Disusun oleh:
Kelompok 4
1. Ns. Sadrakh Matias S, S.Kep. 20030061 11. Yuddie Indra S., S.KKK. 20030071
2. dr. Sri Ummi Kalsum D.M 20030062 12. dr. Yulius Setiadi, Sp.PD. 20030072
3. drg. Silfra Yunus K., Sp.PM. 20030063 13. drg. Yeni A. Nasution 20030073
4. dr. Taufan Nugroho 20030064 14. dr. Aelyn Halim 20030076
5. dr. Tety Ricka Don, M.M. 20030065 15. dr. Asmi Justina W, M.M. 20030077
6. Wayan Martini, SKM,M.Kes 20030066 16. dr. Reny Puspita, M.A.R.S. 20030078
7. dr. Yustinus Rurie W., Sp.B. 20030067 17. dr. Gatot Sugiharto 20030079
8. dr. Yohan Wenas G., M.P.H. 20030068 18. drg.Wahyu Prabowo 20030080
9. dr. Yunita Tambunan, Sp.KJ. 20030069 19. dr. Redha 20030081
10. dr. Yohanes Friedi T., Sp.OG. 20030070 20. dr. Wiwi Endang S. 20030082
A. Teori Persengketaan
Istilah “Sengketa” (Disputes, bahasa Inggris), seringkali disebut sama dengan “Konflik”
(Conflict, bahasa Inggris). Henry Campbell Black menjelaskan arti “Dispute”, sebagai: “A
conflict of controversy; a conflict of claims or rights; an assentation of a right, claim, or demand
on one side, met by contrary claims or allegations on the other. The subject of litigation; the
matter for which a suit is brought and upon which issue is joined, and in relation to which jurors
are called and witnesses examined”. 1
Dalam literatur, Teori Persengketaan juga dinamakan dengan Teori Konflik. Pengertian
Konflik itu sendiri dirumuskan oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin bahwa, konflik adalah
persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan (secara
serentak) 2
Pruitt dan Rubin lebih lanjut melihat konflik dari perbedaan kepentingan atau tidak
dicapainya kesepakatan para pihak. Maksud Perbedaan kepentingan adalah berlainannya
keperluan atau kebutuhan masing-masing pihak. Misalnya, A. sebagai salah satu ahli waris,
menginginkan rumah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dijual, sementara pihak B tidak
menginginkan rumah itu dijual karena mengandung nilai-nilai sejarah bagi keluarga. 3Perihal Teori
Konflik, menurut Salim HS, dapat digolongkan atas: a. Objek kajiannya; b. Faktor penyebab
terjadinya konflik; dan c. Strategi dalam penyelesaian konflik.4
Commented [A1]:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/le
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori tentang penyelesaian xetsocietatis/article/viewFile/1295/1053
BENTUK PUTUSAN PENYELESAIAN SENGKETA
sengketa. Ada 5 (lima), yaitu: Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu
BERDASARKAN MEDIASI1 Oleh: Idris
solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya. Kedua, yielding
(mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang
sebetulnya diinginkan. Ketiga, problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternative
yang memuaskan dari kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih
meninggalkan situasi sengketa, baik secara 12 fisik maupun psikologis. Kelima in action (diam),
yaitu tidak melakukan apa-apa. 5
1
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, 1989, p. 424.
2
Salim HS, Op Cit, hlm.82
3
Salim HS, Loc Cit.
4
Ibid, hlm. 85.
5
Dean G Pruitt &Z. Rubin, KonflikSosial, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2004, h. 4-6.
B. Bentuk-Bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).
a. Lumping it (membiarkan saja), oleh pihak yang merasakan perlakuan tidak adil, gagal
dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja
masalahnya atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan
hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya. Ini dilakukan
karena berbagai kemungkinan seperti kurangnya faktor informasi tentang bagaimana
proses mengajukan keluhan ke peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau
sengaja tidak diproses ke pengadilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih
besar dari keuntungannya baik diprediksi dari sisi materi maupun pisikologis.
b. Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi
hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau untuk sama sekali
menghentikan hubungan tersebut, misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja
terjadi. Dengan mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
Berbeda dengan pemecahan pertama (lumping it), dimana hubunganhubungan
berlangsung terus, hanya isunya saja yang dianggap selesai. Sementara dalam hal
bentuk kedua (avoidance), yaitu pihak yang merasa dirugikan mengelakannya. Pada
bentuk penyelesaian pertama hubungan pihak yang besengketa tetap diteruskan,
namun pada bentuk kedua hubungan kedua belak pihak yang bersengketa dapat
dihentikan untuk sebagian atau untuk keseluruhan.
c. Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini
bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan atau ancaman untuk
menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaiaan
secara damai.
d. Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan merupakan para
pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka
berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua
belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka
sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
e. Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak yang berselisih
pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
Apakah mediator hasil pilihan kedua belah pihak, atau karena ditunjuk oleh orang
yang mempunyai kekuasaan, kedua belah pihak yang bersengketa harus setuju bahwa
jasa- jasa seorang mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Dalam
masyarakat kecil (paguyuban) bisa saja tokoh-tokoh yang berperan sebagai mediator
juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim.
f. Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk
meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa
mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut.
g. Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk
mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu
artinya pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan. 6
Ketujuh cara ini dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian sengketa yaitu tradisonal,
alternative dispute resolution (ADR) dan pengadilan. Cara tradisional adalah lumping it
(membiarkan saja), avoidance (mengelak) dan coercion (paksaan). Ketiga cara tersebut tidak
dapat ditemukan dalam perundang-undangan. Yang termasuk dalam penyelesaian sengketa
dengan menggunakan ADR adalah perundingan (negotiation), mediasi dan arbitrase. Ketiga
cara ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan
dikenal dengan hukum acara. 7
Selain itu ada juga ahli yang membagi sebagai berikut:
1. Negosiasi
Secara harfiah negosiasi berarti musyawarah atau berunding. Negosiasi ini tidak lain
adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa bantuan pihak
lain, dengan cara musyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap
adil oleh para pihak. Hal yang dicapai dari negosiasi berupa penyelesaian kompromi atau
compromise solution.
2. Good Offices
’’Good Offices” biasanya diteijemahkan sebagai jasa baik, yang makna sebenarnya adalah
suatu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang memberikan jasa baik
berupa penyediaan tempat atau fasilitas-fasilitas untuk digunakan oleh para pihak yang
sengketa untuk melakukan musyawarah atau perundingan guna mencapai penyelesaian.
Jadi inisiatif penyelesaian tetap berada di tangan para pihak, dan pihak ketiga bersifat
pasif, tidak ikut campur mengatur penyelesaian sengketa. Jika tercapai penyelesaian, para
pihak menyampaikan “compromise solution” tersebut kepada pihak ketiga.
3. Mediasi
Mediasi atau penengahan merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan
pihak ketiga. Berbeda dengan “good offices”, pihak ketiga dalam mediasi bersifat aktif .
Pihak ketiga aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian namun
ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil putusan. Jadi inisiatif
6
Laura Nader & Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York Columbia University
Press, 1978, h. 9-11.
7
Ibid, h. 11-12
penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Sama halnya dengan
negosiasi dan “good offices” penyelesaian sengketa bersifat kompromis.
4. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak
ketiga, sebagaimana halnya “good offices” dan mediasi. Hanya saja dalam konsiliasi,
pihak ketiga lebih bersifat aktif. Pihak ketiga (konsiliator) mengambil inisia tif menyusun
dan merum uskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya diajukan dan
ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang membuat
putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaannya sangat
tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
5. Arbitrase
Sebagaimana “good offices”, mediasi dan konsiliasi, arbitrase juga merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Namun dibanding ketiga
mekanisme tersebut, dalam arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang diberi
wewenang penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu ia
berwenang mengambil putusan (“award”) yang bersifat mengikat.
6. Summary Jury Trial
Sesuai dengan namanya, mekanisme ini merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
khas negara-negara yang peradilannya memakai sistem jury, khususnya Amerika Serikat.
Suatu sengketa diajukan kepada para jury yang sebenarnya untuk diputuskan. Namun
keputusan jury ini sifatnya tidak mengikat, dan para jury ini tidak mengetahui bahwa
keputusannya tidak mengikat.
7. Rent-a-Judge
Mekanisme ini dilakukan dengan cara para pihak menyewa seorang hakim pengadilan,
biasanya yang sudah pensiun, untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak membuat suatu
kontrak yang isinya menyatakan bahwa mereka akan mentaati keputusan hakim tersebut .
Jadi pada dasarnya yang mengikat disini bukanlah keputusannya itu sendiri melainkan
kontraknya.
8. Med-arb
Med-arb ini sebenarnya hanya m erupakan suatu modifikasi terhadap penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Sebelum sengketa diajukan kepada arbitrator, terlebih dahulu
harus diajukan kepada mediator, mediator membantu para pihak untuk melakukan
negosiasi guna m encapai penyelesaian. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka
mediator memberikan pendapat bagaimana penyelesaian sengketa tersebut jika diajukan
kepada arbitrator. Jika melalui cara inipun masih belum menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut selanjutnya diperiksa menurut prosedur arbitrase. Yang dapat bertindak
sebagai arbitrator bisa mediator yang bersangkutan atau orang lain lagi selain mediator
yang memeriksa sengketa sebelumnya. Mekanisme seperti ini ditempuh dengan suatu
asumsi bahwa arbitrase masih merupakan makanisme penyelesaian sengketa lambat,
mahal dan rigid.
9. Hybrid
Prosedur arbitrase yang mengkombinasikan unsur med-arb dengan Private Judging.
10. CADR/ADR
CDR (Court Dispute Resolution) atau CADR (Court Annexed Dispute Resolusion) suatu
metode yang menginterasikan proses ADR/pilihan penyelesaian sengketa dalam proses
beracara di dalam pengadilan. Metode pengintegrasian ADR/Pilihan Penyelesaian
sengketa kedalam proses pengadilan ini, dalam prakteknya di Indonesia telah biasa
ditempuh sebagimana tertuang dalam pasal 130 HIR, yang intinya mewajibkan hakim
mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabila mereka bersepakat untuk berdamai,
maka kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk dokumen “dading”. Commented [A2]: 36