Anda di halaman 1dari 9

“Experiment-Experimen Psikologi Sosial”

A. The Marshmallow Experiment


a. Latar Belakang
Marshmallow Experiment pertama kali dilakukan oleh  Walter
Mischel pada tahun 1960. Walter Mischel dari Universitas Stanford
melakukan percobaan  untuk mempelajari mengenai kepuasan
tertunda. Dalam percobaan ini  Mischel mengunakan marshmallow
untuk mengetes anak-anak. Anak yang dites berumur empat dan lima
tahun, percobaan dilakukan di Taman Kanak-kanak Bing di dalam
kampus Universitas Stanford. Setiap anak dibawah ke ruangan yang
berbeda dan sebuah marshmallow disimpan di meja depan anak
tersebut. Anak-anak ini diberitahu bahwa mereka boleh
memakan marshmallow tersebut sekarang, tetapi apabila mereka
menunggu 20 menit, Mishcel akan kembali dan memberikan mereka
tambahan satu marshmallow. 
Hasil dari percobaan tersebut adalah sepertiga dari anak-anak
memakan marshmallow dengan segera, sepertiga lainnya menunggu
hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua marshmallow,
sementara sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah
setelah waktu yang berbeda-beda. Tujuan awal dari percobaan ini
adalah untuk mengetahui proses mental yang membuat seseorang
menunda kepuasaannya saat ini untuk mendapatkan kepuasan yang
lebih pada masa mendatang. Tetapi, hasil yang mengejutkan muncul
ketika anak-anak tersebut memasuki usia sekolah menengah.
Ditemukan bahwa anak-anak yang dapat menunggu memiliki nilai
rata-rata 201 poin lebih baik dari mereka yang tidak bisa menunggu.

b. Prosedur Marshmallow Experiment


Saat Walter Mischel dan timnya melakukan eksperimen, ruangan
yang digunakan memili fasilitas kaca dua arah. Fasilitas tersebu
bertujan agar Mischel dan timnya dapa mengamati anak-anak yang
dites dari luar. Tersedi kursi, meja, bel (untuk memanggil peneliti
masuk ke ruangan) dan marshmallow. Kursi digunakan untuk anak
duduk serta meja sebagai tempat menaruh bel dan marshmallow.

B. The Bystander Effect


a. Latar Belakang atau Sejarah Bystander Effect
Kasus pembunuhan yang dialami Kitty Genovese pada tahun 1935,
yang dianggap sebagai induk dari lahirnya fenomena bystander effect.
Kitty Genovese diserang dan diperkosa oleh Winston Moseley di
Aperemtenya. Kejadian tersebut diketahui oleh 37 orang teangga
Kitty Genovese, tapi tidak satupun tetanggannya yang datang
menolongnya saat mendergar tangisan dan terikan minta tolong dari
Kitty Genovese.
Kasus tersebut menjadi alasan Abe Rosenthal menulis buku terkait
Pembunuhan yang dialami Kitty Genovese. Dari analisis yang
didapatkan dari buku yang ditulis oleh Abe Rosenthal ditemukan:
“Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa 37 saksi tidak
mengangkat telepon pada waktu Kitty Genovese sedang dianiaya.
Namun, kita dapat mengandaikan bahwa sikap apatis mereka
mungkin salah satu yang khas dalam gaya hidup perkotaan. Secara
psikologi, fenomena ini adalah salah satu cara bertahan hidup. Jika
seseorang merasa dikelilingi dan ditekan oleh jutaan orang lain agar
tekanan itu tidak sampai merugikan secara langsung, cara satu-
satunya adalah mengabaikan tekanan itu sesering mungkin.
Ketidakpedulian kepada tetangga dan masalah-masalah mereka
merupakan cerminan gaya hidup di New York dan kota-kota besar
lainnya.” Kejadian tersebut menjadi simbol bystander effect sebagai
konsep psikologi yang menimbulkan patahnya semangat orang lain
untuk campur tangan dalam serangan atau keadaan darurat lainnya
jika ada orang lain di tempat yang sama. Kasus pembantaian terhadap
Genovese menjadi inspirasi bagi banyak studi psikologi.

