Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Popularitas istilah “kedaulatan rakyat” yang meledak pada awal abad ke-20, menjadi
salah satu isu penting yang digulirkan oleh banyak pemikir dan menjadi suatu latar belakang
yang membidangi signifikansi peran media massa. Media massa adalah bentuk media yang
dirancang untuk menjangkau khalayak umum. Diantaranya televisi, film, radio, koran,
majalah, buku, catatan, video game dan internet. Banyak penelitian telah dilakukan pada abad
masa lalu untuk mengukur efek media massa pada populasi dalam rangka untuk menemukan
teknik terbaik untuk mempengaruhinya. Dari studi tersebut muncul ilmu Komunikasi, yang
digunakan dalam pemasaran, hubungan masyarakat dan politik. Komunikasi massa
merupakan alat yang penting dalam menjamin fungsionalitas dari sebuah demokrasi besar,
tetapi juga merupakan alat yang diperlukan untuk kediktatoran. Itu semua tergantung pada
penggunaannya.1

Salah satu peran penting media massa adalah untuk membentuk opini publik,
berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah
tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek
dan situasi tertentu. Opini publik dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran,
perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan
kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya
ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan
pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini publik akan
memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan
menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri
atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.2

Media massa memegang peran penting dalam membentuk opini publik, terutama di
negara- negara yang menganut sistem demokrasi seperti Amerika Serikat. Opini Publik
sepertinya telah menjadi hal yang sangat menentukan bagi Presiden Amerika Serikat (AS)

1
Artikel ini diakses dari http://www.emonmeong.blogspot.com/2011/02/iklan-propaganda.html [pada tanggal
14 April 2011]
2
Artikel ini diakses dari http://www.politik.kompasiana.com/2011/01/20/pentingnya-opini-publik-dalam-
komunikasi-politik/ [pada tanggal 14 April 2011]
untuk dapat meloloskan usulan kebijakannya di Kongres AS. Kemampuan seorang Presiden
AS dalam mempengaruhi agenda Kongres dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu secara
langsung (direct access) atau tidak langsung (indirect access). Direct access dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu melalui pengajuan program kepada Kongres untuk dipertimbangkan
dan melalui dominasi partai politik di mana Presiden AS itu berasal. Sedangkan Indirect
access dilakukan melalui opini publik yang dibentuk oleh Presiden AS itu sendiri.
Rasionalitas mengenai bagaimana opini publik dapat mempengaruhi agenda publik di
Kongres adalah bahwa Kongres itu sendiri sebenarnya merespon pada agenda publik. Dan
dengan demikian, kemampuan Presiden untuk dapat menstruktur agenda publik sebaik
mungkin tentunya semakin memberikan peluang bagi Presiden untuk menstruktur, atau
paling tidak, mempengaruhi agenda di Kongres.

Fakta menunjukkan bahwa Presiden AS memang dapat mempengaruhi agenda publik.


Hal ini salah satunya dapat terlihat jelas di berbagai pidato dari seorang Presiden AS
mengenai isu kebijakan spesifik tertentu yang dapat mempengaruhi perhatian sekaligus
membentuk opini masyarakat / publik di isu-isu yang telah disampaikannya tersebut. Karena,
ketika Presiden dapat menyita perhatian publik terhadap isu yang telah disampaikannya,
maka seketika itu pula Presiden dapat membingkai opini publik yang tercipta. Dalam hal ini,
media sangat memegang peranan yang sangat penting sekali sebagai pihak yang
menyebarluaskan, menyaring, mem-boom-ingkan, dan karenanya telah membantu usaha
Presiden untuk meraih opini publik melalui berbagai saluran media. Dan karena besarnya
peran media ini pula di dalam berbagai agenda pemerintahan AS, media di AS telah
mendapat predikat sebagai Pilar keempat dari Pemerintahan AS. Selain menggunakan media
massa sebagai wadah dalam pembentukan, penyampaian, dan penyebarluasan dari isu
kebijakan, Presiden juga menggunakan popularitas yang dimilikinya untuk meyakinkan
publik, misalnya ketika berbicara, berpidato, atau mengadakan press conference, atau diskusi
di depan media massa.3 Berdasarkan berbagai pemaparan di atas adalah hal-hal yang melatar
belakangi kami menulis makalah ini yang berjudul:

“Peran Media Massa dalam Membentuk Opini Publik Mengenai Invasi Amerika
Serikat terhadap Irak”

3
Artikel ini diakses dari http://ardaiyene.wordpress.com/page/4/ [pada tanggal 14 April 2011]
1.2 Rumusan Masalah

Dari elaborasi mengenai media massa, opini publik, dan pentingnya media massa
dalam membentuk opini publik Amerika Serikat akhirnya memberi inspirasi kepada penulis
untuk mengambil satu rumusan masalah yang lebih spesifik, yaitu:

“Bagaimana peran media massa dalam membentuk opini publik mengenai


invasi Amerika Serikat terhadap Irak ?”

