Oleh :
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2022
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah negara yang memiliki ragam kemajemukan, Indonesia memiliki ruang yang
cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaan keyakinan dari para
individu penghuni negara. Perbedaan keyakinan tersebut, pada kenyataanya memiliki
pemaknaan yang lebih mendalam dari sekedar perbedaan sebagai ‘akibat pilihan individu’,
namun merupakan perbedaan yang telah diwariskan secara historis dan mengakar dalam
secara kultural.
Dalam konteks kehidupan sosial, perbedaan pandangan sebagai buah karya pewarisan secara
historis, telah melahirkan adanya pengelompokkan terhadap apa yang dinamakan mayoritas
dan minoritas. Pengelompokan tersebut, hendaknya dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang
diakibatkan adanya perbedaan keyakinan, yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan
bernegara.
Fenomena kekerasan dan intoleransi antar umat beragama masih terus berlangsung sampai
saat ini dan terjadi di sejumlah tempat. Di tengah-tengah fakta intoleransi yang kian merebak,
dan aktivisme kekerasan atas nama agama dan moralitas yang berlangsung dalam eskalasi
yang tinggal di negeri ini, banyak orang-orang yang bertanya-tanya “jika agama tak ramah,
melegitimasi intoleransi, kezaliman dan penindasan atas manusia., apakah ia masih di
butuhkan?” ini adalah suatu pertanyaan yang tidak terelakan. Indonesia adalah bangsa yang
memiliki keanekaragaman agama, ras, etnis, dan bahasa. Secara ilmiah, hal tersebut tidak
untuk dibeda-bedakan antara satu dan yang lainnya, justru perbedaan tersebut di jadikan
perekat dalam keragaman.1 Pada hakikatnya pluralisme dalam pandangan Islam merupakan
sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain (pluralitas) yang mutlak untuk di
jalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (Pluralisme).
Artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian
sembah. Islam mengakui pluralisme agama dengan mengakui perbedaan dan identitas agama
masing-masing. Namun, paham pluralisme agama di orentasikan untuk menghilangkan
konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.2
Beberapa tahun lalu di Indonesia banyak konflik horisontal pemicunya disebabkan kasus
SARA. Peristiwa Ambon, Poso, Sampit, Aceh sampai kasus dukun santet di Jawa Timur,
semua diisukan bersumber dari SARA, lebih khusus masalah agama. Agama adalah obyek
1
Hassan Basri Marwah, Islam dan Barat Membangun Teologi Dialog, (Jakarta: LSIP, 2004), cet. Ke-2, h.
41.
2
Wasid, Menafsirkan Tradisi dan Modernitas Ide-ide Pembaharuan Islam, (Surabaya: Pustaka Idea,
2011), cet. Ke-1, h. 281.
yang paling gampang untuk dijadikan pemicu (tigger off). Bentrok antar pendukung partai
berbasis agama yang pernah terjadi dibeberapa daerah, agama pun dianggap sebagai biang
keroknya. Perkara kriminalitas yang dengan jelas disebabkan murni politik, namun agama
dijadikan sasaran pengkambing hitaman. Disisi lain, usaha pihak-pihak tertentu dalam
memunculkan bentrok antar masyarakat dengan isu SARA sering dijumpai dalam banyak
kasus di Tanah Air. Baik dari luar, maupun dari dalam negeri yang mendapat dukungan luar.
Mereka berusaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan RI dengan menggoyah
stabilitas nasional, dengan alasan apapun. Gerakan reformasi pun dijadikan alasan dan sarana
untuk itu. Perbedaan agama adalah obyek menarik buat kalangan itu untuk membikin
keonaran di Nusantara.
Akibat adanya perseteruan ataupun kerusuhan disuatu daerah pada akhirnya merambat ke
daerah yang lain, yang masih satu wilayah maupun luar wilayah yang berbeda. Memanaskan
kondisi disuatu daerah lain dikarenakan adanya emosional yang begitu kuat. Ikatan sebagai
saudara seiman. sentiment keagamaan dan fanatisme membuat paling tidak banyak memberi
andil atas terciptanya konflik. Menurut Hari, bahwa konflik yang mengatasnamakan agama
pada umumnya disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang berkolerasi logis
dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antar umat beragama.
METODE
Dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, dimana
penelitian ini bertujuan menghasilkan hipotesis dan penelitian lapangan yang
mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya.
Penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka,
atau metode statistik.3 Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya
adalah mental untuk analisis kualitatif.
Namun demikian, dengan dengan menjamin ruang bebas bagi setiap warga negara di
luar penyelenggara negara untuk tidak bertuhan dan/atau beragama, bukan berarti bahwa
negara mengganggap hal itu sebagai seuatu yang ideal dan diidealkan. Yang ideal tetaplah
orang yang percaya kepada Tuhan YME dan beragama. Karena itu, para pejabat
penyelenggara diharuskan bertuhan dan beragama, karena harus menjadi contoh bagi seluruh
rakyat Indonesia bahwa yang ideal itu menurut Pancasila dan UUD 1945 adalah ber-Tuhan
YME dan beragama. Karena itu, tugas dan peran pemerintahan serta para pemegang jabatan
sebagai penyelenggara negara adalah untuk:
Di samping itu, dalam hukum hak asasi manusia, pemangku kewajiban di bidang hak
asasi manusia pada pokoknya sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah.
Semua penjelasan dalam komentar umum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menyatakan bahwa upaya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia
sepenuhnya adalah kewajiban negara. Dalam kaitan dengan hal itu, negara dinilai memiliki 3
kewajiban, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to
fullfil).
Dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 juga ditegaskan, yaitu: “perlindungan
(protection), pemajuan (promotion), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment)
hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Ketiga kata tersebut
kembali ditegaskan dalam Pasal 71 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yaitu: “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini,
peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Indonesia juga telah meratifikasi 2 kovenan
tentang hak asasi manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya (EKOSOB) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pada
tanggal 30 November 2005. Kedua kovenan ini telah disahkan masing-masing dengan UU
No.11/2005, dan UU No.12/2005. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak-hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan, harus diingat bahwa kita telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Sehubungan dengan itu, ada 2 jenis
pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara, dalam hal ini, yaitu (i) negara harus
menghormati hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, karenanya tidak boleh
melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur-tangannya yang
dapat disebut sebagai violation by action atau disebut juga violation by commission; (ii)
negara haruslah bertindak aktif meskipun secara terbatas untuk melindungi hak-hak tersebut,
jika tidak, berarti negara lalai, lupa, atau absen. Hal inilah yang disebut sebagai pelanggaran
melalui pembiaran (violation by omission). Di samping itu, tentu ada pula langkah yang
mestinya dilakukan oleh setiap pemerintahan yang bertanggungjawab, yaitu membersihkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dari norma-norma yang bertentangan dengan
hak asasi manusia, termasuk dalam urusan kebebasan beragama. Karena itu, diperlukan
‘executive review’ terhadap semua produk hukum yang berlaku untuk memastikan kebebasan
beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dapat diwujudkan. Membiarkan kebijakan hukum
nasional tetap memelihara pasal-pasal yang bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusi
itu, termasuk yang bertentangan dengan kovenan Internasional yang sudah diratifikasi
tersebut di atas, adalah bentuk pelanggaran juga oleh pemerintah/negara sesuai dengan
tingkat kewenangan dan tanggungajwabnya masing-masing yang tidak boleh dibiarkan di
masa mendatang
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 1995, hlm. 65.