b. Definisi Bystander effect


Bystander effect umumnya dianggap sebagai fenomena empiris dari
Psikologi Sosial (Darley & Latane, 1968. Latane & Darley, 1968.
Latane& Nida, 1981). Bystander effect terjadi pada seseorang yang
menghadapi situasi manusia lain dalam kesulitan, tetapi hanya
memerhatikan dan tidak berbuat apa-apa untuk membantunya karena
beranggapan ada orang lain yang juga hadir dan bersedia menolong
orang yang sedang kesulitan tersebut. Bystander effect telah secara
jelas menunjukkan bahwa kehadiran orang lain dapat menghambat
perilaku membantu. Bystander effect bukanlah salah satu kejadian
atau fenomena yang harus selalu bergantung pada upaya perhitungan,
tetapi satu hal lain yang dapat dibawa dengan cara menyadari
kehadiran kelompok dan menghasilkan keadaan mental yang
disebabkan. Dengan demikian, orang-orang nyata maupun khayalan
tidak perlu membangun satu aspek dalam membantu situasi perilaku
untuk bystander effect terjadi.
c. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Bystander effect
1. Faktor dari Dalam Diri meliputi
1) Perasaan (mood)
Perasaan ini terbagi menjadi dua, yaitu perasaan
negatif dan perasaan positif. Pada orang dewasa yang
sedang mengalami perasaan negatif, bystander effect
mereka cenderung meningkat (Wegener & Petty, 1994
dalam Aronson, Wilson & Akert 2007). Akan tetapi,
pada perasaan positif akan menunjukkan hubungan
yang lebih konsisten dengan tingkah laku menolong.
2) Sifat (trait)
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan
antara sifat seseorang dengan kecenderungan untuk
menolong (Karremans, dkk., 2005).
3) Agama
Menurut Gallup (1984), 12% dari orang Amerika yang
tergolong taat beragama, 45% diantaranya membantu
dalam pekerjaan sosial, sedangkan pada kalangan yang
tidak taat beragama presentase yang membantu hanya
22% saja.
4) Jenis Kelamin
Laki-laki cenderung lebih bersedia terlibat dalam
aktivitas menolong pada situasi darurat yang
membahayakan. Sementara perempuan, lebih tampil
menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan
emosi, merawat, dan mengasuh (Deaux, Dane,
Wrightsman, 1993 dalam Sarwono & Meinarno 2009).
2. Faktor Situasional
1) Jenis Kelamin Orang yang Ditolong
Laki-laki cenderung memberi pertolongan pada
perempuan yang mengalami kesulitan (Latane &
Dabbs, 1975; Piliavin & Unger, 1985). Akan tetapi,
pada perempuan cenderung memberikan pertolongan
tanpa memandang jenis kelamin orang yang
membutuhkan pertolongan (Penner, Dertke &
Achenbach, 1993).
2) Kesamaan Kesamaan, seperti ras, agama, usia, jenis
kelamin, dan karakteristik lainnya yang dimiliki oleh
anggota kelompoknya cenderung menolong orang yang
memiliki beberapa kemiripan dengan dirinya (Krebs,
1975 dalam Sarlito & Meinarno, 2008).
3) Physical Attractiveness dan Atribusi Terhadap Korban
Apa pun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan
bystander kepada korban akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya respon untuk menolong
(Clark, dkk., 1987, dalam Baron, Byrne, Branscombe,
2006). Selain itu, Benson, Karabenick & Lerner, 1976
dan West & Brown (1975) dalam Graham M. Vaughan
& Michael A. Hogg (2005) menemukan bahwa seorang
korban yang memiliki physical attractiveness akan
lebih mudah mendapat pertolongan
4) Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa
cenderung untuk tidak menolong, sedangkan orang
yang sedang santai lebih besar kemungkinannya untuk
memberi pertolongan kepada yang memerlukannya
(Darley & Batson, 1973).