1.3 Kerangka Teori

Untuk mendapatkan penjelasan yang rasional berkenaan dengan peranan media massa
dalam membentuk opini publik mengenai invasi Amerika Serikat terhadap Irak, maka penulis
akan menggunakan teori Agenda Setting. Teori Agenda Setting dikemukakan oleh Bernard
Cohen (1963), beliau mengatakan bahwa;

“The press may not be succesful much of the time in telling people what to think, but
it is stunningly succesful in telling its readers what to think about.”4

Poin penting yang ingin disampaikan oleh Cohen adalah, Pers mungkin saja kurang berhasil
mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong
pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh McCombs dan Shaw, menurutnya, “we
judge as important what the media judge as important”. Kita cenderung menilai sesuatu itu
penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa
menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya,
jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi
tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.5 Hal ini dikarenakan
pemberitaan oleh media massa yang secara terus menerus, terlepas apakah isu maupun berita
tersebut memang sengaja di blow-up atau tidak, hingga akhirnya membuat isu tersebut
perlahan menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat. Salah satu cara untuk mengetahui
bagaimana opini publik yang terbentuk di kalangan masyarakat mengenai suatu isu

4
Artikel ini diakses dari http://www.teddykw1.wordpress.com/2008/03/08/teori-penentuan-agenda-agenda-
setting-theory/ [pada tanggal 17 April 2011]
5
Artikel ini diakses dari http://www.docstoc.com/docs/9444085/Teori-Agenda Setting/ [pada tanggal 16 April
2011]
kontemporer yang ada ialah melalui penelitian atau polling dengan responden yang terdiri
dari masyarakat yang bersangkutan.

Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai


mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga
sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara
apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik..6

Dengan menggunakan konsep Agenda Setting seperti yang telah diuraikan penulis di
atas, maka kita dapat melihat bagaimana peran media massa terhadap agenda invasi Amerika
Serikat terhadap Irak melalui berbagai isu yang diusungnya untuk melancarkan agendanya
tersebut. Disamping itu kita juga dapat mengukur seberapa besar peranan pemberitaan media
massa terkait isu kontemporer yang dibahasnya, termasuk kemampuannya dalam membentuk
opini publik mengenai suatu isu maupun berita yang ada.

6
Artikel ini diakses dari http://www.docstoc.com/docs/9444085/Teori-Agenda Setting/ [pada tanggal 16 April
2011]
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisa Mengenai Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak


2.1.1 War on Terrorism, Mass Weapon Destruction (WMP), dan Demokratisasi
menjadi Agenda AS yang diwacanakan ke Publik
Invasi Amerika terhadap Irak secara resmi dimulai pada 20 Maret 2003 dengan kode
Operasi Pembebasan Irak. Sebelumnya, Bush telah memberikan tenggang waktu 48 jam bagi
Presiden Irak, Saddam Hussein beserta dua anaknya Uday dan Qusay, untuk meninggalkan
Irak. Namun peringatan Bush sama sekali tidak dihiraukan dan tetap berada di Irak. Sebanyak
250.000 tentara AS didukung hampir 45.000 tentara Inggris, 2000 tentara Australia dan 200
tentara Polandia menggempur dan memasuki Irak lewat Kuwait. Meskipun tindakan AS ini
mendapat kecaman dari berbagai pihak namun tidak menyurutkan rencana penyerangan Bush
terhadap Irak. Banyak hal yang dibeberkan oleh Bush sebagai alasan pembenarannya
melakukan invasi terhadap Irak.
Alasan Terorisme dan kepemilikan senjata pemusnah masal adalah alasan utama
invasi Bush. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa nine eleven, yaitu penyerangan teroris
terhadap gedung WTC dan Pentagon AS. Setelah penyerangan tersebut AS segera
mencanangkan “War on Terorism” sebagai agenda kebijakan luar negerinya. Berdasarkan
autobiografi yang ditulis oleh Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald
Rumsfeld, yang saat itu bertindak sebagai arsitek invasi Irak, mengatakan bahwa Bush
memerintahkan perang Irak hanya berselang dua minggu dari peristiwa nine eleven yang
merupakan teror terburuk yang dialami bangsa Amerika.7 Dalam kongres tanggal 28 Januari
2003, melalui laporan intelligent terpercayanya, Bush mengungkapkan bahwa ada
keterlibatan Irak dalam peristiwa nine eleven.
Disebutkan bahwa sebelum adanya invasi, pemimpin serangan nine eleven bertemu
dengan pejabat intelijen Irak di Praha, sehingga ada keterlibatan antara Al Qaeda dan Saddam
Hussein. Selain itu diduga juga ada keterlibatan kelompok kecil Ansar al Salam yang

7
Artikel ini diakses dari http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=29279
&Itemid=18 [pada tanggal 15 April 2011]
dikendalikan oleh Saddam Hussein dalam peristiwa WTC dan dipercaya memproduksi ricin,
suatu biotoksin yang mematikan.8 Bush dalam kongres juga menyebutkan tentang
kepemilikan senjata pemusnah massal Irak yang sangat mengancam keamanan dunia
internasional. Irak memiliki senjata pemusnah masal atau senjata kimia yang bisa disiapkan
dalam waktu 45 menit. Juga dipaparkan bahwa Irak terbukti memiliki pesawat tanpa awak
yang dapat terbang sejauh 500 km. Jadi dapat dibenarkan bahwa Amerika melakukan invasi
ke Irak karena rezim Saddam Hussein yang mendukung tindakan terorisme sangatlah
berbahaya bagi keamanan dunia internasional.
Alasan lain invasi Amerika atas Irak adalah membantu Irak untuk transisi demokrasi
dan intervensi kemanusiaan. Amerika telah melihat rezim Saddam Hussein yang otoriter
sangat merugikan rakyat Irak sendiri dengan membungkam sikap kritis dan partisipasi rakyat.
Rezim Saddam dinilai sangat sewenang-wenang dan seringkali melakukan kekerasan
terhadap kelompok oposisi. Berikut kekerasan yang terjadi pada rezim Saddam Hussein:
• Pelanggaran terbesar, genosida yang dilakukan Saddam terhadap bangsa Kurdi di
sebelah utara Irak 1980 yang dinilai sebagai kejahatan internasional.
• Penggunaan penyiksaan, pembunuhan serta pemerkosaan sebagai alat politik bagi
mereka yang melawan pemerintah.
• Partisipasi politik penuh di tingkat nasional dibatasi hanya untuk anggota Partai Arab
Ba’at, yang meliputi hanya 8% dari populasi.
• Warga tidak diijinkan berkumpul secara hukum kecuali hal itu untuk menyatakan
dukungan terhadap pemerintah.
Diperkirakan 800.000 warga Irak meninggal akibat kekerasan selama Saddam
Hussein berkuasa.9 Untuk itu Amerika sebagai polisi dunia menganggap perlunya demokrasi
bagi rakyat Irak karena demokrasi diyakini sebagai sistem politik yang mengangkat harkat
dan martabat manusia sebagaimana mestinya. Dengan demokrasi diharapkan akan
melindungi kebebasan dan suara rakyat Irak dan Negara tersebut tidak perlu hidup sebagai
bangsa yang terkungkung kebebasannya.
Berdasarkan alasan-alasan itulah Amerika melancarkan invasi terhadap Irak. Alasan-
alasan di atas adalah alasan yang dipaparkan Amerika dalam dunia internasional meski
banyak yang menentang invasi tersebut. Invasi tersebut membuahkan hasil dengan jatuhnya
rezim Saddam Hussein dan membawa rakyat Irak pada demokrasi ala Amerika.

