Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENYELESAIAN SENGKETA MASALAH PRAKTIK KEPERAWATAN


MELALUI JALUR NONLITIGASI

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan dan Perdata Kesehatan


Dosen: Dr. dr. Edy Wijayanti, S.H., M.H

Disusun oleh:
Kelompok 4
1. Ns. Sadrakh Matias S, S.Kep. 20030061 11. Yuddie Indra S., S.KKK. 20030071
2. dr. Sri Ummi Kalsum D.M 20030062 12. dr. Yulius Setiadi, Sp.PD. 20030072
3. drg. Silfra Yunus K., Sp.PM. 20030063 13. drg. Yeni A. Nasution 20030073
4. dr. Taufan Nugroho 20030064 14. dr. Aelyn Halim 20030076
5. dr. Tety Ricka Don, M.M. 20030065 15. dr. Asmi Justina W, M.M. 20030077
6. Wayan Martini, SKM,M.Kes 20030066 16. dr. Reny Puspita, M.A.R.S. 20030078
7. dr. Yustinus Rurie W., Sp.B. 20030067 17. dr. Gatot Sugiharto 20030079
8. dr. Yohan Wenas G., M.P.H. 20030068 18. drg.Wahyu Prabowo 20030080
9. dr. Yunita Tambunan, Sp.KJ. 20030069 19. dr. Redha 20030081
10. dr. Yohanes Friedi T., Sp.OG. 20030070 20. dr. Wiwi Endang S. 20030082

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
JAKARTA
2022
BAB II
TEORI DAN DASAR HUKUM

A. Teori Persengketaan

Istilah “Sengketa” (Disputes, bahasa Inggris), seringkali disebut sama dengan “Konflik”
(Conflict, bahasa Inggris). Henry Campbell Black menjelaskan arti “Dispute”, sebagai: “A
conflict of controversy; a conflict of claims or rights; an assentation of a right, claim, or demand
on one side, met by contrary claims or allegations on the other. The subject of litigation; the
matter for which a suit is brought and upon which issue is joined, and in relation to which jurors
are called and witnesses examined”. 1

Dalam literatur, Teori Persengketaan juga dinamakan dengan Teori Konflik. Pengertian
Konflik itu sendiri dirumuskan oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin bahwa, konflik adalah
persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan (secara
serentak) 2

Pruitt dan Rubin lebih lanjut melihat konflik dari perbedaan kepentingan atau tidak
dicapainya kesepakatan para pihak. Maksud Perbedaan kepentingan adalah berlainannya
keperluan atau kebutuhan masing-masing pihak. Misalnya, A. sebagai salah satu ahli waris,
menginginkan rumah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dijual, sementara pihak B tidak
menginginkan rumah itu dijual karena mengandung nilai-nilai sejarah bagi keluarga. 3Perihal Teori
Konflik, menurut Salim HS, dapat digolongkan atas: a. Objek kajiannya; b. Faktor penyebab
terjadinya konflik; dan c. Strategi dalam penyelesaian konflik.4
Commented [A1]:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/le
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori tentang penyelesaian xetsocietatis/article/viewFile/1295/1053
BENTUK PUTUSAN PENYELESAIAN SENGKETA
sengketa. Ada 5 (lima), yaitu: Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu
BERDASARKAN MEDIASI1 Oleh: Idris
solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya. Kedua, yielding
(mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang
sebetulnya diinginkan. Ketiga, problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternative
yang memuaskan dari kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih
meninggalkan situasi sengketa, baik secara 12 fisik maupun psikologis. Kelima in action (diam),
yaitu tidak melakukan apa-apa. 5

1
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, 1989, p. 424.
2
Salim HS, Op Cit, hlm.82
3
Salim HS, Loc Cit.
4
Ibid, hlm. 85.
5
Dean G Pruitt &Z. Rubin, KonflikSosial, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2004, h. 4-6.
B. Bentuk-Bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).

Para ahli antropologi hukum mengemukakan pendapatnya tentang cara-cara penyelesaian


sengketa yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern.
Laura Nader dan Harry F. Todd Jr menerangkan 7 (tujuh) cara penyelesaian sengketa dalam
masyarakat, yaitu:

a. Lumping it (membiarkan saja), oleh pihak yang merasakan perlakuan tidak adil, gagal
dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja
masalahnya atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan
hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya. Ini dilakukan
karena berbagai kemungkinan seperti kurangnya faktor informasi tentang bagaimana
proses mengajukan keluhan ke peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau
sengaja tidak diproses ke pengadilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih
besar dari keuntungannya baik diprediksi dari sisi materi maupun pisikologis.
b. Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi
hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau untuk sama sekali
menghentikan hubungan tersebut, misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja
terjadi. Dengan mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
Berbeda dengan pemecahan pertama (lumping it), dimana hubunganhubungan
berlangsung terus, hanya isunya saja yang dianggap selesai. Sementara dalam hal
bentuk kedua (avoidance), yaitu pihak yang merasa dirugikan mengelakannya. Pada
bentuk penyelesaian pertama hubungan pihak yang besengketa tetap diteruskan,
namun pada bentuk kedua hubungan kedua belak pihak yang bersengketa dapat
dihentikan untuk sebagian atau untuk keseluruhan.
c. Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini
bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan atau ancaman untuk
menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaiaan
secara damai.
d. Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan merupakan para
pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka
berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua
belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka
sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
e. Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak yang berselisih
pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
Apakah mediator hasil pilihan kedua belah pihak, atau karena ditunjuk oleh orang
yang mempunyai kekuasaan, kedua belah pihak yang bersengketa harus setuju bahwa
jasa- jasa seorang mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Dalam
masyarakat kecil (paguyuban) bisa saja tokoh-tokoh yang berperan sebagai mediator
juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim.
f. Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk
meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa
mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut.
g. Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk
mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu
artinya pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan. 6
Ketujuh cara ini dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian sengketa yaitu tradisonal,
alternative dispute resolution (ADR) dan pengadilan. Cara tradisional adalah lumping it
(membiarkan saja), avoidance (mengelak) dan coercion (paksaan). Ketiga cara tersebut tidak
dapat ditemukan dalam perundang-undangan. Yang termasuk dalam penyelesaian sengketa
dengan menggunakan ADR adalah perundingan (negotiation), mediasi dan arbitrase. Ketiga
cara ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan
dikenal dengan hukum acara. 7
Selain itu ada juga ahli yang membagi sebagai berikut:
1. Negosiasi
Secara harfiah negosiasi berarti musyawarah atau berunding. Negosiasi ini tidak lain
adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa bantuan pihak
lain, dengan cara musyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap
adil oleh para pihak. Hal yang dicapai dari negosiasi berupa penyelesaian kompromi atau
compromise solution.
2. Good Offices
’’Good Offices” biasanya diteijemahkan sebagai jasa baik, yang makna sebenarnya adalah
suatu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang memberikan jasa baik
berupa penyediaan tempat atau fasilitas-fasilitas untuk digunakan oleh para pihak yang
sengketa untuk melakukan musyawarah atau perundingan guna mencapai penyelesaian.
Jadi inisiatif penyelesaian tetap berada di tangan para pihak, dan pihak ketiga bersifat
pasif, tidak ikut campur mengatur penyelesaian sengketa. Jika tercapai penyelesaian, para
pihak menyampaikan “compromise solution” tersebut kepada pihak ketiga.
3. Mediasi
Mediasi atau penengahan merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan
pihak ketiga. Berbeda dengan “good offices”, pihak ketiga dalam mediasi bersifat aktif .
Pihak ketiga aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian namun
ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil putusan. Jadi inisiatif

6
Laura Nader & Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York Columbia University
Press, 1978, h. 9-11.
7
Ibid, h. 11-12
penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Sama halnya dengan
negosiasi dan “good offices” penyelesaian sengketa bersifat kompromis.
4. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak
ketiga, sebagaimana halnya “good offices” dan mediasi. Hanya saja dalam konsiliasi,
pihak ketiga lebih bersifat aktif. Pihak ketiga (konsiliator) mengambil inisia tif menyusun
dan merum uskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya diajukan dan
ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang membuat
putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaannya sangat
tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
5. Arbitrase
Sebagaimana “good offices”, mediasi dan konsiliasi, arbitrase juga merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Namun dibanding ketiga
mekanisme tersebut, dalam arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang diberi
wewenang penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu ia
berwenang mengambil putusan (“award”) yang bersifat mengikat.
6. Summary Jury Trial
Sesuai dengan namanya, mekanisme ini merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
khas negara-negara yang peradilannya memakai sistem jury, khususnya Amerika Serikat.
Suatu sengketa diajukan kepada para jury yang sebenarnya untuk diputuskan. Namun
keputusan jury ini sifatnya tidak mengikat, dan para jury ini tidak mengetahui bahwa
keputusannya tidak mengikat.
7. Rent-a-Judge
Mekanisme ini dilakukan dengan cara para pihak menyewa seorang hakim pengadilan,
biasanya yang sudah pensiun, untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak membuat suatu
kontrak yang isinya menyatakan bahwa mereka akan mentaati keputusan hakim tersebut .
Jadi pada dasarnya yang mengikat disini bukanlah keputusannya itu sendiri melainkan
kontraknya.
8. Med-arb
Med-arb ini sebenarnya hanya m erupakan suatu modifikasi terhadap penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Sebelum sengketa diajukan kepada arbitrator, terlebih dahulu
harus diajukan kepada mediator, mediator membantu para pihak untuk melakukan
negosiasi guna m encapai penyelesaian. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka
mediator memberikan pendapat bagaimana penyelesaian sengketa tersebut jika diajukan
kepada arbitrator. Jika melalui cara inipun masih belum menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut selanjutnya diperiksa menurut prosedur arbitrase. Yang dapat bertindak
sebagai arbitrator bisa mediator yang bersangkutan atau orang lain lagi selain mediator
yang memeriksa sengketa sebelumnya. Mekanisme seperti ini ditempuh dengan suatu
asumsi bahwa arbitrase masih merupakan makanisme penyelesaian sengketa lambat,
mahal dan rigid.
9. Hybrid
Prosedur arbitrase yang mengkombinasikan unsur med-arb dengan Private Judging.
10. CADR/ADR
CDR (Court Dispute Resolution) atau CADR (Court Annexed Dispute Resolusion) suatu
metode yang menginterasikan proses ADR/pilihan penyelesaian sengketa dalam proses
beracara di dalam pengadilan. Metode pengintegrasian ADR/Pilihan Penyelesaian
sengketa kedalam proses pengadilan ini, dalam prakteknya di Indonesia telah biasa
ditempuh sebagimana tertuang dalam pasal 130 HIR, yang intinya mewajibkan hakim
mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabila mereka bersepakat untuk berdamai,
maka kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk dokumen “dading”. Commented [A2]: 36

C. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Di Luar Undang-Undang (APS = Alternatif


Penyelesaian Sengketa/ADR = Alternative Dispute Resolution)
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
 Pasal 58 Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
 Pasal 59
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
 Pasal 60
(1) Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
(2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam
kesepakatan tertulis.
(3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
 Pasal 61 Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60
diatur dalam undang-undang.
b. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
 Pasal 1 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
 Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha
mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari harus tercapai
kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik
serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai
dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.
c. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan
 Pasal 1
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
 Pasal 3
(1) Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.
(3) Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk
menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Mediasi di Pengadilan
 Pasal 4
(1) Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara
perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara
(partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
(2) Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang
waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
2. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan
Industrial;
3. keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4. keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5. permohonan pembatalan putusan arbitrase;
6. keberatan atas putusan Komisi Informasi;
7. penyelesaian perselisihan partai politik;
8. sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9. sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan
tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat
atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
c. gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu
perkara (intervensi);
d. sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan
pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian
di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator
bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan
tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para
Pihak dan Mediator bersertifikat.
d. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
 Pasal 3
(1) Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.
(2) Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal:
a. terdakwa meninggal dunia;
b. kedaluwarsa penuntutan pidana;
c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
d. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau
e. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten
process).
(3) Penye1esaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan
pendekatan Keadilan Restoratif.
(4) Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan
penuntutan.
e. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang
Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
 Pasal 1 no 3 Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula
 Pasal 2
(1) Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dilaksanakan
pada kegiatan:
a. penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal;
b. penyelidikan; atau
c. penyidikan.
(3) Penyelidikan atau penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c, dilakukan oleh penyidik Polri.
(5) Penanganan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c, dapat dilakukan penghentian Penyelidikan atau Penyidikan.
 Pasal 3
(1) Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan: a. umum; dan/atau b.
khusus.
(2) Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku
untuk penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif pada
kegiatan Penyelenggaraan Fungsi Reserse Kriminal, Penyelidikan atau
Penyidikan.
(3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya
berlaku untuk penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
pada kegiatan Penyelidikan atau Penyidikan.
 Pasal 4 Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, meliputi: a. materiil; dan b. formil.
 Pasal 5 Persyaratan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
meliputi:
a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
b. tidak berdampak konflik sosial;
c. tidak berpotensi memecah belah bangsa;
d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
e. bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan
Pengadilan; dan
f. bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan
negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa
orang.
 Pasal 6
(1) Persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:
a. perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk Tindak Pidana
Narkoba; dan b. pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku,
kecuali untuk Tindak Pidana Narkoba.
(2) Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuktikan
dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak.
(3) Pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dapat berupa: a. mengembalikan barang; b.
mengganti kerugian; c. menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat
Tindak Pidana; dan/atau d. mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat
Tindak Pidana.
(4) Pemenuhan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuktikan dengan
surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak
korban.
(5) Format surat kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepolisian ini.

D. Dasar Hukum Praktik Keperawatan


a. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 Tentang
Komite Keperawatan Rumah Sakit
d.

Anda mungkin juga menyukai