C. Halo Effect Experiment


a. Latar Belakang
Fenomena efek halo pertama kali diteliti oleh Edward L.
Thorndike. Psikolong ini menjadi pelapor dari efek helo disebakan
pada tahun 1960, ada efek yang ditimbulkan dari eksperimen yang
dimana komandan dimina untuk menilahi bawahan (prajurit) pada
kecerdasaan, fisik, kepemiminan, dan karaker, tanpa berbicara dengan
bawahan. Dari percobaan ini ditemukan bahwa prajurit yang lebih
tinggi dan menarik dinilai lebih cerdas. Thorndike menemukan bahwa
orang-orang menggeneralisasi dari satu sifat yang luar biasa untuk
membentuk pandangan yang baik tentang seluruh kepribadian
seseorang.
Di tahun 1946, Salomo Aschu seorang psikolog kelahiran Polandia
menemukan bahwa cara individu membentuk kesan satu sama lain
melibatkan efek keutamaan, yang diturunkan dari informasi awal atau
kesan pertama. Kesan pertama ditetapkan lebih penting daripada kesan
berikutnya dalam membentuk kesan keseluruhan seseorang. Hal
tersebut menghasil kesan atau sifat yang dimunclkan pertama kali
menjadi penilain orang lain terhdap sifat-sifat selanjutnya.

b. Definisi Efek Halo


Efek halo adalah bias kognitif dalam melakukan penilaian
menyeluruh atas seseorang/objek dan penilaian atas kriteria pertama
akan menyebabkan penilaian pada kriteria yang lain cenderung
disesuaikan dengan kriteria yang pertama (Thorndike, 1920).
Penilaian atas informasi holistik mengurangi kediagnostikan atas
informasi analitis tentang atribut spesifik dari objek tersebut (Balzer
dan Slusky, 1992) dan penilaian dilakukan dengan pendekatan struktur
tugas top-down (Murphy et al., 1993).
Efek Halo terbagi dua yatui efek helo positif dan negatif. efek helo
positif adalah memberikan informasi dengan impresi yang positif,
sedangkan informasi yang negatif ditujukan untuk memanipulasi efek
halo negatif. Berdasarkan penelitian Ricchiute (1984), Tang et al.
(2014), Hogarth dan Einhorn (1992) serta Utami dan Wijono (2012),
Utami et al. (2014) efek halo positif (negatif) dapat mempengaruhi
keputusan seseorang.

D. False Consensus Experiment


a. Latar Belakang
False Consensus Experiment pertamakali diteliti atau didefinisikan
pada tahun 1977 oleh Ross, Green dan House. False Consensus
Experiment (FCE)adalah bentuk proyeksi sosial dimana individu
melebih-lebihkan sejauh mana orang lain berbagi karakteristik atau
keyakinan mereka. Dalam modified test of the theory of reasoned
action, pada studi 1 menunjukkan bahwa FCE secara independen
memprediksi niat perilaku mengenai isu-isu sosial yang penting.
Penelitian ini menekankan pada kesamaan relatif yang orang rasakan
tentang tanggapan mereka sendiri. Penelitian (studi) terbaru
menunjukkan bahwa efek konsensus palsu juga dapat mempengaruhi
pembuat keputusan profesional; khususnya, telah ditunjukkan bahwa
bahkan manajer pemasaran yang berpengalaman memproyeksikan
preferensi produk pribadi mereka kepada konsumen. 