8
Artikel ini diakses dari http://nuray.wordpress.com/2009/06/22 [pada tanggal 17 April 2011]
9
Artikel ini diakses dari http://www.dw-world.de/dw/article/0,,2943687,00.html [pada tanggal 17 April 2011]
2.1.2 Tujuan dan Kepentingan Utama AS dalam Invasi ini
Berdasarkan pemaparan mengenai latar belakang invasi Amerika Serikat terhadap
Irak pada tahun 2003 silam, penulis mencoba untuk merumuskan tindakan, kepentingan,
alat/media/cara yang digunakan Amerika Serikat dalam upayanya meraih dukungan publik
untuk melegitimasi agenda invasinya terhadap Irak. Berikut hasil analisa penulis dapat
dirumuskan.

Secara umum semua negara, sebagai negara yang berdaulat, memiliki kepentingan
nasionalnya masing-masing, tidak terkecuali dengan Amerika Serikat. Kepentingan nasional
ini salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan elite pemerintahan pada
khususnya, dan masyarakat negara pada umumnya. Penulis berasumsi demikian, karena
dalam negara demokratis sekalipun, sebagaimana layaknya Amerika Serikat sendiri, dalam
setiap keputusan maupun kebijakan publik yang diambil pasti tidak terlepas dari kepentingan
sebagian kelompok yang berkuasa. Meskipun hal ini sekedar untuk mendapatkan simpati
publik terhadap pemerintahan di bawah kekuasaannya.

Berkenaan dengan kepentingan nasional tersebut diatas, maka hal ini pun berkembang
menjadi pijakan awal atau lebih tepatnya sebagai dasar untuk mengambil tindakan. Terutama
apabila kepentingan nasional ini terkait dengan subjek di luar dirinya (negara yang
bersangkutan). Dari titik inilah para pejuang peraih kepentingan nasional, yang biasanya
terdiri dari menteri luar negeri hingga departemen-departemen lain yang bersinggungan
langung dengan kepentingan tersebut, mulai merancang agenda yang nantinya akan
dirumuskan sebagai suatu kebijakan. Namun jauh sebelum menyusun kebijakan yang efektif
dan efisien untuk diterapkan nantinya, mereka atau pemerintah negara tersebut akan terlebih
dahulu melihat kepada siapa nantinya kebijakan tersebut akan ditujukan.

Selain kepentingan nasional, siapa subjek yang dituju hingga kebijakan apa yang
paling tepat untuk diambil masih terdpat dua hal penting lainnya yang patut diperhatikan.
Pertama, mengenai isu apa yang sekiranya dapat menyamarkan tujuan negara yang
sebenarnya atau tujuan utama dari negara yang bersangkutan dalam melancarkan aksinya
melalui kebijakan yang dikeluarkannya. Kemudian timbul pertanyaan, “Mengapa seorang
aktor (dalam kasus ini adalah state as the main actor) perlu untuk mengglobalkan (sebuah)
issu untuk menutupi maksud aslinya terhadap aktor lain?”. Penulis memiliki asumsi bahwa
hal ini, terkait isu yang diglobalkan tadi, merupakan salah satu langkah cerdas bagi seorang
aktor (yang memungkinkan) untuk lebih memaksimalkan tercapainya kepentingan nasional
negaranya (aktor yang bersangkutan). Seperti yang kita ketahui, sekarang ini bukan lagi
periode “Ksatria” dimana dulu para aktor umumnya langsung datang ke wilayah yang dituju
lalu menjajah dan mengeskploitasi sumber daya yang ada. Ada banyak hal penting yang perlu
dipertimbangkan matang-matang karena jika tidak hal tersebut hanya akan menjadi
boomerang bagi si empunya rencana. Kemudian hal lainnya yang juga perlu diperhatikan
secara khusus ialah mengenai cara atau instrumen apa saja yang akan digunakan untuk
mengglobalkan isu yang telah direncanakan sedemikian rupa sekaligus untuk meraih
kepentingan nasionalnya. Untuk memperjelas penjelasan ini maka penulis akan
mengilustrasikannya ke dalam bentuk ontologi “Backbone Fish Scheme” di bawah ini.

Sumber : Gambar ini disalin dari slide mata kuliah Human Security and Global Issues yang
berjudul “Foreign Policy and Issues Indeed”.

Melalui pemaparan serta ontologi gambar di atas, selanjutnya penulis akan


menghubungkan atau lebih tepatnya menganalisa terkait keputusan Amerika Serikat
menginvasi Irak pada tahun 2003.

Pertama-tama, penulis akan mengawali analisanya dari bagian ekor gambar ikan
tersebut, yakni berkenaan dengan interest. Sebagaimana disebutkan bahwa setiap negara
memiliki kepentingan nasional. Dan kepentingan nasional Amerika Serikat yang paling
utama ialah atas kepemilikan minyak mentah yang terkandung dalam bumi Timur Tengah,
termasuk Irak itu sendiri. Karena sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia, jelas
kebutuhan Amerika Serikat akan minyak mentah sangatlah besar. Selain itu Timur Tengah
merupakan salah satu kawasan di belahan dunia ini yang termasuk prioritas vital dalam setiap
tujuan kebijakan (politik) luar negerinya. Lalu muncul pertanyaan lainnya yakni, “Mengapa
harus Irak?”. Jawabnya adalah karena Irak sebagai salah satu negara yang memiliki
kandungan minyak mentah terbesar di dunia, selain Saudi Arabia (sekutu Amerika Serikat di
kawasan Timur Tengah) dan Iran (musuh bebuyutan Amerika Serikat di kawasan yang
sama), pada saat itu berada dibawah kepemimpinan Saddam Hussein yang notabene “anti-
barat”. Otomatis hal ini akan sangat mempengaruhi jumlah pasokan minyak mentah terhadap
Amerika Serikat, hal ini menjadi penting mengingat minyak merupakan salah satu sumber
daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sementara kebutuhan minyak mentah Amerika
Serikat adalah mutlak, mengingat roda perekonomian Amerika sendiri bertumpu pada
produktifitas industri dalam negerinya. Sebab itulah yang kemudian semakin membulatkan
tekad Amerika Serikat untuk menginvasi Irak.

Paragraf di atas tidak hanya menjelaskan mengenai kepentingan nasional yang


menjadi pijakan dasar invasi Amerika Serikat, melainkan juga sekaligus memaparkan
mengapa dan siapa subjek yang dituju. Selanjutnya untuk dapat menggapai kepentingan
nasionalnya tersebut, yang sarat akan kesejahteraan rakyatnya, Amerika Serikat pun telah
menyiapkan sejumlah agenda mengenai isu yang akan diglobalkan nantinya yang berfungsi
untuk melegalkan agenda utamanya yakni invasi Irak. Dalam hal ini, posisi invasi tersebut
lebih tepat dikategorikan sebagai hidden agenda dari Amerika Serikat guna mencapai apa
yang diinginkannya. Hal-hal yang sangat diharapkan oleh Amerika Serikat terkait dengan
invasinya ke Irak tersebut ialah untuk membentuk pemerintahan Irak yang lebih demokratis,
dengan menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein terlebih dahulu tentunya. Pemerintahan
yang demokratis disini tentu saja sebuah pemerintahan ala Amerika Serikat dimana
pemimpin negaranya akan cenderung bersikap “pro” terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Dengan kata lain pemerintahan Irak yang baru tidak lain merupakan pemerintahan boneka
yang berada dibawah pengawasan Amerika Serikat. Sehingga banyak hal yang dapat
diperoleh oleh Amerika Serikat, seperti pasokan minyak mentah dalam jumlah yang lebih
besar dan mengepung Iran, mengingat Iran merupakan salah satu musuh terbesar Amerika
Serikat yang berambisi untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan Timur Tengah.
Berkenaan dengan keinginan Amerika Serikat ini, maka isu yang diglobalkan di dunia
internasional ialah mengenai demokratisasi Irak, dengan menyertakan berbagai bukti
mengenai kekejaman pemerintahan otoriter di bawah kepemimpinan Saddam Husein. Tidak
hanya berhenti sampai disitu, Amerika Serikat juga mengglobalkan isu mengenai
kepemilikan senjata pemusnah massal yang disinyalir terdapat di Irak. Hal ini juga tidak
terlepas dari kejadian 9/11 yang baru saja dialami oleh Amerika Serikat, yangmana sejak saat
itu mereka mencanangkan agenda dunia berupa “war on terrorism”. Ditambah lagi dengan
“dugaan” keterlibatan rezim Saddam Husein terkait peristiwa menyedihkan yang
menghancurkan dua gedung iconic milik Amerika Serikat, yakni WTC dan Pentagon.
Dimana sebelumnya Pemerintahan Presiden Bush menghadapi tekanan yang kian meningkat,
untuk mengadakan penyidikan independen dan menyeluruh atas laporan intelijen tentang
Weapon Mass Destruction (WMD) atau senjata pemusnah masal Irak yang berupa senjata-
senjata kimia. Laporan intelijen itulah yang dipakai sebagai dalih oleh pemerintahan Presiden
George W Bush untuk melancarkan invasi ke Irak pada Maret 2003, guna menyingkirkan
pemerintahan Presiden Saddam Hussein. Yang perlu digarisbawahi disini adalah isu
mengenai war on terrorism dan kepemilikan senjata pemusnah massal merupakan isu yang
pertama kali dimunculkan oleh Amerika Serikat.

