Anda di halaman 1dari 44

JUAL BELI PETASAN BERBAHAN PELEDAK (STUDI KOMPARASI

HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN UNDANG-UNDANG DARURAT

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1951)

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Oleh:

Farihatul Munawarah
NIM. 18382042044

PROGRAN STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................... I

HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................. II

DAFTAR ISI ......................................................................................... III

A. Halaman Judul ............................................................................ 1

B. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

C. Rumusan Masalah ...................................................................... 7

D. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7

E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7

F. Definisi Operasional .................................................................. 8

G. Metode Penelitian....................................................................... 9

1. Jenis penelitian .................................................................... 10

2. Pendekatan penelitian . ......................................................... 11

3. Jenis data .............................................................................. 11

4. Metode pengumpulan data ................................................... 12

5. Metode pengolahan data ....................................................... 12

H. Penelitian Terdahulu .................................................................. 13

I. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 16

1. Pengertian jual beli .............................................................. 16

2. Dasar hukum jual beli .......................................................... 20

3. Rukun dan syarat jual beli .................................................... 22

4. Macam-macam jual beli ....................................................... 28

II
5. Hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli ................... 33

Daftar Pustaka ........................................................................................ 37

III
A. Judul Penelitian

Jual Beli Petasan Berbahan Peledak (Studi Komparasi Hukum

Ekonomi Syariah Dan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No.

12 Tahun 1951).

B. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang diharuskan untuk hidup

bermasyarakat agar terjalin sosial yang baik, diantara sesama manusia

sebagai makhluk sosial manusia selalu berhubungan antara satu dengan

yang lain, pergaulan hidup merupakan perbuatan dalam hubungan dengan

orang lain yang disebut muamalah.1

Manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan

hidup, karenanya manusia akan selalu berusaha memperoleh harta

kekayaan itu salah satunya melalui bekerja sedangkan salah satu ragam

bekerja adalah berbisnis. Setiap hari manusia tidak terlepas dari kegiatan

jual beli atau perdagangan saluran distribusi barang dari sistem

perdagangan yang sangat luas dan masing-masing pedagang menerima

bagian dari setiap kegiatan bisnisnya.2

Islam merupakan ajaran yang bersifat universal yang mengatur

seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal muamalah segala bentuknya

pada dasarnya boleh sebelum ada dalil yang mengharamkannya, berbeda

dengan ibadah yang pada dasarnya itu haram sebelum ada dalil yang

menghalalkannya. Objek muamalah dalam Islam sangat luas, dalam al-


1
Ahmad Ashar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:UII
Press, 2000), 1.
2
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 75.

IV
qur’an dan sunnah banyak membicarakan mengenai muamalah antara lain

tentang jual beli, tukar-menukar, pinjam meminjam dan lain-lain.

Islam tidak hanya mengatur tentang beribadah kepada Allah SWT,

tetapi ajaran Islam juga mengatur manusia dalam hal pergaulan sosial pada

urusan duniawi termasuk mengenai jual beli atau saling menukar barang

untuk saling membantu satu sama lain supaya dapat menciptakan

keharmonisan dan tidak terdapat kemudharatan di masyarakat.3

Kegiatan ekonomi dalam Islam yang meliputi produksi, konsumsi,

distribusi dan saving atau tabungan merupakan suatu aktivitas ekonomi

dalam pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang sering

dilakukan adalah berkenaan dengan transaksi, transaksi dalam aktivitas

ekonomi merupakan cara untuk melakukan mekanisme pertukaran, salah

satu mekanisme pertukaran adalah jual beli.

Transaksi jual beli dalam Islam memiliki sejumlah aturan, aturan

jual beli suatu yang sudah ma’ruf bahwa setiap orang membutuhkan

sesuatu melalui proses jual beli. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya

aktivitas ini karena setiap hari dibutuhkan. Namun patut diketahui bahwa

seorang muslim punya kewajiban untuk memilih yang halal dan

meninggalkan yang haram. Seorang muslim tidak boleh asal-asalan dalam

melakukan aktivitas ibadah dan juga dalam transaksi jual beli. Ada aturan

dalam jual beli yang mesti diperhatikan, semacam mengetahui rukun-

rukunnya. Jika rukun ini tidak terpenuhi, tentu jual beli tersebut

bermasalah.
3
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 3.

V
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak

satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas nama barang,

sedangkan pihak lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai Imbalan dari perolehan hak milik

tersebut. Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari pihak yang lain

dinamakan membeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus

cukup tersedia dan tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan

jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada pembeli.4

Jual beli dalam bahasa Arab disebut dengan Al-bay’ yang secara

bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akan saling

mengganti sedangkan menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta

menurut cara-cara tertentu (‘aqad)

Sedangkan dalam arti umum, jual beli ialah suatu perikatan tukar-

menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan

adalah akad yang mengikat kedua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah

satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh

pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang

ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan,

jadi bukan manfaat atau bukan hasilnya.5

Jual beli yang dilarang terbagi dua : Pertama, Jual beli yang

dilarang dan hukumnya tidak sah (sah), yaitu jual beli yang tidak

memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya sah
4
Abdur Rohman, “Menyoal Filosofi ‘An Taradin pada Akad Jual Beli (Kajian Hukum Ekonomi
Syariah dalam Transaksi Jual Beli),” Et-Tijare, 2 (Juli, 2016).
5
Abdul aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, (Jakarta :Amzah, 2010), 23.

VI
tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukuknnya,

tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.

Salah satunya jual beli yang menimbulkan kemudaratan. Segala sesuatu

yang dapat menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan

dilarang untuk diperjualbelikan.

Syarat-syarat barang yang di perjualbelikan adalah dapat

dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, bangkai,

khamar, darah, dan bahan yang mengandung bahan peledak itu tidak sah

menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda

seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.6

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, produk-produk yang

diperjualbelikan pun kian hari semakin berfariasi, salah satunya jual beli

petasan yang mengandung bahan peledak. Yang mana dalam jual beli ini

mengandung unsur-unsur yang sangat membahayakan sedangkan dalam

jual beli sendiri yaitu saling membantu satu sama lain supaya dapat

menciptakan keharmonisan dan tidak terdapat kemudharatan. Salah

satunya pada saat bulan Ramadhan setelah shalat Tarawih dan pada saat

malam Lebaran yang mana setiap tahunnya pasti di televisi itu ada berita

tentang korban dari petasan tersebut akan tetapi, petasan tersebut masih

terus diperjualbelikan oleh masyarakat.