b. Efek dari FCE


Efek FCE dapat ditelusuri kembali ke dua teori paralel persepsi
sosial , "the study of how we form impressions of and make inferences
about other people." Pertama teori perbandingan sosial  Leon
Festinger (1954) yaitu individu mengevaluasi pikiran dan sikap
mereka berdasarkan orang lain.  Ini disebut pengaruh sosial
informasional. Dengan kata lain, penelitian telah menunjukkan bahwa
"psikolog intuitif" yang buruk dan bahwa penilaian sosial kita
seringkali tidak akurat.  Temuan ini membantu meletakkan dasar
untuk pemahaman tentang pemrosesan yang bias dan persepsi sosial
yang tidak akurat. Efek FCE hanyalah salah satu contoh
ketidakakuratan semacam itu. Kedua, teori proyeksi gagasan bahwa
orang memproyeksikan sikap dan keyakinan mereka sendiri kepada
orang lain. Proyeksi, karya DS Holmes tentang "proyeksi atributif"
(1968), menggambarkan proyeksi sosial sebagai proses di mana orang
berusaha untuk memvalidasi keyakinan mereka dengan
memproyeksikan karakteristik mereka sendiri ke individu lain.
Efek False Consensus Experiment, yang didefinisikan oleh Ross ,
Greene, dan House pada tahun 1977, menjadi puncak dari banyak teori
terkait yang mendahuluinya. Ross dan rekan-rekannya berhipotesis
dan kemudian menunjukkan bahwa orang cenderung melebih-lebihkan
popularitas keyakinan dan preferensi mereka sendiri. Secara umum,
penilai membuat lebih banyak "prediksi ekstrem" tentang kepribadian
aktor yang tidak memiliki preferensi yang sama dengan penilai.
Bahkan, penilai mungkin berpikir bahwa ada yang salah dengan
orang-orang yang mengungkapkan tanggapan alternatif. 

E. Carlsberg Social Experiment


Carlsberg Social Experiment pertamakali hadir sebagai iklan dari bir
Carlsberg. Dimana geng sepeda motor yang terlihat sangar dan kasar
duduk di 148 kursi dari 150 yang ada di bioskop. Dalam percobaan ini,
tidak semua orang memilih duduk dibangku yang tersisa, tetapi mereka
yang memilih duduk dikursi dihargai dengan sorakan dari kerumunan dan
satu putaran bir Carlsberg gratis. Hasil dari percobaan ini ditemukan
bahwa penampilan seseorang belum tentu sama dengan karakternya.
Kesan yang didasarkan pada apa yang ada di luar ini terkadang
menyebabkan orang mengabaikan karakteristik dan kualitas yang ada di
dalam. Penelitian ini menjadi contoh yang bagus tentang mengapa orang
tidak selalu menilai buku dari sampulnya.

F. The Piano Stairs Experiment


a. Latar Belakang
Piano Stairs biasanya ditemukan di tempat-tempat umum seperti
taman, mal, stasiun, sekolah, dan universitas. Bertujuan untuk
mengubah kebiasaan hidup individu menjadi lebih baik, yaitu perilaku
yang cenderung memilih mengunakan ekskalator dibandingkan
tangga. Piano stairs experiment dilakukan dengan cara mendisain
anak tangga seperti piano. Tahun 2009 piano stairs diuji cobakan di
salah satu stasiun Swedia. Desain yang menarik dan suara musik yang
intraktif dari piano stairs, membauat 66% penjalan kaki mengunakan
tangga dibandingkan ekskalator.

b. Definisi Piano Stairs


Piano Stairs adalah anak tangga berdesain piano yang akan
menimbulkan suara layaknya sebuah alat musik piano jika ada yang
melintasinya. Teknologi ini pernah diterapkan sebelumnya di negara
lain seperti Italia, Swedia, Selandia Baru, dan Cina.

Piano Stairs merupakan salah satu contoh implementasi gamifikasi


yang dibuat oleh Volkswagen dan agensi periklanan DDB Stockholm
yang disebut "The Fun Theory". Konsep ini didasari oleh ide bahwa
"fun is the easiest way to change people's behavior for the better"
yang berarti kegembiraan adalah cara termudah untuk mengubah
perilaku manusia menjadi lebih baik. Penelitian tersebut dilakukan
dengan cara mendesain.
G. The 'Violinist in the Metro' Experiment
The 'Violinist in the Metro' Experiment dilakukan oleh Josh Bell
seorang musisi paling terkenal di dunia yang menyamar sebagai musisi
jalanan. Di stasiun kereta bawah tanah Washington, D.C. yang sibuk pada
tahun 2007. Pada saat itu Bell baru saja menjual habis tiket konser dengan
harga rata-rata masing-masing $ 100. Saa menyamar Bell bermain dengan
biola buatan tangan senilai lebih dari $ 3,5 juta. Namun kebanyakan orang
tergesa-gesa dalam perjalanan tanpa henti untuk mendengarkan musik.
Ketika anak-anak sesekali berhenti untuk mendengarkan, orang tua
mereka akan menangkap mereka dan segera mengantar mereka ke jalan.
Eksperimen tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan menarik
tentang bagaimana kita tidak hanya menghargai keindahan tetapi apakah
kita benar-benar berhenti untuk menghargai karya keindahan luar biasa
yang ada di sekitar kita.

