Anda di halaman 1dari 19

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Barat banyak yang tertarik datang ke benua Afrika dengan beragam
tujuan, salah satunya yaitu tujuan ekonomi. salah satu daerah yang didatangi ialah
daerah Maroko yang mana kondisi geografisnya sangat strategis dan kaya akan
sumber daya alam. Salah satu negara Barat yang datang dan berhasil menguasai
Maroko adalah negara Perancis yang pada saat itu juga membutuhkan daerah
imperialisme.
Penguasaan Perancis atas Maroko ini tidak lepas dari krisis internasional
yang terjadi di Maroko, yang mana Maroko dijadikan rebutan oleh bangsa-bangsa
Eropa, baik dari Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan juga Perancis. yang nantinya
banyak terjadi perundingan-perundingan atau perjanjian yang dilakukan Perancis
yang membuatnya berhasil menguasai wilayah Maroko.
Konsep penguasaan ini, dipengaruhi oleh keinginan Prancis untuk
mengimbangi Jerman. Politik kolonial Prancis didaerah-daerah koloni dijalankan
bersadarkan suatu dokrin ”asimilasi”, hal ini dilakukan untuk memPranciskan
Afrika terutama daerah koloni prancis.
Tujuan polotik ini dilaksakan untuk mengintegrasi daerah milik daerah di
seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi penduduk koloni dalam rangkaian
mengintegrasi penduduk diluar Prancis dalam segala aspek kehidupan.
Dalam penerapan politik dan demi tecapai cita-cita Prancis di Afrika, maka
penduduk Afrika diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan walaupun
dibatasi.
Pada Perang Dunia II Prancis diduduki oleh Jerman maka bersedia bekerja
sama dengan Jerman dan French Commitee of Nation Liberation. Seorang
pemimpin Afrika Tengah yang memihak perintah De Gaulle, meminta untuk
mengadakan konferensi, keputusan yang diambil dalam konferensi itu yaitu

1
mencakup tiga bidang organisasi politik, masalah-masalah sosial, dan masalah
ekonomi. Dalam pelaksanaan politik kolonial Prancis ini dilaksanakan di Afrika
Hitam, dan di Afrika Arab.
Pada makalah ini akan dibahas secara mendalam mengenai penguasaan dari
Perancis di Afrika Arab khususnya di Maroko, dimulai dari latar belakang
masuknya Perancis, proses imperialismenya, reaksi rakyat Maroko, sampai pada
dampak penguasaan Perancis di Maroko.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1) Bagaimana Latar Belakang Masuknya Perancis Ke Maroko?
2) Bagaimana Proses Imperialism Perancis Di Maroko?
3) Bagaimana Perlawanan Yang Dilakukan Rakyat Maroko Terhadap perancis?
4) Bagaimana Dampak Dari Penguasaan Perancis Atas Maroko?

1.3 Tujuan Penelitian


Dari rumusan masalah yang dipaparkan di atas, tujuan dari penyususnan
makalah ini ialah sebagai berikut:
1) Untuk Mengetahui Latar Belakang Masuknya Perancis Ke Maroko;
2) Untuk Mengetahui Proses Imperialism Perancis Di Maroko;
3) Untuk Mengetahui Perlawanan Yang Dilakukan Rakyat Maroko Terhadap
perancis;
4) Untuk Mengetahui Dampak Dari Penguasaan Perancis Atas Maroko.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Masuknya Perancis Ke Maroko


Maroko terletak di Afrika bagian utara sebelah barat, disebelah selatan
Jabaltarik, letaknya sangat strategis di selat Gibraltar dan berhadapan langsung
dengan Spanyol bagian selatan. Selat ini satu-satunya pintu keluar-masuk dari dan
ke Laut Tengah. Tanahnya subur, kaya akan baja dan besi, iklimnya
menyenangkan, letaknya strategis dan memiliki bandar-bandar yang baik. Daerah
luas itu diperintah oleh seorang Sultan dengan sebutan Sherif. Dari abad ke 17
sampai awal abad 19 Maroko mampu bertahan sebagai negara berdaulat.
Letak Maroko yang sangat strategis ini pada akhirnya justru telah menjadi
incaran bagi Negara-negara Eropa yang tengah gencar-gencarnya meluaskan
kekuasaan khususnya di wilayah Afrika, apalagi Maroko begitu dekat dengan
Eropa. Spanyol sebagai negara Eropa yang terdekat wilayahnya dengan Maroko
mencoba mengirimkan pasukannya ke Maroko tetapi dapat di halau oleh Inggris.
Pada prinsipnya Inggris tidak menginginkan adanya kekuasaan permanen
siapapun di Maroko, karena bagaimanapun penguasaan Maroko oleh satu
kekuatan Barat tertentu akan dapat memicu bagi terjadinya krisis Internasional.
Sebaliknya Perancis justru sangat berkeinginan untuk menguasai Maroko,
meskipun Jerman sejak 1873 sudah menempatkan perwakilannya di Maroko.
Itulah sebabnya ketika Perancis mendirikan pangkalan militer di Fez maka
Negara-negara Eropa ramai-ramai melakukan protes. Maka untuk menghindarkan
konflik yang lebih besar, diadakanlah suatu konvensi yang membahas masalah
Maroko pada tahun 1880, yang dihadiri oleh 15 negara Eropa dan Amerika
Serikat di Madrid. Hasilnya “Status quo Sultan Maroko harus dipertahankan dan
Maroko tetap menjalankan politik pintu terbuka”. Sejak itu maka banyak Negara
yang berlomba menanamkan modal di Maroko.
Persaingan diantara mereka makin hebat, sehingga Maroko merupakan
tempat yang sangat berbahaya dalam gelanggang politik internasional. Persaingan
Prancis dan Jerman Maroko ini akan dapat mengancam perdamaian dunia,

3
khususnya bagi Eropa. Sesudah mengalami kekalahan dalam menghadapi masalah
Fashoda, Menteri Luar Negeri Prancis Delcase ( 1898-1905) berusaha menaikan
prestise negerinya dengan menumpahkan perhatiannya ke Maroko. Prancis
menggunakan kesempatan yang baik itu, sewaktu Inggris sedang sibuk dengan
urusan Afrika Selatan sedang Italia dan Prancis telah ada pendekatan-pendekatan.
Maka selain memperkuat tentaranya, Prancis juga mengadakan perjanjian-
perjanjian. Pada 1900 tercapailah perjanjian Prancis dengan Italia yang berisi
antara lain Italia tidak mempunyai kepentingan di Maroko. Sebaliknya tidak
punya kepentingan di Tripoli dan Cyrenaica. pendekatan Italia pada prancis ini
disebabkan karena kegagalan usaha Italia untuk menguasai Afrika Timur Laut.
Pada 1902 tercapailah lagi perjanjian antara Prancis dengan Italia. Isinya antara
lain :
1) Prancis bebas bertindak di Maroko, sebaliknya Italia bebas bertindak di
Tripoli;
2) Jika salah satu dari dua negara tersebut diserang musuh, yang lain akan
tatap bersikap netral.

Sesudah mengadakan perjanjian-perjanjian tersebut, Delcase


mengumumkan bahwa telah tiba saatnya bagi Prancis untuk menjaga
kepentingannya di Maroko. Prancis mulai melakukan “peacafulpenetration”
dengan cara mendapatkan konsesi-konsesi dari Sultan Abdul Azis untuk kaum
kapitalis Prancis. Tindakan semacam ini disebut pula “Tunification” terhadap
Maroko. Sultan Abdul Azis yang naik tahta pada 1900 pada usia 16 tahun,
menghambur-hamburkan uang sehingga uang khas negeri menjadi kosong. Untuk
mengisi kas tersebut, ia memasukkan sistem pemungutan pajak yang berat dan
mencari pinjaman pada bank-bank Prancis. Ketika ia tidak dapat membayar
kembali, ia terpaksa harus menerima “bantuan” orang-orang Eropa untuk
menjalankan sistem pengumpulan pajak secara modern dan juga aparatur polisi
secara modern.
Delcase mengirimkan M.Saint Rene Tailliandier ke Fez dengan membawa
program “pembaharuan” yang pelaksanaanya harus berada dibawah pengawasan

4
Prancis. Polisi militer dibentuk dibawah opsir-opsir Prancis. Bank negara
didirikan untuk memperbaiki keadaan keuangan dan berbagai bangunan didirika
dengan menggunakan modal Prancis.

2.2 Proses Imperialism Perancis Di Maroko


Daerah di pantai Laut Tengah ini (Maroko, Tunisia, dan Aljazair)
mempunyai persoalan “plural societies”. Tiga daerah ini didiami oleh kolonis-
kolonis kulit putih dan penduduk bumiputera. Penduduk Aljazair jumlahnya
hampir 10 juta jiwa, diantaranya satu juta jiwa adalah orang-orang Eropa sedang 9
juta lainnya orang-orang Arab Islam: Maroko dengan penduduk lebih dari 10 juta
jiwa, diantaranya 200.000 adalah orang Perancis atau berasal dari Eropa; Tunisia
dengan penduduk kira-kira 4 juta jiwa, diantaranya 180.000 adalah kolonis-
kolonis kulit Putih.
Imperium Perancis di Afrika Barat Laut ini yang oleh orang Arab disebut
daerah Maghreb (barat) semula didiami oleh orang-orang Ber-ber, kemudian
datang orang-orang Arab dan pada waktu sekarang sebagian besar penduduknya
terdiri atas campuran dari dua bangsa tersebut. Pada umumnya penduduk yang
memiliki sifat-sifat Arab dan beragama Islam lebih dominan daripada orang-orang
Ber-ber yang merupakan minoritas terutama di Maroko. Baik bahasa Arab dan
maupun Ber-ber masih tetap dipakai didaera-daerah tersebut, tetapi bahasa Arab
menduduki tempat yang terkemuka. Bahasa Arab dan agama Islam lebih meresap
dikalangan bangsa-bangsa didaerah Afrika Utara daripada bahasa dan kebudayaan
para penguasa yang lebih dulu datang, karena orang–orang Arab menanamkan
pengaruhnya dengan membentuk suatu kasta penguasa yang berasal dari
keturunan-keturunan orang Arab dan wanita bumiputera.
Pendudukkan Perancis terhadap tiga wilayah tersebut tidak dapat
menghancurkan kesadaran nasional mereka. Perang Dunia II membawa effek
yang menimbulkan bentrokan yang lebih mendalam antara penduduk bumiputera
dan pemerintah Perancis. Kekalahan Perancis dalam menghadapi Nazi Jerman
mengakibatkan Perancis kehilangan prestise dikoloni-koloninya di Afrika Barat

5
Laut. Penduduk Magreb mengadakan kontak dengan tentara Inggris dan Jerman.
Isolasi terhadap daerah-daerah tersebut yang dilakukan oleh Perancis mulai
dihancurkan.
Menjelang berakhirnya perang mereka mengetahui bahwa mandat Perancis
di Syria dan Libanon telah diakhiri dan bahwa Liga Arab mulai dibentuk.
Factor-faktor tersebut diatas mengakibatkan gerakan nasionalisme makin
gigih menuntut pemerintahan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip Atlantic
Charter : Mereka ingin bebas dari kolonialisme Perancis dan terhindar dari
tekanan-tekanan kolonis kaum kulit Putih yang berjumlah kurang lebih satu
setengah juta jiwa, menguasai tanah-tanah yang subur dan memonopoli jabatan-
jabatan sosial. Kaum kolonis tersebut telah menyisihkan penduduk bumiputera
yang beragama Islam dari jabatan-jabatan tingkat menengah dan atas dan mereka
selalu menentang setiap usaha pemerintah dalam membawakan pembaharuan
yang bersifat demokratis.
Akibat tekanan-tekanan tersebut terdapatlah perbedaan keadaan ekonomi-
sosial yang menyolok. Dua lapisan masyarakat itu adalah:
1) orang asing beragama Nasrani, memiliki hak-hak istimewa dan hidupnya
makmur;
2) orang-orang yang ditaklukkan, beragama Islam dan hidupnya miskin.
Kecurigaan terhadap orang asing membuat situasi makin meruncing.

Pada Mei 1945 dalam kesempatan merayakan berakhirnya perang, didekat


kota Constantine di Aljazair timbul kegaduhan karena peristiwa pengibaran
bendera kebangsaan. Peristiwa ini diikuti dengan pembunuhan yang membawa
korban sebanyak lebih kurang 1500 orang Perancis dan antara 20.000 sampai
30.000 orang Aljazair.
Sejak tahun 1830 Aljazair telah diduduki oleh Perancis; seorang gubernur
jenderal ditugaskan untuk mengatur pemerintahan didaerah-daerah yang hanya
meliputi daerah sepanjang pantai saja. Gubernur jenderal ini langsung
menjalankan perintah-perintah dari menteri peperangan di Paris. Ketika dinasti
Orleans jatuh dan digantikan pemerintah Republik II pada 1848, pemerintah

6
militer di Aljazair diganti dengan pemerintahan yang sesuai dengan keadaan
metropol, misalnya didirikan departemen-departemen dan komune-komune.
Kemudian pada zaman kekaisaran II, jabatan gubernur jenderal diganti oleh
menteri dan prefect-prefect. Akan tetapi pada 1860 Napoleon III mengembalikan
jabatan gubernur jenderal dan menambahkan kekuasaan militer.
Ketika Perancis menghadapi krisis 1870 disebabkan karena daerah utara
diduduki oleh tentara Prusia, pemerintah mengumumkan undang-undang Cremiex
yang memberikan kewarganegaraan Perancis kepada penduduk Yahudi di
Aljazair. Hak tersebut secara teoritis diperluas kepada orang-orang Islam, tetapi
hanya sedikit dari mereka yang menggunakannya karena disertai syarat bahwa
mereka harus melepaskan kesetiaannya terhadap undang-undang Islam. Undang-
undang Cremiex tersebut berusaha mengikat minoritas Yahudi pada pihak
kolonial Perancis.
Pada masa pemerintahan Republik Perancis III, kekuasaan gubernur jenderal
tidak pasti. Kadang-kadang dibatasi sekali oleh menteri di Perancis, tetapi sesudah
menginjak abad ke 20, kekuasaannya sangat besar dan ia bertanggung jawab
kepada undang-undang.
Semua orang Islam dianggap sebagai “orang taklukkan Perancis” dan hanya
orang Yahudi saja yang memperoleh kewarganegaraaan. Hal ini terbukti ketika
pada 1903, walaupun orang-orang Aljazair telah mengganti agamanya menjadi
agama Katolik Roma, namun mereka tidak diakui sebagai orang Perancis.
Sesudah Perang Dunia I berakhir, pada 1919 banyak orang Perancis
memandang Aljazair sebagai bagian integrasi dari Perancis. Semua penduduk
kulit Putih entah dari mana asalnya yang berdiam di Aljazair memperoleh
kewarganegaraan Perancis. Karena telah dianggap berbuat jasa sewaktu Perang
Dunia I, Clemenceau akan memberikan hak tersebut diatas kepada golongan elite
Islam. Akan tetapi usaha tersebut ditentang oleh kaum kolonis. Demikian pula
usaha pembaharuan memperluas ikut sertanya orang-orang Islam dalam
pemerintahan lokal.
Pada tahun 1937 dikeluarkan undang-undang Blum-Violette yang berisi
bahwa untuk taraf permulaan 21.000 golongan elit Islam akan diberi

7
kewarganegaraan Perancis secara penuh. Undang-undang ini juga menimbulkan
protes dikalangan kaum kolonis Perancis. Tetapi ketika orang-orang Aljazair
menolak untuk masuk menjadi bangsa Perancis, maka dapat dikatakan bahwa
politik asimilasi yang diterapkan di Aljazair itu hanyalah permainan belaka.
Penolakan tersebut membuat kedudukan kaum kolonis makin teruntungkan,
walaupun sejak 1919, mereka telah puas dengan memperoleh konsensi yang
besar.
Di Aljazair terdapat tiga macam tipe daerah : (1) “Fullpower” Communes,
daerah yang mengikuti sistem di Perancis, diperintah oleh walikota yang dipilih
oleh dewan kota dan mengatur pemerintahan untuk penduduk Eropa. (2) “Mixed”
Communes, diperintah oleh orang yang ditunjuk oleh gubernur jenderal dan
dibantu oleh sebuah dewan yang beranggotakan orang-orang Eropa dan Islam. (3)
“Native” Communes, pemimpinnya seorang Islam, dibantu oleh sebuah dewan
yang beranggota bangsawan dan memerintah daerah Islam (Donar).
Pada 1947 di Aljazair dibentuk dewan lokal yang disebut Assembly
Algerienne, terdiri atas dua bagian: (1) bagian Islam, semua anggotanya dipilih
oleh 1.300.000 pemilih dan (2) gabungan Islam-orang Eropa dipilih oleh pemilih
Eropa 370.000 dan 60.000 orang Islam yang telah diasimilasi. Adapun tugas
dewan tersebut mengatur masalah-masalah yang bersifat lokal, termasuk anggaran
belanja yang ada pada umumnya hanya menguntungkan para kolonis Eropa.
Kolonis-kolonis ini menguasai dua pertiga tanah Aljazair dan dipergunakan untuk
perusahaan perkebunan anggur.
Perbaikan dalam bidang pendidikan dilakukan dengan memperluas sekolah-
sekolah untuk anak-anak Eropa dan bumiputera. Tetapi sebelum 1939 orang-
orang Islam sangat sedikit yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Perancis.
Sampai pada 1954 orang-orang Islam pada umumnya lebih tertarik pada sekolah-
sekolah Islam yang mengutamakan pelajaran tentang kebudayaan Arab daripada
sekolah Eropa. Pemimpin-pemimpin terkemuka seperti Ferhat Abbas, Messali
Hadji, menyampaikan tuntutan-tuntutan, sedangkan Ben Bella dan Belkasim Krim
menyusun gerakan rahasia, mengumpulkan dana-dana dan senjata untuk
keperluan pemberontakan yang mereka siapkan.

8
Sesudah Aljazair dua daerah Perancis di Afrika Barat-Laut adalah Maroko
dan Tunisia. Kedua daerah tersebut berstatus protektorat, tidak seperti Aljazair
yang merupakan propinsi metropolitan Perancis. Letak Maroko di pantai Laut
Tengah dan Samudra Atlantik, dipintu masuk Laut Tengah membuat negeri
tersebut mempenuyai nilai strategis. Tetapi pegunungan Atlas, mengakibatkan
Maroko terisolasi dari bagian-bagian lain di kontinen. Oleh sebab itu, berbeda
dengan daerah-daerah lain di Afrika Utara, Maroko tidak pernah dikuasai Turki.
Dilain pihak pengaruh kebudayaan Eropa yang diterkuat terdapat di daerah
Spanyol. Kekuasaan tersebut kira-kira telah ditanami sejak 500 tahun lamanya.
Orang-orang Mor selama abad 8-15 pernah menduduki Spanyol.
Sejak 1912, sesudah diadakan perjanjian Fez, yang ditanda-tangani, oleh
Sultan Maroko dan pemerintah Perancis. Maroko menjadi daerah protektorat
Perancis, Sultan Maroko Maulay Abdul al-Hafid, masih tetap menjadi kepala
negara, walaupun hanya sebagai lambang. Pemerintah dipegang olah residen
jenderal Perancis dan bertindak atas nama Perancis.
Residen jenderal pertama Hubert Lyautey bertugas melakukan pasifikasi dan
melaksanakan politik asimilasi. Dalam menjalankan tugas, Lyautey sangat
berhati-hati dan sangat banyak mengetahui kehidupan koloni, mengenal orang-
orang Maroko dari dekat dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang agama
Islam.
Politik Lyautey terhadap tanah, mula-mula agak berbeda dengan apa yang
dilakukan di Aljazair dan Tunisia. Tanah-tanah yang subur banyak dikerjakan
oleh penduduk bumiputera dan menjadi milik mereka. Hal ini disebabkan karena
Lyautey khawatir apabila tanah-tanah dikuasai oleh para “colon” penduduk yang
terkenal suka berperang ini akan melakukan pemberontakan. Baru pada 1916
politik Lyautey terhadap tanah diubah, sedikit demi sedikit tanah Maroko jatuh ke
tangan kolonis Putih.
Dalam bidang pemerintahan, walaupun dalam kenyataannya Sultan
mempunyai kekuasaan, lembaga-lambaga bumiputera dibiarkan terus berlangsung
dan disampingnya dimasukkan lembaga-lembaga pemerintahan yang berasal dari
Perancis. Sekolah-sekolah dibuka baik untuk anak-anak Eropa maupun Islam,

9
sedang sekolah untuk anak-anak suku Ber-ber disendirikan. Akan tetapi sedikit
sekali anak-anak Islam yang tertarik dengan pendidikan Barat tersebut.
Selain tanahnya yang subur, sumber kekayaan alamnya sangat menarik
modal asing untuk masuk ke Maroko. Hasil pertambangan yang menduduki
tempat tertinggi adalah phosphat, kemudian menyusul secara berturut-turut
batubara, besi, mangan, timah, seng, dan kobal.
Setahun sebelum residen jenderal tersebut meninggalkan posnya di Maroko,
Abdul Karim pemimpin pemberontakan Riff di Maroko Spanyol. Ia terkenal
sangat berani dan mengancam akan memperluas operasinya ke daerah Maroko
Perancis (1924). Untuk menghadapi bahaya tersebut Marshall Petain dikirim ke
Maroko. Tentara Perancis dan Spanyol berhasil mematahkan perlawanan kaum
pemberontak (1925). Beberapa bulan kemudian Leautey meninggalkan posnya di
Maroko.
Pengganti-penggantinya tidak pernah meneruskan politik yang telah dirintis
oleh Leautey. Residen jenderal Theodore Steeg tidak pernah mengenal penduduk
Maroko dari dekat. Tindakan-tindakan yang diambilnya menimbulkan
ketegangan-ketegangan di Maroko, berarti cita-cita Leautey untuk melakukan
politik asimilasi di Maroko secara berangsur-angsur tidak mungkin dapat tercapai.
Golongan elit yang berpendidikan Barat tampil ke depan sebagai motor bagi
gerakan kebangsaan di negerinya. Dikota Fes muncul organisasi yang berdasarkan
agama Islam, dipimpin oleh Allal al Fassi. Disamping itu di Rabat juga berdiri
organisasi yang dipengaruhi oleh Balafrei, seorang cendikiawan keluaran
universitas di Fuad Kairo dan fakutas sastra dan hukum di Paris. Pada 1927 kedua
organisasi tersebut bersatu merupakan Liga Maroko, yang menuntut
pembaharuan-penbaharuan dan kemajuan-kemajuan bagi Maroko.
Untuk memperluas cita-cita perjuangan tersebut dikalangan rakyat banyak,
maka diterbitkan surat kabar “Magreb” (1932), dipimpin oleh tokoh-tokoh muda
seperti : Al-Gazzani, Belafrej, Lyaziddi, dan Naciri. Di Fez diterbitkan berbahasa
Perancis “L’Action du Peuple” dipimpin oleh Al-Quazzani.
Pada 1934, tokoh-tokoh Nasionalis Maroko mengeluarkan pernyatan yang
terkenal sebagai “Rencana Perubahan di Maroko” yang dalam garis besarnya

10
menuntut pengluasan hak untuk rakyat Maroko. Pada 1936, kaum Nasionalis
mengajukan permohonan agar diadakan kesatuan dalam pemberian kesempatan
menuntut ilmu, berarti sekolah untuk anak-anak suku Berber yang semula
disendirikan, supaya dihapuskan. Disamping itu mereka juga menuntut supaya
pemerintah memberi kesempatan bagi orang-orang Maroko untuk menduduki
jabatan dalam pemerintahan menuntut perlindungan bagi petani–petani bumi putra
terhadap penetrasi kaum “Colon”, menuntut pemberian perlindungan dari isapan
lintah–lintah darat.
Periode 1936 – 1943 dalam sejarah pergerakan Maroko diisi dengan
berbagai pertentangan diantara pemimpin–pemimpinnya. Tiada seorangpun
memperoleh dukungan kuat dari masyarakat selain Sultan Muhammad V.
Sementara itu pemimpin–pemimpin nasionalis di Maroko Spanyol seperti
Abdulhaleq Torres dan Naciri menggunakan kesempatan sebaik–baiknya dari
perang saudara di Spanyol. Mereka menawarkan bantuan kepada kaum loyalis dan
sebagai kompensasinya mereka menuntut kemerdekaan negerinya. Tawaran
tersebut ditolak, maka pemimpin–pemimpin tersebut menawarkan bantuan
bantuan kepada Jenderal Franco sebagai gantinya. Jenderal Franco akan
memberikan pembaharuan–pembaharuan, bukan kemerdekaan. Bergabungnya
pemimpin–pemimpin Maroko Spanyol pada pihak Franco menguntungkan
Jerman, sekutu Franco. Pada 1938 Pemerintah Jerman mencatat adanya 50.000 –
60.000 tentara Maroko yang diperbantukan pada angkatan perang Franco. Jerman
dimungkinkan memperoleh besi dari Maroko Spanyol dan penetrasi Nazi di
Maroko tersebut membawa kekhawatiran pada Perancis akan terjadinya ‘Krisis
Maroko” lagi.
Seperti halnya di Maroko Perancis, pemimpin–pemimpin di Maroko
Spanyol tidak dapat bersatu. Torres dan Naciri masing–masing mendirikan partai
yang satu dengan lainnya tidak dapat bekerjasama. Ketika terjadi Perang Dunia II
(1939). Sultan Mohammad V memihak sekutu, mengirimkan tentara sebanyak
20.000 untuk membantu Perancis menghadapi tentara Nazi. Akan tetapi sesudah
Perancis diduduki oleh Jerman (1940) dan residen Jenderal Nagues di Maroko taat
kepada pemerintah Vichy, maka terjadillah pertentangan–pertentangan dengan

11
Sultan. Diantaranya adalah bahwa Sultan menolak menandatangani dekrit tentang
undang–undang anti Yahudi yang akan diumumkan oleh residen jendral dalam
protektorat Maroko. Ketika pada 1942 pasukan-pasukan Inggris–Amerika
mendarat di Maroko, Nogues memerintahkan adanya perlawanan yang terdiri atas
tentara Perancis Maroko. Akan tetapi Sultan memerintahkan agar tentaranya
bekerja sama dengan tentara Amerika. Selanjutnya pada tahun 1943 Sultan
mengadakan pertemuan dengan presiden Franklin Roosvelt di kota Anfa dekat
Casablanca. Sementara itu De Gaulle yang waktu ituberda di London, berusaha
menghubungi alfasizi untuk mengunakan pengaruhnya melawan regime Vichi di
maroko.
Tiga peristiwa penting jatuhnya kekuasaan Perancis oleh Jerman. Pendaratan
Inggris-Amerika di Maroko dan pertemuan sultan dengan presiden Franklin
Roosevelt disambut gembira oleh kaum nasionalis dan mereka mulai
menghentikan pertentangan-pertentangan yang bersifat pribadi. Di Maroko
Spanyol mereka bersatu dalam pakta Nasional. sedang Balafrei berhasil
mendirikan Istiqlal. Partai kemerdekaan pada Desember 1943. mereka berjuang
menuntut kemerdekaan tetapi ditentang keras oleh pemerintah Perancis yang
berpegangan pada ketentuan perjanjian Fez yang menyatakan bahwa status
Maroko adalah protektorat yang “tidak dapat dipisahkan dari Perancis”. Maka
residen Jendral Gabriel Pauax melakukan penangkapan-penangkapan terhadap
pemimpin-pemimpin Istiqlal dengan tuduhan melakukan kolaborasi dengan
Jerman. Akibatnya menimbulkan demontrasi di Rabat dan Fez yang disertai
pembunuhan-pembunuhan dan penahanan-penahanan.
Sultan Maroko memegang peranan yang penting. Pada 1947, Ia
mengunjungi Tangier, kota internasional. Sejak 1899 tidak ada Sultan di Maroko
yang mengunjungi kota tersebut. Sultan mengucapkan pidato dan berbicara
tentang “hak-hak yang sah milik penduduk Maroko”. Kemudian sultan
menyatakan kepada pers tentang penggabungan Maroko kepada Liga Arabdan
dunia di Laut Tengah bagian Timur.
Dibandingkan dengan Ajazair, dan Maroko,Tunisia adalah yang paling kecil
wilayahnya. Sejak perjanjian Bardo ditandatangani (1881), hubungan antara

12
pemerintah Tunisia dan konsul-konsul asing diawasi oleh residen Perancis.
Perancis menjanjikan akan melindungi Bey serta wilayahnya terhadap serangan-
serangan lawan.

2.3 Perlawanan Yang Dilakukan Rakyat Maroko Terhadap perancis


Sesudah diadakan Konferensi Algeciras sampai 1911, terjadilah bermacam-
macam konflik antara tentara Prancis dan penduduk maroko dan di Melilla antara
orang-orang Spanyol dan penduduk pegunungan. Pada 1908 Sultan Abdul-Azis
didesak oleh adiknya, Mulia Hafid, yang kemudian diakui oleh penguasa-
penguasa Barat (1909). Pada tahun itu sebuah perjanjian antara Jerman dan
Prancis ditandatangani. Isinya berdasarkan prinsip-prinsip perjanjian Algeciras,
ialah kemerdekaan Sultan diakui dan persamaan hak dalm lapanagn ekonomi
diberikan bagi semua bangsa. Pengaruh Prancis di maroko makin bertambah,
tetapi situasi perekonomiannya terancam.
Kedudukan prancis sangat sulit, lebih-lebih ketika mulai ada pemberontakan
pada 1911. Fez , ibu kota Maroko dikepung oleh kaum pemberontak dan tentara
Prancis segera menduduki kota tersebut. Jerman menuduh tindakan Prancis itu
sebagai tanda bahwa Prancis menghendaki protektorat atas Maroko. Peristiwa
tersebut dipakai oleh Jerman untuk mendapatkan kompensasi.
Paris sibuk membicarakan masalah tersebut, bahkan disebut-sebut nama
daerah Congo Prancis untuk ganti kerugian apabila Jerman menuntutnya. Pada
Juli 1911 kedutaan-kedutaan Jerman di berbagai ibu kota mengumumkan, bahwa
pemerintahnya telah memutuskan untuk melindungi kepentingan Jerman,
terutama yang mengirimkan sebuah kapal perang dan kapal meriam “Panther”
memasuki bandar Agadir di pantai samudra Atlantik. Munculnya “Panther” di
Agadir itu merupakan suatu tantangan bagi Prancis, juga bagi Inggris. Inggris
menuduh Jerman mendirikan pengkalan laut di pantai Lautan Atlantik dan tidakan
tersebut mengancam perdamaian dunia.
Ketika Inggris memberi peringatan kepada Jerman, maka Jerman menjawab
bahwa hinaan yang dilemparkan kepadanya itu tidak akan dibiarkan lalu begitu
saja. Terjadilah krisis Maroko yang kedua. Persiapan perang secara mendalam

13
telah dilakukan baik oleh Inggris, Prancis, maupun oleh Jerman. Tetapi kemudian
keadaan yang penting itu dapat diatasi dengan mengadakan perjanjian yang berisi
“ Jerman harus meninggalkan Agadir dan mengakui protektorat Prancis terhadap
Maroko. Sebagai kompensasi Prancis memberi bagian barat-laut Congo Prancis
kepada Jerman”. Sejak itu Prancis memperoleh daerah yang sangat luas di Afrika
Utara. Krisis Maroko kedua telah berakhir.
Akibatnya hubungan antara Inggris dan Jerman menjadi sangat buruk. Pada
orang-orang Jerman terbitlah perasaan bahwa Inggrislah musuh yang sebenarnya.
Tetapi sedikit demi sedikit ketegangan antara dua bangsa tersebut dapat dikurangi.
Hubungan baik antara Inggris dan Jerman selalu diusahakan, tetapi gagal. Perang
dunia I membuktikan adanya kegagalan itu. ( Soeratman : 124-125).

Gerakan Kemerdekaan Maroko


Seperti bangsa Afrika lainnya Maroko juga merupakan negara Protektorat
dari Prancis. Selain dijajah Prancis Maroko juga pernah dijajah oleh Spanyol,
disini terdapat tokoh perlawanan melawan Spanyol yang sangat terkenal yaitu
Amir Abdul Karim pahlawan Rif yang sangat terkenal. Akan tetapi akhirnya
Abdul Karim berhasil dilumpuhkan oleh Spanyol yang bekerja sama dengan
Prancis.
Sebagai negara protektorat tentunya Maroko ingin mendapatkan sebuah
kemerdekaan penuh. Dan perjuangan menuju arah itu terus dilakukan baik melalui
jalur perundingan atau jalur kekerasan. Jalur kekerasan Maroko selalu mengalami
kekagalan karena dalam bidang persenjataan tentara Prancis jauh lebih maju. Dan
cara ini yang disenangi oleh Prancis.
Selain jalur kekerasan Maroko juga melakukan perjuangan melalui jalur
perundingan dan diplomasi. Selama perang Dunia II Maroko amat penting bagi
upaya perang sekutu. Pada tanggal 8 November 1942. Tentara Amerika
merupakan pendaratan bersejarah di Maroko. Tahun berikutnya Presiden Franklin
D.Roosevelt dari Amerika Serikat dan perdana Menteri Winston Churchill dari
Inggris bertemu secara rahasia di Maroko pada Konferensi Casablanka. Dekat
akhir perang timbullah suatu pergerakan kemerdekaan Maroko yang kuat.

14
Pergerakan ini dipelopori oleh sekelompok nasionalis yang mendapat dukungan
bersemangat dari segenap penduduk negeri. Partai Istiqlal pun didirikan untuk
melaksanakan perjuangan kemerdekaan itu.
Pada tahun 1953 Prancis menangkap dan mengasingkan Sultan Mohammad
V karena mendukung pergerakan kemerdekaan itu. Tindakan ini mengakibatkan
terjadi kericuhan dan pertumpahan darah selama 2 tahun di Maroko. Hal ini
sampai membawa masalah Maroko ke dalam sidang PBB pada tanggal 15
Oktober 1952, akhirnya di tahun 1955 Prancis mengizinkan Mohammad V
kembali. Pada tahun berikutnya Maroko mendapat kemerdekaan penuh. Pada
tahun 1957 Mohammad V memakai gelar raja. Ia memerintah sampai wafatnya
pada tahun 1961 dan digantikan oleh putranya Hassan II (Syakiraah : 76).