Tanpa kita sadari, analisa diatas cukup untuk membuktikan betapa invasi Amerika
Serikat terhadap Irak berikut isu-isu yang meliputinya terlihat sangat tersusun dan terencana
dengan baik dan matang. Poin terkahir yang berperan sebagai finishing touch atas
keseluruhan agenda maupun isu tersebut ialah cara atau instrumen yang digunakan. Dalam
kasus ini, penulis menganalisa bahwa Amerika Serikat cenderung lebih banyak untuk
memanfaatkan peran media massa sebagai salah satu agen untuk mengglobalkan isu-isu yang
dibuatnya termasuk untuk membentuk opini publik. Terbentuknya opini publik, baik di dalam
negara Amerika Serikat itu sendiri maupun dalam tataran dunia internasional, berfungsi
sebagai alat untuk mendapatkan legitimasi dari Konggres Amerika Serikat sekaligus dari
publik internasional melalui lembaga internasional bentukannya yakni PBB. Meskipun
langkah invasi Amerika Serikat ini juga memperoleh back-up penuh dari sekutu-sekutunya di
Eropa Barat, seperti Inggris misalnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini
peranan media massa juga sangatlah vital. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis akan
mengulas lebih jauh terkait peranan media massa dalam membentuk opini publik mengenai
invasi Amerika Serikat ke Irak sebagaimana yang dirumuskan dalam rumusan masalah karya
ilmiah ini.

2.2 Pentingnya Opini Publik


Kita sadari ataupun tidak media hingga detik ini masih dan mungkin akan terus
menjadi penentu atau mungkin pencetus dari sebuah opini publik yang ada di masyarakat.
Kita bisa melihat banyak fakta terkait hal ini.
Media telah menjadi semacam jembatan penghubung arus informasi. Berbagai
informasi di belahan dunia bagian barat, dengan segera bisa diakses oleh negara-negara di
belahan timur. Media telah menjadikan dunia terasa datar, terlebih lagi dengan semakin
berkembangnya teknologi Web 2.0. Seperti kata Thomas L Friedman dalam bukunya yang
sangat terkenal The World is Flat : When the world goes flat ─and you are feeling
flattened─reach for shovel and dig inside yourself. Don’t try to build walls. Sebuah pesan
yang bijak dalam menyikapi arus informasi dan teknologi yang semakin berkembang dengan
melihatnya sebagai sebuah peluang dan tantangan dalam memperluas jaringan informasi dan
meningkatkan kapabilitas diri.10
Segala arus informasi bisa segera tersebar hanya melalui perantaraan kawat.
Kawat yang saling terhubung antara satu dan yang lainnya guna menghantarkan gelombang
informasi tentang dunia. Kawat yang bertransformasi menjadi penyampai kabar tentang dunia
kepada dunia. Peranan media massa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti
keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan
bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka
seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Akan tetapi, seiring dengan
peningkatan teknologi, media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta
melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan
media itu sendiri, media telah menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-
gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23).
Mulai dari peristiwa serangan teroris di Gedung WTC Amerika Serikat beberapa
tahun yang lalu, peristiwa puncak era reformasi di Indonesia pada tahun 1998 yang
menggulingkan Presiden Soeharto dari kepemimpinannya selama 32 tahun lebih saat itu, kita
juga melihat bagaimana media mencatat dan menayangkan bencana terdahsyat abad ini yaitu
Tsunami di Aceh. Semua yang menyebarkan itu adalah Media. Bahkan dapat kita lihat juga
dalam pemilu, media adalah salah satu sarana kampanye yang paling ampuh dalam sebuah
proses untuk mempromosikan partai atau nama kandidat mereka dalam upaya mempengaruhi
opini publik bahwa mereka memang layak untuk dipilih.

10
Artikel ini diakses dari http://www.rizaldp.wordpress.com/2010/09/21/peran-media-sebagai-pembentuk-
opini-publik/ [pada tanggal 17 April 2011]
Dari sinilah timbul sebuah pertanyaan besar mengenai peran media dalam
menyebarkan opini itu bersikap netral ataukah hanya dijadikan sebuah alat suatu kelompok
tertentu dalam menyebarkan suatu isu atau propanganda agar dapat diyakini bahwa isu atau
propaganda itu benar-benar adalah suatu kenyataan ataupun sebaliknya, bahwa isu atau
propaganda tersebut hanya merupakan sebuah produk dari segelinitir orang atau kelompok
dan bahkan negara belaka saja.
Peran media menjadi sangat vital karena eksistensinya akan berimplikasi pada suatu
resultan dalam membentuk opini masyarakat. Opini yang berkembang di masyarakat akan
menjelma menjadi sikap dan mentalitas dari masyarakat itu sendiri. Sebuah pemikiran yang
tersampaikan pada masyarakat akan menjadi dasar bagi tindak-tanduk masyarakatnya. Maka,
media memiliki pertanggungjawaban yang besar dalam upaya membangun bangsa, minimal
pada tahap pemikiran. Jika medianya sendiri sudah tidak memerhatikan kaidah-kaidah dan
norma-norma yang berlaku, bagaimana dengan opini yang berkembang di masyarakat? Tentu
secara tidak langsung akan banyak terpengaruh oleh media. Dampak media massa dapat
meluas kepada siapapun secara holistik dan secara simultan. Dampak media massa membawa
masyarakat menuju suatu perubahan. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, mau dibawa
kemana perubahan itu?
Salah satu teori yang digunakan media untuk dapat membentuk opnini publik adalah
teori agenda seting. Teori ini sendiri dicetuskan oleh Profesor Jurnalisme Maxwell McCombs
dan Donald Shaw. Menurutnya, “we judge as important what the media judge as important.”
Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal
tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan
menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media
massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak
terlihat sama sekali.11
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat
terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka
melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh
redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman
dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus
utama surat kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah
tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan sport berita pertama