H. Robbers Cave Experiment: How Group Conflicts Develop


Dalam eksperimen ini, dua puluh dua anak laki-laki berusia 11 tahun
dibawa ke perkemahan musim panas di Robbers Cave State Park,
Oklahoma, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah subjek
eksperimen. Sebelum perjalanan anak-anak secara acak dibagi menjadi
dua kelompok. Kedua kelompok inilah yang menjadi dasar studi Sherif
tentang bagaimana prasangka dan konflik terbentuk di antara dua
kelompok orang ( Sherif et al., 1961 ).
Ketika anak laki-laki tiba, mereka ditempatkan di kabin terpisah dan,
untuk minggu pertama, tidak mengetahui keberadaan kelompok
lain. Mereka menghabiskan waktu ini untuk menjalin ikatan satu sama
lain sambil berenang dan mendaki. Kedua kelompok memilih nama yang
telah mereka sablon di baju dan bendera mereka: satu kelompok adalah
Elang dan yang lainnya adalah Rattlers.
Sherif mencapai kesimpulan penting dari penelitian ini, dan pekerjaan
serupa lainnya yang dilakukan pada tahun 1940-an dan 1950-an. Dia
berpendapat bahwa kelompok secara alami mengembangkan budaya
mereka sendiri, struktur status dan batas-batas. Pikirkan masing-masing
kelompok anak laki-laki ini seperti sebuah negara dalam
mikrokosmos. Setiap negara memiliki budayanya sendiri,
pemerintahannya, sistem hukumnya sendiri dan ia menarik batas-batas
untuk membedakan dirinya dari negara-negara tetangga. Dari struktur
internal inilah akar konflik baik dalam kelompok anak laki-laki maupun
antar negara tercipta.
DAFTAR PUSTAKA

Bauman, K. P., & Geher, G. (2002). We think you agree: The detrimental impact
of the false consensus effect on behavior. Current Psychology, 21(4),
293-318.

Fakkir. (2020). 8 Eksperimen Psikologi Sosial Terkenal. Diakses 08 Desember


2021, dari http://www.fakkir.xyz/8-eksperimen-psikologi-sosial-terkenal/

Neugaard, B. (2016). Halo Effect. Diakses 08 Desember 2021, dari


https://www.britannica.com/science/halo-effect

Octavian, N., & Utami, I. (2016). Efek Halo dan Keputusan Audit: Studi
Eksperimental Pengujian Bentuk dan Cara Penyajian Informasi. Kinerja,
20 (2). 117-131.

Psyblog. (2021). Robbers Cave Experiment: How Group Conflicts Develop.


Diakses 08 Desember 2021, dari https://bit.ly/3pEyVEh

Safaat, R. (2015). Rancang BangunGamifikasi Piano Stairs Menggunakan Sensor


Ultrasonik dan Teknologi Radio Frequency Identification. Skripsi.
Universitas Multimedia Nusantara: Tangerang.

Sinaga, A., Reynickha R.S. (2021). Pengaruh Bermain Peran Terhadap Penundaan
Kepasan pada Anak Usia Dini. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta: Yogyakarta.

Wikipedia. (2021). False Consensus Effect. Diakses 08 Desember 2021, dari


https://bit.ly/3EzROPh

Wikipedia. (2021). Percobaan Marshmallow Standford. Diakses 08 Desember


2021, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan_marshmallow_Stanford

Wiradharma, G., dan Rahmat Septiyadi. (2017). Bystander Effect:


Ketidakpedulian Orang Urban. UPN Veteran Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai