenobarbiton,


karbamazepin, lamotrigine,
• Semua obat yang bertanggungjawab pada sindrom jenis ini,
secara luas terkait dengan CYP. Membentuk metabolit yang
reaktif. Dalam hal ini respon dari sel T sitotoksik yang
berperan dan berikatan dengan APC yang mengekspresikan
MHC I.
Haemolytic anaemia

Kerusakan eritrosit sebelum waktunya dapat disebabkan beberapa


hal, salah satunya dapat disebabkan oleh reaksi imun pada terapi obat.
Beberapa obat yang terkait dengan kerusakan eritrosit ini antara lain
methyldopa, penicillin, cephalosporins, quinidine, NSAIDS.

Mekanismenya terkait pula dengan haptenasi membran sel oleh obat


(metabolit) menyebabkan sel B (dalam hal ini antibodi yang dihasilkan)
mengenali dan mengaktivasi komplemen. Normalnya eritrosit adalah self,
pada 120 hari kehidupan akan dihancurkan oleh limpa. Namun, sebab
haptenasi, maka penghancuran eritrosit sebelum waktunya dan
dipercepat.

Menunjukkan jaundice, urin berwarna gelap, hipoksia, takikardia,


sesak napas.
Aplastic anaemia

• Kondisi dimana sumsum tulang mengalami kerusakan, sehingga tidak mampu


memproduksi sel darah baru, sehingga terjadi pengurangan bertahap terhadap
suplai sel darah.

• Bisa disebabkan beberapa hal, radiasi, infeksi, atau suatu proses yang
dimediasi oleh respon imun. Menyebabakan hemolisis, defisiensi imun, infeksi
jamur pada mulut, dsb

• Beberapa obat penyebab: anticonvulsant, anti-cancer agents, chloramphenicol,


phenothiazines.

• Haptenasi sumsum tulang diduga bertanggungjawab pada kerusakan dan


kegagalan dari sel induk untuk berdiferensiasi menjadi sel darah baru.
Hepatic immunotoxic reactions

• Walaupun hati dapat membentuk banyak tipe metabolit reaktif, namun


hati juga memiliki sistem perlindungan yang komperehensif untuk
melindungi dari kerusakan di seluruh tubuh oleh metabolit reaktif
tersebut.

• Sistem ini berupaya meminimalisir ikatan kovalen hepatic. Namun


dalam level yang tinggi baik met.reaktif maupun ikatannya, dapat
mempengaruhi sistem imun untuk mendeteksi dan menyerang organ.

• Gejala yang muncul beberapa menyerupai yang nampak pada hepatitis,


seperti inflamasi, gangguan fungsi normal hati yang mengarah pada
jaundice dan kadar enzim yang berlebih.
Simpulan

• Bahan terkait obat semestinya berikatan secara kovalen terlebih


dahulu untuk dapat menimbulkan respon imun, yang merupakan
hasil aktivasi sebelumnya melalui proses metabolisme.

• kemungkinan beberapa obat dapat berikatan secara langsung


dengan molekul MHC tanpa aktivasi

• Sensitivitas dari sistem imun pada setiap individu merupakan


kombinasi dari begitu banyak faktor yang menentukan, baik
genetik, diet makanan, maupun kondisi kesehatan.
Penicillin
• Antibiotik betalaktam, dengan mekanisme menghambat bakteri
gram positif dengan mengganggu biosintesis peptidoglikan
dinding sel, tentu selektif

• Reaksi alergi terhadap penisilin merupakan efek yang umum dari


reaksi hipersensitivitas obat, responnya dimediasi oleh IgE.

• Menyebabkan efek ringan seperti ruam kulit, tetapi berpotensi


juga terjadi shock anaphylactic yang dapat menjadi fatal dan
mengancam jiwa.
• Mekanisme reaksi dari penisilin disebabkan oleh reaktifitas obat dengan protein
membentuk hapten sehingga memicu respon imun

• Penicilloyl. Merupakan bentuk hapten, atau antigen yang paling banyak terbentuk.
Reaksi antara protein-lysinyl amine dengan carbonyl carbon pada beta laktam

• Penicillanyl. Reaksi antara protein-lysinyl amine dengan metabolit reaktif


penisilin.

• Penicillenate. Reaksi antara protein-cysteinyl sulfhyhidryl dengan gugus


sulfihidril .

• Penisilin dalam memediasi reaksi hipersensitivitas terkait dengan teori haptenasi,


ketidakstabilan kimia dan reaktivitas dari β – lactam sejumlah penisilin yang
memungkinkan ini terjadi.
Sulfamethoxazole

• Dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Dapat terjadi pada 2-4%


individu normal, namun sebanyak 60% pada pasien AIDS.

• Toksisitas dapat terjadi pada 7-14 hari setelah terapi, gejala yang
timbul demam, sindrom steven-johnson, toksisitas bbrapa organ, tidak
terprediksi, berpotensi fatal.
• Sulfametoxazole mengalami metabolisme seperti gambar di atas.

• Bioaktivasi diperantarai oleh P450, menjadi nitroso-sulfamethoxazole,


kemudian diikuti reaksi selanjutnya dengan glutathione (produk akhir
berupa produk detoksifikasi) dan pembentukan hapten protein (memicu
timbulnya respon imun.

• Yang berperan dalam respon imun yang diakibatkan sulfametoxazole


ditunjukkan oleh keterkaitan aktivasi sel T .
Referensi

• Michael D. Coleman_Human Drug Metabolism an Introduction_Aston


University, Birmingham.

• Ala F. Nassar, Paul F. Hollenberg & JoAnn Scatina_Drug Metabolism


Handbook Concepts and Applications.

Anda mungkin juga menyukai