2.4 Dampak Dari Penguasaan Perancis Atas Maroko


Penerapan politik Kolonial Prancis di Afrika ini banyak membawa
perubahan baagi rakyat Afrika. Hampir semua aspek kehidupan mengalami
perubahan. Hal ini dapat terlihat pada:

a. Bidang Politik
Golongan elit yang berpendidikan Barat tampil ke depan sebagai motor bagi
gerakan kebangsaan di negerinya. Dikota Fes muncul organisasi yang berdasarkan
agama Islam, dipimpin oleh Allal al Fassi. Disamping itu di Rabat juga berdiri
organisasi yang dipengaruhi oleh Balafrei, seorang cendikiawan keluaran
universitas di Fuad Kairo dan fakutas sastra dan hukum di Paris. Pada 1927 kedua
organisasi tersebut bersatu merupakan Liga Maroko, yang menuntut
pembaharuan-penbaharuan dan kemajuan-kemajuan bagi Maroko. Dengan
melalui perjuangan militan, akhirnya Tunisia mendapatkan otonomi (1955) dan
setahun kemudian (1956) memperoleh kemerdekaan.

b. Bidang sosial dan budaya


Kebudayaan dan kehidupan sosial di Afrika dengan adanya politik kolinaial
Prancis membawa perubaahan bagi penduduk Afrika. Prancis mulai menerapkan

15
peraturan untuk meninggalkan budaya Afrika dan mengikuti budaya Prancis. Hal
ini berhasil dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan berubah. Demikian juga
dalam Agama Prancis menekankan penduduk untuk memeluk agama Nasrani.

c. Bidang pendidikan
Penerapan politik kolonial di Afrika membawa perubahan bagi penduduk
Afrika terutama bidang pendidikan. Pada awalnya Prancis memberikan
pendidikan bagi penduduk Afrika demi perkembangan dan kepentingan Prancis,
namun dengan adanya pendidikan ini membawa perubahan yang semakin besar
bagi penduduk Afrika. Mereka semakin menyadari bahwa mereka dieksploitasi.
Hal ini memunculkan nasionalisme bagi Afrika

16
BAB 3. PENUTUPAN

1.1 Simpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini, dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1) Latar Belakang Masuknya Perancis Ke Maroko pada awalnya dilator belakangi


oleh letak Maroko yang sangat strategis dan potensi sumber daya alamnya
yang kaya dan subur, yang pada akhirnya justru menjadikan Maroko incaran
bagi Negara-negara Eropa yang tengah gencar-gencarnya meluaskan
kekuasaan khususnya di wilayah Afrika, untuk meluaskan imperiumnya,
khususnya di sektor perekonomian. Dari beberapa yang mengincar Maroko,
Perancislah yang berhasil menguasai darah Maroko, yang nantinya Maroko
dijadikan sebagai Protektorat Perancis di Afrika;

2) Proses Imperialism Perancis Di Maroko Sejak 1912, sejak diadakan perjanjian


Fez, yang ditanda-tangani, oleh Sultan Maroko dan pemerintah Perancis.
Maroko menjadi daerah protektorat Perancis, Sultan Maroko Maulay Abdul al-
Hafid, masih tetap menjadi kepala negara, walaupun hanya sebagai lambang.
Pemerintah dipegang olah residen jenderal Perancis dan bertindak atas nama
Perancis. politik yang dilakukan Perancis di daerah jajahannya kebanyakan
menggunakan politik asimilasi dan politik asosiasi, begitu pula yang dilakukan
di Maroko;

3) Sebagai negara protektorat tentunya Maroko ingin mendapatkan sebuah


kemerdekaan penuh. Dan perjuangan menuju arah itu terus dilakukan baik
melalui jalur perundingan maupun jalur kekerasan. Jalur kekerasan Maroko
selalu mengalami kekagalan karena dalam bidang persenjataan tentara Prancis
jauh lebih maju. Dan cara ini yang disenangi oleh Prancis. Maroko juga
melakukan perjuangan melalui jalur perundingan dan diplomasi;

17
4) Penerapan politik Kolonial Prancis di Afrika ini banyak membawa
perubahan baagi rakyat Afrika. Hampir semua aspek kehidupan
mengalami perubahan. Hal ini dapat terlihat pada aspek Politik, sosial dan
budaya, serta pendidikan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Soeratman, darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Syakiraah, Alifa.2012.Sejarah Afrika,Dari Masa Kuno Hingga Modern:


Palembang.

http://puntodewoblogspotcom.blogspot.com/2012/05/krisis-fashoda-dan-maroko-
di-afrika.html [Diakses Pada 08 Mei 2015]

http://cintasejarahfitri.blogspot.com/2012/10/maroko.htm [Diakses Pada 08 Mei


2015]

19

Anda mungkin juga menyukai