11
Artikel ini diakses dari http://www.yearrypanji.wordpress.com/2008/05/21/teori-agenda-setting/ [pada tanggal
17 April 2011]
hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi
pemberitaan.
Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari isu apa
yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya ternyata terdapat kesamaan antara isu
yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang
ditonjolkan oleh pemberitaan media massa.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung
jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa
yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu
juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap
apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan
ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu
mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi
berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan
mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.”
Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Dalam dunia komunikasi politik, para calon presiden biasanya memiliki tim media
yang disebut dengan istilah ‘spin doctor.’ Mereka berperan dalam menciptakan isu dan
mempublikasikannya melalui media massa. Mereka ini juga termasuk ke dalam ‘gatekeeper’
tadi.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting
makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media
massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu
mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa
juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan
menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting,
bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and
what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997).12

12
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003,
p.390—402
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi
agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C.
Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan
orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang
apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan
dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu
efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun
tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.13

2.3 Peran Media Massa dalam Membentuk Opini Publik Mengenai Invasi Amerika
Serikat terhadap Irak

“Siapa yang menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia”. Seperti konsep
dalam teori komunikasi tersebut, media massa saat ini mempunyai posisi yang sangat penting
bagi semua pihak, karena posisinya mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Sehingga, dijadikan alat propaganda yang efektif, mengingat dampak yang
ditimbulkan dari propaganda tersebut memiliki jangkauan yang luas dalam membentuk opini
publik. Akibatnya, munculnya semacam fenomena “Journalism stereotype” yang sudah lebih
dulu punya asumsi dan abstraksi dalam framing isu atau fakta dengan frame yang dipenuhi
prasangka, sehingga informasi tersebut cenderung bias dan bahkan tak jarang keliru.
Pada era ini, peran media massa sangat dinamis sehingga jika dikaji lebih mendalam
akan diketahui karakter-karakter khusus di dalamnya. Secara umum, media memiliki peran,
di antaranya adalah :
• Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh
gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara
kolektif, media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan
dengan berita dan hiburan.
• Media merupakan sumber kekuatan-alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya
lainnya
• Media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan, untuk menampilkan
peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional,

13
Artikel ini diakses dari http://www.teddykw1.wordpress.com/2008/03/08/teori-penentuan-agenda-agenda-
setting-theory// [pada tanggal 17 April 2011]
media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan bentuk seni dan simbol
tetapi juga dalam pegertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-
norma.14
• Yang menonjol adalah media massa berperan di dalam membentuk citra atau image
sebuah negara di mata negara lain.

Dinamika media massa pada era Bush merupakan momentum yang menarik. Karena
berkaitan dengan berbagai kebijakan luar negeri yang banyak mengundang kritik dan opini
publik baik dalam ranah domestik maupun internasional. Berawal dari tragedi 9/11, Presiden
Bush kemudian mendapat legitimasi untuk menjalankan politik luar negeri yang ofensif.
Misalnya saja dengan menginvasi dua negara yaitu Afganistan dan Irak. Permasalahan yang
diangkat oleh media massa di Amerika Serikat seringkali dijadikan instrumen oleh presiden
Bush sebagai top decision maker untuk mengkonstruksi wacana publik sesuai dengan apa
yang ia inginkan.
Dengan menggunakan berbagai macam media massa baik eletronik maupun cetak,
Bush selalu menyampaikan betapa pentingnya menginvasi Irak sebagai respon terhadap
tragedi 9/11 yang menyebabkan trauma bagi warga AS, sebagai war on terrorism, untuk
memusnahkan Weapon Mass Destruction (WMD) yang diduga ada di Irak, dan sebagainya.
Berbagai seruan dilontarkan dan pihak media pun turut membantu dalam packaging-nya dan
menyebarluaskannya secara massive ke penjuru kota, negara bagian, dan tingkat federal
sehingga isu invasi Irak ini menjadi sorotan publik, dan nantinya dapat membentuk opini
publik secara keseluruhan yang mendukung Invasi AS ke Irak tersebut.
Baik Bush ataupun media, mereka sama-sama menggunakan selectivity, yaitu
memberikan apa yang menurut mereka penting untuk disampaikan dan menyimpan informasi
tentang apa yang tidak perlu disampaikan. Dengan melakukan selectivity ini maka baik Bush
ataupun media sama-sama membatasi pemikiran publik di AS agar terfokus pada isu Invasi
AS ke Irak. Dengan cara demikian, maka akan semakin mudah untuk membentuk opini
publik di AS sehingga mendukung Bush untuk dapat menginvasi Irak.
Pembicaraan tentang media massa AS tidak akan terlepas dari beberapa korporasi
besar yang menaunginya. Misalnya saja adalah News Corporation. News Corporations,
biasanya disingkat News Corp, adalah salah satu konglomerasi media terbesar di dunia milik
Rupert Murdoch. Jaringan dan distribusinya tersebar di seluruh penjuru dunia dan mampu
menjadi alternatif utama di masing-masing kelas. Seperti The Australia, The Weekly
14
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1989, hal.3
Australia dan The Sunday Herald Sun yang merupakan surat kabar terkemuka di Australia,
The Sun sebagai koran utama Inggris, atau The New York Post yang bisa disejajarkan dengan
New York Times di AS. Majalah The Weekly Standart adalah majalah politik terpandang di
Washington begitu juga dengan program berita televisinya, Fox News Channel. Murdoch
adalah pendukung rezim konservatif Bush dan Partai Republik, dan ia sendiri dikenal sebagai
tokoh neo-konservatif yang aktif mensponsori setiap kebijakan presiden melalui jaringan
medianya ini.
Di AS sendiri, media memang memiliki potensi besar mempengaruhi opini publik
yang akhirnya menjadi input bagi presiden untuk merumuskan kebijakan luar negeri. Ini tidak
lepas dari masyarakat AS sendiri yang menjadikan media, terutama televisi dan surat kabar
sebagai gaya hidup dan kebutuhan. Terlebih lagi tayangan berita.
Berikut ini adalah analisis media yang akan digunakan untuk melihat bagaimana
media dapat membentuk opini publik terhadap pemberitaan akan perang yang terjadi di Irak.
Media massa yang digunakan adalah The Washington Times pada tanggal 13 Maret 2006.

“Audiotapes of Saddam Hussein and his aides underscore the Bush


administration’s argument that Baghdad was determined to rebuild its arsenal of
weapons of mass destruction once the international community had tired of
inspections and left the Iraqi dictator alone. In addition to the captured tapes,
U.S. officials are analyzing thousands of pages of newly translated Iraqi
documents that tell of Saddam seeking uranium from Africa in the mid-1990s.
The documents also speak of burying prohibited missiles, according to a
government official familiar with the declassification process. But it is not clear
whether Baghdad did what the documents indicate, said the U.S. official, who
asked not to be named. “The factories are present,” an Iraqi aide tells Saddam
on one of the tapes, made by the dictator in the mid-1990s while U.N. weapons
inspectors were searching for Baghdad’s remaining stocks of weapons of mass
destruction. ……….. “Terrorism is coming … with the Americans,” Saddam said.
“With the Americans, two years ago, not a long while ago, with the English I
believe, there was a campaign … with one of them, that in the future there would
be terrorism with weapons of mass destruction.” …………. Mr. Duelfer
concluded that Saddam planned to resume weapons of mass destruction
production once the United Nations lifted economic sanctions”15

Dari cuplikan berita di atas, dapat dianalisa bahwa AS ingin mengonstruk pemikiran
publik bahwa Irak memang memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal.
Statement tersebut diperkuat dengan adanya bukti rekaman suara Saddam Husein yang
mengatakan bahwa akan kembali mengembangkan senjata pemusnah missal pasca inspeksi
pihak asing untuk mencari senjata pemusnah massal di Irak. Saddam Husein juga
menambahkan bahwa suatu saat bentuk-bentuk terorisme dengan menggunakan senjata
pemusnah massal akan semakin berkembang. Begitu pula dengan isi paragraf-paragraf yang
lain. Dimana isi berita tersebut memberitakan bahwa apa yang dilakukan Amerika adalah
benar, dengan memberantas terorisme di dunia. Dengan mengedepankan bahwa Amerika
adalah negara yang diberikan kewenangan untuk memberantas terorisme, dan dengan
menyebutkan tragedi 9/11 adalah sebuah bentuk terorisme, dengan dalangnya adalah orang
yang berasal dari timur tengah, maka pembentukan opini masyarakat akan terorisme dan
timur tengah akan menemukan titik temu. Dengan adanya statement di atas akan membuat
public semakin percaya bahwa Iraq secara tidak langsung akan mengacam perdamaian dunia,
sehingga aksi AS untuk menginvasi Iraq mendapatkan legitimasi dari masyarakat luas.
Selain media yang ramai dengan pemberitaan mengenai kepemilikan senjata
pemusnah massal Irak, Channel 4, BBC, dan ITN mengatakan bahwa Amerika Serikat perlu
mendemokratiskan Irak dengan jalan menjatuhkan rezim diktator Sadam Hussein. Cara
militer tidak menjadi masalah. Majalah The Weekly Standart, melalui editornya, William
‘Bill’ Kristol menyerahkan surat petisi berisi 40 (empat puluh) buah tandatangan penulis
opini di majalahnya, bahwa keterlibatan militer untuk masalah Irak memang mutlak
diperlukan. Murdoch sendiri, ketika AS positif mendeklarasikan invasi ke Irak, dengan
tenang mengatakan bahwa Bush telah mengambil tindakan yang sangat tepat dan bermoral,
Sementara Tony Blair yang mendukung operasi militer itu sebagai ‘pria yang gagah berani’,
seperti dilaporkan The Guardian.
Jadi motif AS dalam menggunakan power dari media massa yaitu:
• Pertama, pemerintah Bush berusaha mengkonstruksi wacana publik internasional
bahwa “terorisme” dan “senjata pemusnah massal” (dalam kasus Irak) merupakan
merupakan ancaman nyata bagi rakyat AS dan seluruh masyarakat dunia. Media

15
Artikel ini diakses dari http://www.washingtontimes.com/news/2006/mar/13/20060313-1231467380r/?page
=all [pada tanggal 16 April 2011]
massa-lah yang paling berperan dalam proses konstruksi ini sehingga hampir semua
orang di dunia merasakan bahwa terorisme merupakan ancaman nyata.
• Kedua, terbentuknya persepsi ini pada akhirnya diharapkan dapat memperkuat
dukungan dunia terhadap AS untuk melakukan invasi ke Irak.
• Ketiga, dalam proses invasi media massa tetap memiliki peran sentral untuk
menunjukkan pembenaran dan kesuksesan invasi AS dalam kerangka pencapaian
perdamaian dunia.
Analisis tersebut dilihat dari perspektif pemerintah AS yang selalu ingin “menyetir” isu-isu
yang sekiranya kemungkinan besar akan menjadi headline media massa. Dengan demikian
kesemuanya terlepas dari perspektif media massa sebagai sebuah lembaga independen.

2.3.1 Opini Publik Yang Dihasilkan Dari Keterlibatan Media


Analisis mendalam terhadap jajak pendapat sejak Juni hingga September 2004
menunjukkan bahwa 48% percaya bahwa Irak memiliki hubungan erat dengan Al-Qaeda,
22% percaya senjata pemusnah massal dapat ditemukan di Irak, dan 25% mengira dunia
mendukung rencana invasi AS ke Irak. Secara keseluruhan, 60% warga AS punya salah satu
dari tiga persepsi ini. Persepsi ini yang secara signifikan meningkatkan dukungan rakyat
terhadap pemerintah. Warga yang memiliki satu pun dari tiga persepsi ini, hanya 23% yang
mendukung perang, sementara mereka yang memiliki satu saja persepsi ini dalam pikirannya,
53% mendukung perang, naik menjadi 78% untuk mereka yang memiliki 2 persepsi, dan
86% bagi mereka yang memiliki ketiga persepsi (yang terbukti keliru dewasa ini) tersebut di
atas.
Persepsi kunci lain, adalah bahwa Irak terlibat dalam serangan 11 September 2001.
Sebelum perang, sekitar satu dari lima orang percaya akan hal akan keterkaitan Saddam
Husein dengan serangan 9/11, dan 13% bahkan menyatakan bahwa mereka telah melihat
bukti konklisifnya. Polling dari Juni hingga September 2003, prosentase warga yang percaya
bahwa Irak secara langsung terlibat 9/11 selalu berkisar antara 20 – 25%, sedangkan 33 –
36% lainnya mengatakan bahwa Irak memang menjadi pendukung substansial A-Qaeda.
Terdapat juga suatu jajak pendapat yang menunjukkan dengan jelas bahwa ketiga
persepsi di atas kemudian mempengaruhi dukungan terhadap Bush untuk menyerang Irak.
Bulan Februari 2003, di antara mereka yang percaya Irak terlibat tindak terorisme 9/11, 58%
menyatakan bahwa mereka setuju dengan keputusan Presiden untuk berperang bahkan tanpa
izin dari PBB. Mereka yang percaya Irak mendukung Al-Qaeda, tetapi tidak terlibat 9/11,
37% setuju dengan Bush. Bagi yang percaya bahwa para petinggi Al-Qaeda punya kontak
individual dengan pemimpin Irak, 32% suportif terhadap pemerintah AS.
Bagi warga AS yang mengira bahwa penduduk dunia lain juga setuju dengan
keputusan Bush, 81% ikut mendukung presiden mereka. Sementara bagi yang mengetahui
reaksi negara lain yang menentang invasi, hanya 28% yang setuju AS maju perang. Dari
kesalahan persepsi ini tidak dapat dikatakan bahwa rakyat AS tidak memperhatikan berita.
Bahkan yang sangat memperhatikan berita pun tidak luput dari persepsi yang keliru ini.
Masalah masih terletak pada media yang mereka pilih untuk menjadi sumber utama mereka.
Mereka yang menonton Fox, yang paling tinggi intensitasnya, justru yang paling banyak
memiliki kesalahan persepsi. Warga yang menggunakan media cetak sebagai sumber utama,
kesalahan persepsinya lebih kecil.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa dengan adanya pemberitaan luas tentang senjata
pemusnah massal dan terorisme di Iraq membuat masyarakat memberi dukungan penuh
kepada AS dalam invansinya ke Iraq. Seperti yang diberitakan oleh The Washington Time
pada tanggal 24 Juli 2006, bahwa :
Half of Americans now say Iraq had weapons of mass destruction when the
United States invaded the country in 2003 — up from 36 percent last year, a
Harris poll finds. Pollsters deemed the increase both “substantial” and
“surprising” in light of persistent press reports to the contrary in recent years.
………. Meanwhile, the Harris poll offered some positive feedback on Iraq. In
addition, 64 percent say Saddam had “strong links” with al Qaeda, up from 62
percent in October 2004. Fifty-five percent said that “history will give the U.S.
credit for bringing freedom and democracy to Iraq.”…………… Americans
remain in touch with the realities of Iraq: 61 percent said the conflict has
motivated more Islamic terrorists to attack the U.S. — a number that has
remained virtually unchanged since 2004. …………… The financial burden of the
war may be less keenly felt. The poll found that 56 percent said spending “huge
amounts” for ongoing military efforts in Iraq means less funds are available to
protect Americans at home. The figure was 62 percent last year, but 51 percent
in 2004.16
Sangat jelas disebutkan bahwa lebih dari separuh responden mengatakan bahwa Iraq
memang memiliki dan mengambangkan senjata pemusnah massal, sedangkan 64 %

16
Artikel ini diakses dari http://www.washingtontimes.com/news/2006/jul/24/20060724-110410-8309r/?page=
all [pada tanggal 16 April 2011]
mengatakan bahwa Saddam Hussain memiliki kaitan erat dengan Al-Qaeda. Sehingga apapun
keputusan AS kepada Iraq akan menuai dukungan besar dari masyarakat, yang diperkuat dari
media akan berita yang mereka edarkan.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian dan analisa yang telah kami paparkan, berikut ini merupakan beberapa hal
yang dapat kami simpulkan:

- War on Terrorism, Mass Weapon Destruction (WMP), dan Demokratisasi


merupakan Agenda AS saat meng-invasi Irak yang diwacanakan ke khalayak melalui
media, guna memperoleh legitimasi dari publik domestik maupun internasional.
- Peran media sangat vital, mengingat eksistensinya akan berimplikasi pada suatu
resultan dalam membentuk opini masyarakat.
- Fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua
segala sesuatu yang dianggap penting oleh publik.
- Dalam proses invasi tersebut, media massa memiliki peran yang cukup signifikan
untuk menunjukkan pembenaran dan kesuksesan invasi AS dalam kerangka
pencapaian perdamaian dunia.
- Berbagai persepsi yang dikembangkan oleh media massa, secara signifikan
meningkatkan dukungan rakyat terhadap pemerintah AS, apapun bentuk kebijakan
mereka terhadap Irak (bahkan Invasi sekalipun).

Anda mungkin juga menyukai