Bahan peledak kimia adalah suatu rakitan yang terdiri atas bahan-

bahan berbentuk padat atau cair atau campuran keduanya, apabila terkena

6
Ghazaly, Fiqh Muamalat, 80.

VII
benturan, panas, dan gesekan dapat mengakibatkan reaksi berkecepatan

tinggi disertai terbentuknya gas-gas dan menimbulkan efek panas serta

tekanan yang sangat tinggi.

Bahan peledak kimia dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Low explosive (daya ledak rendah). Bahan peledak low explosive

adalah bahan peledak berdaya ledak rendah yang mempunyai

kecepatan detonasi (volocity of detontion) antara 400 dan 800

meter perdetik.

2. Bahan peledak high explosive mempunyai kecepatan detonasi

antara 1.000 dan 8.500 meter per detik. Bahan peledak low

explosive ini sering disebut propelan (pendorong) yang banyak

digunakan pada peluru dan roket.

3. Diantara bahan peledak low explosive yang dikenal adalah mesiu.

Sebagian masyarakat Indonesia, miseu tersebut banyak digunakan

sebagai pembuat petasan.7

Jual beli petasan tidak diperbolehkan. Adapun ketentuan tentang

petasan dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) No. 12/DRT/1951 tentang

mengubah “Ordonnantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen” (Stbl.

1948 No. 17) dan Undang-Undang R.I. dahulu No. 8 tahun 1948) yang

berbunyi:

Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak

termasuk semua barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam


7
Tina Asmarawati, Petasan diTinjau dari Perspektif Hukum dan Kebudayaan, (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), 134-135.

VIII
Ordonnantie tanggal 18 September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah

terkemudian sekali dengan Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No.

168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-bom pembakar, ranjau-ranjau

(mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya semua bahan peledak

baik yang berupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige chemische

verbindingen) maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak

(explosieve mengesels) atau bahan-bahan peledak pemasuk (inleidende

explosieven), yang dipergunakan untuk meledakkan lain-lain barang

peledak, sekedar belum termasuk dalam pengertian munisi.8

Komparasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Undang-Undang

darurat no. 12 tahun 1951 yaitu tentang barang, pihak yang melakukan

transaksi jual beli (penjual dan pembeli) baik itu orang dewasa maupun

anak kecil.

Dalam jual beli itu seharusnya terdapat unsur-unsur

kemanfaatannya, tetapi kenapa jual beli petasan yang mengandung bahan

peledak ini masih terus dipraktekkan oleh masyarakat meskipun

didalamnya itu lebih banyak unsur kemudaratannya daripada

kemanfaatannya, sehingga hal ini menarik untuk diteliti agar memberi

tanggapan dari jual beli petasan tersebut.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perspektif Hukum Ekonomi Syariah tentang jual beli

petasan berbahan peledak ?


8
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.

IX
2. Bagaimana perspektif Undang-Undang Darurat Republik Indinesia No.

12 Tahun 1951 tentang jual beli petasan berbahan peledak ?

3. Bagaimana perbandingan antara Hukum Ekonomi Syariah dengan

Undang-Undang Darurat Republik No. 12 Tahun 1951 tentang jual

beli petasan berbahan peledak ?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Hukum Ekonomi Syariah

tentang jual beli petasan berbahan peledak ?

2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Undang-Undang Darurat

Republik Indonesia No. 12 tahun 1951 tentang jual beli petasan

berbahan peledak ?

3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara Hukum Ekonomi

Syariah dengan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 12

tahun 1951 ?

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut;

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu

bagi semua pihak terutama bagi pemerhati hukum ekonomi syariah

dan hukum positif yang berkaitan dengan jual beli petasan berbahan

peledak.

2. Manfaat Praktis

X
a. Bagi Peneliti

Peneliti dapat memperoleh pengalaman dan menambah ilmu

mengenai hukum jual beli petasan berbahan peledak.

b. Bagi IAIN Madura

Sebagai bahan informasi atau rujukan bagi mahasiswa IAIN

Madura yang ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai jual beli

petasan berbahan peledak.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan ataupun

pencerahan mengenai fenomena jual beli petasan berbahan peledak

yang ada di masyarakat. Serta lebih mengetahui aturan dan hukum

yang berlaku.

F. Definisi Operasional

Demi menghindari kesalah pahaman dalam mengatikan istilah dari

judul sekaligus sebagai acuan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya,

penulis perlu menegaskan istilah dari judul penelitian ini. Adapun

penegasan yang penulis maksud adalah sebagai berikut;

1. Jual beli merupakan perbuatan dua pihak, pihak yang satu sebagai

penjual/menjual dan pihak yang lain sebagai pembeli/membeli, maka

dalam hal ini terjadilah suatu peristiwa hukum yaitu jual beli.9

2. Petasan juga dikenal mercon yaitu peledak berupa bubuk yang

dikemas dalam beberapa lapis kertas, biasanya bersumbu, digunakan


9
Mohammad Kharis Umardani, “Jual beli Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Hukum Islam (Al-Qur’an-Hadist) Secara Tidak Tunai,” Journal of Islamic Law Studies, Sharia
Journal, (Mei, 2019).

XI
untuk memeriahkan berbagai macam peristiwa, seperti perayaan tahun

baru, perkawinan, dan sebagainya.10

3. Hukum Ekonomi Syariah adalah ilmu pengetahuan sosial yang

mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh

nilai-nilai Islam.11

4. Undang-Undang adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.12

G. Metode Penelitian

Pengertian sederhana metode penelitian adalah tata cara bagaimana

melakukan penelitian. metode penelitian membicarakan mengenai tata

cara pelaksanaan penelitian.

Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode

dan kata penelitian. kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu

methodos yang berarti cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan

kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk

memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk

menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

dan termasuk keabsahannya. Adapun pengertian penelitian adalah suatu

proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sitematis,

untuk mecapai tujuan-tujuan tertentu.

10
Hendra Gunawan, “Analisis Jual beli Petasan Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif,” Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi, 2 (Desember, 2020).
11
M.A Mannan, Ekonomi Islam: Anatara Teori dan Praktik, (Jakarta: Intermasa, 1992), 19.
12
Angga Saputra, “Pengertian Undang-Undang”, Varia Hukum, XXXVI (September, 2016), 847.

XII
Dari pengertian diatas kita dapat mengetahui bahwa metode

penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara

mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah.13

Mengadakan suatu penelitian ilmiah harus jelas menggunakan

metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode.

Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-

pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak

terkendalikan. Oleh karena itu, metode ilmiah timbul dengan membatasi

secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu. Penelitian hukum

tentu menggunakan bahasa hukum yang dipahami oleh para sejawan

sekeahlian (inter subjektif) dan setiap pengemban hukum.14

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian

normatif. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau

studi dokumen. Pengertian hukum normatif adalah proses penelitian

untuk meneliti dan mengkaji tentang hukum sebagai norma, aturan,

asas hukum, prinsip hukum, doktrin hukum, teori hukum dan

kepustakaan lainnya untuk menjawab permasalahan hukum yang

diteliti.15

2. Pendekatan Penelitian

13
Jonaedi Efendi, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Prenadamedia Group,
2018), 2-3.
14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), 294.
15
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram: Mataram University Press, 2020), 47-48.

XIII
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

perbandingan (comparativeapproach). Pentingnya pendekatan

perbandingan dalam ilmu hukum karena dalam hukum tidak

dimungkinkan dilakukan suatu eksperimen. Pendekatan ini digunakan

untuk membandingkan salah satu lembaga hukum dari sistem hukum

yang satu dengan lembaga hukum yang lain. Dengan perbandingan

tersebut dapat diketahui tentang persamaan dan perbedaannya dari

kedua lembaga hukum tersebut.16

Maka dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami

perbandingan antara jual beli petasan berbahan peledak dalam hukum

ekonomi syariah dan Undang-Undang darurat republik Indonesia no.

12 tahun 1951.

3. Jenis Data

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama baik berupa pustaka yang berisikan pengetahuan

ilmiah baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui

ataupun gagasan.17 Data primer dari penelitian ini diambil dari

berbagai sumber yaitu

 Buku tentang Fiqih jual beli, buku tentang jual beli dalam

perspektif ekonomi Islam, buku tentang Hukum ekonomi

16
Suhaimi, “Problem Hukum dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum Normatif”, Jurnal Yustitia,
2, (Desember, 2018), 208.
17
Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raj Grafindo Persada,
2006), 29.

XIV
Islam, buku tentang Asas-Asas Hukum Muamalah, buku

tentang Fiqih Muamalah Konstektual, buku tentang jual beli

dalam padangan Islam, buku tentang petasan yang ditinjau dari

perspektif hukum dan kebudayaan, buku tentang Fiqih

Ekonomi Syari’ah, buku tentang metode penelitian hukum

normatif dan empiris, buku tentang asuransi syariah konsep dan

sistem operasional.

 Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu juz IV karangan

Wahbah Al-Zuhaili.

 Al-qur’an surat Al-Baqarah (2): 275 dan surat An-Nisa’ (4):29

 Hadist mengenai mata pencaharian yang halal yang

diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim.

Dan Hadist tentang larangan jual beli gharar yang diriwayatkan

oleh Imam Muslim.

b. Sumber Data Sekunder

Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak

bisa memberikan informasi langsung kepada pengumpul data.18

Dengan kata lain, data sekunder adalah data pendukung dari data

utama atau data primer. Data sekunder dari penelitian ini diambil

dari berbagai sumber yaitu

 Jurnal Hukum Ekonomi, jurnal Et-Tijari tentang kajian hukum

ekonomi Syariah dalam transaksi jual beli, jurnal bisnis dan

18
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif, (Yoyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, 221.

XV
manajemen Islam

 Skripsi tentang analisis hukum positif dan hukum Islam tetang

jual beli petasan yang mengandung bahan peledak dan skripsi

tentang jual beli petasan untuk perayaan hari besar Islam.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library

research) yaitu mengumpulkan data penelitian dengan membaca dan

menelaah sumber-sumber data baik berupa buku-buku, Al-qur’an dan

sumber lainnya yang terdapat di perpustakaan. Dalam hal ini peneliti

mengumpulkan data dari berbagai referensi yang berkaitan dengan

masalah-masalah yang akan diteliti.

5. Metode Pengolahan Data

Setelah data dalam penelitian ini terkumpul, kemudian data diolah

dengan cara pemeriksaan data. Pemeriksaan data adalah proses validasi

apakah data yang telah diambil dapat dijadikan sebagai sata atau tidak.

Fungsi dari pemeriksaan data ini adalah untuk memastikan tidak

adanya kesalahan dan kekurangan dari data yang telah diambil.19

H. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah upaya untuk mencari perbandingan dan

selanjutnya untuk menemukan inspirasi baru untuk penelitian selanjutnya

disamping itu kajian terdahulu membantu penelitian dapat memposisikan

penelitian serta menunjukkak orsinalitas dari penelitian. pada bagian ini

19
Akbar Iskandar, Statistika Bidang Teknologi Informasi, (Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2021),
30.

XVI
peneliti mencantumkan berbagai hasil penelitian terdahulu terkait dengan

penelitian yang hendak dilakukan, kemudian membuat ringkasannya, baik

penelitian yang sudah terpublikasikan atau belum terpublikasikan. Berikut

merupakan penelitian terdahulu yang masih terkait dengan tema yang

penulis kaji.

1. Devi Agustin, melakukan penelitian tentang “Analisis Hukum

Positif Dan Hukum Islam Tentang Jual beli Petasan Yang

Mengandung Bahan Peledak” Fakultas Syariah, Universitas Islam

Negeri Raden Intan Lampung. Pembahasan dalam penelitian ini

membahas tentang jual beli petasan berbahan peledak dengan

permasalahan yang dilihat dari dua segi hukum yaitu hukum positif

dan hukum islam. Dari hasil penelitian Devi Agustin diketahui bahwa

dalam kehidupan bermasyarakat jual beli petasan sudah terjadi sejak

dahulu kegiatan jual beli, menyalakan atau membakar petasan juga

sudah menjadi hal yang biasa dilakukan. Bahkan pada hari-hari

tertentu seperti hari raya idul fitri dan malam pergantian tahun,

menyalakan petasan sudah menjadi sebuah tradisi dan rutinitas

tersendiri. Tetapi pada kenyataannya kegembiraan yang ada dalam

pesta petasan tersebut seringkali menimbulkan masalah. Ini

dikarenakan ledakan yang timbul akibat membakar petasan tersebut

tidak jarang melukai diri sendiri bahkan orang lain. Dalam penelitian

ini mencantumkan peraturan mengenai jual beli petasan yang

mengandung bahan peledak yang di atur dalam UU No. 12/DRT/1951,

XVII
yang ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara atau hukuman

mati. Peraturan tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (1).20

Terdapat persamaan dan juga perbedaan dengan penelitian yang

akan dilakukan oleh penulis, untuk persamannya penelitian yang

dilakukan oleh Devi Agustin sama-sama membahas tentang jual beli

petasan berbahan peledak. sedangkan perbedannya, penelitian yang

dilakukan oleh Devi Agustin ini membahas tentang jual beli petasan

dalam hukum Islam dan hukum positif dalam UU No. 12/DRT/1951

Pasal 1 ayat (1). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis

ialah jual beli petasan dalam hukum ekonomi syariah dan UU No.

12/DRT/1951 Pasal 1 ayat (3).

2. Imam Sahroni, melakukan penelitian tentang “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Jual beli Petasan Untuk Perayaan Hari Besar

Islam di Desa Pijeran Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo”

Fakultas Syariah, IAIN Ponorogo. Pembahasan dalam penelitian ini

membahas tentang jual beli petasan di Desa Pijeran Kecamatan Siman

Kabupaten Ponorogo yang sebagian besar masyarakatnya turut

menggunakan petasan. Masyarakat tersebut terdiri dari anak-anak,

remaja dan bahkan tidak jarang orang dewasa turut menggunakan

petasan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat

Pijeran dalam rangka mengisi waktu sore menunggu buka puasa atau

istilah lainnya ngabuburit di bulan ramadhan, yaitu dengan bermain

20
Devi Agustin, Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam Tentang Jual beli Petasan Yang
Mengandung Bahan Peledak, (Skripsi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2019), 6.

XVIII
petasan. Tidak cukup berhenti di bulan ramadhan saja, masyarakat di

Desa Pijeran juga bermain petasan dalam rangka memeriahkan

semarak hari raya idul fitri. Menurutnya suara yang dihasilkan dari

petasan tersebut mampu membuat peringatan hari besar Islam tersebut

menjadi semakin meriah. Dalam penelitian yang dilakukan di Desa

Pijeran yaitu memperjualbelikan pertasan, bahwa jual beli petasan

dilakukan dengan akad, yang mana terdapat kata sepakat atau ijab dan

qabul antara penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli

petasan. Selain itu pembeli yang datang dari bermacam-macam usia.

Terutama anak-anak. Pihak pembeli datang langsung ke toko rumahan

untuk membeli petasan yang di inginkannya, dan pihak pembeli dapat

melihat dan memilih dengan sendiri petasan yang akan dibelinya.21

Terdapat persamaan dan juga perbedaan dengan penelitian yang

akan dilakukan oleh penulis, persamaannya penelitian yang dilakukan

Imam Sahroni sama-sama membahas tentang jual beli petasan dan

orang yang melakukan transaksi jual beli petasan tersebut. Sedangkan

perbedaannya penelitian yang dilakukan oleh Imam Sahroni

membahas tentang jual beli petasan dalam hukum Islam saja.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah membahas

tentang jual beli petasan dalam hukum ekonomi syariah serta hukum

positif.

21
Imam Sahroni, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Petasan Untuk Perayaan Hari Besar
Islam di Desa Pijeran Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo, (Skripsi: IAIN Ponorogo, 2019),
71-72.

XIX
3. Hendra Gunawan, melakukan penelitian tentang “Analisis Jual

beli Petasan Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif”

Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri

Padang Sidimpuan. Pembahasan dalam penelitian ini membahas

tentang jual beli petasan dengan permasalahan yang dilihat dari dua

segi hukum yaitu hukum pidana Islam dan hukum positif. Dari hasil

penelitian Hendra Gunawan bahwasanya petasan tidak hanya dapat

membahayakan diri sendiri namn bisa juga membahayakan orang lain

terutama pengaruh explosivenya (ledakannya). Selain itu, petasan

disamping dianggap sebagai hiburan dari bunyi petasan tersebut

namun oleh sebagian lain memandang bunyi petasan sebagai suara

bising yang sangat mengganggu mereka. Dan dalam ajaran Islam,

bahwa menghambur-hamburkan harta (pemborosan) sangat dilarang

dan sangat bertentangan dengan maqasid syariah yaitu hifd mal

(menjaga harta), karena membeli petasan merupakan salah satu bentuk

pemborosan terhadap harta benda. Selain itu dalam penelitian ini

mencantumkan Pasal 1 ayat 1 UU No. 12/DRT/1951. Yang mana

dalam pasal tersebut mengarah kepada seseorang yang di hukum mati

atau hukuman penjara seumur hidup apabila mempergunakan,

menyimpan, menyembunyikan dan lain-lain. dan pada penelitian ini

menggunakan jenis penelitian library research (pustaka) dengan

pendekatan yuridis-normatif.22

22
Hendra Gunawan, Analisis Jual Beli Petasan Perspektif Hukum Pindana Islam dan Hukum
Positif

XX
Tedapat persamaan dan juga perbedaan dengan pnelitian yang akan

dilakukan oleh penulis, persamaannya penelitian yang dilakukan

Hendra Gunawan sama-sama membahas tentang jual beli petasan

dalam hukum positif serta menggunakan penelitian libraray research

(pustaka). Sedangkan perbedaannya penelitian yang dilakukan Hendra

Gunawan yaitu menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan juga

dalam penelitian Hendra diarahkan kepada hukum pidana Islam

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah menggunakan

pendekatan perbandingan (comparative approach) dan diarahkan pada

hukum ekonomi syariah.

I. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Jual Beli

a. Pengertian Jual Beli

Kata “jual beli” adalah frase (gabungan dua kata) yang terdiri

dari dua kata dimana masing-masing kata itu memiliki makna yang

saling berlawanan. Kata “jual” adalah menukat barang dengan alat

tukar yang umumnya berupa uang, sedangkan kala “beli” artinya

menukar uang sebagai alat tukar dengan barang. Didalam Fikih,

jual beli biasanya disebut “al-bai’ (singular) atau al-buyu’ (plural).

Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa kata bai’ sendiri merupakan

kata yang dapat bermakna ganda dan saling berlawanan seperti

kata “jual” dan kata “beli”, sebab kata bai’ dapat diartikan menjual

dan juga dapat diartikan membeli (isytara).

XXI
Didalam bahasa Arab sendiri, kata ba’i diartikan secara

bahasan sebagai “muqabalah syai’ bi syai’”(membandingkan

sesuatu dengan sesuatu). Dengan kata lain, kata “bai’” dalam

bahasa aslinya berarti menukarkan sesuatu dengan suatu yang lain

atau pendek kata, bai’ adalah barter (tukar-menukar). Seperti orang

pada zaman dahulu dimana kebutuhan dalam kehidupan mereka

terpenuhi dengan cara menukarkan barang yang dimiliki dengan

barang lain yang dibutuhkan tanpa menggunakan alat tukar seperti

uang pada zaman sekarang ini.23

Salah satu ulama fiqh Sayyid Sabiq, mendefinisikan dengan:

‫ض َعلَى ْال َوجْ ِه ْال َمْأ ُذوْ ِن فِ ْي ِه‬ ِ ‫ اَوْ نَ ْق ُل ِم ْل‬,‫اضى‬


ٍ ‫ك بِ ِع َو‬ ِ ‫ ُمبَا َدلَةُ َما ٍل َعلَى َسبِي ِْل التَّ َر‬.

“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling

merelakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat

dibenarkan”.

Dalam definisi diatas terdapat kata “harta”, “milik”, “dengan”

“ganti” dan “dapat dibenarkan” (al-ma’dzun fih). Yang dimaksud

harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan

bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak

bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat dibedakan dengan

yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar dapat

dibedakan dengan hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud

23
Pudjihardjo dan Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, (Malang: UB Press,
2019), 24.

XXII
dapat dibenarkan (al-ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan

jual beli yang terlarang.24

Yang dimaksud benda dapat mencakup pada pengertian barang

dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni

benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya

menurut shara’, benda ini adakalanya bergerak (dipindahkan) dan

adakalanya tetap (tidak dipindahkan), dapat dibagi-bagi, pengguna

harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang oleh shara’.25

Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang

berati menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu

yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqh terkadang dipakai

untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-Syira yang berarti

membeli. Dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual

sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual

beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau

sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara

tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah,

dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba’i), yaitu tukar-menukar harta

dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan

kepemilikan. Dan menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda,

atau pertukaran antara benda dengan uang.26


24
Ghazaly, Fiqh Muamalat, 67.
25
Mas’adi Gufron, Fikih Muamalah Konstektual (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 117.
26
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2016), 101

XXIII
Dari definisi yang dikemukakan diatas, dapatlah disimpulkan

bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:

1) Pertukaran harta antara dua belah pihak atas dasar saling rela,

dan

2) Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu

berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas

perdagangan.

Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling

rela, akan timbul pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan

harta? Yang di maksud dengan harta adalah semua yang dimiliki

dan dapat dimanfaatkan.

Dalam istilah lain dapat disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan harta disini sama pengertiannya dengan objek hukum, yaitu

meliputi segala benda, baik yang berwujud maupun tidak

berwujud, yang dapat dimanfaatkan atau berguna bagi subjek

hukum.

Pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikemukakan

bahwa jual beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau

pertukaran barang (dapat dikatakan bahwa jual beli ini adalah

dalam bentuk pasar tradisional).

Sedangkan cara kedua, yaitu memindahkan milik dengan ganti

yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dipertukarkan

XXIV
dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud

dengan ganti yang dapat dibenarkan disini berarti milik/harta

tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan

diakui keberadaannya. Misalnya, uang rupiah dan mata uang

lainnya.27

b. Dasar Hukum Jual Beli

Menurut Sayyid Sabiq, jual beli sebagai sarana tolong

menolong antar sesama manusia. Islam membolehkan berdasarkan

ayat-ayat Al-Qu’an, Hadist-Hadist nabi dan Ijma’ Ulama.

Al-Qur’an:

ۗ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب‬


‫وا‬

Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba”. (QS. Al-Baqarah:275).28

Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa

Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamba-Nya

dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba.

‫ْأ‬ ٰ
ٍ ‫ٓياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬

٢٩- ‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬

27
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam, Cet. 2 (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), 139-140.
28
QS. Al-Baqarah (2): 275

XXV
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan

suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa:29).29

Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta

sesama dengan jalan batil, misalnya dengan cara mencuri, korupsi,

menupi, merampok, memeras, dan dengan jalan lain yang tidak

dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli

dengan didasari atas dasar suka sama suka dan saling

menguntungkan. Nabi SAW bersabda dalam hadist yang

diriwayatkan oleh Imam Bazzar yang berarti:

Dari Rif’ah Ibn Rafi sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya

“usaha apa yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab “Usaha

seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang

mabrur (jujur)”. (H.R. Al-Bazzar dan disahihkan oleh al-Hakim).

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang

berbunyi, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : Dari Hurairah

RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil dan

jual beli gharar (H.R. Muslim).

29
QS. An-Nisa (4): 29.

XXVI
Adapun dalil ijma’, adalah bahwa ulama sepakat tentang

halalnya jual beli dan haramnya riba, berdasarkan ayat dan hadist

diatas.30

Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelas bahwa hukum

jual beli adalah jaiz (boleh). Namun tidak menutup kemungkinan

perubahan status jual beli itu sendiri, semuanya tergantung pada

terpenuhinya atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.31

c. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun secara umum ialah suatu yang harus dipenuhi untuk

sahnya pekerjaan. Dalam jual beli berdasarkan pendapat ulama

Hanafiah yang terdapat dalam bukunya Abdul Rahman Ghozali

rukun jual beli isalah ijab dan qabul yang menunjukkan sikap

saling tukar, atau saling memberi.

Rukun dalam jual beli bedasarkan pendapat ulama Hanafiah

ada dua yakni ijab dan qabul. Sedangkan berdsarkan pendapat

jumhur ulama’ rukun jual beli mencakup empat macam, antara

lain:

1. Sighat (lafad ijab dan qabul).

2. Akidain (penjual dan pembeli)

3. Ada barang yang dibeli.

30
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, 103.
31
Wati Susiawati, “Jual Beli Dalam Konteks Kekinian”, Jurnal Ekonomi Islam, 2 (November,
2017), 174-175.

XXVII
4. Ada nilai tukar pengganti barang.32

Pertama, akad (ijab qabul), pengertian akad menurut bahasa

adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan

menurut istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara yang disyariatkan

sehingga tampak akibatnya.

Menurut Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan aqad secara bahasa :

‫ب َأوْ ِم ْن َجانِبِ ْي‬


ٍ ِ‫اف ال َّشِئ َس َوا ٌء َأ َكانَ ِر ْبطً ِح ِّسيًّا َأ ْم َم ْعن َِويًّا ِم ْن َجان‬ ْ ‫اَل ِّر ْبطُ بَ ْينَ َأ‬
ِ ‫ط َر‬

“Ikatan antara dua hal, baik ikatan seteknik khissy

(nyata/fisik)maupun ikatan seteknik man’nawi (abstrak/psikis),

dari satu sisi ataupun dua sisi”.

Sedangkan aqad menurut istilah:

‫ت َأثَ َرهُ فِى َم َحلِّ ِه‬


ُ ٍ‫ع ي ُْثب‬ ٍ ‫اِرْ تِبَاطُ اِ ْي َجا‬
ٍ ْ‫ب بِقَبُوْ ٍل َعلَى َوجْ ِه َم ْشرُو‬

“Perikataan yang ditetapkan antara ijab qabul berdasarkan

hukum syara’ yang berdampak pada objeknya”.33

Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara lain yang

dapat ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan

cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad para

ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad

diantaranya:

32
Akhmad Farroh Hasan, Fiqh Muammalah dari Klasik Hingga Kontemporer (Teori dan Praktik),
(UIN Maliki: Press, 2018), 33.
33
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyik, dar Al-Fikr, 1989), 80.

XXVIII
1) Dengan cara tulisan, misalnya ketika dua orang yang terjadi

transaksi jual beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara

tulisan (khitbah).

2) Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan

akad jual beli dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh

menggunakan isyarat. Sehingga muncullah kaidah:

ِ َ‫ش َك ْالبَي‬
‫ان بِالِّل َسا ِن‬ َ ‫اَاْل ِ َشا َرةُ ْال َم ْعهُوْ َدةُ اِل َ ْخ َر‬

Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah.

3) Dengan cara ta’ahi (saling memberi), misalnya seseorang

melakukan pemberian kepada orang lain, dan orang yang diberi

tersebut memberikan imbalan kepada orang yang memberinya

tanpa ditentukan besar imbalan.

4) Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan,

apabila seseorang meniggalkan barang-barang dihadapan orang

lain kemuadian orang itu pergi dan orang yang ditinggali

barang-barang itu berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada

akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang titipan

dengan jalan dalalah al hal.

Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan

pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul

dilakukan sebab ijab dan qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan).

Ijab dan qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tertulis. Ijab dan

qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu

XXIX
saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada

dasarnya akad dapat dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila

orang bisu maka ijab dan qabul tersebut dapat dilakukan dengan

surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab dan qabul.

Kedua, oarng yang berakad (subjek) terdiri dari dua pihak

yaitu bai’ (penjual) dan musytari (pembeli). Disebut juga aqid,

yaitu orang yang melakukan akad dalam jual beli, dalam jual beli

tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya, dan

orang yang melakukan harus:

1) Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah

orang Islam, dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam

benda-benda tertentu.

2) Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini

adalah orang yang dapat membedakan atau memilih mana yang

terbaik baginya. Maka orang gila atau bodoh tidak sah jual

belinya, sekalipun miliknya sendiri.

3) Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan

kehendaknya sendiri yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan

jual beli tidak dipaksa.

4) Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum islam batasan

menjadi seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah

bermimpi atau berumur 15 tahun dan bagi perempuan adalah

sesudah haid.

XXX
5) Keduanya tidak mubadzir, yang dimaksud dengan keduanya

tidak mubazir yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam

perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros

(mubazir).

Ketiga, ma’kud ‘alaih (objek) untuk menjadi sahnya jual beli

harus ada ma’qud ‘alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau

yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Barang yang

dijadikan sebagai objek jual beli ini harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

1) Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang

diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasikan kedalam

benda najis atau termasuk barang yang digolongkan

diharamkan.

2) Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang

diperjualbelikan harus ada manfaatnya sehingga tidak boleh

memperjualbelikan barang-barang yang tidak bermanfaat.

3) Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang

yang melakukan perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah

pilihan sah barang tersebut dan atau telah mendapat idzin dari

pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian jual beli barang

yang dilakukan oleh yang bukan pemilik atau berhak

berdasarkan kuasa si pemilik dipandang sebagai perjanjian

yang batal.

XXXI
4) Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjualbelikan

dapat diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik

zatnya, bentuknya, sifatnya, dan harganya. Sehingga tidak

terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak.

5) Barang yang diaqadkan ada ditangan, maksudnya adalah

perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan

(tidak berada dalam kekuasaan penjual) adalah dilarang, sebab

bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan

sebagaimana telah diperjanjikan.

6) Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang

haruslah dapat diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat

diserah terimakan, karena apabila barang tersebut tidak dapat

diserah terimakan, kemungkinan akan terjadi penipuan atau

menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak.

Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar

pengganti barang, yaitu sesuatu yang memenuhi tiga syarat: bisa

menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan

suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar

(medium of exchange).34

d. Macam-macam Jual Beli

34
Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, 2
(Desember, 2015), 246-251.

XXXII
Ulama Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah dan tidak

sahnya menjadi tiga bentuk yaitu:35

1. Jual beli yang Shahih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih

apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat

yang ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak bergantung

pada khiyar lagi.

2. Jual beli yang batil

Jual beli dikatakan jual beli yang batil apabila salah satu

atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut

pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan atau barang yang

dijual adalah barang-barang yang diharamkan syara’.

Jenis-jenis jual beli yang batil antara lain:

a) Jual beli yang barangnya tidak ada (Bai’ Ma’dum).

Bai’ Ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada )

yang didalamnya terdapat unsur ketidakjelasan adalah batil.

Seperti menjual anak unta yang masih dipohon (belum

matang), karena Nabi SAW melarang jual beli anak ternak

yang masih dalam kandungan dan melarang pula jual beli

buah yang masih belum dipohon (belum matang).

b) Jual beli yang barangnya tidak dapat diserahkan pada

pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim)


35
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, 121-129.

XXXIII
Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa

sesuangguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’jus at-

tasliim ketika berakad sekalipun harta/benda/barang

tersebut adalah miliknya sendiri, seperti memperjualbelikan

burung yang terbang dari pemiliknya.

c) Jual beli yang mengandung unsur penipuan (Gharar)36

Menurut bahasa arti gharar adalah al-Khida’

“penipuan”, suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan

tidak ada usnru kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti

penipuan dan tidak mengetahui barang yang

diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi

apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa

yang akan terjadi. Inilah yang disebut gharar

“ketidakjelasan” yang dilarang dalam Islam. Kehebatan

sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar

kedua belah pihak tidak dizalimi atau terzalimi.37

d) Jual beli benda-benda najis

Para ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual

beli bagi khamar, babi, bangkai dan darah. Karena

semuanya itu tidak mengandung harta.38 Rasulullah SAW

bersabda yang artinya : “Dari Jahir r.a, Rasulullah SAW,

36
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2017), 71-72.
37
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 46-47.
38
Harun, Fiqh Muamalah, 72.

XXXIV
bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah

mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala”

(H.R. Bukhari dan Muslim).39

e) Jual beli al-‘arbun

Yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui

perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya

seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat

apabila pembeli tertarik dan seutju maka jual beli sah. Akan

tetapi apabila pembeli tidak setuju dan barang

dikembalikan, maka uang yang telah diberikan kepada

penjual menjadi hibah bagi penjual.

f) Jual beli air (Bai’ Maa’)

Air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak

dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia

tidak boleh diperjualbelikan.40

3. Jual beli Fasid.

Jual beli fasid adalah jual beli yang rusak dan apabila

kerusakan itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki.

Jenis-jenis jual beli fasid, antara lain :

a) Jual beli yang tidak jelas/tidak diketahui barangnya (Bai’

Majhul)

39
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 78.
40
Harun, Fiqh Muamalah, 73.

XXXV
Yaitu jual beli yang barangnya secara global tidak

dapat diketahui, dengan syarat kemajhulannya bersifat

menyeluruh. Akan tetapi, apabila kemajhulannya bersifat

sedikit, maka jual belinya sah.

b) Jual beli yang tergantung atas suatu syarat dan jual beli al-

Mudhaf (menambahi ijab)

Jual beli mudhaf adalah jual beli yang ijabnya

ditambah-tambahi sampai masa yang akan datang, misal:

“Aku jual rumah ini pada awal tahun baru segini”. Inilah

kedua jual beli yang fasid meneurut Hanafiyah.

c) Jual beli harta yang tidak ada/tidak terlihat barangnya (Ba’i

‘Ainol Gho’ibah Au Ghairu Mari’ah)

‘Ainol ghoibah adalah harta pilihan ang dimiliki

oleh penjual, yang wujudnya nyata, namun tidak terlihat.

Hanafiyah membolehkan walaupun tanpa diketahui siftanya

sekalipun dengan syarat khiyar seperti jual beli barang yang

ada di dalam kotak atau tertutup dan lainnya.

d) Jual beli bagi orang yang buta (Bai’ Al ‘A’ma Wa

Syiro’uhu)

Jumhur ulama membolehkannya dalam berakad jual

beli, ijarah (sewa), rahn (gadai) dan hibah (pemberian), dia

berhak melakukan khiyar apabila mengetahui jenis, bau

atau melalui daya rasanya.

XXXVI
Dalam keadaan buta atau meihat Syafi’iyah tidak

membolehkan (orang buta), kecuali tidak membolehkannya

sesuatu sebelum kebutaannya, barang yang tidak berubah

seperti besi dan selainnya.

e) Jual beli barang haram (Bai’ Bi Tsaman Al Muharom)

Khamr, babi, bangkai, dan darah adalah fasid karena tidak

mengandung manfaat secara syar’i.41

Ada beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama,

tetapi sah hukumnya, tetapi orang yang melakukannya mendapat

dosa. Jual beli tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk

kepasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga

yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga

pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-

tingginya.

b) Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain,

seperti seseorang berkata, “Tolaklah harga tawarannya

itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih

mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan

orang lain.

c) Jual beli Najasyi, ialah seseorang menambah atau

melebihi harga temannya dengan maksud memancing-

41
Ahmad Sarwat, Fiqih Jual Beli, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 40-42.

XXXVII
mancing orang agar orang mau membeli barang

kawannya.

d) Menjual diatas penjualan orang lain, umpamanya

seseorang berkata: “Kembalikan saja barang itu kepada

penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga

yang lebih murah dari itu”.42

e. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli

Untuk menghindari dari kerugian salah satu pihak maka

jual beli haruslah dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan,

paksaan, kekeliruan dah hal lain yang dapat mengakibatkan

persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan bagi kedua

belah pihak maka kedua belah pihak haruslah melaksanakan apa

yang manjadi hak dan kewajiban masing-masing.43 Disamping itu,

jual beli juga melahirkan kewajiban-kewajiban lain, baik bagi

penjual maupun pembeli.

1. Kewajiban Pembeli

Kewajiban pembeli yang lahir dari akad jual beli sah adalah

sebagai berikut:

a) Membayar harga

Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga barang

sesuai kesepajatan. Dalam hal ini, harga barang boleh

42
Hndi Suhendi, Fiqh Muamalah, 83-83.
43
Sobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, 255.

XXXVIII
kontan seluruhnya, ditempo seluruhnya, atau kredit dalam

bentuk beberapa kali angsuran.

b) Menerima barang yang diperjualbelikan

Pembeli berkewajiban menerima barang yang telah

diserahkan oleh penjual ditempat yang disepakati. Jika jual

beli terjadi tanpa menyepakati tempat serah terima barang,

maka tempat yang menjadi acuan adalah tempat barang

tersebut berada.

c) Menanggung biaya untuk pembayaran

Jika pembayaran harga memerlukan biaya tertentu karena

tempat akad dan tempat pembayaran yang disepakati

berbeda, secara otomatis pembayaran harga memerulukan

biaya, seperti biaya transfer atau biaya pengamanan, maka

biaya-biaya seperti ini menjadi tanggungan pembeli.

2. Kewajiban Penjual

Kewajiban penjual yang lahir dari akad jual beli adalah sebagai

berikut:

a) Menyerahkan barang, penjual wajib menyerahkan barang

kepada pembeli ketika pembeli telah membayar harga yang

disepakati, dengan catatan ini terjadi dalam jual beli

mutlak.

b) Menjamin barang, kewajiban lain yang lahir dari jual beli

atas penjual adalah menjamin barang, yaitu menjamin

XXXIX
barang yang diperjualbelikan dalam kondisi baik, bebas

dari cacat atau kerusakan yang tersembunyi.44

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hendaklah

dilakukan penulisan dari transaksi tersebut.

Selain penulisan untuk menghindari dari kemungkinan

perselisihan, pengingkaran dan pemalsuan, maka perlu adanya

saksi. Yang mana terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 282 yang

artinya :

“Dan periksakanlah dengan dua orang saksi dari orang-

orang lelaki (diantaramu), jika tak ada dua orang lelaki, maka

(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi

yang diridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang

mengingatkannya” (QS. Al-Baqarah:282).

Dalam ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa antara

penjual dan pembeli mempunyai hak dan kewajiban, yang mana

hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh masing-masing

pihak.45

Adapun menurut Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan

saksi dalam jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh

ditinggalkan.46

44
Ikit, Artiyanto dan Muhammad Saleh, Jual Beli Dalam Perspektif Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Gava Media, 2018), 115-116.
45
Sobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, 255-256.
46
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, 105.

XL
DAFTAR PUSTAKA

Agustin. Devi, Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam Tentang Jual beli
Petasan Yang Mengandung Bahan Peledak, Skripsi: Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2019.

Al-Zuhaili. Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, Damsyik Dar Al-
Fikr, 1989.

Asmarawati. Tina, Petasan diTinjau dari Perspektif Hukum dan Kebudayaan,


Yogyakarta: Deepublish, 2014.

Azzam. Abdul aziz Muhammad, Fiqh Muamalah, Jakarta :Amzah, 2010.

Basyir. Ahmad Ashar, Asas-Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam),


Yogyakarta:UII Press, 2000.

Efendi. Jonaedi, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Depok:


Prenadamedia Group, 2018.

Ghazaly. Abdul Rahman, Fiqh Muamalat Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2010.

XLI
Gufron. Mas’adi, Fikih Muamalah Konstektual Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.

Gunawan. Hendra, “Analisis Jual beli Petasan Perspektif Hukum Pidana Islam
dan Hukum Positif,” Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi, 2
(Desember, 2020).

Harun, Fiqh Muamalah, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2017.

Harun. Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Hasan. Akhmad Farroh, Fiqh Muammalah dari Klasik Hingga Kontemporer


(Teori dan Praktik), UIN Maliki: Press, 2018.

Ibrahim. Johnny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang:


Bayumedia Publishing, 2005.

Ikit, Artiyanto dan Muhammad Saleh, Jual Beli Dalam Perspektif Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2018.

Iskandar. Akbar, Statistika Bidang Teknologi Informasi, Jakarta: Yayasan Kita


Menulis, 2021.

Lubis. Suhrawardi K. dan Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam, Cet. 2 Jakarta:
Sinar Grafika, 2014.

M.A Mannan, Ekonomi Islam: Anatara Teori dan Praktik, Jakarta: Intermasa,
1992.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2016.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram: Mataram University Press, 2020.

Prastowo. Andi, Metode Penelitian Kualitatif, Yoyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

XLII
Pudjihardjo dan Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, Malang:
UB Press, 2019.

QS. Al-Baqarah (2): 275

QS. An-Nisa (4): 29.

Rohman. Abdur, “Menyoal Filosofi ‘An Taradin pada Akad Jual Beli (Kajian
Hukum Ekonomi Syariah dalam Transaksi Jual Beli),” Et-Tijare, 2
(Juli, 2016).

Sahroni. Imam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Petasan Untuk
Perayaan Hari Besar Islam di Desa Pijeran Kecamatan Siman
Kabupaten Ponorogo, Skripsi: IAIN Ponorogo, 2019.

Saputra. Angga, “Pengertian Undang-Undang”, Varia Hukum, XXXVI


(September, 2016).

Sarwat. Ahmad, Fiqih Jual Beli, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen
Islam, 2 (Desember, 2015).

Soekanto. Sarjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raj
Grafindo Persada, 2006.

Suhaimi, “Problem Hukum dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum Normatif”,


Jurnal Yustitia, 2, (Desember, 2018).

Suhendi. Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Sula. Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Susiawati. Wati, “Jual Beli Dalam Konteks Kekinian”, Jurnal Ekonomi Islam, 2
(November, 2017).

XLIII
Umardani. Mohammad Kharis, “Jual beli Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Hukum Islam (Al-Qur’an-Hadist) Secara
Tidak Tunai,” Journal of Islamic Law Studies, Sharia Journal,
(Mei, 2019).

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.

XLIV

Anda mungkin juga menyukai