Sekapur Sirih
Dalam sejarah kehidupan manusia, Perbedaan merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan, mulai dari
perbedaan warna kulit, ciri fisik, watak, sampai pada cara dalam merespon, memahami dan menginterpretasi realitas sosial.
Dari perbedaan inilah yang nantinya akan memproduksi berbagai macam wacana yang baru, sehingga bisa dikonsumsi oleh
semua manusia.
Dalam pepatah dikatakan bahwa tiap-tiap individu terdapat kepala, dalam setiap kepala terdapat memory (otak) yang
mampu menampung ratusan ribu juta pengalaman dan informasi. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan informasi ini
mengalami proses dialektika yang pada akhirnya membentuk sebuah watak dan karakter dalam pola pikir.
Merupakan hal yang wajar jika satu problematika bisa menimbulkan bermacam-macam interpretasi sosial. hal ini
disebabkan karena paradigma yang digunakan oleh masing-masing individu itu berbeda. Tafsir sosial ini kemudian
menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
A. Paradigma
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya, the structur of
scientific revolution, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (the sociologi of sociology; 1970) Lodhal dan Cardon
(1972), Effrat (1972) dan Philips (1973).
Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan
menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman
diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
a. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara
umum.
c. Paradigma Konstruk sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma
pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Ada juga beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir diantaranya Robert Friederichs dan
Masterman yaitu paradigma adalah “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a
fundamental image a dicipline has of its subject matter). Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang
harus dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-
persoalan tersebut.
Jadi secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the world” semacam kaca mata untuk melihat,
memaknai dan menafsirkan suatu realitas sosial.
KESIMPULAN
Paradigma Kritis Transformatif PMII merupakan pandangan fundamentalis tentang apa yang menjadi pokok persoalan
dalam pergerakan, format pengkaderan yang dikemas dalam rumusan materi PKT untuk membangun kesadaran kritis
individualis menuju kesadaran kritis social dan menciptakan ruang kritis pada pembacaan struktur dan system ketidakadilan
yang mempreser tranformasi kontruksi social menuju tatanan keadilan. Dalam PKT ini sebagai kader pergerakan harus
mampu mengindentifikasi dan menganalisa secara bebas dan kritis dalam transformasi social, tanpa mengesampingkan
platform profan”Religius Nasionalis” dengan dalih untuk mensukseskan cita-cita yang mulia dan utama dalam bingkai
“Memanusiakan Kembali Manusia Yang Mengalami Dehumanisasi Karena Sistem Dan Struktur Yang Tidak Adil”.