omtanah.com
omtanah.com
Iklan
Sejarah Kepemilikan tanah di Nusantara dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda, hak-hak
atas tanah di Indonesia dikelompokkan kedalam 3 jenis hak, yaitu :
Hak-hak Barat, yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu hukum yang dibawa oleh
Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia bersamaan dengan Hukum Eropa. Dalam hal ini,
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan asas konkordansi dengan menerapkan aturan yang
berlaku di Negeri Belanda di Indonesia serta:
Hak-hak atas tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari kerajaan setempat,
misalnya Yogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur dan daerah-daerah swapraja lainnya (Mudjiono :
2007).
Namun yang sering dijumpai dalam perjalannanya adalah pendaftaran tanah hak-hak barat dalam
jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, yang digunakan untuk keperluan Pemerintah
Hindia Belanda dalam pemungutan pajak tanah, kegiatan ini sering disebut sebagai kadaster
fiskal atau “fiscal cadastre”
Selain Girik atau Letter C masih terdapat jenis kepemilikan tanah lainnya yang diakui di
Indonesia, lihat pada postingan berikut :
Untuk Tanah-tanah hak Barat: Verponding Eropa Verponding Eropa, pajak tanah yang dikenakan
bagi pribumi yang mempunyai tanah milik dengan status Eigendom Agraris.
Untuk tanah-tanah milik adat di wilayah Gemente, atau disebut sebagai Verponding
Indonesia. Verponding Indonesia, pajak tanah yang dikenakan bagi pribumi yang mempunyai
tanah milik adat.
Untuk tanah-tanah milik adat di luar wilayah Gemente, Landrente atau pajak
bumi. Landrente, adalah pajak tanah yang dikenakan pada masa pemerintahan Gubernur Rafles.
Adapun dasar penentuan objek pajak, masing – masing tanah yang ada saat itu adalah status
tanah milik dengan hak milik Barat dan milik adat, biarpun yang menguasai tanah memintanya,
kalau bukan tanah milik, tidak akan dikenakan pajak verponding atau landrete, artinya hanya
tanah-tanah milik saja yang dikenakan pajak saat itu.
Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pajak atas nama pemilik yang dikalangan
rakyat dikenal dengan sebutan petuk pajak, pipil, girik yang fungsinya sebagai surat pengenaan
dan tanda pembayaran pajak. Karena pajak dikenakan pada yang memiliki tanah, surat
pengenaan dan pembayaran pajak dikalangan rakyat dianggap dan diperlukan sebagai tanda
bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan. Pengenaan dan penerimaan pembayaran pajak oleh
pemerintah pun oleh rakyat diartikan sebagai pengakuan hak pembayaran pajak atas tanah yang
bersangkutan oleh Pemerintah
Sejalan dengan ketentuan bahwa hanya tanah yang berstatus hak milik adat yang
dikenakan Landrenten dan Verponding Indonesia, serta adanya keinginan dan usaha orang
untuk mempunyai petuk pajak dengan dirinya sebagai wajib pajak, membenarkan praktik untuk
menggunakan data yang tercantum dalam petuk pajak sebagai petunjuk yang kuat mengenai
status tanahnya sebagai tanah hak milik adat dan wajib-pajak sebagai pemiliknya.
Kemudian pada Tahun 1959 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG UNDANG RI No.
11 tahun 1959 Tentang Pajak Hasil Bumi, disingkat PHB, Sifat pengenaan pajak berdasarkan
peraturan ini dilakukan dengan penerbitan surat pajak atas nama pemilik hak kebendaan yang
sebelumnya tidak dikenakan pajak verponding atau verponding Indonesia.
Hak terhadap benda (Zakelijk-rech ; istilah belanda) sama dengan hak milik yaitu
merupakan suatu perhubungan langsung atas suata benda, hak ini adalah suatu hak
yang hanya diadakan atau dibuat untuk bekas tanah partikelir. Hak milik dapat juga
dipandang sebagai hak-benda tanah, hak mana memberi kekuasaan kepada yang
memegang untuk memperoleh (merasakan) hasil sepenuhnya dari tanah itu dan
untuk mempergunakan tanah itu seolah-olah sebagai “igenaar” dengan memperhatikan
peraturan-peraturan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan dari Pemerintah.
Prof. C. Van Vollenhoven menerangkan dengan tegas dalam bukunya “Der Indonesieren
zijn grond” (Orang Indonesia dan tanahnya), muka 5 dan seterusnya menerangkan beberapa
hal antara lain, bahwa hak milik itu adalah suatu macam hak eigendom Timur (Oosters
eigendomstrecht), yang walaupun tidak berdasar B .W. toh mengandung banyak inti (essentialia)
yang sama dengan hak eigendom menurut hukum perdata barat (B.W.).
Namun dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1960 nomor 34/K/Sip/1960,
putusan mahkamah agung menyatakan bahwa:
Surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah
milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk
itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang
bersangkutan (Subekti-Tamara, J., 1961, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung mengenai Hukum
Adat, Gunung Agung, Jakarta, halaman 153).
Pajak – pajak tanah sebelum tahun, sebagaimana tersebut diatas, dalam perjalanan waktu
diganti dengan pungutan baru dengan nama Iuran Pembangunan Daerah, disingkat IPEDA,
namun lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan Girik/leter C.
Dengan demikian minimal pada suatu daerah Kantor IPEDA telah melakukan 3 (tiga) kali
pembaruan girik/leter C sampai dengan pergantian surat pengenaan pajak dengan nama Pajak
Bumi dan Bangunan disingkat PBB sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 12 tahun
1985, tentang Pajak bumi dan Bangunan.
Menindak lanjutkan surat edaran Dirjen, kepala Kantor pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Bogor mengeluarkan surat No. S-5676/WPJ.07/KB.03 tanggal 9 Agustus 1993, tentang tindak
lanjut larangan penerbitan Girik/Ketitir, petuk D, keterangan Objek pajak (KP.PBB 41), ditujukan
masing masing kepada :
Untuk memberitahukan bahwa Kantor Pelayanan PBB tidak lagi memberikan Pelayanan yang
berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
Pembuatan salinan Girik karena hilang, rusak, mutasi, pembetulan luas tanah
Pembuatan Keterangan atau Riwayat Tanah untuk kepentingan pembuatan sertifikat/IMB,
agunan/jaminan pinjaman dan lain sebagainya.
Pencatatan pada buku C dalam rangka pembebasan tanah atas pemintaan Bank atau BUPN,
karena Girik/Daftar Keterangan Tanah sedang dijaminkan oleh wajib pajak.
Pengukuran ulang, penunjukan lokasi dan hal – hal lain yang dikaitkan dengan penentuan status
hukum/hak atas tanah
dan dalam hal masyarakat , memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan ketentuan status
hukum /hak atas tanah disarankan agar menghubungi kantor
Pertanahan setempat sesuai dengan peraturan Menteri Pertanian dan Agraria N0.2 tahun 1962,
keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.26/DDA/1970, tanggal 14 Mei 1970, jo keputusan
Mahkamah Agung RI No. Reg.34.K/Sip/1960, tanggal 10 Februari 1960 , meminta agar:
Tidak menggunakan girik sebagai dasar penentuan status hukum /hak atau alas hukum dalam
peralihan hak atas tanahnya
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang intinya bahwa dalam rangka menerbitkan
sertipikat majupun pengurusan hak atas tanah tidak diperlukan lagi girik/kikitir/petukD/ daftar
keterangan objek paj ak.