Anda di halaman 1dari 8

BAB III.

PEMBAHASAN

A. MALPRAKTIK DI BIDANG KEPERAWATAN


Sesuai Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, di dalam pasal 1
disebutkan bahwa Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu
dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat,
baik sehat maupun sakit. Dan Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang
diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan. Sedangkan Asuhan
Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya
untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat
dirinya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan tugas keprofesiannya
sebagai perawat klinis, seorang perawat melakukan praktik keperawatan dalam bentuk
Asuhan Keperawatan.

Pasal 28 (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan


menyebutkan bahwa Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur
operasional. Di dalam Pasal 36, Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang- undangan. Pasal 36 ini memberikan kepastian hukum mengenai
perlindungan bagi perawat dalam melakukan Praktik Keperawatan.

Tidak hanya pasal 36 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan,


dalam Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan, disebutkan bahwa
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: a. memperoleh pelindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional. Dan Pasal 58 menyebutkan
bahwa Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan.
Meski adanya standar profesi maupun standar prosedur operasionaL, dalam
menjalankan tugasnya, perawat masih dihadapakan kepada risiko terjadinya kesalahaan
atau kelalaian. Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang
memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian
keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan
Tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut:

a. Assessment errors,
Termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara
adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data
hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang
membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan
berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan
mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari
kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara
komprehensif dan cepat.

b. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :


1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana
keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah
dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak
dimahami perawat lain dengan pasti.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan
kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien. Untuk
mencegah kesalahan tersebut, jangan hanva menggunakan perkiraan dalam
membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkannya dengan baik.
Seharusnya, dalam penulisan harus memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan
masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data
baru yang terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan
secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Lakukan tindakan
berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap
pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
c. Intervention errors,
Termasuk kegagalan menginteipretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi,
kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan
mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada
tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca
pesan/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur,
memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh
kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada tindakan pemberian obat. Oleh
karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara anggota tim kesehatan
maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini,, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan
program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).

Selanjutnya, bagaimana ketika terjadi dugaan praktik keperawatan yang dilakukan oleh
seorang perawat yang tidak sesuai dengan standar profesi ataupun standar prosedur
operasional (SPO) yang termasuk sebagai salah satu bentuk malpraktik di bidang
keperawatan. Sebagaiman yang diatur dalam Pasal 58 (1) UU Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan bahwa “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dan dalam Pasal 77 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, “Setiap
Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga
Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan”.

Pasal 84 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan mengatur


konsekuensi hukum terhadap Tindakan kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan, yaitu :
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian,
setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Dalam lex generalis, Pasal 359 KUHP menyatakan Barang siapa karena keasalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungna paling lama satu tahun. Pasal 1366 KUH
Perdata menyatakan bahwa Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kekuranghati-hatiannya.

B. PENGADUAN TERHADAP DUGAAN MALPRAKTIK PERAWAT

Pasal 49 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan, Untuk menegakkan disiplin


Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin Tenaga Kesehatan.

Pasal 8 (6) Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 Tentang Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia, Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai wewenang:

a. menyetujui atau menolak permohonan registrasi Tenaga Kesehatan;


b. menerbitkan atau mencabut surat tanda registrasi;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran
disiplin profesi Tenaga Kesehatan;
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan;
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga
Kesehatan. Secara normatif, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dimana salah
satu bagian dari KTKI adalah Konsil Keperawatan, yang memiliki wewenang
dalam menjalankan tugasnya untuk menyelidiki dan menangani masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi tenaga perawat.

Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 Tentang Konsil Tenaga


Kesehatan Indonesia:
1) Setiap orang atau badan hukum yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan
atas tindakan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik keprofesiannya dapat
melakukan pengaduan.
2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengaduan atas
pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan.
3) Pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat berupa pelanggaran terhadap penerapan keilmuan dalam
penyelenggaraan keprofesian meliputi penerapan pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku.

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan


Presiden Nomor 90 Tahun 2017 Tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Pasal 29
(1) Dalam menyampaikan pengaduan, pengadu dapat melakukannya secara langsung
atau melalui kuasa pengadu. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara: a. tertulis; dan/atau b. lisan. (3) Pengaduan terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan disampaikan kepada konsil
masing-masing tenaga kesehatan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan diatas, terhadap adanya dugaan


pelanggaran terhadap penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan keprofesian
perawat, seseorang dan atau badan dapat menyampaikan pengaduan kepada Konsil
tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang mana Konsil keperawatan merupakan salah
satu bagian di dalamnya.

C. PENYELESAIAN SENGKETA DUGAAN MALPRAKTIK PERAWAT


MELALUI JALUR NON-LITIGASI

Dalam Pasal 78 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan


bahwa Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan,
perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 29 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Dalam hal tenaga


kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Mediasi dilakukan bila
timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien
sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para
pihak.
Hal ini berarti undang undang memerintahkan wajib melakukan mediasi jika terjadi
kesalahan atau kelalaian oleh tenaga kesehatan sebelum menempuh jalur hukum
lainnya. KUHPerdata juga mengatur perdamaian seperti yang tertuang dalam
ketentuan Pasal 1851, 1855, dan 1858. Bunyi dari masing-masing pasal adalah
sebagai berikut:

Pasal 1851: “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak,
dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.”
Pasal 1855: “Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang
termaktub di dalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam
perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat
mutlak satu- satunya dari apa yang dituliskan.“
Pasal 1858: “Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan
seperti suatu hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapat perdamaian itu
dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah
satu pihak dirugikan.

Meninjau mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pada tenaga kesehatan


seperti yang diamanatkan dalam Pasal 29 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dimana pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu
oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah
sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif
penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang
bersengketa. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan
pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung.

Mediasi sendiri dapat dilakukan dengan mengacu kepada Peraturan Mahkamah


Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mengacu kepada
Perma Nomor 1 ini, mediasi yang dilakukan merupakan mediasi sebagai bagian dari
proses pengadilan. Mediasi sendiri dapat dilakukan sebelum suatu sengketa dugaan
malpraktik
ini masuk ke dalam proses pengadilan. Ini artinya bahwa mediasi tidak masuk dalam
suatu bagian dari proses pengadilan, dengan harapan jika permasalahan dapat
diselesaikan dengan mediasi, maka tidak terjadi pengaduan dari pihak korban. Hal ini
diatur dalam pasal 36 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mana pengaturannya adalah sebagai berikut:
1) Para Pihak dengan atau tanpa bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil
menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan Kesepakatan Perdamaian dapat
mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Pengadilan yang berwenang untuk
memperoleh Akta Perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
Kesepakatan Perdamaian dan dokumen sebagai alat bukti yang menunjukkan
hubungan hukum Para Pihak dengan objek sengketa.
3) Hakim Pemeriksa Perkara di hadapan Para Pihak hanya akan menguatkan
Kesepakatan Perdamaian menjadi Akta Perdamaian, jika Kesepakatan
Perdamaian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2).
4) Akta Perdamaian atas gugatan untuk menguatkan Kesepakatan Perdamaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan oleh Hakim Pemeriksa
Perkara dalam sidang yang terbuka untuk umum paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.
5) Salinan Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan
kepada Para Pihak pada hari yang sama dengan pengucapan Akta Perdamaian.

Namun, walaupun jika mediasi tersebut merupakan suatu bagaian dari proses
pengadilan, mediasi dapat dilakukan di luar pengadilan (selain dilakukan di
pengadilan), dan harapannya jika adanya titik temu, maka proses pengadilan yang
sudah berjalan dapat dihentikan/tidak dilanjutkan dan diselesaikan dengan perdamaian
atau kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Beberapa ketentuan dalam proses
mediasi yang merupakan bagian dari proses pengadilan:
1. Terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi waktu untuk mediasi
maksimal 30 hari, tidak termasuk jangka waktu penyelesaian perkara
sebagaimana ditentukan dalam kebijakan Mahkamah Agung mengenai
penyelesaian perkara di Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
2. Jika Mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian
yang ditandangani oleh para pihak dan mediator.
3. Para Pihak melalui Mediator dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian
kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian.
4. Jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam
Akta Perdamaian, Kesepakatan Perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan.
5. Paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima Kesepakatan Perdamaian yang telah
memenuhi ketentuan, Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan hari
sidang untuk membacakan Akta Perdamaian.
6. Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan
Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam
proses persidangan perkara.

KASUS???????

Anda mungkin juga menyukai